Minggu, 06 April 2014

Kita Berbeda, Namun Kita Bahagia

Oleh: Nelvianti

              Aku menatap layar ponsel. 
            BTDC area, Lot C-0, Nusa Dua-BALI. 80363. Benar. Ini alamat yang diemailkan Tata kepadaku seminggu yang lalu. Aku sudah berdiri di depannya, The Bay Bali, Square Complex yang terdiri dari restoran-restoran elit. Itu yang ku tangkap ketika pertama kali menginjakkan kaki di area ini. Area yang dihadapannya, disuguhkan pemandangan laut yang eksotis, pasir putih yang mengkilap diterpa matahari, nyiur hijau yang melambai-lambai ditiup angin, dan peselancar yang jungkir balik menjinakkan ombak.
Square Complex The Bay Bali

              “NOAH…!”
     Koor teriakan yang sangat riuh mengagetkanku, aku menoleh ke belakang. Sekumpulan wanita-wanita cantik dan sexy menggigit bibir, mereka berjingkrak, menelan ludah menyaksikan segerombolan pria yang menuju The Bay Bali. Aku mempertajam penglihatan. Seorang laki-laki tegap, bersweater abu-abu, dan berkacamata hitam. Rupanya sudah tak asing lagi bagiku karena sering ku lihat di televisi.
            ARIEL! Aku baru sadar kalau di tanggal cantik ini ada ‘Meet and Greet with NOAH’ di The Bay Bali.
Meet & Greet With NOAH
         4-4-14. Memang tanggal yang cantik, secantik keberuntunganku bertemu NOAH di The Bay Bali sore ini. Tapi bukan itu tujuan utamaku ke sini. Aku ke sini didorong oleh hasrat hati, ingin bertemu sahabat lama. Margaretta Purba, atau yang akrab ku panggil Tata.
            Dia adalah sahabatku sedari SMA. Kami bersekolah di SMA Negeri 20 Padang. Tata adalah perantauan dari Medan, Bapaknya bekerja di kantor PLN di Padang. Aku mengenalnya ketika hari pertama Masa Orientasi Siswa (MOS), ketika seorang senior bertanya.
             “Adakah yang tidak sholat di sini?”
             “Saya, Kak.” Tata mengacungkan tangan.
            Awalnya aku pikir Tata tidak sholat karena sedang menstruasi. Tapi setelah ku telusuri lebih jauh, ternyata tidak! Dia berbeda keyakinan denganku. Aku telah salah berspekulasi hanya karena melihat kepalanya yang dibungkus kerudung.
***
            Aku melirik arloji. 17.00 WITA. Satu jam lagi aku akan menyaksikan sang surya ditelan laut biru. Aku berjalan ke arah wanita-wanita cantik tadi, seseorang keluar dari kerumunan itu, rambutnya pirang sebahu, ikal, dan wajah kotaknya dihiasi kacamata tebal. Ia memakai gaun hijau selutut dan tersenyum kepadaku.
           “TATA!” Aku baru mengenalinya. Penampilannya masih sama seperti yang dulu, hanya saja rambutnya yang hitam dibuat pirang.
            “Apa kabar?” Tata menyalamiku.
            “Baik.” Aku menjawab salamnya dan membenamkan tubuhnya dalam pelukkanku.
            Aku tersenyum untuk beberapa saat.
            “Sepertinya kau bahagia sekali?” todong Tata kepadaku.
          “Siapa yang tidak bahagia bertemu sahabat lama, yang sudah terpisah selama empat tahun.” Aku masih saja bergumul dengan senyum.
            “Aku juga bahagia bertemu denganmu, Wulan.” Ungkap Tata, sembari melangkahkan kakinya yang dibalut sepatu balet hijau.
            Aku mengikutinya, berjalan disampingnya. Kami masuk ke area De Opera. Tata memilih De Opera sebagai resto pertama yang kami kunjungi─rencananya kami akan memasuki semua resto yang ada di The Bay Bali─karena Tata ingin menunjukkan  fashion show kepadaku. Salah satu daya tarik De Opera adalah  pameran seni reguler dan fashion shownya, terang Tata, sembari mendudukkan pantatnya di kursi.
            Tata memintaku memberikan penilaian terhadap busana yang diperagakan model-model yang tinggi semampai itu.
         “Itu adalah busana hasil desainku, hasil TA ku!” bisik Tata di telingaku, matanya merujuk pada peragawati yang berlenggok di depan kami.
            Tata mengingatkanku kalau ia sekarang adalah alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Bali, Program Studi Desain Fashion─walaupun belum diwisuda. Sesuatu akan ditambahkan di ujung marganya, Margaretta Purba, SST.DFs.
