Kamis, 30 November 2017

Di Suatu Masa, Aku Balik Mengingat Masa Kecil

Aku masih bertanya kemana waktu kan membawaku
Meski ragu, ku tetap berjalan
Tetap ku langkahkan kaki menyusuri takdirNya
Barangkali memang di sana ada jawabnya

Egoku tak boleh bermain
Aku tak boleh merasa sendiri meski sebenarnya aku sendiri
Memang setelah dewasa, ada keputusan yang harus ku ambil sendiri tanpa melibatkan orang tua
Tapi diskusi adalah jalan yang lebih baik

Aku harus pandai membaca hal tersirat dari orang tua
Mungkin memang orang tua [ku] tidak akan berkata dengan gamblang, "Kamu harus ini, kamu harus itu."
Itu semua dilakukan demi anaknya, agar tak ada rasa sesal yang keluar dari mulutnya
Dan aku harus bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda

Oh Tuhan, ampuni aku
Ampuni segala keegoisanu ku yang lambat tersadar
Dan masih terus berulang
Ku coba ambil tantangan ini

Semoga ini jalan yang tepat Ya Allah
Dan memang jalan yang terbaik
Semoga selepas ini ada pelangi yang terbit
Bantu aku dalam menemukan jawabnya Ya Rab

Jangan pernah tinggalkan aku sendiri
Aku butuh panduanMu agar aku tak salah langkah.

Bandung, di Penghujung November
H-26

Minggu, 05 November 2017

Kata Psikolog Elly Risman

Nenek [ia menyebut dirinya nenek] itu masih tegap berjalan memasuki panggung. Sebuah spanduk besar terpampang di belakangnya, "Elly Risman, Psi." disertai dengan fotonya waktu berumur 40 tahunan (jika tebakan ku tak salah). Ia adalah psikolog kondang yang sangat senior.   Anehnya, terlalu awam dengan dunia psikolog sebelumnya, membuat ku baru mengenal namanya beberapa waktu sebelum hari H seminar.

Aku sudah bersimpati dengannya saat pertama kali ia memasuki panggung, tentu saja dengan cara berbusananya yang sopan, menampilkan kesan keibuan dan adat ketimuran. Ia berasal dari Aceh, namun agaknya ia menghabiskan hampir separuh hidupnya di luar kota kelahirannya. Alumnus UI ini sangat tegas berbicara, menampakkan kecerdasannya.

Pertama ia masuk, ia sudah mengimbau semua peserta seminar, "Bapak dan Ibuk sekalian ... dari wajahnya saya bisa lihat lo, Bapak dan Ibu orang pentingnya Bandung, punya jabatan dan gelar yang panjang di belakang namanya. Tapi hari ini saya ingin berbicara antar orang tua, jadi ditaro dulu jabatan dan gelarnya di samping. Boleh?" Tentunya semua peserta manut padanya. Ia bahkan tak sungkan-sungkan untuk menegur Ibu-Ibu yang ketahuan memvideokannya selama seminar, "Ibu sayang, sholehah ... di awal saya sudah bilang, saya tidak suka divideokan. Mata saya silau karena flashnya." Yang saya salut dari beliau adalah ia selalu melandaskan teori dan pandangannya pada Al Quran dan Hadist. Bahwa benar segala sesuatunya sudah diatur dalam Al Quran, termasuk pola pengsuhan anak.


Parenting Your Defiant Child, itulah tema parenting yang diangkat. Mau tau tentang apa isinya, berikut saya paparkan, hasil copas dari grup "Parenting With Elly Risman and Family", karena kebetulan topik ini sudah pernah di tulis beliau di grup pada akhir 2016.

