Selasa, 19 Februari 2019

Sebelum Engkau Halal Bagiku


Jika kamu memancing ikan, setelah ikan itu tersangkut di mata kail hendaklah kamu mengambil ikan itu, janganlah sesekali kamu lepaskan ia semula ke dalam air begitu saja... Karena ia akan sakit oleh bisanya ketajaman mata kailmu dan mungkin ia akan menderita selagi ia masih hidup...

Begitu juga setelah kamu memberi banyak pengharapan kepada seseorang, setelah ia mulai menyayangimu hendaklah kamu menjaga hatinya, janganlah sesekali kamu meninggalkannya selagi dia mengingatmu...

Janganlah kamu mengganggu hidup seseorang dengan mencuri hatinya jika kamu tidak ikhlas mencintainya, kelak kamu akan berlaku kejam dengan meninggalkannya dan membiarkan hatinya terluka dan hidupnya menderita...

Cinta akan menyakitkan ketika kamu berpisah dengan seseorang, lebih menyakitkan apabila kamu dilupakan oleh kekasihmu, tapi cinta akan lebih menyakitkan lagi apabila seseorang yang kamu sayangi tidak tahu apa yang sesungguhnya kamu rasakan.

*dikutip dari FP: Sebelum Engkau Halal Bagiku

Perjuanganku Masuk Kelas CENDOL

               

              Aku pertama kali kenal dengan kelas CENDOL melalui grup Curhat Calon Penulis Beken (CCPB) yang diasuh oleh Teteh Triani Retno A. Waktu itu aku melihat salah satu postingan di grup CCPB tentang kelas CENDOL. Aku jadi penasaran, ini grup apa sih??? Lalu aku baca infonya. Disitu tertera dengan rapi semua jadwal, peraturan, dan disiplin di kelas CENDOL, mirip dengan sekolah formal.

              Ada Kepala Sekolah: mayokO aikO; Dewan Suker: Donatus A. Nugroho, Putra Gara, Agus Linduaji, Erry Sofid; Sekretaris: Divin Nahb; Konsultan: Dela Bungavenus. Ada Koordinator Program Ock Cerpen; Ock Puisi; Fiskom Cerpendol; Fiskom Pupucen; Fiskom Pancen Oye; Panadol; Cecen; Ctc; Ocb; Cie; Cemofreaks; Cenayang; M.Krc; Klinik Cendol, dan masih banyak lagi program lainnya, yang masing-masing diurus oleh beberapa orang koordinator. Semuanya ditulis dengan huruf besar. Aku mengernyitkan dahi, aku belum mengerti maksud dari setiap program itu.

              Aku lanjutkan lagi membacanya sampai kepada Undang-Undang CENDOL, yang terdiri dari beberapa BAB dan ayat yang menyatakan peraturan. Salah satu yang kuingat adalah BAB 2, ayat 1 yang berbunyi: “Dilarang menggunakan bahasa alay.” Aku baca lagi sampai selesei, di beberapa paragraf akhir dicantumkan program kelas CENDOL dari Senin sampai Jumat.

              “Wow… ternyata ini grup tentang belajar menulis dan seluk beluknya”, aku takjub sendiri. Semacam sekolah online tapi tanpa biaya. “Keren sekali…” pikirku. Sesuai dengan namanya, CENDOL (Cerita Menulis dan Diskusi Online).

              Aku tertarik sekali dengan grup ini, langsung saja aku minta bergabung sama Teteh Eno. Aku sangat berharap bisa menjadi bagian dari grup ini, karena aku suka menulis dan menurutku ini adalah grup yang tepat untuk mengasah kemampuanku. Apalagi prinsipnya yang “Satu Untuk Semua, Bukan Semua Untuk Satu”, sangat mengena dihatiku.

