Oleh: Nelvianti
Aku menatap layar ponsel.
BTDC
area, Lot C-0, Nusa Dua-BALI. 80363. Benar. Ini alamat yang diemailkan Tata
kepadaku seminggu yang lalu. Aku sudah berdiri di depannya, The Bay Bali, Square
Complex yang terdiri dari restoran-restoran elit. Itu yang ku tangkap
ketika pertama kali menginjakkan kaki di area ini. Area yang dihadapannya,
disuguhkan pemandangan laut yang eksotis, pasir putih yang mengkilap diterpa
matahari, nyiur hijau yang melambai-lambai ditiup angin, dan peselancar yang
jungkir balik menjinakkan ombak.
|
Square Complex The Bay Bali |
“NOAH…!”
Koor
teriakan yang sangat riuh mengagetkanku, aku menoleh ke belakang. Sekumpulan wanita-wanita
cantik dan sexy menggigit bibir, mereka berjingkrak, menelan ludah
menyaksikan segerombolan pria yang menuju The Bay Bali. Aku mempertajam penglihatan.
Seorang laki-laki tegap, bersweater abu-abu, dan berkacamata hitam. Rupanya
sudah tak asing lagi bagiku karena sering ku lihat di televisi.
ARIEL!
Aku baru sadar kalau di tanggal cantik ini ada ‘Meet and Greet with NOAH’ di
The Bay Bali.
|
Meet & Greet With NOAH |
4-4-14.
Memang tanggal yang cantik, secantik keberuntunganku bertemu NOAH di The Bay
Bali sore ini. Tapi bukan itu tujuan utamaku ke sini. Aku ke sini didorong oleh
hasrat hati, ingin bertemu sahabat lama. Margaretta Purba, atau yang akrab ku
panggil Tata.
Dia
adalah sahabatku sedari SMA. Kami bersekolah di SMA Negeri 20 Padang. Tata
adalah perantauan dari Medan, Bapaknya bekerja di kantor PLN di Padang. Aku
mengenalnya ketika hari pertama Masa Orientasi Siswa (MOS), ketika seorang
senior bertanya.
“Adakah yang tidak sholat di sini?”
“Saya, Kak.” Tata mengacungkan tangan.
Awalnya
aku pikir Tata tidak sholat karena sedang menstruasi. Tapi setelah ku telusuri
lebih jauh, ternyata tidak! Dia berbeda keyakinan denganku. Aku telah salah
berspekulasi hanya karena melihat kepalanya yang dibungkus kerudung.
***
Aku
melirik arloji. 17.00 WITA. Satu jam lagi aku akan menyaksikan sang surya ditelan
laut biru. Aku berjalan ke arah wanita-wanita cantik tadi, seseorang keluar
dari kerumunan itu, rambutnya pirang sebahu, ikal, dan wajah kotaknya dihiasi
kacamata tebal. Ia memakai gaun hijau selutut dan tersenyum kepadaku.
“TATA!”
Aku baru mengenalinya. Penampilannya masih sama seperti yang dulu, hanya saja
rambutnya yang hitam dibuat pirang.
“Apa
kabar?” Tata menyalamiku.
“Baik.”
Aku menjawab salamnya dan membenamkan tubuhnya dalam pelukkanku.
Aku
tersenyum untuk beberapa saat.
“Sepertinya
kau bahagia sekali?” todong Tata kepadaku.
“Siapa
yang tidak bahagia bertemu sahabat lama, yang sudah terpisah selama empat
tahun.” Aku masih saja bergumul dengan senyum.
“Aku
juga bahagia bertemu denganmu, Wulan.” Ungkap Tata, sembari melangkahkan kakinya yang dibalut sepatu balet
hijau.
Aku
mengikutinya, berjalan disampingnya. Kami masuk ke area De Opera. Tata memilih
De Opera sebagai resto pertama yang kami kunjungi─rencananya kami akan memasuki
semua resto yang ada di The Bay Bali─karena Tata ingin menunjukkan fashion show kepadaku. Salah satu daya
tarik De Opera adalah pameran seni
reguler dan fashion shownya, terang Tata, sembari mendudukkan pantatnya
di kursi.
Tata
memintaku memberikan penilaian terhadap busana yang diperagakan model-model
yang tinggi semampai itu.
“Itu
adalah busana hasil desainku, hasil TA ku!” bisik Tata di telingaku, matanya
merujuk pada peragawati yang berlenggok di depan kami.
Tata
mengingatkanku kalau ia sekarang adalah alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar
Bali, Program Studi Desain Fashion─walaupun belum diwisuda. Sesuatu akan
ditambahkan di ujung marganya, Margaretta Purba, SST.DFs.
***
Aku
satu tempat duduk dengan Tata. Aku masih penasaran, kenapa ia─mau─berkerudung? “Perintah Mamaku. Untuk menghargai
teman-teman yang lain.” Ia lebih dahulu menjelaskan sebelum ku tanya.