Bijak menghadapi :Tantangan pengasuhan sehari hari
By: Elly Risman
 
Kali ini saya ingin mengajak anda para orangtua pembelajar untuk bersama menengok keseharian anak kita, dan kemudian untuk mengenali tantangan pengasuhan sehari hari dimana kita bergulat untuk membentuk anak anak kita menjadi anak anak yang seperti diperintahkan Allah yaitu anak anak yang utamanya menjadi penyembah Allah – Li ya’buduun.
“ Berapa usia anak anak anda kelas berapa mereka sekarang ?”
Saya ambillah contoh anak SD kelas rendah dulu, yaitu kelas -3. Dari sini nanti kita dengan mudah menaikan jejangnya dan juga memahami kemajemukan masalah yang kita hadapi sehari hari..
Mengenai jadwal ini sangat bergantung aturan di masing masing keluarga, jam masuk sekolah, jarak tempuh dan Kalau mau anak diajar dan dilatihkan sholat shubuh tepat waktu, berarti kita sudah coba membangunkan anak 10’ – 15’sebelum waktu sholat tiba, sekitar 03.50 atau pukul 04.00.
Kita buatlah jadwalnya sebagai berikut :
03.50 – 04.05 Bangun, siapa siap utk sholat
04.10 – 04.25 Sholat subuh, baca Qur’an atau bahas hal hal agama yg lainnya
4.25 - 6.30 Mandi siap siap, membantu tugas RT lainnya , sarapan . Mengulang pelajaran atau mengerjakan tugas RT atau bantu ibu atau bercengkrama dengan keluarga.
6.30 – 7.00 Berangkat sekolah
07.00 – 13.30 Disekolah
13.30 - 14.30 Pulang sekolah, sampai dirumah. Sangat tergantung jarak rumah – sekolah dan macet tidaknya jalan dan kendaraan yang digunakan.
Ini kurang lebih jadwal untuk kelas rendah. Semakin tinggi kelas anak semakin sore tibanya di rumah. Anak kelas 4-6 biasanya sampai dirumah berkisar atara jam 4- 5. Sementara anak SMP biasa sampai dirumah magrib atau bahkan malam hari. Apalagi kalau ada tugas berkelompok atau les tambahan . Riset kami menujukkan bahwa umumnya anak anak SD akan les 2-3 hari dalam seminggu, sementara anak SMP akan les lebih banyak hampir 5-6 hari dalam seminggu.
Orang tua yang terlalu cemas akan banyak hal dalam keberhasilam akademis anaknya dimasa depan atau yang terlalu sibuk sehingga sulit untuk punya waktu dengan anaknya akan mengatur jadwal les yang padat. Alasannya dari pada waktu digunakan tidak menentu lebih baik anaknya ikut ber macam macam les.
Marilah kita sadari berapa padatnya otak anak dengan berbagai tugas tersebut, berapa lelah jiwanya dan jerih badannya. Dini hari besoknya, dia akan menghadapi lagi hal yang sama. Terus dan terus dan terus…
Sudah lah capek, umumnya orang tua tak sanggup menerima bahasa tubuh yang menunjukkan kelelahan dan sikap yang agak malas malasan dan lama dalam menyelesaikan sesuatu yang disuruh. Apa lagi kalau berkilah, membantah, memprotes, berkata dengan nada tinggi, menolak melakukan atau mengerjakan sesuatu.
Wah bayangkanlah reaksi orang tua, apalagi mereka yang tadi seharian sudah habis tenaga dan emosinya terkuras diluar rumah, lepas dia bekerja atau sekedar aktifitas ‘killing time “saja.Memukul mungkin tak sembarang orang, tapi apa kabar dengan kata kata ?
