Selasa, 12 Februari 2019

Memang Jodoh

“Kenapa akhirnya Ibu memilih Ayah?”

“Ya … kalau Ibu gak memilih Ayah, kamu belum tentu lahir.” Benar juga jawaban atas pertanyaan konyol yang saya lontarkan.

Bagiku Ibu adalah sosok sabar dan Ayah sosok yang keras dan tidak gengsian. Mereka saling melengkapi, ketika Ayah marah, Ibu hanya diam, dan ujung-ujungnya Ayah yang meminta maaf karena tidak tega telah memarahi Ibu. Begitu juga sebaliknya, ketika Ibu marah, Ayah memaklumi dan tidak balik marah. Di rumah, Ayah sering membantu Ibu memasak. Tidak heran jika Ayah lebih pintar memasak daripada saya. Jika saya sakit dan Ibu sedang tidak ada di rumah, Ayah tidak sungkan-sungkan memasak untuk saya. Masakan Ayah enak. Ayah juga tidak malu membantu Ibu berbelanja kebutuhan rumah tangga ke pasar.

Ayah dan Ibu bertemu dalam perjodohan. Ibu dilarang pacaran karena Kakek adalah seorang Kiyai (Saya memanggil Kakek dengan sebutan ‘Buya’). Ayah pun begitu, tidak diizinkan pacaran karena Kakek (dari Ayah) juga seorang Kiyai, waktu muda Ayah sempat menjadi guru ngaji. Bacaan Alquran Ayah bagus, dan Ayah pernah menjuarai lomba MTQ.

Sebelum bertemu Ayah, Ibu sempat dilamar oleh seorang ustadz, namun Ibu menolak karena tidak suka. Ayah pun begitu, sebelum bertemu Ibu, Ayah sering diminta oleh Ibu-Ibu kenalan Nenek untuk menjadikan Ayah menantunya. Bukanlah hal yang asing di Minang, jika pihak perempuan yang mendatangi pihak laki-laki dan mengutarakan niat untuk berbesanan. Walaupun mungkin dibeberapa kasus yang suka duluan adalah laki-laki, tapi tetap saja secara adat yang ada omongan duluan / memulai pembicaraan lebih dulu adalah pihak perempuan. Ini dikenal dengan istilah ‘mandatangkan sirih’. Ayah sering mendapatkan sirih dari Ibu-Ibu tetangganya hingga 14x, itu berarti sudah 14 orang Ibu-Ibu yang meminta Ayah untuk menjadi menantunya, namun Ayah tidak menggubris dengan alasan masih belum ingin menikah. Saat itu usia Ayah 28 tahun, dan Ibu 23 tahun, Ayah baru pulang merantau dari Malaysia dan ingin kembali ke sana.

Namun setelah sirih yang datang dari pihak Ibu, Ayah langsung menerima. Itu adalah sirih yang ke 15. Ayah menerima dengan alasan karena memang usia Ayah sudah memasuki usia pernikahan dan mungkin karena memang jodoh. Ayah menikah dengan Ibu tahun 1987, 6 tahun sebelum saya lahir. Setelah menikah dengan Ibu, Ayah berniat membawa Ibu ke Malaysia untuk memulai kehidupan di sana seperti Paman (adik Ayah) yang sekarang sudah menjadi warga Negara Malaysia. Namun agaknya Nenek (kami memanggil nenek dengan sebutan ‘Gaek’) berat untuk melepas Ibu, karena Ibu adalah anak perempuan bungsu bagi Gaek dan sejatinya Ibu adalah anak tunggal. Ibu mempunyai dua saudara tiri dari Gaek, dan Ibu juga mempunyai saudara tiri dari Buya. Buya dan Gaek sebelumnya sama-sama sudah pernah menikah dan sudah memiliki anak dari pasangan sebelumnya. Ibu adalah anak kandung satu-satunya dari Gaek dan Buya.

Karena Gaek berat untuk melepaskan Ibu, akhirnya mereka memilih tetap tinggal di Indonesia, kalau tidak, mungkin saya sudah lahir di Malaysia.

Tentang Buya. Buya dilahirkan tahun 1901, tepat setelah gerhana matahari terjadi. Kalau tidak salah Ibu bercerita, waktu itu keadaan bumi gelap selama 3 hari, dan Buya lahir setelah bumi kembali bercahaya. Buya adalah sosok yang cerdas dan penyayang menurut saya. Saya yakin Buya menguasai bahasa Arab dan bahasa Belanda, walaupun saya tidak mendengar langsung beliau berbicara di depan saya, sebab beliau sudah berpulang ke rahmatullah ketika saya berumur 4 tahun. Tapi dari buku harian Buya yang saya lihat, semuanya ditulis dengan tulisan Arab, dan itu tulisan Arab gundul. Kata Ibu, Buya waktu muda sering pulang-pergi Mekah – Indonesia. Buya berjualan es di Mekah. Join dengan seorang temannya yang dari Pariaman, Buya mengatur stratgi agar es nya laku, Buya meminta temannya untuk berjualan makanan yang pedas-pedas. Dengan begitu jemaah haji yang merasa kepedasan, nantinya akan membeli es dari Buya. Mereka selalu berjualan berdua.

Sumber: dok.pri.

Buya juga seorang pensiunan veteran. Beliau ikut memegang bambu runcing memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada waktu penjajahan. Saya sangat antusias mendengarkan ketika Buya sudah bercerita tentang zaman perang dulu.

Buya juga merupakan orang yang disiplin, Buya selalu mewajibkan Ibu untuk berkerudung jika berjalan ke luar rumah. Dan Buya akan memarahi Ibu, jika Ibu tidak bisa mengaji.

Ibu dan Ayah sama-sama mendapat pendidikan yang keras dari orang tua mereka masing-masing, terutama tentang agama. Namun sekarang, Ayah dan Ibu tidak mau mendidik kami sekeras itu. Ayah dan Ibu hanya memarahi saya, jika saya sering sholat tidak tepat waktu dan tidak mengaji ke surau waktu kecil dulu. Tapi untuk berkerudung, Ayah tidak pernah memaksa saya, selagi pakaian saya masih sopan Ayah memaklumi. Ayah membiarkan saya menemukan sendiri makna pentingnya berkerudung. Kata Ayah, ketika aqidah sudah tertanam kuat di dalam dirimu, kamu akan melakukan sesuatu hanya karena Allah, dan kamu akan merasa takut berbuat salah bukan karena Ayah tapi karena kamu ingat Allah. Dengan begitu Ayah tidak akan khawatir melepasmu kemana pun kamu ingin merantau.

Kini, usia pernikahan Ayah dengan Ibu sudah memasuki angka 32. Ingin hati saya menuliskan novel tentang mereka, sebagai kado pernikahan yang ke-50 nantinya. Berikan mereka perjodohan yang panjang dalam ketaatan kepada-Mu Ya Allah. Allahummaghfir lii wa liwaalidayya warhamhuma kamaa rabbayanii shaghiraa.

*Saya terinspirasi menuliskan tentang hal ini, ketika membaca novel Marah Rusli, “Memang Jodoh”. Novel yang menggambarkan kesetiaan yang tiada tara dan menggambarkan adat-istiadat di Minangkabau pada zaman dahulu.

0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design