Sabtu, 28 Februari 2015

Cintaku di Kedai Cendol



Hello blogger, setelah beberapa hari yang lalu saya memposting cerpen jadul saya yang berjudul 'Gila bola', maka kali ini saya akan kembali memposting cerpen jadul saya yang lainnya. Happy Reading! :)
================================================================
Sumber Gambar: novayatsukachangijo.wordpress.com
          Femi cendol. Begitulah teman-teman biasa memanggilku. Sebenarnya namaku Femi Fatrisa. Tapi karena aku suka minum cendol mereka jadi memanggilku dengan sebutan itu, dan karena cendol itu juga aku menemukan cintaku.
***
            Siang itu, udara lagi tidak bersahabat. Matahari begitu semangatnya menyinari bumi, sampai-sampai tubuhku mendidih karna kepanasan. Aku jadi tidak betah berdiam diri di kelas. Ditambah lagi pelajaran matematika, pelajaran yang membosankan bagiku. Walaupun Bu Sri guru yang killer, tetap saja kami tidak memperhatikan. Seperti teman sebangkuku sekaligus sahabatku Febi. Dari tadi ia asik mengutak-atik hapenya, sedangkan teman-temanku yang lain pada ngerumpi. Mereka asik dengan kesibukan masing-masing.
            Seketika aku teringat es cendol Pak Danar, es cendol langgananku. Aku tidak pernah absen membelinya, rasanya benar-benar nikmat. Aku jadi nelan ludah sendiri kalau membayangkannya.
***
            Ya ampun… rame umat yang ngantri. Segitu larisnya es cendol Pak Danar, kalau tlat keluar bisa-bisa nggak kebagian. Kaum Adam juga tak mau kalah, masa mereka tidak mau berbagi tempat dengan kami kaum Hawa yang lemah ini.
            Terpaksa deh, aku berdesak-desakan dengan sejuta umat lain demi mendapatkan segelas cendol. Tapi usahaku tidak sia-sia, aku berhasil berada di barisan paling depan.
 Lagi asik-asiknya mesan ni, eh ada sesosok makhluk ganteng minta bantuanku. Dengan bahasa isyarat dia memintaku mengambilkan segelas cendol yang sudah disiapkan Pak Danar.
***
            Dengan mengendarai motor KA alias jalan kaki aku pulang sekolah bersama Febi. Walaupun cuaca panas aku masih sanggup berjalan. Begitulah setiap hari aku pulang sekolah.
            “Cendol, kenapa kamu senyum-senyum?” suara Febi membuyarkan lamunanku. “Oh… Feb, kamu tahu nggak cowok, mmh… namanya siapa ya, duh aku lupa lagi nanya namanya. Ciri-cirinya gini, dia ganteng, putih, tinggi, trus bodynya sixsen.” Jelasku pada Febi dengan semangat. “Sixpacksixsen.” Febi menyenggol bahuku. “Ya, pokoknya gitu deh.” Cetusku. “Aku nggak tahu, mangnya kenapa?” tanya Febi. “Nggak, nggak pa pa.” Aku masih belum mau memberi tahu Febi kalau aku suka cowok itu pada pandangan pertama. Dan sepertinya Febi juga tidak menyadarinya atau dia malas merespon jawabanku. Ah biarlah… untuk saat ini aku sembunyiin saja dulu.
            “Cendol, aku pulang dulu ya.” Rupanya Febi sudah sampai di gerbang rumahnya. “Oh ya, see you tomorrow.” Lambaiku.
            Keesokan harinya ketika akan masuk kelas, Febi memanggilku sambil berlari-lari. “Cendol… cendol… Femi cendol, aku tahu siapa cowok itu.” Dengan cepat kudekap mulut Febi. “Jangan keras-keras dong ngomongnya, bikin malu aja.” Langsung kutraik Febi kedalam kelas. “Atur nafas dulu. Uhh…ha…uh…ha…” kusuruh Febi menstabilkan detak jantungnya.
“Sekarang cerita namanya siapa?” desakku. “Namanya Mi…Mi…Mi…” Febi berlagak mengingat. “Ayo mi apa? Mie ayam, mie goreng, mie rebus…” kupotong pembicaraan Febi. “Kan aku jadi lupa, kamu sih…” Febi berfikir sejenak. “Oh iya, namanya Mico.” Kembali Febi melanjutkan kata-katanya.       “Darimana kamu tahu?” tanyaku terkesan tidak mempercayai omongan Febi. “kamu tahu kan Rina? Teman dekat rumahku.” Tanya Febi. “Ya, tahu tahu.” Jawabku. “Nah, Rina itu sekelas sama Mico. Dia itu kelas X1.” Jelas Febi. “Jadi kelasnya bersebelahan dengan kelas kita, kok aku nggak pernah lihat ya.” Aku merasa terkejut. “Ye… kamu aja nggak kenal dia sebelumnya.” Bantah Febi. “Trus trus kamu dapat info apa lagi?” aku jadi tak sabar mendengar cerita Febi selanjutnya. “Itu doang.” Dengan singkat Febi menjawab sambil menuju tempat duduknya. Aku menghampiri Febi.
            “Femi.” Panggil Febi. “Mmh…” aku menyahut tanpa memperhatikan Febi. “Kamu tahu nggak, aku juga suka sama seseorang.” Aku berhenti mengeluarkan buku dari dalam tas, lalu kuperhatikan kata-kata Febi selanjutnya.