Banyak yang tidak faham bahwa kata kata yang tajam walau dalam nada rendah menusuk kedalam jiwa, “verbal abuse” namanya. Kalau perasaan diabaikan bahkan di”iris dan dihunjam” juga atas nama kepuasan emosi ibu dan ayahnya, “emosional abuse” istilahnya.
Bagaimana anak tidak menumpuk lapisan emosi yang tinggi dalam dadanya yang sekali meledak bak air bah yang bobol tanggulnya.
Lupa, hal ini sudah berlangsung lama, sejak usia 6-7 tahun, atau mungkin lebih muda. Tak disadari hari telah berganti minggu , minggu berganti bulan. Bulan terlah beralih tahun dan tahun dan tahun….
Siapa yang mengerti beratnya beban fikir dan jiwa anak?. Dengan dalih masa depan yang masih sekitar 15 – 20 tahun lagi itu, sejak muda usia anak di pacu dan di dera untuk mempertahankan prestasinya sekuat yang dia bisa.. Bukan hanya badan, banyak yang tidak faham betapa jiwa anak dan remaja kita ini pun tak sempat bernafas.
Anda mungkin tidak percaya, bahwa 7 dari 15 pemerkosa Yuyun yg sempat saya temui bersama dengan dr Dewi Inong di penjara, menyatakan bahwa mereka menyimpan dendam pada ibunya: karena kata kata yang mereka terima terlalu menusukjiwa!.
Apa yang hilang dari pengasuhan ?
Banyak!.
1. Yang pertama adalah hilangnya kehangatan, kebersamaan dan
keceriaan anak anak dan remaja.
2. Cinta Belajar. Beban pelajaran dan waktu belajar yang padat kita kawatirkan telah mencederai semangat belajarnya. Mereka masih akan belajar belasan tahun lagi. Kalau sekarang sudah “bantat” karena lelah jiwa, dari mana akan diperolehnya semangat dan kecintaan menuntut ilmu dan untuk menyelesaikannya sampai jenjang yang tinggi?
3. Yang paling mahal yang hilang bila tak pandai pandai mensiasati adalah Dialog. Karena waktu yang sempit,pola bicara hanya perintah larangan dan komentar. Bagaimana akan menyampaikan pesan, membentuk kebiasan baik, menambah pengetahuan, memperluas wawasan dan yang paling penting bagaimana bisa mengetahui kebutuhan utama anak dan mendengar dan memahami perasaannya?
Percakapan berpusar hanya pada masalah akademik semata.
4. Banyak hal hal esensial yang harusnya dibahas diajarkan pada anak jadi tak kebagian waktu, apalagi kalau kedua orang tua sibuk : Berbagai aspek dalam penanaman aqidah yang lurus, ibadah yang benar ,amalan yg shalih dan akhlak mulia serta berbagai kisah kenabian dan para sahabat yang mulia tak sempat dilakukan.
5. Hal lainnya yang umumnya sungguh terabaikan adalah persiapan pra baligh dan keharusan bijak berteknologi.
Apa yang terjadi ?
Tanpa terasa oleh karena jadwal yang padat dan ortu yang sibuk, tahu tahu anak sudah pra remaja. Mereka sudah “ sexually active” sementara persiapan untuk baligh jauh dari memadai. Anak kurang memiliki berbagai pengetahuan dan ketrampilan hidup, padahal mereka adalah generasi Platinum yang hidup di era digital. Tiba tiba terasa kita memiliki banyak sekali masalah.
