Minggu, 27 April 2014

Catatan Singkat: Napak Tilas Gempita di Pulosari

Minggu kita napak tilas ke pulosari ya...

Sebuah sms masuk ke hp gue. Napak tilas? Ngapain? Pasti naik gunung! Emang udah ada persiapan? Ah, gue malas, gak biasa. Sebenarnya pengen sih tapi rada ragu, secara ini gunung. Gue kan belum pernah naik gunung, paling banter naik bukit, itupun waktu hiking ketika SMP. 

Alhasil dengan keraguan gue bilang ikut, tapi cuman 50 % . Abis itu gue konfirm lagi gak judi ikut. Eh, sebelum hari H gue langsung ditelfon.

“Pokoknya lo harus ikut! Kita gak naik gunung kok, cuma jalan-jalan doang!” suara Shinta langsung membangunkan gue. Padahal gue lagi enak-enaknya tidur.

“Oke… oke… gue ikut? Bawa apa aja?”

“Gak usah bawa apa-apa, bawa diri lo aja!” Shinta menutup telfon
***
Gue berangkat. Pake jeans plus sendal balet. Tadinya gue mau pake rok, tapi karena roknya gak matching sama baju, gue jadinya pake jeans aja.

Pas sampe di Untirta, gue kaget banget. Semua teman-teman pada pake sepatu cat dan bawa ransel coba. Gue doang yang dandan kayak mau ke Mall. Suci lebih parah lagi, pakai high heels, dan Izur pakai gamis. Astaga naga, gue dibohongin sama si Shinta! Bukan gue doang sih, tapi beberapa orang.

Percuma aja si Shinta kita omelin, sampe mulut kita-kita berbusa, dia cuman cengengesan doang. Akhirnya berangkatlah kita dengan satu mobil APV yang diisi oleh sembilan orang. Sedangkan yang lain pake motor─ada tiga motor.

dimulailah perjalanan ke Pulosari, Pandeglang, Banten.

Rencana awal berangkat pukul tujuh teng. Tapi karena ada beberapa hal, jadinya kita berangkat pukul setengah sembilang. Perjalanan 90 menit. Nyampe di lokasi pukul sepuluh. Kita kumpul sejenak untuk berdoa, setelah itu baru naik.

Gue udah sedikit was-was tuh pas mau naik, pasalnya gue terpaksa, mau gak mau gue harus ikut.

“Kita cuma sampai Curug kok.” Kata Shinta.

“Tenang aja… dekat kok.” Lanjutnya. 

Akhirnya gue pasrah. Naik sedikit demi sedikit. Perlahan-lahan menapaki batu, agar sepatu gue gak copot. 

Baru beberapa langkah, gue udah ngos-ngosan. 

“Udah, duduk dulu aja deh!” gue selonjoran di batu.

“Kenapa Nel, masih kuat?” tanya Shinta, antara cemas dan prihatin.

“Lo sih, bohongin gue! Udah gue bilang, gue gak mau naik gunung.” 

“Udah, sini pegangan ke tangan gue. Jangan sampai pingsan ya!” pintanya.

Gue ngelanjutin pendakian dengan posisi gue berada di paling akhir rombongan. Aduh, jalannya nanjak banget. Gue duduk lagi. Empat orang teman gue menunggui, sementara Shinta udah lanjut ke atas.

Gue benar-benar gak kuat ni, sampai gue mual. Muka gue pucat, keringat dingin bercucuran, dan badan gue menggigil. Tiba-tiba dingin banget. Gue langsung memakai jaket di tas─untung bawa jaket Gempita.

“Nelvi sampai mual tu, gimana?”

“Gue ada enervon C ni, buat nambah tenaga. Nelvi mau gak?” gue cuma bisa menggeleng, di saat seperti ini, gak bakalan ada yang bisa masuk ke mulut gue, kondisinya sama dengan mabuk naik bus ke Padang.

“Ada yang mau anterin Nelvi turun gak?”

“Masalahnya kalau turun, sama aja susahnya.” Teman gue berdebat di belakang.

“Nelvi, masih kuat gak?” Gue melambaikan tangan, gue mau turun aja, atau gak… tinggalin gue di sini.

“Ih, jangen geh, kasihan. Nanti kalau ada cowok yang naik gimana!”

Akhirnya mereka menemani. 