            “Selamat pagi siswa.” Tiba-tiba Bu Sri masuk kelas. “Selamat pagi bu.” Dengan serempak kami menjawabnya. Kedatangan Bu Sri memutuskan pembicaraanku dengan Febi.
***
Dikedai cendol Pak Danar. “Feb, siapa sih orang yang kamu suka?” aku mulai membuka pembicaraan yang sempat terputus tadi, sebab aku masih penasaran siapa sih cowok yang ditaksir sahabatku ini. “Dia Adit teman SMP ku dulu, sekarang dia sekolah di SMA Dharma Bakti.” Dengan mudah Febi menjawab pertanyaanku. “Trus…” aku berharap Febi melanjutkan kata-katanya. “Aku nggak tahu harus gimana, yang jelas aku masih suka sama dia. Dan aku cukup sering ketemu dia, tapi aku tak berani mengatakan kalau aku suka sama dia. Aku bukan cewek yang aggressive, aku pemalu, aku orangnya tertutup.”
            Aku biarkan Febi menumpahkan isi hatinya yang mungkin selama ini selalu dipendamnya. “Bahkan untuk curhat sama orang lain aja aku susah, kamulah orang pertama yang aku beri tahu tentang perasaanku. Selama ini aku selalu memendamnya.”  Febi melanjutkan kata-katanya.
            “Kita sama Feb. Aku juga seperti itu, makanya aku cocok berteman sama kamu. Sehingga aku merasa kamulah sahabatku. Kamu mau tahu ngggak Feb, dimana aku bertemu Mico?” aku mencoba mencairkan suasana kembali. “Dimana?” Febi langsung penasaran. “Dikedai cendol ini.” Jawabku sambil menunjuk meja.
 “Oh miss cendol, suka makan cendol, ketemu cinta dikedai cendol juga. Ha ha ha…” Febi menertawakanku. “Eh, tapi aku nggak pernah bilang tu, aku suka sama dia. Darimana kamu tahu?” tanyaku. “Kita kan sahabat.” Jawab Febi.
            “By the way, mana ya orangnya?” kepalaku celingak-celinguk lihat kiri-kanan, muka belakang. “Dia nggak seperti kamu kali, tiap hari beli cendol.” Febi mengingatkan kebiasaanku.
            Seminggu sudah berselang sejak percakapanku dengan Febi, sejak saat itu aku tidak pernah membahas tentang Mico begitu juga dengan Febi, dia tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang Adit.
            Hari-hariku berjalan seperti biasa. Pergi sekolah dan pulang sekolah jalan kaki. Tidak ada yang berubah kecuali perasaanku. Sesekali aku curi-curi pandang pada Mico. Dan ketika aku bertemu Mico, jantungku selalu berdetak kencang, darahku seakan berhenti mengalir, aku tidak berani memandang matanya. Oh tuhan tolonglah hambamu ini. Begitulah ratapku dalam hati.
            Febi pernah bertanya padaku, waktu perjalanan pulang sekolah. “Cendol, gimana?” begitulah Febi membuka pembicaraan denganku. “Gimana apanya?” aku berlagak tak mengerti. “Kamu dengan Mico.” Febi memperjelas kata-katanya. “Aku dengan Mico. Kamu nanyanya kayak aku punya hubungan aja dengan Mico, orang aja nggak kenal.” Aku menjawab dengan santai. “Justru itu, setidaknya kamu harus kenal Mico, kamu kan suka sama dia.” Kata Febi. “Kamu sendiri gimana?” aku balik nanya Febi. “Aku beda Fem, aku udah kenal dengan Adit, aku Cuma butuh waktu untuk mengungkapkan isi hatiku. Sedangkan kamu kenal aja belum.” Ungkap Febi tak mau kalah.
            “Habis gimana Feb. Aku juga pemalu seperti kamu.” Aku menarik nafas dalam lalu terdiam sejenak. “Biarlah Feb, semua berjalan seiring bergulirnya waktu.” Kataku.
            “Terserah kamu deh.” Sepertinya Febi tidak mau membantah kata-kataku. Mungkin dia juga merasakan hal yang sama denganku, tidak bisa memperjuangkan cinta.
***
            Hari ini aku kerumah Febi. Kami mau mengerjakan tugas kelompok dari bu Sri. Pelajaran trigonometri ini cukup susah bagi kami. Kami terpaksa mengerjakannya, kalau tidak bisa mati berdiri kami didepan kelas.
            “Fem kamu udah tahu belum kabar terbaru?” tiba-tiba Febi bertanya padaku dengan mimik yang sangat serius. “Kabar apa?” aku menanggapinya sambil menyelesaikan soal yang terakhir. “Tapi kamu janji ya, nggak bakalan marah.” Kali ini bukan wajah Febi saja yang serius, tapi kata-katanya juga. “Aku janji. Tapi apa dulu beritanya?” aku menjawab antara rasa ragu dan ingin tahu. “Mico… Mico udah jadian sama Risa.” Febi menjawab dengan pelan.
            Darahku berdesir mendengarnya. Serasa disambar petir disiang bolong. Aku tak mampu berkata-kata lagi. “Fem, kamu nggak pa pa kan?” aku tak mampu mendengar kata-kata Febi lagi. Pikiranku menerawang pada Mico, tanganku mengemasi buku matematika kedalam tas. Aku tak peduli lagi dengan pr matematika, aku tak peduli kalau dihukum Bu Sri.