Karena beratnya beban hari hari yang dihadapi anak, mereka mencari kesenangan dengan atau melalui handphone, laptopnya, games dan berbagai fasilitas technology lainnya. Anak terpapar pada berbagai bentuk kriminalitas, narkoba, perjudian, berbagai bentuk kenakalan remaja lewat sosial media dan tentunya pornografi yang sudah sering sekali kita bahas di grup ini.
Kita menghadapi berbagai masalah perilaku yang luar biasa rumitnya, tak meyadari sebab musababnya karena merasa semua berjalan seperti biasanya dan kini bingung mencari solusinya.
Bagaimana sebaiknya ?
Berikut sekedar usulan saya bagaimana menghindari bila belum terjadi dan mengatasinya bila sudah terlanjur tidak sengaja.
1.Cukupkanlah kehangatan anak dan kelengketan jiwa ke jiwa dengan kedua orang tuanya . Penuhi bejana jiwa anak kita pada saat dia butuhkan dalam jumlah yang cukup oleh kedua orangtuanya.
2.Riset yang kami lakukan menunjukkan bahwa pasangan muda lupa merumuskan dan menyepakati tujuan pengasuhan anak anaknya Kacaunya arah pengasuhan anak adalah karena orang tua lupa merumuskan Tujuan Pengasuha dengan rinci, bukan hal hal yang umum dan generik seperti : Menjadikan anak shalih dan shaliha saja.
Ada tujuh Tujuan Pengasuhan yang kami sarankan berdasarkan riset kami .
1. Menjadi hamba Allah yang Taqwa, Imannya lurus, ibadahnya
benar dan baik serta akhlak nya mulia.
2. Diasuh dan disiapkan untuk menjadi calon suami dan istri
3. Dipersiapkan untuk menjadi ayah dan ibu
4. Dididik untuk menjadi ahli dalam bidangnya secara
professional
5. Disiapkan menjadi pendidik, terutama laki laki karena mereka
akan menjadi pendidik utama istri dan anak anaknya serta bila
perlu keluarganya.
6. Khusus untuk laki laki dipersiapkan untuk jadi pengayom bagi
kedua orang tua, keluarganya dan keluarga besarnya. Dia
terutama yang bertanggung jawab dari mengurus kedua orang
tuanya terutama kebutuhannya, ketika mereka tua dan sakit
serta mengurusi dan mengimami sholat jenazahnya.
7. Anak laki laki dan perempuan di asuh untuk juga bisa
bermanfaat bagi orang banyak.
Dengan adanya rumusan yang jelas tentang Tujuan Pengasuhan ini maka bisa dibuat kesepakatan antara suami istri dalam menjalaninya dan membuat rencana evaluasi serta bagaimana berbagi taggung jawab dalam pelaksanaannya.
Mengapa sering sekali terjadi kekacauan seperti diatas, karena mengasuh anak tidak punya tujuan tak terbangun prinsip yang jelas sehingga mudah latah atau hanyut dalam TREND, bagaimana orang sekitar mengasuh anaknya.
Kalau orang lain fokusnya hanya sukses akademis, yah kita gak perlu sama. Kita punya 6 tujuan lainnya yang harus kita capai, diuraikan dalam tahapan usia dan dibuatkan rencana bagaimana mencapainya. Itulah Pe Er anda berdua sepanjang kehidupan sampai anak dewasa!.
3.Selanjutnya adalah membuat rumusan tentang apa yang dibutuhkan berdasarkan usia untuk setiap aspek dari Tujuan Pengasuhan.
Misalnya untuk menjadikan keimanan anak lurus, ibadahnya baik dan akhlaknya mulia: Apa tugas ayah dan apa tugas ibu.Ayah menentukan garis besar nya lalu ayah dan ibu berbagi tugas dalam pelaksanaan kesehariannya. Tentulah dalam prakteknya bisa salah dan keliru atau terlupa, tapi karena ada tahapan evaluasi, maka semuanya bisa diluruskan kembali.