              Tapi setelah kutunggu-tunggu permintaanku belum juga direspon. Teh Eno dan teman-teman di grup CCPB mengatakan, untuk masuk ke grup CENDOL seleksinya sekarang sangat ketat, mengingat adanya hal-hal yang tidak diinginkan. Untuk masuk ke grup ini harus melampirkan profil yang jelas, terutama nama. Nama Fbmu harus nama asli tidak boleh aneh-aneh.

             “Tapi namaku nggak aneh kan…???” Kataku.

             “Iya. Nama kamu nggak aneh, Netter artinya pengguna internet kan??” Jawab Teh Eno.

             Akhirnya dengan kecewa kujawab, “Tapi kalau memang nggak bisa gabung, nggak pa-pa kok.”

             Ternyata untuk masuk ke grup CENDOL tidak segampang yang aku pikirkan. Padahal aku sudah mencoba mengganti nama Fbku. Namun berkali-kali aku coba tetap tidak bisa, sampai saat ini. Semoga hal ini tidak menjadi masalah. Aku hanya bisa bersabar, dan berharap suatu saat nanti keberuntungan datang menghampiriku, dan aku bisa masuk grup CENDOL.

              Beberapa hari kemudian aku iseng-iseng buka grup Story Teenlit Magazine (Official Group), kebetulan aku sudah menjadi members-nya. Aku baca satu-persatu postingan di grup itu. Tiba-tiba mataku tertuju pada postingan dari Rifit Kert, yang isinya kurang lebih seperti ini:

              “Ikutan gabung yuk,
Diskusi fiksi.Menulis Fiksi.Membaca Fiksi (Universal Nikko+mayokO aikO).” Tulisannya bewarna biru dan bisa di klik.

              Wah… ini kan grup yang aku cari-cari. Langsung saja aku komen, “Aku mau…tapi gimana caranya???”

              Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menambahkan Rifit Kert sebagai teman Fbku, agar lebih memudahkanku masuk ke grup CENDOL.

              Satu jam kemudian aku online lagi. Betapa senangnya hatiku saat membaca notifications tentang ketergabunganku dengan grup CENDOL. Terima kasih buat Rifit Kert yang sudah menambahkanku sebagai members di grup itu.

             “Alhamdulillah…akhirnya aku bisa juga masuk grup ini.” Begitu tulisku di wall grup Diskusi Fiksi.Menulis Fiksi.Membaca Fiksi (Universal Nikko+mayokO aikO). Postingan pertamaku mendapat respon yang baik dari teman-teman kelas CENDOL dengan beberapa like dan ucapan selamat bergabung.

             Ya, akhirnya aku resmi menjadi murid kelas CENDOL, kurasa lebih kurang satu bulan yang lalu. Aku memang tergolong murid baru dibandingkan teman-teman yang lain, yang lebih dulu bergabung. Bahkan aku lihat sudah ada yang hampir setahun bergabung dengan grup ini. Wah… kalau begitu aku jauh ketinggalan, aku merasa rugi kenapa baru-baru ini dapat mengenal grup CENDOL. Coba kalau dari dulu! Pasti lebih banyak ilmu kudapat. Aku juga lihat members-nya sudah mencapai 5238 orang, dan salah satunya itu adalah aku. Aku  beruntung bisa menjadi bagian dari mereka.

            Hari-hari berikutnya aku mulai rajin mengikuti setiap program kelas CENDOL. Aku mulai menambahkan setiap teman di kelas CENDOL menjadi teman Fbku, dan aku juga sering membaca profil mereka. Ternyata kebanyakan dari mereka orang yang pintar menulis, tetapi tidak sombong. Mereka mau berbagi ilmu yang mereka miliki untuk orang lain. Hal inilah yang membuatku betah di kelas CENDOL.

            Dari yang tidak tahu menjadi tahu. Apa itu chicklit, endorsment, ISBN? Semua itu kupelajari di kelas CENDOL. Sampai informasi yang tidak asing lagi yaitu tips menulis, dan yang paling aku suka adalah events yang diselenggarakan oleh kelas CENDOL. Seperti event yang satu ini, LOMBA MENULIS ‘I LOVE CENDOL.’