“Biasa itu, kalau pertama naik gunung wajar aja. Gak pa-pa, pelan-pelan aja! Mau istirahat 30 menit, kita temani kok.” Ah, kalian benar-benar sahabat yang baik. Guenya yang gak enak, ngerepotin.

Setelah dirasa kuat, gue ngajak mereka untuk lanjut. Pai menjelaskan, kalau naik gunung itu jalannya jangan bungkuk, harus tegak, biar gak gampang capek. Trus, kalau pernapasannya diatur, janganm boros. Gue menuruti, dan finally… gue sampai di curug walaupun terseok-seok. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Hah, gue menghabiskan waktu 90 menit untuk sampai curug!

Terbayar sudah capek gue dengan air terjun yang eksotis. Saatnya makan… abis itu foto-foto. Yang nyampai duluan mah, udah selesai mandi! Mereka prepare banget, bawa baju ganti. Gue cuma bawa jaket dan sebotol minuman doang, dan gue gak mandi.

Pukul satu kita turun lagi ke bawah, kita berselisih dengan beberapa orang yang mau naik─jam segini ternyata masih ada yang mau naik. 

Kita sampai di bawah pukul dua. Kita ngumpul lagi, dan evaluasi sebentar, membahas… Gempita kedepannya mau gimana. Pukul setengah empat kita pulang, dan nyampai di Serang pukul lima.

Over all, perjalanan ini menyenangkan walaupun di awal gue ngedumel, nyalah-nyalahin Shinta. Hehe…
Terima kasih untuk hari ini sahabat-sahabatku, you all are my family! :) Gempita... ganbatte! (y)

Serang, 27 April 2014.
*tulisan dengan EYD acak-adut, maklum...baru pulang, langsung nulis. So, tulis aja, apa yang ada di pikiran gue. *_^

Galeri Foto:
Sebelum berangkat pose dulu... :D
Parkir
Dan berdoa.
Mulai naik...
Naik...
Dan terus naik...
Ni siapa ya.. yang gandengan? :D
Di tengah perjalanan...
Ye... sampai!
Ada monyet nakal nih, dijewer aja! :D
Makan-makan...
At Curug
Hati-hati, licin!
Mana fotonya?
Di bawah rinai air :)
Pulang
Foto-foto yang lainnya menyusul....

Sabtu, 19 April 2014

Seminar Nasional Pembelajaran Kreatif

Mr. Ryo (tengah) bersama peserta seminar
Serang, (19/4/2014), Unit Kegiatan Mahasiswa  Permata Ilmu (UKM PI) menggelar seminar Nasional Pembelajaran Kreatif di Aula Timur Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kampus Serang. Seminar dengan tema "Pengembangan Lesson Study Melalui Pembelajaran Kreatif dan Inovatif" ini menghadirkan pemateri dari Jepang, Mr. Ryo Suzuki, ia adalah seorang penggerak di Asia Future Education Center.

Acara yang menargetkan dua ratus peserta seminar ini dimulai pukul 08.00 - 15.00 WIB, diselingi dengan waktu istirahat 90 menit. Seminar Nasional yang bertujuan untuk menciptakan pembelajaran kreatif dan inovatif ini, dibuka dengan sesi yang menarik. Pada sesi pertama, Mr. Ryo membandingkan proses pembelajaran di Jepang dengan di Indonesia dengan menunjukkan foto-foto kegiatan yang didokumentasikannya selama penelitian.

Mr. Rio menjelaskan dengan Bahasa Indonesia yang fasih bahwa, lesson study telah dicoba diterapkan di beberapa provinsi di Indonesia. Lesson Study merupakan forum belajar bersama untuk saling belajar dari pengalaman guna meningkatkan kualitas pembelajaran, dalam pembelajaran lesson study lebih banyak menggunakan metode diskusi. 

"Seminar ini menarik!" kata Bapak Tatang, Dosen UPI Kampus Serang, yang menggagas seminar ini dari beberapa bulan yang lalu.

Puji, mahasiswa semester enam menambahkan bahwa, alasan ia mengikuti seminar ini ialah karena ia ingin mengetahui bagaimana cara menerpakan pembelajaran kreatif dan inovatif itu kepada siswa di kelas. 

Seminar ditutup dengan sesi tanya jawab, pembagian door prizes, dan foto bersama.