Mama
Tata sangat menjunjung tinggi sikap saling menghargai walaupun SMA kami tidak
mewajibkan yang non muslim untuk berkerudung. Di SMA kami hanya Tata seorang
yang non muslim. Itu hal yang wajar menurutku, karena ini sekolah negeri yang
terletak di pinggir kota Padang, yang bersekolah di sini adalah penduduk
setempat yang mayoritas muslim. Rumahku sendiri tak jauh dari sekolah, hanya berjarak
seratus meter dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki lima belas menit. Rumah Tatalah yang terbilang jauh, dia harus naik
angkot dua kali untuk sampai ke sekolah. Sebab itu, dia sering diantar Papanya
dengan mobil berplat merah.
Karena
rumahnya jauh, Tata tidak pulang ke rumah ketika pelajaran Penjaskes. Pelajaran
Penjaskas dilaksanakan sekali seminggu di luar jam pelajaran umum di sekolah.
Biasanya dilaksanakan sore hari, pukul 16.00 WIB, sementara kami usai pelajaran
umum pukul 14.00 WIB, hanya tersisa waktu dua jam. Jika waktu dua jam ini
dipakai Tata untuk pulang ke rumahnya lalu balik lagi, itu tidak akan cukup,
dan hanya membuatnya lelah serta membuang ongkos. Aku menawarkan Tata untuk
mengganti seragam di rumahku, sebab waktu dua jam ini terasa panjang jika
dihabiskan di rumahku. Biasanya kami menghabiskannya, dengan makan ‘kerupuk
mie’. Tata suka sekali kerupuk singkong Uni
Shanti, yang diolesi kuah sate, dan ditimbun mie goreng.
Hari
ini terasa berbeda dengan empat tahun yang lalu. Menu yang terhidang di meja
kami bukanlah kerupuk mie Uni Shanti, melainkan daging asap yang terasa lembut
di lidahku. Enak dan nikmat. Porsi kenikmatannya bertambah oleh keindahan
tempat di sekitar kami. Kami duduk di bawah payung putih, di tengah taman yang
dikelilingi pohon-pohon dan rumput hijau nan asri. Dan dari tempatku duduk, aku
bisa menyaksikan sunset Bali. Aku mengacungi jempol untuk tempat yang
dipilih Tata kali ini, aku tahu Tata sudah sering ke The Bay Bali.
|
Payung-payung Putih yang lagi Menguncup |
Mataku
menerawang melihat payung-payung putih di sekitarku, walaupun sebagian payung
itu berangsur menjadi keemasan karena ditingkahi cahaya lampu, retina mataku
masih bisa menggambar seragam putih SMA kami di sana, seakan-akan payung putih
yang berdiri kokoh itu adalah seragam-seragam SMA kami yang digantung. Seragam yang
telah dicoret-coret pada hari kelulusan.
Seketika
film pendek berputar di otakku, tentang masa putih abu-abu. Aku tersenyum
mengenangnya, bagaimana sepatu kulitku yang bau bisa digondol Doggy, anjing kesayangan
Papa Tata. Tali sepatuku hampir putus digigit Doggy. Sepatu itu ku jahit, dan
masih tetap ku pakai ke sekolah.
Tawa
Tata meledak mendengar pengulangan kisah heroik tarik-menariknya dengan Doggy
memperebutkan sepatuku.
“Sekarang
masih ada gak sepatunya?”
“Ada.
Aku museumkan sebagai kenang-kenangan darimu.” Kami terkekeh.
***
Itulah
kali pertama dan kali terakhir aku ke rumah Tata di Padang. Kelulusan adalah
pertemuan terakhirku dengannya, Tata memutuskan kuliah di Bali, dan aku ke
Yogyakarta, kami lost contact karena sama-sama sibuk.
Seminggu
yang lalu kali pertama aku menerima email darinya setelah vakum selama empat
tahun. Dia mengingatkanku akan janji kami dulu, janji bahwa saat wisuda kami,
akan didampingi sahabat terkasih. Dan Tata ingin aku yang terlebih dahulu
menebus janji itu dengan mewajibkanku untuk menghadari acara wisudanya yang
akan digelar tiga hari lagi. Aku tahu, Tata bahagia melihat usahaku memenuhi
undangannya.
Aku
kagum dengan perkembangan Tata. Busana-busana yang yang lahir dari tangannya sangat
elegan. Dia mendapatkan apresiasi yang pantas sebagai mahasiswa terbaik lulusan
ISI Denpasar. Tepuk tangan membahana dari balik meja pengunjung De Opera.
Sangat ramai. De Opera mampu menampung 300 orang lebih.
Sebelum
jam tutup pukul 22.00 WITA, kami meninggalkan De Opera menuju tempat yang
pernah dikunjungi kontestan Miss World 2013, Hong Xing. Sebelumnya kami
melintasi Benihana, mencuri pandang, aksi highly
skilled teppayaki chefs, gerakan pisaunya sangat lincah, meliuk-liuk
mencincang daging dan menghempaskan telur.
|
Highly Skilled Teppayaki Chefs |
Hong Xing club and resto adalah
tempat yang cocok bagi Tata si penggemar seafood. Kegeraman Tata menyantap seafood─yang
ku tahu sejak SMA─semakin mempertajam indera perasanya. Dia bisa mencermati
mana seafood yang benar-benar enak.
|
Sofa Putih di Hong Xing |
“Aku berani mengatakan seafood di
Hong Xing ini, enak!” katanya, sambil melumat udang goreng yang
melingkar-lingkar. Kini, kami telah duduk di sebuah sofa putih dengan nuansa
yang berbeda.