           Saat pertama kali menjadi murid kelas CENDOL, aku usahakan membaca seluruh dokumen yang tertera disana, yang keseluruhannya mencapai 803 dokumen. Saat itu aku mengetahui adanya event ini. Setelah membaca persyaratannya, lalu aku mengambil pulpen dan mulai mengonsep pada secarik kertas (kebiasaanku sebelum mengetik di laptop). Tidak lupa pula aku tambahkan jurinya sebagai teman Fbku.

           Kata demi kata kurangkai, betapa sulitnya perjuanganku untuk masuk ke kelas CENDOL. Aku harus bersabar beberapa hari untuk menjadi bagian dari grup ini. Kalau boleh aku mengutip kata-kata A.Fuadi dalam novelnya Ranah 3 Warna, man shabara zhafira: siapa yang bersabar akan beruntung. Hal inilah yang kurasakan sekarang, karena aku mau bersabar akhirnya aku bisa menjadi murid kelas CENDOL.

           Waktu kuberi tahu tentang perjuanganku ini kepada sahabatku, Zuriani Annisa, dia mengatakan, “Aku sudah lebih dulu masuk ke grup ini, nggak serumit itu prosesnya. Kok aku bisa masuk ya..? Aku aja kurang minat nulis, sedangkan kamu yang minat nulis, susah banget masuk ke grup ini.” sahabatku menjadi heran sendiri.

           Dan akhirnya dalam waktu tiga jam tulisan ini dapat kuselesaikan. Ini semua berkat semangat dari teman-teman kelas CENDOL. Ya, tanpa mereka sadari, mereka telah memberikan semangat untukku lewat tulisannya yang sangat inspiratif. Terima kasih semuanya. Semoga semakin banyak orang yang ingin menjadi bagian dari grup ini.

Langit Jingga di Tanah Merah

Mereka berbicara tentang luka, tentang duka, yang menyelimuti jiwanya
Perhatikanlah… serdadu itu mati ditembak siang ini!
Dia adalah ayah kami!
Kami tak harap ayah dihargai seperti itu
Kami hanya minta secuil rasa kemanusiaan darinya

Pagi tadi ia pamit menjemput keadilan
Sore ini diperdengungkan pengapdiannya
Sebuah lobang menganga di lehernya
Ia berbaring menatap langit jingga
Di tanah merah bersimbah darah

Padang, 6 Februari 2012

Memorabika putih abu-abu

Ku tatap seragam lusuh di tepi bilik. Warnanya bercerita akan ia tak muda lagi, putihnya menjadi kelabu. Namun sakunya masih setia menyimpan sejuta kenangan.

Lalu ku coba menghampirinya, mengusap setiap lipatannya. Mmh… auranya menguapkan kehangatan. Hangatnya persahabatan tujuh belasan.

Di tepi koridor, di bawah pohon, kita menyulam benang-benang asa. Berharap menjadikannya selendang kesuksesan yang dapat menutup diri dari panasnya kehidupan.

Dan kau berkata, “Inilah masa-masa yang paling indah kawan, tak kan terlupakan!”

Aku rindu mencipta tawa denganmu; berbagi sepotong ikan saat mengisi cacing-cacing yang kelaparan; mencabuti ladang gandum untuk dapat masuk kelas; atau hanya sekedar mendengar ceritamu yang tak pernah habis.

Dan kali ini aku masih berdiri merenda asa, menyiapkan sebongkah cerita untukmu.