Selasa, 24 Februari 2015

Gila Bola




Kali ini saya kembali memposting cerpen jadul saya, yang telah saya janjikan sebelumnya. Sebuah cerpen yang sangat pendek dengan bahasa yang ringan. Semoga dapat diambil manfaatnya. :)
 ==============================================================

            Abel memandangi kalender yang terpampang di dinding. Matanya dengan seksama memperhatikan deretan angka-angka di kalender itu. Jarinya menunjuk tanggal enam juni.
“Lima hari lagi kita ujian.” Terang Sisil. “Bukan… lima hari lagi tu piala dunia.” Abel membantah kata Sisil sambil berjalan meninggalkan kelas. “Jadi lo ngitungin hari buat piala dunia?” Sisil memperjelas kata-katanya. “Yo i. Gue perlu persiapan snack yang banyak ni buat nonton bola.” Jawab Abel sambil browsing di hp. “Lo nggak belajar buat ujian?” Sisil kembali nanya. “Ah gampang, ujian kan lima hari lagi.” Abel menjawab dengan santai tanpa memperhatikan Sisil. Sedangkan Sisil hanya bisa menghela nafas melihat kelakuan sahabatnya yang penggila bola ini.
            Tiga hari menjelang ujian, Sisil mengunjungi rumah Abel. Dia mau ngajakin Abel untuk membahas kisi-kisi soal kimia yang akan di ujikan nanti. “Abel, belajar bareng yuk!” ajak Sisil ketika dilihatnya Abel keluar dari rumahnya. “Gue rencananya mau shopping ni Sil, gue mo beli baju bola, aksesoris bola, mmh….trus pa lagi ya, pokoknya banyak deh. Lo mo ikut nggak Sil?” Abel malah ngajakin Sisil belanja. “Nggak. Kalau gitu gue pulang aja.” Sisil meninggalkan Abel dengan perasaan kecewa, dan Abel hanya memandangi Sisil.
            Siang ini, Abel dan teman-teman penggila bolanya ngumpul dirumahnya. Mereka mau rencanain nonton bareng di rumah Abel nanti malam. “Wah… koleksi lo lengkap banget Bel.” Tiara kagum melihat foto pemain bola favorit Abel yang terpampang memenuhi dinding kamarnya. “Iya dong. Selain gue punya fotonya, gue juga punya bajunya. Messi…!!!” dengan bangga Abel memamerkan baju bola yang baru dibelinya. “By the wayFifa Word Cup sekarang lo dukung siapa Ra? kalau gue dukung Argentina, coz ada Messi yang ganteng.” Abel ngefans banget sama pemain yang satu ini. “Gue dukung Brazil, ada Kaka yang jago.”        Tiara juga mempromosikan pemain kebanggaannya. “Sama dong Ra, gue juga dukung Brazil.” Keyla si hitam manis juga ikutan nimbrung.
            Tiba-tiba hp Abel berdering, lagu waka-waka Shakira mengalun dengan merdu. Abel mengeluarkan hp dari sakunya, dan memencet tombol hijaunya. “Woi… kurcaci. Lo udah ngafal? jangan lupa lo, besok kita ujian.” Abel langsung menjauhkan hp dari telinganya mendengar teriakan Sisil dari seberang sana. “Iya, ya. Tenang aja, kan da e lo yang bantuin gue.” Abel berlanggak santai. “Enak aja lo. Eh, gue nggak bakal bantuin lo ya, kalau lo nggak berusaha.” Sisil langsung menutup hpnya.
* * *

            Jam menunjukan pukul 19:05, lima menit lagi piala dunia akan dimulai. Sementara Abel dan teman-temannya udah nongkrongin tv sehabis sholat magrib tadi.
“Bel ambil cemilan dong! ngnggak seru ni kalau ngnggak ada cemilan.” Pinta Rio yang hobi makan. “Oke. Gue ambil dulu dikulkas, tapi ntar lo panggil gue kalau udah mulai.” “Sip.” Abel dengan sigap menuju dapur. “Bel…Bel, cepatan udah mulai ni.” Panggil Rio. Abel langsung berlari membawa dua bungkus kacang. “Seru banget ni pembukaannya, siapa ni yang main sekarang ?” Tanya Keyla. “Afrika Selatan vs Meksiko.” Terang Tiara sambil makan kacang.
            Mereka sangat menikmati sekali pertandingan bola itu. Bahkan mereka sampai taruhan siapa yang akan menang, dan apabila jagoannya berhasil mencetak gol, mereka bersorak kegirangan. Hingga tak terasa mereka begadang sampai pagi. Dan Abel lupa kalau besok dia akan ujian kenaikan kelas.
* * *
Sumber Gambar: gitu-gitupingu.blogspot.com


            Mentari pagi menerpa wajah Abel yang cantik. Perlahan Abel membuka matanya, dan bangun dari tempat tidur. “Hah… gue kesiangan!!!” Abel terkejut ketika dilihatnya jam sudah menunjukan pukul tujuh teng teng. Dengan tergesa-gesa dia berangkat ke sekolah. Untung Abel nggak terlambat sampai di sekolah.
           “Sil, lo kok nggak bangunin gue sih? biasanyakan lo telfonin gue.” Abel berbicara dengan nafas tersengal-sengal sambil mengambil tempat duduk di belakang Sisil. “Siapa bilang gue nggak bangunin lo. Lo aja yang susah dibangunin, gue telfon berkali-kali nggak diangkat-angkat. Lo begadang ya tadi malam?” Sisil langsung menghujam Abel dengan pertanyaannya. “Iya, gue nonton bola sampe pagi. Sil… lo bantuin gue ya, gue lupa ngafal ni. Kalau hasil pertandingan tadi malam gue hafal. Afrika Selatan vs Meksiko satu sama, Uruguay vs prancis…..”
           “Bagus, lo jawab aja itu ntar.” Sisil langsung memotong perkataan Abel. Tiba-tiba pengawas masuk dan langsung membagikan soal ujian.
           Abel mulai membaca soal yang pertama. “Ni soalnya, reaksi ionisasi apaan sih? kalau ditanya pemain bola paling ganteng gue tau tu.” Abel menggerutu sendiri membaca soal. Dia lalu menggoyang kursi Sisil.
          “Sil, nomor satu jawabannya apa?” Sisil menoleh kebelakang. “Afrika Selatan.”
          “Lo jangan becanda dong Sil, sekali ini aja gue minta bantuan lo. Besok-besok gue belajar deh.” Abel memelas. Tapi Sisil hanya diam tak menanggapi Abel, bukannya Sisil pelit, tapi dia ingin sahabatnya itu berusaha sendiri.
          “Tet…” bel tanda waktu ujian habis berbunyi. “Duh, gimana ni. Jawaban gue banyak yang kosong.” Abel jadi panik, terpaksa ia mengumpulkan lembar jawaban yang hampir sebagian kosong.
         “Gimana tadi?” Sisil menghampiri Abel yang berdiri di luar kelas. Dengan muka kusut Abel menjawab. “Lo tega amat ma gue Sil… lagian piala dunianya ngapain mulai pas kita ujian sih.”
         “Bukan piala dunianya yang salah, tapi lo nya yang nggak belajar.”
         Abel hanya bisa menggaruk-garuk kepala mendengar ucapan Sisil. Dan Sisil berlalu meninggalkan Abel yang diam mematung.        