***
           Aku satu tempat duduk dengan Tata. Aku masih penasaran, kenapa ia─mau─berkerudung?             “Perintah Mamaku. Untuk menghargai teman-teman yang lain.” Ia lebih dahulu menjelaskan sebelum ku tanya.
           Mama Tata sangat menjunjung tinggi sikap saling menghargai walaupun SMA kami tidak mewajibkan yang non muslim untuk berkerudung. Di SMA kami hanya Tata seorang yang non muslim. Itu hal yang wajar menurutku, karena ini sekolah negeri yang terletak di pinggir kota Padang, yang bersekolah di sini adalah penduduk setempat yang mayoritas muslim. Rumahku sendiri tak jauh dari sekolah, hanya berjarak seratus meter dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki lima belas menit.  Rumah Tatalah yang terbilang jauh, dia harus naik angkot dua kali untuk sampai ke sekolah. Sebab itu, dia sering diantar Papanya dengan mobil berplat merah.
           Karena rumahnya jauh, Tata tidak pulang ke rumah ketika pelajaran Penjaskes. Pelajaran Penjaskas dilaksanakan sekali seminggu di luar jam pelajaran umum di sekolah. Biasanya dilaksanakan sore hari, pukul 16.00 WIB, sementara kami usai pelajaran umum pukul 14.00 WIB, hanya tersisa waktu dua jam. Jika waktu dua jam ini dipakai Tata untuk pulang ke rumahnya lalu balik lagi, itu tidak akan cukup, dan hanya membuatnya lelah serta membuang ongkos. Aku menawarkan Tata untuk mengganti seragam di rumahku, sebab waktu dua jam ini terasa panjang jika dihabiskan di rumahku. Biasanya kami menghabiskannya, dengan makan ‘kerupuk mie’. Tata suka sekali kerupuk singkong Uni[1] Shanti, yang diolesi kuah sate, dan ditimbun mie goreng.
           Hari ini terasa berbeda dengan empat tahun yang lalu. Menu yang terhidang di meja kami bukanlah kerupuk mie Uni Shanti, melainkan daging asap yang terasa lembut di lidahku. Enak dan nikmat. Porsi kenikmatannya bertambah oleh keindahan tempat di sekitar kami. Kami duduk di bawah payung putih, di tengah taman yang dikelilingi pohon-pohon dan rumput hijau nan asri. Dan dari tempatku duduk, aku bisa menyaksikan sunset Bali. Aku mengacungi jempol untuk tempat yang dipilih Tata kali ini, aku tahu Tata sudah sering ke The Bay Bali.
Payung-payung Putih yang lagi Menguncup
         Mataku menerawang melihat payung-payung putih di sekitarku, walaupun sebagian payung itu berangsur menjadi keemasan karena ditingkahi cahaya lampu, retina mataku masih bisa menggambar seragam putih SMA kami di sana, seakan-akan payung putih yang berdiri kokoh itu adalah seragam-seragam SMA kami yang digantung. Seragam yang telah dicoret-coret pada hari kelulusan.
          Seketika film pendek berputar di otakku, tentang masa putih abu-abu. Aku tersenyum mengenangnya, bagaimana sepatu kulitku yang bau bisa digondol Doggy, anjing kesayangan Papa Tata. Tali sepatuku hampir putus digigit Doggy. Sepatu itu ku jahit, dan masih tetap ku pakai ke sekolah.
    Tawa Tata meledak mendengar pengulangan kisah heroik tarik-menariknya dengan Doggy memperebutkan sepatuku.
            “Sekarang masih ada gak sepatunya?”
            “Ada. Aku museumkan sebagai kenang-kenangan darimu.” Kami terkekeh.
***
        Itulah kali pertama dan kali terakhir aku ke rumah Tata di Padang. Kelulusan adalah pertemuan terakhirku dengannya, Tata memutuskan kuliah di Bali, dan aku ke Yogyakarta, kami lost contact karena sama-sama sibuk.
            Seminggu yang lalu kali pertama aku menerima email darinya setelah vakum selama empat tahun. Dia mengingatkanku akan janji kami dulu, janji bahwa saat wisuda kami, akan didampingi sahabat terkasih. Dan Tata ingin aku yang terlebih dahulu menebus janji itu dengan mewajibkanku untuk menghadari acara wisudanya yang akan digelar tiga hari lagi. Aku tahu, Tata bahagia melihat usahaku memenuhi undangannya.
          Aku kagum dengan perkembangan Tata. Busana-busana yang yang lahir dari tangannya sangat elegan. Dia mendapatkan apresiasi yang pantas sebagai mahasiswa terbaik lulusan ISI Denpasar. Tepuk tangan membahana dari balik meja pengunjung De Opera. Sangat ramai. De Opera mampu menampung 300 orang lebih.