Padang, 2 Mei 2012

Kamis, 14 Februari 2019

Meretas Asa Menjadi Penulis


            Sekitar empat tahun yang lalu tepatnya  ketika aku masih SMP, aku bermimpi menjadi penulis. Tapi ku rasa itu cuma impian belaka karena aku tidak tahu bagaimana merealisasikan impian ku itu. Aku tidak tahu bagaimana caranya menerbitkan sebuah buku, aku cuma bisa menulis.
            Ya, dari SD aku memang hobi menulis. Aku paling suka pelajaran bahasa Indonesia, apalagi mengarang. Guru bahasa Indonesiaku sering memberikan tugas mengarang. Saat mengarang aku bebas menuliskan apa saja yang aku mau.
            Aku juga senang membaca. Setiap cerita yang ada di buku bahasa Indonesia pasti aku baca. Dari situ aku bisa belajar menulis. Waktu SMP aku sering membaca buku-buku cerita yang aku pinjam di perpustakaan sekolah. Hampir seluruh roman lama sudah pernah aku baca, seperti buku-buku karangan Buya Hamka: “Tenggelamnya Kapal Vander Wijck” dan “Di Bawah Lindungan Kakbah.”
            Roman “Siti Nurbaya”, “Salah Asuhan”, “Layar Terkembang”, “Robohnya Surau Kami”, dan masih banyak lagi. Aku sangat suka membaca prosa-prosa lama angkatan Balai Pustaka. Membaca kisah itu seakan membawaku ke nuansa 1920-an. Menakjubkan sekali!
            Waktu SMA, pernah ku utarakan niatku pada seorang teman. “Nurul, aku ingin menjadi penulis. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya menerbitkan buku.” Ucap ku kala itu saat berada di toko buku. “Temanku waktu SMP pernah ditawarin buat menulis, tapi sayangnya dia gak mau. Aku juga gak tahu caranya.” Sayang cuma jawaban itu yang ku dapat.
            Untuk pertama kalinya di kelas satu SMA aku mendapat tugas menulis. Waktu itu guru bahasa Indonesiaku, Bu Revi menyuruh membuat cerpen. Aku pun mencoba membuatnya. Hal yang paling sulit buatku saat membuat cerpen adalah: mencari imajinasi. Perlu waktu dua atau tiga hari bagiku untuk menemukan sebuah ide.
            Itulah cerpen pertamaku. Alhamdulillah, mendapat tanggapan yang baik dari Bu Revi. Bu Revi lalu berniat mengirimkan cerpen itu ke media massa. Aku pun menurut. Tapi sudah berapa lama tidak ada kabar, entah belum dikirim atau tak layak muat. Aku tak tahu.Aku mengurungkan niat untuk mengirimkannya kembali, aku biarkan hal itu hingga setahun berlalu.
            Aku mencoba menulis kembali. Kali ini aku coba mengirimkan sendiri hasil karyaku itu, tanpa bantuan orang lain. Dalam seminggu selalu aku usahakan ke warnet, sekedar untuk mengirim email. Jika belum dimuat aku kirim lagi. Lama hal itu berlangsung, tak terhitung  sudah berapa karya yang aku kirim.
            Hingga pada suatu saat. Waktu jam istirahat di sekolah, tiba-tiba seorang teman memanggilku. “Nasywa… Nasywa… ada tulisanmu di koran!” Katanya sambil berlari-lari dari pustaka. Aku pun bergegas melihatnya dan ternyata, benar. Disitu tertera jelas namaku: “Nasywa Hamzah, SMA Bina Bangsa.” Betapa senangnya hatiku, akhirnya untuk pertama kalinya tulisanku dimuat di media massa.
            Waktu demi waktu berlalu, tulisanku semakin sering saja muncul di koran. Aku terus menulis, aku bahkan memberanikan diri mengikuti lomba menulis. Waktu itu aku belum punya komputer, jadi aku harus ke rental untuk mengetik.
            Perjuanganku untuk mengikuti lomba ternyata tidak mudah, banyak sekali syarat yang harus aku penuhi hingga naskah itu sampai di kantor Pos.
            Ternyata kemampuan menulisku masih kurang, aku belum ditakdirkan untuk memenangkan lomba itu. Kini, aku terus mengasah kemampuan menulisku. Dengan cara bergabung dengan berbagai grup kepenulisan di fb. Disitu aku mendapatkan banyak pelajaran. Aku terus menulis, kirim, menulis, kirim… hingga nanti buku perdanaku bisa terbit. Aku ingin seperti Andrea Hirata, ataupun Ahmad Fuadi. Menulis banyak buku yang bermanfaat bagi orang lain.