Minggu, 22 Februari 2015

Ukhti Fillah, Hargailah Fitrah Cinta!

Bukan menjadi orang yang 'sok' jual mahal,
karena perempuan itu emang mahal,
tak ternilai harganya!

Bukannya cuek,
karena memang belum waktunya.
Kelak, akan dicurahkan perhatian pada ia yang pantas mendapatkannya.

Ada banyak cara Tuhan menghadirkan cinta, tergantung bagaimana manusia menyikapinya.
Jika baik, maka baiklah cinta itu.
Dan jika buruk, maka buruklah cinta itu.

"Ya Allah, jangan butakan cintaku. Sesungguhnya cinta sejati hanya untuk Engkau."

Gambar: mencaripelindungkalbu.blogspot.com

Kamis, 12 Februari 2015

Pertemuan Pertama dengan Archimedes, Pertemuan Terakhir dengan ….



Awal Mula Saya Menyukai Fisika
            Siapa yang menyangka, saya bakalan jatuh hati pada pelajaran yang satu ini. Pelajaran yang sebagian besar tidak disukai teman-teman saya ketika SMP. Ya, saya mulai mengenal Fisika di SMP. Waktu itu, guru saya menerangkan pelajaran ini dengan sangat menyenangkan, sehingga saya tertarik untuk mempelajarinya. Guru saya, seorang perempuan muda, kala itu berkata, “Ibu akan memperkenalkan kalian dengan pacar Ibu!” Wow, excited sekali pikir saya. Saya kaget mendengarnya. Lalu Ibu itu berkata lagi, “Pacar Ibu yang satu ini bernama Archimedes.” Saya rasa mulai ada yang janggal.
“Di dalam Fisika, kalian akan banyak mempunyai pacar.” Katanya lagi.
“Ada Archimedes, ada Pascal, ada Newton, dan ….” Di sini saya baru mengerti, ternyata yang dimaksud Ibu itu adalah, ilmuwan-ilmuwan Fisika. Di dalam buku paket Fisika SMP kami memang diselipkan profil ilmuwan Fisika disetiap BABnya.
Mmmh… menarik juga cara Ibu ini menyampaikannya. Dia menyampaikan pelajaran dengan semangat dan berapi-api, saya jadi ikutan semangat mendengarnya. Bahkan, ketika teman saya bertanya, “Bu, untuk apa sih belajar Fisika itu?” Ibu itu dengan senang hati menjelaskan.
“Kamu suka main ke pantai?”
“Suka, Bu.”
“Kalau kamu main ke pantai suka pakai sandal atau high heels?”
“Ya, pakai sandal lah Bu, kan capek kalau pakai high heels.”
“Kenapa capek pakai high heels?”
“Ya … gak tahu Bu, karna tumitnya runcing kali Bu.”
“Nah itu, Pe sama dengan Ef per A. Tekanan akan semakin besar jika kamu pakai sepatu yang semakin kecil tumitnya.”
Jadi intinya, Ibu itu menjelaskan bahwa Fisika itu sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari. Contoh lainnya, jika kamu memahami hukum Fisika, kamu tidak akan memproduksi atau membuat ember yang bagian bawah atau alasnya lebih besar dari bagian atasnya. Sebab hal itu akan merugikanmu sendiri, embernya jadi berat saat diisi air, tidak ada yang beli, ember kamu jadi tidak laku, dan ujung-ujungnya kamu bangkrut. Coba saja kamu perhatikan, pasti semua ember bagian bawahnya lebih kecil dari bagian atasnya.  Itu alasanya supaya ember tersebut gak berat saat diisi air. Teman saya manggut-manggut, sementara  saya sudah bisa memahami hal ini sebelumnya.
Jujur, ketertarikan saya pada suatu mata pelajaran, berawal dari guru mata pelajaran tersebut. Jika gurunya pintar menerangkan pelajaran itu maka, saya akan mengerti. Dan jika sudah mengerti, tentunya saya akan menyenangi pelajaran itu. Begitu juga dengan Fisika ini, apa yang disampaikan gurunya langsung saya tangkap. Saya sering maju ke depan kelas untuk menyelesaikan soal-soal latihan, tak jarang nilai ulangan Fisika saya 10, bahkan saya sempat diikutsertakan olimpiade Fisika, tapi gak jadi karena guru pembimbingnya sibuk.
Ujung-ujungnya saya diberi pengayaan, yang diberi pengayaan hanya saya sendiri, sementara teman-teman yang lainnya belum. Ibu guru jadi mengenali saya, nama saya sering disebut, sehingga membuat teman-teman iri. Hal itu diketahui, saat Bu guru meminta saya dan teman-teman menuliskan tentang kritik dan saran terhadap dirinya. Di saat itulah teman saya menyampaikan protesnya bahwa, ia merasa si Ibu guru pilih kasih.
Arti Fisika Bagi Saya
Semenjak saat itu saya menyukai Fisika. Namun harus saya akui, kadar kesukaan saya sedikit berkurang, sebab ganti guru ketika akan naik kelas III SMP hingga SMA. Namun saya masih mengharapkan sesuatu yang lebih dari Fisika, hingga saya berniat untuk masuk jurusan Pendidikan Fisika ketika kuliah.
Hal itu nyatanya tidak terwujud.  Saya harus membayar mahal untuk hal itu, membetah-betahkan hati, menahan rindu untuk belajar Fisika. Tiga bulan kuliah di jurusan PGSD, benar-benar membuat saya kering kerontang, dijejali teori terus-menerus tanpa saya temui pelajaran hitungan. Pernah suatu ketika terbesit dalam hati saya untuk pindah ke jurusan Pendidikan Fisika.  Memang sebelumnya saya tidak berniat masuk jurusan PGSD, kurang menantang ungkap saya kala itu. Sekedar membesarkan hati, S2 saya nanti di jurusan Fisika. Wallahu a’lam. Saya tak yakin, niat ini akan benar-benar saya lakukan.
Dan sekarang, salah satu alasan saya masuk kosentrasi IPA adalah ingin bertemu Fisika, saya rindu belajar tentang tata surya, sebab hal itu menyadarkan saya, betapa Allah itu Maha Besar.