            Sebelum jam tutup pukul 22.00 WITA, kami meninggalkan De Opera menuju tempat yang pernah dikunjungi kontestan Miss World 2013, Hong Xing. Sebelumnya kami melintasi Benihana, mencuri pandang, aksi highly skilled teppayaki chefs, gerakan pisaunya sangat lincah, meliuk-liuk mencincang daging dan menghempaskan telur.
Highly Skilled Teppayaki Chefs
            Hong Xing club and resto adalah tempat yang cocok bagi Tata si penggemar seafood. Kegeraman Tata menyantap seafood─yang ku tahu sejak SMA─semakin mempertajam indera perasanya. Dia bisa mencermati mana seafood yang benar-benar enak.
Sofa Putih di Hong Xing
            “Aku berani mengatakan seafood di Hong Xing ini, enak!” katanya, sambil melumat udang goreng yang melingkar-lingkar. Kini, kami telah duduk di sebuah sofa putih dengan nuansa yang berbeda.
             “Dan aku yakin, semua makanan di Hong Xing ini enak karena diracik oleh Koki yang terampil.” Imbuhnya.
Udang Crispy yang digerogoti Tata
           Aku membiarkanTata menggerogoti udang crispynya─sebelum kami menuju ke Bebek Bengil. Aku tersenyum menyaksikan Tata yang sangat bernafsu. Bagiku senyum adalah ungkapan kebahagian. Aku bahagia merasakan, bagaimana kami yang berbeda keyakinan bisa menyatu, bahkan untuk soal makanan. Jika kami berencana makan bersama seperti sekarang ini, Tata selalu memilih makanan yang ‘netral’.
Bebek Telanjang yang Berhasil Ku Robek
           Kami tidak pernah memandang perbedaan, itulah kebahagian bagi kami. Kebahagiaan yang dibangun atas sikap saling menghargai walaupun teman-teman sekelas di SMA sering memanggilku ‘Wulan Arab’ tapi tak pernah sekalipun ku dengar kata-kata itu terlontar dari mulut Tata, baginya aku adalah Anggi Wulandari, asli Padang, bukan Wulan Arab. Harus ku akui, bahwa wajahku yang mirip orang Arab ini yang menjadi pemicu sebutan Wulan Arab itu. Wajah yang dilingkupi kerudung dengan pipi bulat penuh, hidung mancung yang sedikit bengkok, dan mata yang bagaikan bola pimpong, sangat kontras dengan wajah Tata yang tegas di bagian rahangnya, dan mata yang agak sipit. Tapi kami tak pernah membahas masalah itu. Tata selalu nyaman berpergian denganku yang selalu berbusana muslim.
Patung Bebek Keemesan di Bebek Bengil
           Film pendek di otakku berhenti, ketika kami memasuki area Bebek Bengil─Tata baru saja melahap habis seafoodnya sesaat sebelum kami ke sini. Aku tidak suka bebek, tapi Bebek Bengil berhasil mematahkan ketidaksukaanku. Aku sudah tertarik semenjak memasuki areanya, sebuah patung bebek keemasan menyambut kedatanganku. Sekarang ku dapati potongan bebek aslinya di atas piring ceper dengan beraneka rupa. Langsung saja kutarik ‘bebek telanjang’ ini ketenggorokanku, olahan daging bebek ini dengan mudah dirobek taringku, tidak alot dan tidak amis seperti olahan daging bebek pada umumnya.
***
Meja Unik di Bumbu Nusantara
            Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WITA saat aku menghabiskan hidangan ‘ketiga’ ini. Aku harus mengurungkan niatku untuk mengunjungi Bumbu Nusantara dan Pirates Bay Bali malam ini juga. Waktu yang sebentar bentar memang, rasanya tak cukup seharian untuk mengitari ke enam resto─De Opera, Bebek Bengil, Benihana, Hong Xing,  Pirates Bay Bali, dan Bumbu Nusantara. Walaupun begitu aku tetap berhasrat untuk mengunjungi Pirates Bay Bali esok hari, semenjak mendengar namanya, aku sudah dapat membayangkan bajak laut handal yang berseliweran di sana. Aku yang hobi menonton film bajak laut, sangat ingin menyaksikan seorang bajak laut secara langsung yang dikemas dalam suasana resto.
Pirates Bay Bali
         The Bay Bali benar-benar menyuguhkan hal yang unik dan berbeda. Pertemuanku dengan Tata di The Bay Bali mampu merajut kenangan-kenangan masa SMA kami. Kenang-kenangan itu akan berlanjut sampai kami tua nanti. Bersahabat dalam dekapan kepercayaan yang berbeda, itulah Bahagia.