Ramadhan Pertama di Kota Kembang



Rabu, 11 Juli 2012

Subhanallah...walhamdulillah...walailahaillah...wallahuakbar

Iringan sholawat terus menyertai langkahku. Aku berhenti di sebuah toko yang tak di buka lagi.

"Hujan es...hujan es..." tiba-tiba suara seorang bapak mengagetkanku. Aku mendapati bola-bola kecil sebesar kelereng jatuh dihadapanku, bening.

Aku tak bisa meneruskan perjalan bersama hujan ini, payungku bisa bocor. Hal satu-satunya yang bisa ku lakukan adalah mengabadikan momen langka ini dengan kamera handphone.

Ketika asyik memotret, sesuatu menarik-narik bajuku. Aku menoleh. "Teh...sedekahnya teh...." Tiga orang anak umur 8tahunan menengadahkan tangan padaku. Aku memberinya lembar ribuan.

"Makasi teteh...semoga rezki teteh dilapangkan." Doanya. Mereka pergi dengan semburat senyuman.

***

Allahu Akbar...Allahu Akbar...Allahu Akbar...La..Ilahaillaullah...

Aku melangkahkan kaki menuju mesjid, kemenangan datang menjemputku. Ramadhan tahun ini di kota kembang. :')

Sikulus Kesedihan




Atau hanya sikuluskah yang mampu mengurai semua? Atas terciptanya kesedihan, dan demi semua nama yang kau pajang. Aku ikhlas

Atau gugur daun yang cukup mewakilinya? Demi sebuah pengharapan. Aku rela

Dan demi dua insan yang ku cinta. Aku ada disini, atas nama pengharpan dan keikhlasan. Aku mengamini semua

300912

ESQ




Emotional, Spiritual, Question. Sebagian besar orang paham akan ketiga kata tersebut, tapi jarang orang yang bisa mengaplikasikannya. Dari ketiga hal tersebut, yang paling susah menurut saya adalah Emotional-kontrol emosi-atau kecerdasan emosi.

Saya bisa saja marah ketika ada orang yang berleha-leha dalam kerja kelompok. Namun itulah tantangan yang kita hadapi dalam dunia mahasiswa. Pembelajaran sesungguhnya yang kita dapatkan adalah belajar bersosialisasi di lingkungan sekitar kita.

Kecerdasan akademis hanya sekian persen menunjang kita dalam dunia kerja. Kita bisa saja mendapatkan nilai akademik yang bagus ketika ujian, tapi sangat susah mengaplikasikannya di lingkungan. Kenyataannya bahwa terjun ke lapangan menghadapi anak secara langsung butuh proses yang lama walaupun secara teori kita mengetahuinya.


Esensi Dakwah


Sebenarnya apa sih esensi dakwah itu? Banyak persepsi dalam memandangnya. Tak mengapa, karena hal itu subjektif dan relatif.

Tak ada yang salah kan, jika saya menilai dakwah itu dimulai dari hal yang kecil. Saya malu rasanya mengurusi hal yang besar, jika hal yang kecil saja belum terurusi. Saya malu rasanya mengatasi hal yang besar, jika hal yang kecil saja belum teratasi.

Tak ada salahnya juga kan saya membandingkan kebersihan mesjid dengan korupsi? Pentingan mana? Sama-sama penting! Tapi mana yang harus didahulukan?

Bagaimana rasanya jika tempat ibadah kita tidak terurusi, sementara kita sibuk mengurusi masalah-masalah yang lain. Saya miris melihatnya. Benar-benar miris.

*mari direnungkan, jika kita peduli!