Bak kata pepatah : Sedikit demi sedikit lama lama menjadi bukit.
Orang tua terpaksa menjadi pembelajar sejati. Bukan anaknya saja yang dikirim kesekolah agama, ayah dan ibu mengaji untuk bisa menjadi guru pertama dan utama anaknya.
Yang penting dalam mengajarkan agama untuk anak bukan hanya sekedar mereka BISA tapi SUKA.
4.Persiapan menjadi suami istri, ayah dan ibu sama halnya dengan mengajarkan agama, di tentukan terlebih dahulu aspek apa yang diperlukan untuk menjadi suami dan istri serta ayah dan ibu yang baik. Kemudian diturunkan apa yang perlu dididikan sejak kecil. Umpama kue dibuat “bite size”, dalam bentuk kecil yang bisa dikunyah. Misalnya anak memperoleh kepercayaan diri dari kehangatan hubungan dan rasa percaya yang ditunjukkan oleh orang tuanya. Kalau dia 7 tahun sudah terbiasa mengurus diri sendiri dan bisa membantu adiknya .. dstnya
5.Begitu jugalah dengan pendidikan formal. Usahakanlah agar anak masuk sekolah usia sekitar 7 tahun . Diusia ini mereka secara fisik, perkembangan otak, emosi dan sosialnya lebih siap untuk belajar.
Berarti waktu kapan mulai masuk TKnya dihitung mundur.
Pilihan sekolah akan mengacu pada Tujuan Pengasuhan. Kita tak akan membua anak kita habis tenaga dan waktunya hanya sukses untuk akademis semata, karena kita punya hal hal lain yang harus dicapai.
Mencari sekolah punya dua pilihan :
Misalnya untuk SD:
a. Mata pelajaran padat tapi waktu pendek, pulag 11.30 atau jam
b. Waktu belajar panjang tapi materi tidak berat sesuai dengan kemampuan jarak perhatian dan kapasitas otak anak. Kita ingin anak tidak terbebani tapi mendapatkan pendidikan yang patut bagi usianya.
Sebagai contoh ada sekolah yang kelas satu pulang jam 2, tapi sejak jam 11.30 anak punya kesepatan tidur satu jam. Diatas jam12,30 tidak ada lagi mata pelajaran yang berat. Atau sekolah lain pelajarannya seperti berikut ini . Senin : Komputer – PKN – Silat. Selasa : Renang – Perpustakaan (baca buku) – IPS. Rabu: Bahasa Inggris – Perpustakaan – Penjas dstnya.
Karena kita punya target pengasuhan, maka kita harus mencari sekolah yang tepat dan menunjang tercapainya tujuan pengasuhan kita.
Anak kita harus punya waktu untuk bercengkrama denga orang tua dan saudaranya, beribadah dengan benar dan baik, bermain yang menyenangkan dan tidur yang cukup.
Saya teringat kata kata bijak dari tokoh pendidikan Amerika : Neil Postman, yang sejak tahun 1982 an sudah meramalkan keadaan anak anak kita dalam bukunya The disappearance of childhood.
“Jangan kau cabut anakmu dari dunianya terlalu cepat, karena kau akan menemukan orang orag dewasa yang ke kanak kanakan!”
Bukankah sudah banyak kita temukan hal serupa ?
Semoga tak terjadi pada anak kita.
Yuk kita hadapi dan atasi semua tantangan dalam pengasuhan anak anak kita ini . semoga Allah mudahkan dan sukseskan kita menghasilkan generasi yang tangguh dan membahagiakan dunia dan akhirat.
Selamat berjuang.
Minggu tengah malam, 4 Desember 2016.
Elly Risman