“Dan aku yakin, semua makanan di
Hong Xing ini enak karena diracik oleh Koki yang terampil.” Imbuhnya.
|
Udang Crispy yang digerogoti Tata |
Aku membiarkanTata menggerogoti
udang crispynya─sebelum kami menuju ke Bebek Bengil. Aku tersenyum
menyaksikan Tata yang sangat bernafsu. Bagiku senyum adalah ungkapan
kebahagian. Aku bahagia merasakan, bagaimana kami yang berbeda keyakinan bisa
menyatu, bahkan untuk soal makanan. Jika kami berencana makan bersama seperti sekarang
ini, Tata selalu memilih makanan yang ‘netral’.
|
Bebek Telanjang yang Berhasil Ku Robek |
Kami tidak pernah memandang
perbedaan, itulah kebahagian bagi kami. Kebahagiaan yang dibangun atas sikap
saling menghargai walaupun teman-teman sekelas di SMA sering memanggilku ‘Wulan
Arab’ tapi tak pernah sekalipun ku dengar kata-kata itu terlontar dari mulut
Tata, baginya aku adalah Anggi Wulandari, asli Padang, bukan Wulan Arab. Harus
ku akui, bahwa wajahku yang mirip orang Arab ini yang menjadi pemicu sebutan
Wulan Arab itu. Wajah yang dilingkupi kerudung dengan pipi bulat penuh, hidung
mancung yang sedikit bengkok, dan mata yang bagaikan bola pimpong, sangat
kontras dengan wajah Tata yang tegas di bagian rahangnya, dan mata yang agak
sipit. Tapi kami tak
pernah membahas masalah itu. Tata selalu nyaman berpergian denganku yang selalu
berbusana muslim.
|
Patung Bebek Keemesan di Bebek Bengil |
Film
pendek di otakku berhenti, ketika kami memasuki area Bebek Bengil─Tata baru
saja melahap habis seafoodnya sesaat sebelum kami ke sini. Aku tidak
suka bebek, tapi Bebek Bengil berhasil mematahkan ketidaksukaanku. Aku sudah
tertarik semenjak memasuki areanya, sebuah patung bebek keemasan menyambut
kedatanganku. Sekarang ku dapati potongan bebek aslinya di atas piring ceper dengan
beraneka rupa. Langsung saja kutarik ‘bebek telanjang’ ini ketenggorokanku, olahan
daging bebek ini dengan mudah dirobek taringku, tidak alot dan tidak amis
seperti olahan daging bebek pada umumnya.
***
|
Meja Unik di Bumbu Nusantara |
Jam
sudah menunjukkan pukul 22.00 WITA saat aku menghabiskan hidangan ‘ketiga’ ini.
Aku harus mengurungkan niatku untuk mengunjungi Bumbu Nusantara dan Pirates Bay
Bali malam ini juga. Waktu yang sebentar bentar memang, rasanya tak cukup seharian
untuk mengitari ke enam resto─De Opera, Bebek Bengil, Benihana, Hong Xing, Pirates Bay Bali, dan Bumbu Nusantara. Walaupun
begitu aku tetap berhasrat untuk mengunjungi Pirates Bay Bali esok hari, semenjak
mendengar namanya, aku sudah dapat membayangkan bajak laut handal yang
berseliweran di sana. Aku yang hobi menonton film bajak laut, sangat ingin
menyaksikan seorang bajak laut secara langsung yang dikemas dalam suasana
resto.
|
Pirates Bay Bali |
The
Bay Bali benar-benar menyuguhkan hal yang unik dan berbeda. Pertemuanku dengan
Tata di The Bay Bali mampu merajut kenangan-kenangan masa SMA kami. Kenang-kenangan
itu akan berlanjut sampai kami tua nanti. Bersahabat dalam dekapan kepercayaan
yang berbeda, itulah Bahagia.
Kota Panas seperti Kotaku,
040414.
*Terinspirasi dari kisah nyata.
Tentang Penulis:
Nelvianti, perempuan kelahiran Padang, 24
Agustus 1993 ini hobi menulis sejak bangku SD. Waktu SMA ia pernah menjadi
reporter/ crew SMS (Singgalang Masuk
Sekolah) di Harian Umum Singgalang. Beberapa tulisannya sudah dipublikasikan di
media massa, karyanya tergabung dalam antologi FF “POKUN” - AG Publishing
(2012), dan Antologi FTS “Sejuta Wajah di Balik Debu”, Penerbit Camar (2013).
Sekarang ia menempuh pendidikan S1 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Bandung. Untuk melihat tulisan lainnya bisa dilihat di blog pribadinya: http://nelvianti.blogspot.com, FB:
Nelvianti Virgo, Twitter: @nelvianti