Flash Back




Antara dua pulau
Dan satu selat
Disitulah diri terdampar
Jauh dari handai taulan
Menyisakan ruang kosong
Yang bila tak diisi
Bagai kayu kerontang
Dimanalah didapat petuah...yang sesejuk petuahnya Bunda
Dimanakah kecemasan dulu kan bermuara...
Hampir separoh jalan ditempuh
Perlahan...terus biduk dikayuh
Berharap bertemu jualah pulau yang didamba

Tugas Basa Sunda: Conto Wawacan

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA        

 Gagak Lumayung

  Piunjuk Gagak Lumayung, "Kaulanun rama Gusti, sim abdi sanés teu niat, tobat teu ngémut rarabi, mung aya nu panasaran, ku abdi nu dipiati. Kieu anu dipiémut, siang atanapi wengi, taya sanés nu kacipta, abdi jadi Sénapati, perang henteu mendak lawan, sepi nu ngajadi tanding.
               Mung ayeuna perang buntu, teu aya lawanna deui, jadi alatan kapalang, tacan wareg ngabén jurit, kamana nyiar nu gagah, kanggé pitandingeun abdi.
Réh saémut abdi hirup, ti alit dugi birahi, can terang getih sorangan, sakitu nu dipiati, kumaha atuh akalna, milari nu gagah sakti.
               Réhing suwung anu pamuk, sepi nu sakti pinilih, anu gagah gé teu aya, milari sa-Pulo Jawi, téh kitu nu janten marga, anu mawi abdi runtik." Hémeng galih Kanjeng Ratu, sakedapan henteu muni, wekasan nyaur Dén Patya, miwarang milari Resi, para Ajar nu koncara, kelun Nujum nu waracis.
               Maksad badé neda tulung, torah dimana nu sakti, pilawaneun Radén Putra, harita Dén Patih amit, medal ti payuneun Raja, kebat nyiar nujum sidik.
Ka anu jauh dijugjug, ka nu tarebih disungsi, énggalna lampah Dén Patya, tugas parantos tarapti, anu waracis darongkap, dideuheuskeun ka Sang Aji.
               Sujud nyembah para Nujum, bingah Prabu Siliwangi, harita kénéh mariksa, "Bagja sadayana sumping, pangna andika diala, kaula rék merih pati.
               Geura torah mangka weruh, ieu sawewengkon Jawi, dikira saha jalmana, nu patut ngayonan juru, nu saimbangan gagahna, nu tanding jeung anak kami.          
               Ka Radén Gagak Lumayung, geura unjukkeun ka kami, pok kadinyah ulah éra, atawa gimir wawarti, sab kaula panasaran, hayang manggih tanding jurit."
               Tungkul sadaya pra Nujum, sami ngémut lebet galih, ngahuleng teu sasauran, réh sesah badé wawarti, badé unjukan waregah, réh teu aya tanding deui.
Kocap aya hiji Nujum, ngiring campur nyiliwuri, henteu manon jeung nu réa, Malaikat salin rupi, badé ngantunkeun lantaran, pok unjukan aki-aki.
               "Kulanun dawuh Sang Ratu, menggah émutan sim abdi, ngoréhan di Pulo Jawa, tangtos moal aya tanding, anu gagah téh mung putra, sakti manggulang-mangguling
Aya ogé kaulanun, pitandingeun putra Gusti, mung sanés di Pulo Jawa, aya di Mekah nagari, wastana Ali Murtada, Bagénda Ali bin Tolib.
               Mung tebihna sakalangkung, ayana di Puseur Bumi, nya éta di nagri Arab, tah ieu mah tangtos tanding, pilawaneunnana putra, tangtos ramé ngabén jurit.
Itu ieu tacan tangtu, anu unggul apes jurit, duka mana anu kalah, mung tangtos ka dinya tanding, sakitu abdi unjukan." Bingah Prabu Siliwangi.