Tentang Bu Ifa



Aku mengenalnya sebagai partner mengajar di kelas, hanya dalam kurun waktu kurang lebih 3 bulan. Tapi dalam waktu singkat itu aku sudah bisa mengenal karekternya. Betapa aku mengagumi Bu Ifa, attitudenya, skillnya, dan aku belajar banyak darinya. Untuk itu aku ingin mengabadikannya di blog ini. Maksud hati biar tidak hanya aku yang belajar darinya.

Masya Allah. Ia adalah perempuan yang cerdas, lahir dan batin menurutku. Sebelum aku berbicara lebih jauh perihal kelebihan-kelebihan Bu Ifa, aku akan bererita dulu ihwal perkenalanku dengannya. Aku dipartnerkan dengannya tersebab aku diterima sebaai guru di salah satu sekolah bilingual school di Kota Bandung. Cerita bisa mengajar di sekolah ini pun, berawal dari 'ketersesatan', tersesat yang indah. Kenapa aku bilang tersesat? Ya, karena tujuan utama ku selepas kuliah S1 bukanlah bekerja, tetapi melanjutkan pendidikan lagi.

Oke, baiklah. Back to Bu Ifa. Aku terdiam saat pertama kali sampai di pintu kelasnya, dia menyambut ramah dan sedikit berbasa-basi langsung menyuruh ku duduk di karpet, bergabung dengannya yang saat itu ia sedang memimpin anak-anak mengaji. Aku masih terdiam dan hanya bisa memperhatikannya. Setelah anak-anak mengaji dan waktunya literasi (membaca buku), dia mengajak ku duduk di kursi. Kursi ini adalah kursi partnernya yang sedang cuti melahirkan dan yang akan aku gantikan.

Bu Ifa bertanya lebih lanjut kepada ku, aku lupa pertanyaan apa yang dilontarkan Bu Ifa pertma kali. Yang jelas saat itu aku merasa canggung. Aku terlalu excited bisa diterima di sekolah ini, jadi aku masih membaca lingkungannya, membaca manajemen kelasnya yang unik, membaca para gurunya yang cerdas dan berwawasan global, dan membaca semuanya. Bukankah wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. juga menyuruh kita membaca. Untuk itulah aku mencoba membaca agar aku bisa beradaptasi di sini. 

Secara umum Bu Ifa bertanya tentang identitas diriku dan pastinya segala sesuatu tantang Padang (pertanyaan yang selalu aku dapatkan dimana pun itu :D). Aku menjelaskannya dengan senang hati, namun aku tak banyak bertanya tentang Bu Ifa. Aku terlalu takjub dengan caranya bertanya, tak pernah lepas dari senyum dan bahasanya halus. Pelajaran pertama yang bisa aku ambil dari hasil membacaku: friendly and easy going.  

Mungkin terlalu berlebihan atau ini sesuatu hal yang biasa, setiap orang baru pasti melakukan itu (ramah). Tapi bahasa tulisan tak cukup menggambarkan, sebab dibaca dengan hati secara langsung. Dan ini diakui semua orang di sekolah itu, tak hanya aku yang menilai Bu Ifa begeur. Aku yang baru masuk ke sekolah itu selalu dipahami dan dimengerti Bu Ifa bahwa, aku masih banyak belajar. Aku masih ingat (terasa geli jika aku mengingatnya sekarang), bagaimana aku merasa kikuk berdiri di hadapan murid-murid harus meajarkan Pendidikan Agama Islam (PAI) dan bahasa Arab, sesuatu tantangan yang luar biasa bagiku, apalagi mengajar murid-murid kelas rendah (level 3/ kelas 3) yang harus ekpresif. Aku terlalu datar untuk hal ini, Bu Ifa memahami dan ikut 'terjun' membantuku mengguide anak-anak dengan nyanyian 'sifat-sifat Allah' yang tak terlalu ku hafal liriknya. Maafkan Bu Ifa, kebodoran ku. :D Pelajaran kedua: memahami dan mengerti kondisi orang lain.

Aku tau Bu Ifa juga sibuk dan banyak pekerjaan. Tapi beliau tidak menampakkan hal itu dengan sengaja. Dan aku kadang yang tidak terlalu peka. Aku belum paham soal team teaching di sekolah ini, aku pikir tugas ku hanya sekedar mengajar PAI dan Arabic. Ternyata tidak, aku harus seperti Bu Ifa, membantu teman yang kesusahan. Jadi kalau Bu Ifa kesusahan, sudah seharusnya aku membantu. Tidak melulu jadi pembanca, setelah menjadi pembaca, pelajaran ketiga: mulai bergerak.