Nelvianti. Serang, 12 Februari 2015
*Tulisan ini sebagai tugas Mata Kuliah Konsep Dasar Fisika

Pemenang Tanoto Foundation Blog Competition, Pentingnya Guru Menulis

Tidak ada salahnya kalinya, saya posting hasil tulisan saya yang menjadi pemenang  Blog Competition Tanoto, Pentingnya Guru Menulis. Bukan mau maksud pamer atau unjuk diri, tapi sebagai bahan dokumentasi saja, dan syukur-syukur dapat diambil manfaatnya bagi pembaca sekalian. :-)

------------------------------------------------------------------------------------------------------

Judul : Ku Tebar Inspirasi Lewat Tulisan

Ketika Tanoto Foundation menyelenggarakan Blog Competition, “Pentingnya Guru Menulis”, saya mulai mengingat-ngingat, kira-kira siapa guru yang cocok saya tuliskan pengalamannya di sini. Hal ini tidak mudah, pasalnya tidak banyak guru yang suka menulis, sementara Tanoto Foundation Blog Competition menginginkan tulisan yang berupa reportase atau pengalaman dan itu artinya harus ada contoh nyata. Dan saya baru teringat seorang guru yang memberikan saya contoh begitu nyata.
Adalah Erma Bahar, guru saya ketika SMA. Tak banyak yang mengenal sosoknya di bidang menulis. Ia hanya dikenal sebagai PNS, ia hanya dikenal sebagai guru Sejarah di SMA saya, bahkan di kalangan teman-teman saya, Bu Erma dikenal dengan guru yang ‘agak’ galak. Namun, saya sendiri mempunyai penilaian berbeda terhadapnya. Saya tahu bahwa, di balik sikapnya yang disiplin dan terkesan galak, Bu Erma menebar berjuta inspirasi. Inspirasi tersebut ia tebarkan melalui prestasinya di bidang menulis.
1416439099660306805
Erma Bahar, guru yang hobi menulis (dok.pri)
Saya sendiri baru menyadari hal ini setelah mengikuti Lomba Cerdas Budaya yang dibimbing Bu Erma langsung. Di situ saya mulai mengenal sosok Bu Erma, saya mendapati bahwa, guru saya ketika SMA ini mempunyai kecintaan yang sangat besar terhadap dunia menulis. Bu Erma ternyata sering mengikuti lomba menulis mulai dari tingkat lokal hingga tingkat nasional, dan tak jarang menjadi finalis. Ia pernah menjadi finalis lomba RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) tingkat Sumatera Barat tahun 2007, dan finalis lomba inovatif teacher dalam menulis PTK (Penelitian Tindakan Kelas) tingkat nasional tahun 2008. Tidak hanya menulis di bidang non fiksi, Bu Erma juga menulis di bidang fiksi. Ketertarikannya di bidang fiksi dibuktikan dengan partisipasinya pada Lomba menulis cerpen antar guru SMA tingkat nasional tahun 2010. Tak semua tulisannya yang diikuti lomba meraih juara, kadang Bu Erma ‘harus’ puas sebagai peserta saja. Baginya tak masalah, yang penting sudah ada kemauan untuk menulis, ungkapnya.
Banyak pelajaran yang saya ambil dari Bu Erma, tidak hanya tentang kemauannya untuk menulis, juga tentang dirinya yang ‘haus’ prestasi, tapi lebih dari itu, caranya menghargai seseorang! Bu Erma pernah meminta saya untuk mengomentari tulisannya yang akan diikutsertakan dalam sebuah lomba. Saya sendiri kaget, karena saya rasanya belum pantas mengomentari tulisan guru saya sendiri yang menurut saya mempunyai kemampuan di atas saya. Tapi dengan tulus Bu Erma menyampaikan bahwa, ia bisa mengambil pelajaran dari siapa saja, tidak hanya dari orang-orang tertentu, tapi dari setiap orang. Selalu ada pelajaran yang bisa diambil dari setiap orang, katanya. Bagi saya, ini sebuah motivasi yang luar biasa, ketika saya merasa [belum] mempunyai kemampuan untuk menulis, saya justru mendapat kepercayaan dari seorang guru. Seorang guru yang meyakinkan saya bahwa, setiap orang mempunyai kemampuan untuk menulis, yang diperlukan hanyalah menggali potensi diri terus-menerus. Mendengar kata-kata ini, semangat saya langsung terlecut, percaya diri saya tumbuh, dan saya yakin bahwa saya juga bisa!
Saya yang dulu cuma bisa bermimpi menerbitkan tulisan tanpa aksi─karena memang tidak tahu jalan yang harus ditempuh─bagai menemukan oase di tengah padang pasir yang tandus. Sejak saat itu, saya punya ‘teman’ yang bisa sdiajak kompromi untuk memberikan perubahan lewat tulisan. Tulisan pertama saya terbit di Koran Singgalang, disusul tulisan saya berikutnya, dan berikutnya lagi. Dengan bangga saya tunjukan kepada Bu Erma tulisan saya yang memuat profil dirinya. Bu Erma begitu terharu, dan terus menyemangati saya untuk menulis. Bagi saya, ini bukanlah pandangan yang subjektif, tapi pandangan yang objektif, karena teman-teman saya yang lain terpacu juga semangatnya untuk menulis. Kami berpacu-pacu menerbitkan lebih banyak tulisan di Koran, dan hal ini menjadi perhatian guru-guru kami yang lain di sekolah, bahkan sempat menjadi pusat perhatian di sekolah.
14164401781672035731
Akhirnya tulisan saya terbit di koran, tulisan yang memuat profil Bu Erma (dok.pri)
Setiap minggu kami selalu berebut Koran di kantor, melihat kalau-kalau ada tulisan kami yang dimuat. Tercatat, saya, dan lima orang teman saya berhasil menembus Koran lokal tersebut. Kami bebas menuliskan apa saja di Koran, mulai dari berita sekolah hingga cerita seputar remaja. Kami bisa menyalurkan ekspresi, kami bisa berkomentar dan menyampaikan kritik serta saran lewat tulisan. Dengan menulis kami dapat mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat, dan kami bisa memberikan inspirasi kepada anak-anak lain. Saya jadi berpikir, seandainya semua guru mempunyai kemauan untuk menulis seperti ini, pasti lebih banyak murid yang terinspirasi.
141644087191819494
Ketika SMA saya dan teman-teman menjadi reporter sekolah di koran (dok.pri)
Pada kenyataannya menulis memberikan banyak manfaat, baik buat diri sendiri maupun buat orang lain. Sebagaimana yang dikatakan Ayunis, salah satu teman saya yang tulisan pernah terbit di Koran.“Ternyata menulis itu banyak manfaatnya, selain berbagi ilmu, juga bisa menambah uang saku.” Ungkapnya sambil terkekeh. Lain lagi yang dikatakan Noval, adik kelas saya yang tulisannya juga ‘menyusul’ terbit di Koran, menurutnya, semenjak ia disibukan dengan dunia menulis, ia tidak pernah lagi ke warnet untuk bermain game, malahan sekarang ia ke warnet sibuk mengirim email agar tulisannya tidak lewat deadline.