Senin, 14 April 2014

UN: Surat yang Tak [Akan] Pernah Sampai

14-04-2014
Ayah, hari ini tanggal yang cantik bukan? 
apa yang kau ingat tentang tanggal ini Ayah?
panen padi atau...
Ujian Nasional (2014) yang tak [pernah] aku rasakan. :'(


Ayah, seandainya kau tahu,
bukan Hp baru yang dibutuhkan adik
melainkan pendidikan jauh lebih penting baginya.

Jika bicara soal uang,
mungkin tiga ratus ribu sudah cukup untuk uang jajannya selama 150 hari di sekolah.
Beratkah bagimu Ayah, mengeluarkan uang dua ribu sehari untuk pendidikan yang gratis?
aku tahu, sesungguhnya rasa ikhlasmulah yang lebih berat.
Seberat apakah? seberat gunung?
mari aku bantu mengangkatnya.

Jika adikku masih sekolah Ayah, pasti ia sudah bertempur hari ini menghadapi UN.
Tapi mengapa Ayah, kau begitu egois?
apakah adikku tidak pantas mengecup pendidikan tinggi?
aku malu Ayah, aku malu adikku SMA saja tak tamat.

Mau jadi apa ia Ayah? cukupkah ia menjadi tukang ojekmu setiap hari?
lalu... setelah itu, apa yang harus ia lakukan?
dunia ini keras Ayah, tolong jangan kau tambah dengan sifat kerasmu.

Engkau selalu bilang Ayah "Pendidikan tinggi tak menjadikan orang kaya!"
lalu ku tanya padamu, bisakah kekayaan hanya diukur dengan uang, Ayah?
Kau jawab. Ah, kau selalu bisa mengelak Ayah. Padahal aku tahu, di hati kecilmu engkau bangga melihat anakmu yang berhasil menempuh pendidikan tinggi dengan gratis. Hanya saja ku rasa, kau tak mau sedikit berkorban, Ayah.

Ayah, mungkin engkau akan bangga, jika suatu saat nanti anakmu berhasil mengajakmu jalan-jalan ke luar negeri! tapi aku ingin mengajakmu ke Mekah Ayah, sebagai tempat pertama yang kau kunjungi-menunaikan ibadah haji.

Ayah, lihatlah...










jika sedikit saja kau menjauh maka aku akan jatuh.(*)

#Catatan hati seorang anak, (penulis dirahasiakan).

Rabu, 09 April 2014

Resensi Film The Song of Sparrows

Harus saya akui, bahwa saya terlambat dalam mengenal film imi. Ya, Film yang diproduksi pada tahun 2008 ini, tak sengaja saya temukan di youtube kemaren. Judulnya "The Song of Sparrows", awal kisah dibuka dengan adegan di peternakan burung unta. Saya jadi berpikir, film ini nantinya akan mengisahkan tentang burung unta. Tapi melihat dari arti judulnya "Sparrows", bukanlah burung unta melainkan burung pipit. Secara keseluruhan The Song of Sparrows, berarti nyanyian burung-burung pipit. Lalu dimanakah hubungannya? 

Oke, lupakan masalah judul! Sebelum meresensi, izinkan saya terlebih dahulu membahas di belakang layar film ini. Rasa penasaran, membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang film ini. Dari hasil googling, tak banyak saya temukan yang membahas film ini dalam Bahasa Indonesia. (Tak banyak, berarti ada.) Dari beberapa hasil searching saya temukan bahwa, film The Song of Sparrows adalah produk Iran yang disutradarai oleh Majid Majidi, yang juga sutradara film "Children of Heaven", kalian tahukan film yang sangat fenomenal itu? Majid Majidi, ternyata adalah sutradara kondang di Iran, ia biasa mengangkat kisah film dari kehidupan sehari-hari yang sarat dengan nilai sosial, etika, dan moral.