Bu Ifa kalau lagi jenuh suka menggambar komik, aku baru tau Bu Ifa punya skill dalam bidang ini. Dan ternyata dia juga penulis. Ia sudah menelurkan satu novel yang berjudul '28 Detik'.  Tabarakallah ... Aku tidak hanya menemukan partner dalam mengajar, aku juga merasa menemukan partner dalam menulis. Lalu meluncurlah obrolan kita tentang 'menulis'. Pelajaran ke empat dari Bu Ifa: tidak hanya attitudenya yang bagus, tapi skillnya juga.

Bu Ifa adalah lulusan International Program on Science Education (IPSE), bahasa inggrisnya jangan ditanya, lancar mengalir seperti air. Apalagi yang kurang, sudahlah cantik, attitudenya bagus, jago bikin komik dan menulis, dan pintar bahasa Inggris. Tapi Bu Ifa tidak pernah merasa lebih dengan hal itu. Pelajaran kelima: Tetaplah rendah hati!

Bu Ifa, thanks ... sudah mengajarkan banyak pelajaran hidu berharga kepadaku secara tidak langsung.
Salam buat Bu Ifa di Banyuwangi yang kini sudah berkeluarga.

Bandung, 11 November 2017.

Kamis, 02 November 2017

Antara Seni, Sedekah, dan Memperkenalkan Permainan Tradisional pada Anak



Ceritanya saya berkunjung ke pasar pagi di dekat kosan, ini aktivitas mingguan yang suka saya lakukan. Biasanya setiap minggu pagi, taman di dekat kosan disulap menjadi pasar. Belanja sayuran, cemilan, pakaian, atau perlengkapan harian, cukup di sini. 

Saya ke sini sekedar untuk membeli cemilan. Namun hari itu ada yang unik saya temukan. Setelah saya berkeliling, di sebelah 'tukang cilok', saya menemukan seorang anak sedang menunggui barang dagangan.Yang ia jual bukanlah makanan, pakaian, atau buku seperti penjual lainnya. Namun beberapa handmade yang mempunyai nilai estetika. Seperti di gambar ini salah satunya.



Saya beli satu, sebab handmade yang tertata rapi beralas di atas karung itu menarik perhatian saya. Saya coba tanya harganya, ternyata tak begitu mahal, yang paling besar seperti di atas dihargai Rp 10.000,-  dan yag kecil Rp 3.000,-. Padahal saya membayangkan membuatnya sangat rumit. Saya langsung saja merogoh kocek dan tidak tega untuk menawar. Kalau dipikir, saya tidak terlalu butuh barang ini, tapi ada 3 hal yang memutuskan saya untuk membeli barang ini. 3 hal itu akan saya jelaskan nanti.

Saya tanya anaknya, siapa yang membuat semua ini. Dia jawab, bapak. Dan saya tanya lagi, apakah ia berjualan sendirian, ternyata tidak, dia berjualan bersama bapaknya, hanya saja bapaknya tidak di tempat saat itu.

3 hal tadi yang membuat saya memutuskan membeli handmade tersebut dan dapat kita jadikan pelajaran adalah:

1. Bernilai seni tinggi. Itu adalah barang bernilai seni tinggi menurut saya. Sebab saya belum pernah menemukan handmade seperti itu sebelumnya. Selain itu menggunakan bahan-bahan yang didaur ulang.

2. Sedekah. Ketika saya tanya harga dan saya langsung bayar, tidak terpikir untuk menawar adalah karena saya tidak tega melihat penjualnya. Mungkin saja dari hasil handmade ini, Ayahnya menyekolahkan anak tersebut.

3. Mempekenalkan permainan tradisional pada anak. Saya memang belum punya anak. Tapi handmade ini nantinya mau saya berikan kepada sepupu saya yang masih kecil, jadi saya berniat dengan hal ini kebiasan ngegamenya di gadget jadi berkurang, teralihkan pada permainan tradisional ini.

Simple saja sih ajakan saya, mari memperkenalkan permainan tradisional lagi pada anak! Semoga postingan ini bermanfaat. :)



 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design