Selasa, 15 Januari 2019

Menjadi Dosen [?]



Tak semua orang paham jalan pikiran saya, termasuk orang tua saya sendiri. Saya cenderung berpikir 'out of the box'. Entah, saya berpikir menjadi dosen adalah salah satu jalan hidup yang harus saya tempuh, lebih tepatnya saya capai. Jadi selama saya belum mencapainya, saya akan terus berusaha ke arah sana, salah satunya berusaha untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Tapi di satu sisi, saya khawatir dikatakan terlalu mengajar dunia. Tak seharusnya saya memikirkan perkataan orang, apalagi membandingkan kehidupan saya dengan orang lain. No!  

Saya hanya mau menjalani sesuatu yang benar-benar saya yakini. Bak kata orang, hidup seperti air mengalir tapi kalau air itu mengalir ke got, saya tidak mau, saya akan arahkan aliran air itu hingga tetap bermuara di samudera yang luas. Tapi bukan berarti saya keras dengan ingin saya, saya bisa longgar, yang penting saya tetap berjalan di koridor yang baik.

Sampai saya menemukan keyakinan saya sendiri, saya baru melakukan sesuatu. Dalam proses menemukan keyakinan tersebut tidak mudah, berbagai jalan saya coba, hingga terkesan saya melupakan mimpi yang sudah saya bangun di awal. Ketika masa-masa menyusun skripsi, saya merasa harus segera melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dengan beasiswa. Oleh sebab itu saya mati-matian belajar toefl, membuat essay, mempersisapkan segala sesuatu buat proses seleksi beasiswa S2 sambil menyusun skripsi karena saya tidak ingin ada jeda antara kuliah S1 dengan S2; tamat S1, langsung S2. Kalau saya harus menunggu dulu, berapa masa saya yang terbuang, jika saya mengundur-undur sekarang, apalagi yang saya undur nantinya, sedang saya perempuan. Tapi itu kata saya, tidak kata Allah. Dan ketika yang saya usahakan tidak sesuai harapan, saya sempat down tapi hanya sebentar. 

Down saya mungkin sebab rasa harap yang terlalu besar, orang bilang ambisi walau saya berusaha menyangkalnya. Ada juga sedikit rasa sesal, kenapa tidak memilih ini? kenapa memilih itu? Tapi di satu sisi ada juga rasa puas. Entah apa yang rasakan di kurun waktu 2016 tersebut. Di sini saya merasa puas karena sudah berusaha maksimal, jadi walaupun hasilnya tidak sesuai harapan, saya tidak akan menyalahkan orang lain karena itu pilihan saya sendiri dan saya yang menjalaninya. Beda ceritanya kalau saya dipaksa orang tua atau memilih karena dorongan orang lain.

Setelah cooling down, saya mulai mencari pintu lain. Setelah jatah beasiswa saya habis, dibatasi dua kali seleksi, maka saya [sempat] berpikir bukan jalan saya di sini. Lalu saya mencoba jalan lain, tidak apa-apa mengajar di SD dulu, setidaknya untuk tahun ini, tahun besok kan belum tentu. Terkesan berusaha menerima keadaan padahal itu bukan keadaan yang saya inginkan sebenarnya. Sempat euforia diberi kesempatan mengajar di sekolah bonafit, sampai saya berpikir mengubah haluan, tidak apa-apa kok mengajar di sekolah swasta, nanti kan bisa punya yayasan sendiri (Aamiin). Lagi-lagi dengan kalimat tidak apa-apa yang saya rangkai sendiri. Ternyata tanpa saya sadari, selama ini saya berusaha meredam gejolak hati saya sendiri dan itu berarti hati saya masih ingin yang lain, sesuatu yang tidak mungkin saya dapat secara instan sementara saya berpikiran instan, itu yang membuat saya tidak menikmati prosesnya.

Ternyata di sekolah swasta jalan saya tidak mulus, saya sempat pindah tugas beberapa kali. Masa itu membuat saya lebih memfokuskan diri, memfokuskan diri kalau saya harus bekerja dulu, belum terpikir untuk menikah, belum terpikir juga buat mencoba beasiswa S2 lagi. Yang terpikir, bagaimana mengamankan posisi saya, menerima setiap tantangan baru dan saya terlena dengan hal itu., mengembangkan skill dan skill.

Hingga sampai rasanya saya berada di posisi tidak nyaman, sangat sangat tidak nyaman dan tiba-tiba ada jalan bagi saya buat pulang kampung, sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Saya ambil jalan ini, saya anggap ini hanya sementara untuk menghilangkan rasa jenuh saya. Mungkin karena niat di awal ini, rasa berat berpisah dengan kota yang saya damba, saya seperti berjalan di awang-awang di kampung, tidak dapat menapak. Masih mencari kemungkinan lain, kembali lagi ke rantau, mencoba [lagi] sesuatu yang baru, mungkin di bidang jurnalis sesuai hobi saya, menulis. Tapi di tengah jalan, ada saja ujian dalam bentuk sebuah kesempatan yang besar. Tujuan yang dari awal mulai lurus, berubah arah lagi. Dan mulai lagi membangun mimpi-mimpi yang tidak sesuai di awal, padahal selama ini saya sudah menghabiskan waktu dua tahun semenjak kelulusan S1. 

Sebenarnya apa yang saya cari? Bukankah tujuan hidup itu hanya mencari ridho Allah. Saya tau dan sekarang saya baru sampai pada keyakinan itu, setelah selama ini saya melanglang buana dan bermanuver. Selama ini saya hanya sering mendengar kalimat mencari ridho Allah, belum benar-benar memahaminya. Dan mencari ridho Allah itu sebenarnya mudah bukan? Salah satunya dengan tetap berada di sisi orang tua saya, setidaknya untuk saat ini, sebelum saya menikah, sebelum saya hidup bersama suami. 

Jalan ini sudah lama terbentang, hanya saja saya yang baru menyadarinya. Saya dari dulu bisa memilih pulang setelah lulus S1, dekat dengan orang tua, lanjut S2, dan mengajar di sekolah swasta. Hanya selama ini ego saya yang mendominasi atau terlalu menikmati hidup mandiri dan berbaur dengan berbagai budaya, mungkin.

Sekarang Allah beri kemudahan, saya haus mensyukuri. Selama ini mungkin itu yang kurang, terlalu melihat ke atas dan secara tidak sadar membandingkan diri dengan orang lain. Bahagia itu sederhana, terletak pada harap yang tidak terlalu tinggi, hanya perlu nikmati proses. Yang sudah terjadi juga tidak perlu disesali. Hikmahnya, dengan proses yang panjang, kamu mempunyai pengalaman yang luar biasa, yang tak semua orang miliki.

Kampung Halaman, 15 Januari 2019.





 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design