14164428102053528226
Teman-teman semasa menjadi reporter sekolah di Koran Singgalang (dok.pri)
Bu Erma memang bagai oase yang memberikan kesejukan kepada anak-anak didiknya di tengah buruknya pengaruh lingkungan. Ia adalah contoh nyata guru yang kreatif, semangatnya selalu menggebu-gebu tak terhalang oleh usianya, ia terus menebar manfaat lewat tulisan walau [mungkin] dampaknya kecil bagi sebagian orang, tapi hal yang kecil itu mampu membawa perubahan yang besar. Ia merupakan salah satu sosok yang mengantarkan saya hingga bisa seperti sekarang ini. Walaupun saya belum menjadi penulis yang sesungguhnya, tapi setidaknya saya sudah menjadikan menulis sebagai kebutuhan pribadi saya. Dan saya bertekad akan menyalurkan semangat menulis ini ke seluruh orang, terutama ke anak murid saya seperti yang dilakukan Bu Erma. Ini langkah awal saya sebagai calon guru SD. Dan beruntungnya, saya didukung dengan lingkungan yang kondusif. Di kampus, saya banyak bertemu orang-orang hebat, salah satunya dosen saya, Pak Tatang Suratno yang menjadi salah satu pemateri di acara ‘Nangkring Bareng Tanoto Foundation’. Saya berharap nanti bisa bertemu dengan Bapak Sukanto Tanoto, saya akan mengucapkan terima kasih atas peran sertanya di dunia pendidikan. Indonesia beruntung masih mempunyai orang-orang yang sangat peduli dengan pendidikan.
Mengenai acara ‘Nangkring Bareng Tanoto Foundation’, saya sudah berniat akan ikut karena temanya menarik, ‘Guru Kreatif, Anak Aktif’, tapi jarak yang tidak memungkinkan membuat saya harus melepas seminar yang sangat bermanfaat ini. Tema seminar ini sesuai dengan apa yang dilakukan Bu Erma, dimana ketika Bu Erma menjadi guru yang kreatif, anak-anaknya bertindak lebih aktif.
Sebenarnya untuk menjadi seseorang yang ‘bisa’ menulis itu gampang, yang penting punya kemauan. Berikut ada beberapa tips yang saya rangkum dari pengalaman sendiri dan pengalamn orang-orang sekitar agar dapat menumbuhkan kecintaan terhadap dunia tulis-menulis:
  1. Rajin membaca buku. Baca buku jenis apa saja, karena dengan rajin membaca kita mempunyai banyak kosa kata dan mengetahui berbagai macam gaya menulis seseorang. Dan biasanya orang yang suka menulis, suka juga membaca. Untuk orang tua dan guru sering-seringlah membacakan cerita kepada anak. Pengalaman pribadi, dulu ketika SD saya tertarik membaca karena sering mendengar guru saya membacakan cerita dengan intonasi yang pas.

  2. Bergaulah dengan lingkungan yang kondusif, maksudnya bergabung dengan orang-orang yang suka menulis. Di media sosial banyak sekali bertebaran grup-grup menulis yang membuka diri bagi siapa saja yang mau belajar menulis dengan baik dan benar, yang diperlukan hanyalah usaha aktif untuk mencari dan menyambangi grup-grup menulis tersebut.

  3. Mulailah menulis, jangan katakan nanti! Tulis apa saja yang berseliweran di kepala. Kalau tulisannya amburadul, biarkan saja dulu. Tulisan tersebut nanti akan berproses, semakin sering kita menulis, akan semakin baik tulisan kita.
Itulah tips-tips singkat yang dapat saya berikan, semoga tips tersebut bermanfaat, dan saya berharap semakin banyak orang yang menulis untuk perubahan. Saya tutup tulisan ini dengan quotes:
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ?
Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin,
akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
Pramoedya Ananta Toer

Rabu, 11 Februari 2015

Betapa Aku Dikelilingi Orang-Orang Hebat

Masih pantaskah aku berkata lelah, ternyata ada yang lebih lelah memperjuangkan hidup dariku? Tulisan ini adalah hasil refleksi dari orang-orang hebat yang ku temui selama perjalanan ini.