Dalam film The Song of Sparrows, digambarkan perjuangan seorang Ayah, yang bernama Karim-saya merasa melihat sosok Ayah saya dalam diri Karim. Seorang Ayah, yang pekerja keras, bertanggung jawab terhadap keluarganya, sedikit temprament, namun sangat sayang kepada anak-anaknya. Hal ini dibuktikan saat konflik pertama, Haneya-anak Karim yang pertama-kehilangan alat bantu dengarnya. Haneya adalah seorang gadis yang tuna rungu. Dari situ Karim berusaha untuk membelikan alat bantu dengar yang baru untuk Haneya, namun harga alat bantu dengar itu selangit. Karim berinisiatif untuk meminjam uang pada 'bos'nya di peternakan burung Unta. Namun, malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Seekor burung unta lepas dari kandangnya saat Karim sedang bertugas,alhasil Karim dipecat. Ia menerima dengan sedikit kecewa, namun rasa dukanya tak ditampakkan pada anak-anak dan istrinya di rumah. Ia tetap pergi ke kota untuk mencari alat bantu dengar buat Haneya, di kota ia melihat peluang menjadi tukang ojek. Karim selalu berusaha tanpa lelah untuk memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Kehidupan keluarga yang dinamis sangat terasa di sini. 

Hal yang paling menarik bagi saya, adalah Hossein-anak kedua Karim & anak laki-laki satu-satunya-yang sangat bandel. Karim sering dibuat marah karenanya, mulai dari ulahnya yang dianggap menghilangkan alat bantu dengar Haneya, sampai pada kegaduhan-kegaduhan kecil lainnya. Namun dibalik sikap bandelnya ia mempunyai rasa sayang yang lebih kepada Ayahnya. Terbukti saat ia ingin membeli dua kotak jus, namun uangnya tak cukup, dan akhirnya ia membeli satu kotak jus saja. Jus itu ia berikan kepada Ayahnya, dan ia memilih meredam hasratnya untuk minum jus. Karakter Hossein juga mengingatkan saya pada adik bungsu saya yang bandel, apalagi wajah mereka agak mirip menurut saya, hehe (abaikan jika anda tidak setuju bagian ini). Soal sikap tempramen Karim, terlihat saat ia memukul Haneya karena saking marahnya melihat anak-anaknya berjualan bunga di pinggir jalan TOL (mirip jalan TOL di Indonesia) yang ramai. Namun begitu mereka tetap saling menyayangi, Haneya tetap merawat Ayahnya saat Karim kecelakaan-tertimpa runtuhan tembok saat memperbaiki pagar. 

Hal yang membuat saya sedih adalah saat Hossein dan teman-temannya menangis, sebab ia harus merelakan satu gentong ikan yang lepas. Ikan-ikan ini adalah impian mereka buat menjadi milyuder. Soal Nargess-istri Karim-ia adalah perempuan yang sabar dan welas asih. Salah satu adegan romantis yang diciptakan Karim adalah saat Nargess menangis karena Karim mengambil lagi pintu biru yang sudah Nargess berikan kepada teman/tetangganya. Nargess menangis karena merasa malu. Karim lalu membujuk istrinya ini dengan bujukan/pengertian, dan kata-kata yang lemah lembut. 

Adegan Karim mengangkat pintu biru dari rumah tetangganya ke rumahnya membuat saya terenyuh. Ia harus menggotong pintu itu sendirian dengan berjalan kaki di tengah ladang yang panas. Disana tampak sekali wajah lelah Karim yang sudah menua. Penasaran dengan bagaimana nasib burung unta dan alat dengar Haneya, silahkan tonton filmnya dan beri penilaian.

Penilaian dari saya: 8. Saya suka kisah film yang menginspiratif, Majid Majidi berhasil mengaduk-aduk emosi penikmat filmnya, mulai dari sedih, kecewa, marah, hingga lucu. Tapi di film The Song of Sparrows seperti tidak ada benang merahnya, tidak seperti film Majid Majidi yang sebelumnya-Children of Heaven-yang jelas benang merahnya, menggambarkan seorang anak yang ingin memiliki sepatu. But, over all, film ini bagus! film ditutup dengan adegan burung unta yang sedang berjoged. :D I like it, sepertinya aku lebih jatuh cinta pada film Iran daripada film Thailand yang mayoritas ditonton teman-teman di kampus. Sampai jumpa lagi di resensi film berikutnya....
:)