Kota Panas seperti Kotaku, 040414.

*Terinspirasi dari kisah nyata.

Tentang Penulis:
            Nelvianti, perempuan kelahiran Padang, 24 Agustus 1993 ini hobi menulis sejak bangku SD. Waktu SMA ia pernah menjadi reporter/ crew SMS (Singgalang Masuk Sekolah) di Harian Umum Singgalang. Beberapa tulisannya sudah dipublikasikan di media massa, karyanya tergabung dalam antologi FF “POKUN” - AG Publishing (2012), dan Antologi FTS “Sejuta Wajah di Balik Debu”, Penerbit Camar (2013). Sekarang ia menempuh pendidikan S1 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Untuk melihat tulisan lainnya bisa dilihat di blog pribadinya: http://nelvianti.blogspot.com, FB: Nelvianti Virgo, Twitter: @nelvianti



                [1]Sebutan untuk Kakak perempuan di Minang.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! 








17 komentar:

Yena Agustin mengatakan...

waah kapan ya bisa ke Bali :D

skaila mengatakan...

wow..

Nelvianti mengatakan...

Yena@ Nanti Ukh... nanti kita mampir di The Bay Bali. :)

Nelvianti mengatakan...

Mala@ The Bay Balinya Wow Ya Male! ;)

Anonim mengatakan...

Risetnya keren banget, bikin tambah pengen ke The Bay Bali, :)
Ceritanya juga mengalir, sy jadi teringat sahabat saya..
Good Luck ya, semoga kita menang... aamiiin, :)

Nelvianti mengatakan...

Aamiin... ukhti Airaarshita, semoga risetnya benar (sesuai dengan aslinya).
Terima kasih ya, sudah mampir & berkenan membaca. :)
#salam ukhwah :)

Widodo Abqary mengatakan...

Good :)

negerikembangros mengatakan...

Asik nih tulisannya, mengalir enak dibaca, jadi terinspirasi. Lg belajar mo nulis cerpen ni. Salam kenal.
:-)

Nelvianti mengatakan...

Terima kasih negeri kembang ros, sudah bersedia membaca cerpennya. Ayo, sama-sama belajar nulis cerpen. Salam kenal juga :)

Unknown mengatakan...

simpel dan gampang diikuti..
justru karakter Tata yang lebih menarik daripada Aku. Coba di 3rd personin aja ke Tata.

overall oke bgt, juara nih kayaknya!

Unknown mengatakan...

kisah yang menarik,membuat saya dapat merasakan alam sebenarnya. maklum mb blm pernah ksana. lumayan dapat insfirasi lagi...maksihhh...

Unknown mengatakan...

kebawa suasana nih mb, jd pengen kesana..

Fonny Jodikin mengatakan...

hi Mbak Nelvi, ma kasih sudah mampir ke blog saya kemarin ya. Ini kunjungan balasan:) Suka dengan tema berbeda itu indah yang diusung. Berbeda sudah pasti, tiap manusia gak ada yang sama, tetapi bagaimana menghargai perbedaan itu yang seharusnya terus kita pelajari:)
Thanks sudah berbagi. Good luck ya buat lomba ini:) Deskripsi tentang resto2 di the Bay juga komplit banget:) Oke, salam ya... Aku juga Virgo nih hahaha...:)

Nelvianti mengatakan...

Wah thanks a lot ya... brother Lukmanul Hakim, Mas Junaidi Qa, & Mbak Fonny Jodikin. Silahkan dicicipi hidangannya!:D
Bagi saya semua peserta lomba adalah juara termasuk Mas2 & Mbak ini, karna udah mau unjuk pena. Hehe....
Buat Lukmanul Hakim, sarannya bagus bgt, nanti akan saya pakai buat cerpen selanjutnya.
Salam Pena :)
*O iya Mbak Fonny, Btw... orang-orang Virgo yang saya temui selalu suka nulis. ^_*

Unknown mengatakan...

Salam Kibor :D

Virgo cocoknya sama Capricorn...

=;(
*facepalm

Nelvianti mengatakan...

@Lukmanul Hakim. Katanya sih gitu... apakah kamu berzodiak Capricorn?

Unknown mengatakan...

You bet

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design