Ada dua kisah yang akan saya ceritakan di sini dari sekian banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan. Sebuah pelajaran hidup yang nyata, yang membuat saya malu, ketika saya harus mengeluh, ketika saya mengatakan 'capek', ketika saya merasa putus asa, dan perasaan melow lainnya.

Seperti yang saya bilang di postingan yang sudah-sudah bahwa, saya adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari siapa saja, termasuk dari orang yang baru saya temui. Ya, beberapa waktu lalu, saya bertemu dnegan seorang Teteh di Rumah Quran. Teteh itu baru beberapa hari saya kenal, tapi cerita-cerita perjuangan telah mengalir lancar dari mulutnya. Tentunya cerita perjuangan hidup Teteh itu sendiri. O ya, saya juga termasuk orang yang tidak mudah dekat dengan orang lain, tetapi ketika orang tersebut mengajak saya untuk mengobrol duluan, maka saya bisa menjadi teman mengobrol yang asyik, seperti dengan Teteh ini. Sifatnya yang welcome membuat saya nyaman mendengar ceritanya.

Awalnya dia memperkenal diri, dimana ia kuliah, dan darimana asalnya. Saya biasa aja mendengarnya ketika ia bilang kuliah di Banten, namun ia sendiri berasal dari Lampung. Ah, biasa saja, kata saya. Toh, banyak orang yang hidup merantau.

Tapi cerita luar biasa mulai saya dapatkan ketika ia mengatakan bahwa, ia membiayai kuliahnya sendiri. Bukan dengan beasiswa seperti yang saya dapatkan (ia bahkan tak pernah mendapatkan beasiswa), atau apa, tapi dengan berdagang / berwirausaha, mencoba berbisnis kecil-kecilan sendiri.

Awalnya, dia membiayai kuliahnya dengan bekerja di sebuah pabrik / PT. Beruntung dia mengambil kelas karyawan, yang jam kuliahnya cuma Sabtu-Minggu. Jadi Senin-Jumat bisa ia gunakan untuk bekerja. Gaji yang diperoleh jadi karyawan cukup lumayan katanya, bisa untuk membayar uang kuliahnya dan membiayai kebutuhan sehari-hari. Tapi... ya itu, 'gali lubang-tutup lubang', jawabnya terkekeh.

Pekerjaan menjadi karyawan pabrik hanya dua tahun ia lakoni, menginjak tahun ketiga kuliah, ia memilih hengkang, mulai membuka usaha sendiri. Karena pada dasarnya, Teteh ini tidak suka dengan pekerjaan yang terikat. Si Teteh mencoba untuk berjualan kerudung online, kripik pisang Lampung, dan barang-barang lainnya yang sekiranya laku di kalangan mahasiswa. Sembari berbisnis, si Teteh mencoba mendaftar menjadi karyawan toko atau memberikan privat yang tidak terlalu mengikat. Bahkan Teteh ini pun pernah menjadi sales. Agaknya segala jenis usaha sudah pernah ia coba, semua pintu rezeki sudah pernah ia ketuk, berpuluh-puluh surat lamaran telah ia coba layangkan hingga sekarang sampai di tingkat akhir kuliah ia bisa bertahan.

Jika dilihat sekilas, memang ini terlihat biasa saja. Memang banyak yang mahasiswa yang melakukan hal serupa. Tapi sungguh, ini tidak semudah yang dibayangkan ternyata, saya menyaksikan sendiri, bagaimana Teteh itu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, berpacu dengan waktu, menjemput rezeki.

Saya sendiri rasanya, belum tentu sanggup melakukan hal itu. Apalagi setelah saya tahu, Teteh itu berjuang di rantau sendirian sudah hampir 7 tahun, semenjak SMA. Si Teteh sengaja disekolahkan SMA di Banten oleh orang tuanya, dengan alasan menjauhkan pergaulan dari lingkungan rumah yang kurang begitu baik.

"Waktu SMA, Teteh masih dikirimi biaya sama orang tua, tapi menjelang kelulusan SMA, Teteh nyadar, gak mungkin Teteh menjadi beban orang tua terus. Orang tua Teteh udah tua, dan Teteh anak pertama." Ungkapnya.

Setelah tamat SMA, Teteh ini sempat kuliah di UNJ 2 tahun (hal ini baru saya ketahui belakangan). Kemudian, dengan alasan yang tidak disebutkan, si Teteh pindah ke salah satu kampus swasta yang ada di Cilegon, hingga sekarang menginjak tingkat akhir. Sekarang si Teteh mungkin lagi berjuang buat skripsinya, kita doakan saja, semoga Teteh ini sukses dan kisahnya dapat menginspirasi kita semua.

***

Kisah yang kedua, datang dari adik tingkat saya sendiri. Saya mendapat ceritanya, di saat saya benar-benar terpuruk. Allah memang selalu mempunyai banyak cara untuk membangkitkan semangat saya, memnbuat semangat itu membara dan berkobar lagi.

Cerita perjuangan dari adik tingkat, bagaimana ia bertahan hidup ketika uang beasiswa telat cair. Sebelumnya, saya jelaskan kondisi adik tingkat saya ini, kedua orang tuanya (maaf ) sudah bercerai, dan Ayahnya sudah menikah lagi, begitu juga dengan Ibunya. Ia mempunyai satu Kakak yang sudah berkeluarga, dan satu Kakak yang masih single, bekerja di sebuah pabrik. Jadi bisa dibayangkan, betapa ia tidak bisa berharap banyak untuk mendapatkan suntikan dana dari keluarganya.

Jadi, pada masa-masa awal kuliahnya, uang beasiswa sempat telat hingga 4 bulan. Di masa-masa itu ia benar-benar kesulitan, tak tahu lagi harus menutupi kekurangan darimana. Sementara ia harus makan, bayar kosan, dan sebagainya. Sebagai mahasiswa tingkat 1, tentu belum banyak pengalaman yang ia dapatkan, ibaratnya, 'medan' belum ia kuasai. Mau berwirausaha link gak ada, apalagi modal.