Minggu, 06 April 2014

Kita Berbeda, Namun Kita Bahagia

Oleh: Nelvianti

              Aku menatap layar ponsel. 
            BTDC area, Lot C-0, Nusa Dua-BALI. 80363. Benar. Ini alamat yang diemailkan Tata kepadaku seminggu yang lalu. Aku sudah berdiri di depannya, The Bay Bali, Square Complex yang terdiri dari restoran-restoran elit. Itu yang ku tangkap ketika pertama kali menginjakkan kaki di area ini. Area yang dihadapannya, disuguhkan pemandangan laut yang eksotis, pasir putih yang mengkilap diterpa matahari, nyiur hijau yang melambai-lambai ditiup angin, dan peselancar yang jungkir balik menjinakkan ombak.
Square Complex The Bay Bali

              “NOAH…!”
     Koor teriakan yang sangat riuh mengagetkanku, aku menoleh ke belakang. Sekumpulan wanita-wanita cantik dan sexy menggigit bibir, mereka berjingkrak, menelan ludah menyaksikan segerombolan pria yang menuju The Bay Bali. Aku mempertajam penglihatan. Seorang laki-laki tegap, bersweater abu-abu, dan berkacamata hitam. Rupanya sudah tak asing lagi bagiku karena sering ku lihat di televisi.
            ARIEL! Aku baru sadar kalau di tanggal cantik ini ada ‘Meet and Greet with NOAH’ di The Bay Bali.
Meet & Greet With NOAH
         4-4-14. Memang tanggal yang cantik, secantik keberuntunganku bertemu NOAH di The Bay Bali sore ini. Tapi bukan itu tujuan utamaku ke sini. Aku ke sini didorong oleh hasrat hati, ingin bertemu sahabat lama. Margaretta Purba, atau yang akrab ku panggil Tata.
            Dia adalah sahabatku sedari SMA. Kami bersekolah di SMA Negeri 20 Padang. Tata adalah perantauan dari Medan, Bapaknya bekerja di kantor PLN di Padang. Aku mengenalnya ketika hari pertama Masa Orientasi Siswa (MOS), ketika seorang senior bertanya.
             “Adakah yang tidak sholat di sini?”
             “Saya, Kak.” Tata mengacungkan tangan.
            Awalnya aku pikir Tata tidak sholat karena sedang menstruasi. Tapi setelah ku telusuri lebih jauh, ternyata tidak! Dia berbeda keyakinan denganku. Aku telah salah berspekulasi hanya karena melihat kepalanya yang dibungkus kerudung.
***
            Aku melirik arloji. 17.00 WITA. Satu jam lagi aku akan menyaksikan sang surya ditelan laut biru. Aku berjalan ke arah wanita-wanita cantik tadi, seseorang keluar dari kerumunan itu, rambutnya pirang sebahu, ikal, dan wajah kotaknya dihiasi kacamata tebal. Ia memakai gaun hijau selutut dan tersenyum kepadaku.
           “TATA!” Aku baru mengenalinya. Penampilannya masih sama seperti yang dulu, hanya saja rambutnya yang hitam dibuat pirang.
            “Apa kabar?” Tata menyalamiku.
            “Baik.” Aku menjawab salamnya dan membenamkan tubuhnya dalam pelukkanku.
            Aku tersenyum untuk beberapa saat.
            “Sepertinya kau bahagia sekali?” todong Tata kepadaku.
          “Siapa yang tidak bahagia bertemu sahabat lama, yang sudah terpisah selama empat tahun.” Aku masih saja bergumul dengan senyum.
            “Aku juga bahagia bertemu denganmu, Wulan.” Ungkap Tata, sembari melangkahkan kakinya yang dibalut sepatu balet hijau.
            Aku mengikutinya, berjalan disampingnya. Kami masuk ke area De Opera. Tata memilih De Opera sebagai resto pertama yang kami kunjungi─rencananya kami akan memasuki semua resto yang ada di The Bay Bali─karena Tata ingin menunjukkan  fashion show kepadaku. Salah satu daya tarik De Opera adalah  pameran seni reguler dan fashion shownya, terang Tata, sembari mendudukkan pantatnya di kursi.
            Tata memintaku memberikan penilaian terhadap busana yang diperagakan model-model yang tinggi semampai itu.
         “Itu adalah busana hasil desainku, hasil TA ku!” bisik Tata di telingaku, matanya merujuk pada peragawati yang berlenggok di depan kami.