Ketika Ku dihadapkan pada Suatu Masalah















Ketika ku dihadapkan pada suatu masalah
Ingin ku menuliskan sesuatu di fb, bukan tempat mengadu, hanya ntuk pelepas sesak di dada
Karna ku tahu, hanya Allah lah tempat ku mengadu

Ketika ku dihadapkan pada suatu masalah
Ingin ku bercerita pada seseorang
Tapi ku sadar
Masih ada Allah yg selalu membantu

Ketika ku dihadapkan padä suatu masalah
Ingin ku berkata, "mengapa begini, meñgapa begitu?"
Tapi segera ku koreksi diri, "apa usaha yang telah ku lakukan, apa aku telah bersungguh-sungguh?"

Selasa, 12 Februari 2019

Memang Jodoh

“Kenapa akhirnya Ibu memilih Ayah?”

“Ya … kalau Ibu gak memilih Ayah, kamu belum tentu lahir.” Benar juga jawaban atas pertanyaan konyol yang saya lontarkan.

Bagiku Ibu adalah sosok sabar dan Ayah sosok yang keras dan tidak gengsian. Mereka saling melengkapi, ketika Ayah marah, Ibu hanya diam, dan ujung-ujungnya Ayah yang meminta maaf karena tidak tega telah memarahi Ibu. Begitu juga sebaliknya, ketika Ibu marah, Ayah memaklumi dan tidak balik marah. Di rumah, Ayah sering membantu Ibu memasak. Tidak heran jika Ayah lebih pintar memasak daripada saya. Jika saya sakit dan Ibu sedang tidak ada di rumah, Ayah tidak sungkan-sungkan memasak untuk saya. Masakan Ayah enak. Ayah juga tidak malu membantu Ibu berbelanja kebutuhan rumah tangga ke pasar.

Ayah dan Ibu bertemu dalam perjodohan. Ibu dilarang pacaran karena Kakek adalah seorang Kiyai (Saya memanggil Kakek dengan sebutan ‘Buya’). Ayah pun begitu, tidak diizinkan pacaran karena Kakek (dari Ayah) juga seorang Kiyai, waktu muda Ayah sempat menjadi guru ngaji. Bacaan Alquran Ayah bagus, dan Ayah pernah menjuarai lomba MTQ.

Sebelum bertemu Ayah, Ibu sempat dilamar oleh seorang ustadz, namun Ibu menolak karena tidak suka. Ayah pun begitu, sebelum bertemu Ibu, Ayah sering diminta oleh Ibu-Ibu kenalan Nenek untuk menjadikan Ayah menantunya. Bukanlah hal yang asing di Minang, jika pihak perempuan yang mendatangi pihak laki-laki dan mengutarakan niat untuk berbesanan. Walaupun mungkin dibeberapa kasus yang suka duluan adalah laki-laki, tapi tetap saja secara adat yang ada omongan duluan / memulai pembicaraan lebih dulu adalah pihak perempuan. Ini dikenal dengan istilah ‘mandatangkan sirih’. Ayah sering mendapatkan sirih dari Ibu-Ibu tetangganya hingga 14x, itu berarti sudah 14 orang Ibu-Ibu yang meminta Ayah untuk menjadi menantunya, namun Ayah tidak menggubris dengan alasan masih belum ingin menikah. Saat itu usia Ayah 28 tahun, dan Ibu 23 tahun, Ayah baru pulang merantau dari Malaysia dan ingin kembali ke sana.

Namun setelah sirih yang datang dari pihak Ibu, Ayah langsung menerima. Itu adalah sirih yang ke 15. Ayah menerima dengan alasan karena memang usia Ayah sudah memasuki usia pernikahan dan mungkin karena memang jodoh. Ayah menikah dengan Ibu tahun 1987, 6 tahun sebelum saya lahir. Setelah menikah dengan Ibu, Ayah berniat membawa Ibu ke Malaysia untuk memulai kehidupan di sana seperti Paman (adik Ayah) yang sekarang sudah menjadi warga Negara Malaysia. Namun agaknya Nenek (kami memanggil nenek dengan sebutan ‘Gaek’) berat untuk melepas Ibu, karena Ibu adalah anak perempuan bungsu bagi Gaek dan sejatinya Ibu adalah anak tunggal. Ibu mempunyai dua saudara tiri dari Gaek, dan Ibu juga mempunyai saudara tiri dari Buya. Buya dan Gaek sebelumnya sama-sama sudah pernah menikah dan sudah memiliki anak dari pasangan sebelumnya. Ibu adalah anak kandung satu-satunya dari Gaek dan Buya.