Satu-satunya cara yang ia lakukan adalah, menawarkan diri dari rumah ke rumah untuk memberikan les privat, barangkali ada orang tua yang membutuhkan tenaga pengajar untuk anaknya. Ia lalu mulai berjalan, ke luar dari kosan, berjalan kemana saja. Sasarannya terutama ke komplek perumahan di sekitar kosannya, dengan memberanikan diri, ia mengetuk pintu-pintu rumah penduduk yang mungkin baru dikenalnya beberapa bulan. Kebayang gak? Saya yakin gak semua orang bisa melakukannya, masih banyak yang dikalahkan rasa gengsi.

Nihil. Tak ada satu Ibu pun yang memberikan kesempatan. Ia harus berjalan lagi, kira-kira sudah 2 km jarak yang ditempuhnya. Itu di tengah hari yang terik, tenggorokan kering, sementara uang di tangan hanya Rp 2.000,-, mau dibelikan es? Langsung habis.

Akhirnya ia menawarkan diri ke Rumah Makan, entah apa yang ada dipikirannya saat itu, mungkin ada yang membutuhkan pelayan atau tukang cuci piring. Ternyata, juga tidak ada. Satu hari full ini ia lalui tanpa hasil apa-apa. Dan esok, ia berencana akan mengulanginya lagi. Beruntung, di hari terakhir ini ada Ibu yang anaknya bersedia diajari dengan bayaran Rp 50.000,-/bulan.

"Lumayan Teh, aku bisa bertahan." Katanya.

"Uang ini lebih besar, dari uang yang didapatkan Ayah ku sehari-hari. Ayah ku pedagang asongan aksesoris, mendorong gerobak dari 1 komplek ke komplek lain, kadang hanya laku 1 jepit rambut, Rp 3.000,-. Hanya cukup untuk membeli es. Aku gak tega harus minta uang ke Ayah Teh, aku udah bisa merasakn sulitnya mencari uang, walaupun itu hanya Rp 1.000,-." Imbuhnya lagi.

Benar-benar luar biasa, saya dibuat takjub. Ternyata dari sifatnya yang kelihatan happy di luar, tersimpan kisah perjuangan yang sangat luar biasa. Dan kisah ini belum tentu saya dapatkan jika saya tidak membuka diri dengannya.

Lalu sekarang, apa alasan saya untuk tidak bersyukur? Atas segala rahmat dan nikmat yang telah Allah berikan untuk saya. Betapa banyak inspirasi dan motivasi yang saya dapatkan. Betapa aku dikelilingi orang-orang hebat!

Saya yakin, cerita semacam ini banyak. Mungkin pembaca sekalian juga pernah merasakannya, tapi jarang menuliskannya. Sengaja saya tulis, semoga sepenggal kisah ini dapat membangkitkan semangat kita, membuat kita bersyukur, melihat tidak selalu ke atas.

#SalamMotivasi. :)

Selasa, 10 Februari 2015

Lomba Menulis Blog Berhadiah Uang Tunai Jutaan Rupiah

Kompetisi Penulisan Blog "Catatan Cinta Kebangsaan". Kompetisi ini adalah penulisan blog sesuai kreativitas peserta dengan tema “Mensyukuri Kebangsaan”. Dapatkan hadiah uang jutaan rupiah dan Voucher belanja Tees.


Lomba Menulis Blog

Mensyukuri Kebangsaan

Kompetisi Blog “Catatan Cinta Kebangsaan” adalah penulisan blog sesuai kreativitas peserta dengan tema “Mensyukuri Kebangsaan”. Kompetisi ini bertujuan untuk mendorong partisipasi kaum muda untuk mensyukuri apa yang ada di Indonesia. Dapat berupa cerita pengalaman rasa cintanya, menceritakan ide-ide solusi permasalahan bangsa, dan lain sebagainya yang masih terjangkau dengan tema catatan cinta kebangsaan.

 TEMA TULISAN : Mensyukuri Kebangsaan

MEKANISME
  •     Follow Instagram @kebangsaanORG dan like Facebook Page Kebangsaan
  •     Isi form pendaftaran di  : http://kebangsaan.org/pendaftaran-kompetisi-blog/
  •     Tulisan dipublikasikan di blog (wordpress, tumblr, blogspot, domain pribadi, dan lain-lain)
  •     Tulisan harus sesuai tema lomba, menggunakan bahasa Indonesia, dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya
  •     Panjang tulisan 400 – 1500 kata
  •     Tulisan bisa dilengkapi dengan foto, musik, animasi, hingga video
  •     Kirim link tulisan ke salah satu akun sosia media kebangsaan dan menggunakan hashtag #ceritacintakebangsaan #potretkebangsaan
  •     Tulisan yang dibuat harus original dan tidak mengandung SARA, jika mengutip wajib mencantumkan sumber/referensi
  •     Tulisan wajib diberikan label (tag) “CATATAN KEBANGSAAN”
  •     Boleh mengirimkan lebih dari satu tulisan
  •     Batas deadline hingga 6 Maret 2015, pengumuman pemenang tanggal 10 Maret 2014, dan penggambilan hadiah di Grand Launcing Kebangsaan pada tanggal 13 Maret 2015
  •     Pemenang berupa:
  •         Juara Pertama: Uang tunai Rp 2.500.000 + voucher Rp 500.000 di tees.co.id
  •         Juara Kedua: Rp 1.500.000 + voucher Rp 500.000 di tees.co.id
  •         Juara Ketiga: Rp 750.000 + voucher Rp 250.000 di tees.co.id

lomba menulis blog

Deadline hingga 6 Maret 2015.

Info lebih lanjut:
Web:  www.kebangsaan.org
FB : https://www.facebook.com/KebangsaanORG
 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design