Karena Gaek berat untuk melepaskan Ibu, akhirnya mereka memilih tetap tinggal di Indonesia, kalau tidak, mungkin saya sudah lahir di Malaysia.

Tentang Buya. Buya dilahirkan tahun 1901, tepat setelah gerhana matahari terjadi. Kalau tidak salah Ibu bercerita, waktu itu keadaan bumi gelap selama 3 hari, dan Buya lahir setelah bumi kembali bercahaya. Buya adalah sosok yang cerdas dan penyayang menurut saya. Saya yakin Buya menguasai bahasa Arab dan bahasa Belanda, walaupun saya tidak mendengar langsung beliau berbicara di depan saya, sebab beliau sudah berpulang ke rahmatullah ketika saya berumur 4 tahun. Tapi dari buku harian Buya yang saya lihat, semuanya ditulis dengan tulisan Arab, dan itu tulisan Arab gundul. Kata Ibu, Buya waktu muda sering pulang-pergi Mekah – Indonesia. Buya berjualan es di Mekah. Join dengan seorang temannya yang dari Pariaman, Buya mengatur stratgi agar es nya laku, Buya meminta temannya untuk berjualan makanan yang pedas-pedas. Dengan begitu jemaah haji yang merasa kepedasan, nantinya akan membeli es dari Buya. Mereka selalu berjualan berdua.

Sumber: dok.pri.

Buya juga seorang pensiunan veteran. Beliau ikut memegang bambu runcing memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada waktu penjajahan. Saya sangat antusias mendengarkan ketika Buya sudah bercerita tentang zaman perang dulu.

Buya juga merupakan orang yang disiplin, Buya selalu mewajibkan Ibu untuk berkerudung jika berjalan ke luar rumah. Dan Buya akan memarahi Ibu, jika Ibu tidak bisa mengaji.

Ibu dan Ayah sama-sama mendapat pendidikan yang keras dari orang tua mereka masing-masing, terutama tentang agama. Namun sekarang, Ayah dan Ibu tidak mau mendidik kami sekeras itu. Ayah dan Ibu hanya memarahi saya, jika saya sering sholat tidak tepat waktu dan tidak mengaji ke surau waktu kecil dulu. Tapi untuk berkerudung, Ayah tidak pernah memaksa saya, selagi pakaian saya masih sopan Ayah memaklumi. Ayah membiarkan saya menemukan sendiri makna pentingnya berkerudung. Kata Ayah, ketika aqidah sudah tertanam kuat di dalam dirimu, kamu akan melakukan sesuatu hanya karena Allah, dan kamu akan merasa takut berbuat salah bukan karena Ayah tapi karena kamu ingat Allah. Dengan begitu Ayah tidak akan khawatir melepasmu kemana pun kamu ingin merantau.

Kini, usia pernikahan Ayah dengan Ibu sudah memasuki angka 32. Ingin hati saya menuliskan novel tentang mereka, sebagai kado pernikahan yang ke-50 nantinya. Berikan mereka perjodohan yang panjang dalam ketaatan kepada-Mu Ya Allah. Allahummaghfir lii wa liwaalidayya warhamhuma kamaa rabbayanii shaghiraa.

*Saya terinspirasi menuliskan tentang hal ini, ketika membaca novel Marah Rusli, “Memang Jodoh”. Novel yang menggambarkan kesetiaan yang tiada tara dan menggambarkan adat-istiadat di Minangkabau pada zaman dahulu.

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design