            Tata mengingatkanku kalau ia sekarang adalah alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Bali, Program Studi Desain Fashion─walaupun belum diwisuda. Sesuatu akan ditambahkan di ujung marganya, Margaretta Purba, SST.DFs.
***
           Aku satu tempat duduk dengan Tata. Aku masih penasaran, kenapa ia─mau─berkerudung?             “Perintah Mamaku. Untuk menghargai teman-teman yang lain.” Ia lebih dahulu menjelaskan sebelum ku tanya.
           Mama Tata sangat menjunjung tinggi sikap saling menghargai walaupun SMA kami tidak mewajibkan yang non muslim untuk berkerudung. Di SMA kami hanya Tata seorang yang non muslim. Itu hal yang wajar menurutku, karena ini sekolah negeri yang terletak di pinggir kota Padang, yang bersekolah di sini adalah penduduk setempat yang mayoritas muslim. Rumahku sendiri tak jauh dari sekolah, hanya berjarak seratus meter dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki lima belas menit.  Rumah Tatalah yang terbilang jauh, dia harus naik angkot dua kali untuk sampai ke sekolah. Sebab itu, dia sering diantar Papanya dengan mobil berplat merah.
           Karena rumahnya jauh, Tata tidak pulang ke rumah ketika pelajaran Penjaskes. Pelajaran Penjaskas dilaksanakan sekali seminggu di luar jam pelajaran umum di sekolah. Biasanya dilaksanakan sore hari, pukul 16.00 WIB, sementara kami usai pelajaran umum pukul 14.00 WIB, hanya tersisa waktu dua jam. Jika waktu dua jam ini dipakai Tata untuk pulang ke rumahnya lalu balik lagi, itu tidak akan cukup, dan hanya membuatnya lelah serta membuang ongkos. Aku menawarkan Tata untuk mengganti seragam di rumahku, sebab waktu dua jam ini terasa panjang jika dihabiskan di rumahku. Biasanya kami menghabiskannya, dengan makan ‘kerupuk mie’. Tata suka sekali kerupuk singkong Uni[1] Shanti, yang diolesi kuah sate, dan ditimbun mie goreng.
           Hari ini terasa berbeda dengan empat tahun yang lalu. Menu yang terhidang di meja kami bukanlah kerupuk mie Uni Shanti, melainkan daging asap yang terasa lembut di lidahku. Enak dan nikmat. Porsi kenikmatannya bertambah oleh keindahan tempat di sekitar kami. Kami duduk di bawah payung putih, di tengah taman yang dikelilingi pohon-pohon dan rumput hijau nan asri. Dan dari tempatku duduk, aku bisa menyaksikan sunset Bali. Aku mengacungi jempol untuk tempat yang dipilih Tata kali ini, aku tahu Tata sudah sering ke The Bay Bali.
Payung-payung Putih yang lagi Menguncup
         Mataku menerawang melihat payung-payung putih di sekitarku, walaupun sebagian payung itu berangsur menjadi keemasan karena ditingkahi cahaya lampu, retina mataku masih bisa menggambar seragam putih SMA kami di sana, seakan-akan payung putih yang berdiri kokoh itu adalah seragam-seragam SMA kami yang digantung. Seragam yang telah dicoret-coret pada hari kelulusan.
          Seketika film pendek berputar di otakku, tentang masa putih abu-abu. Aku tersenyum mengenangnya, bagaimana sepatu kulitku yang bau bisa digondol Doggy, anjing kesayangan Papa Tata. Tali sepatuku hampir putus digigit Doggy. Sepatu itu ku jahit, dan masih tetap ku pakai ke sekolah.
    Tawa Tata meledak mendengar pengulangan kisah heroik tarik-menariknya dengan Doggy memperebutkan sepatuku.
            “Sekarang masih ada gak sepatunya?”
            “Ada. Aku museumkan sebagai kenang-kenangan darimu.” Kami terkekeh.
***
        Itulah kali pertama dan kali terakhir aku ke rumah Tata di Padang. Kelulusan adalah pertemuan terakhirku dengannya, Tata memutuskan kuliah di Bali, dan aku ke Yogyakarta, kami lost contact karena sama-sama sibuk.
            Seminggu yang lalu kali pertama aku menerima email darinya setelah vakum selama empat tahun. Dia mengingatkanku akan janji kami dulu, janji bahwa saat wisuda kami, akan didampingi sahabat terkasih. Dan Tata ingin aku yang terlebih dahulu menebus janji itu dengan mewajibkanku untuk menghadari acara wisudanya yang akan digelar tiga hari lagi. Aku tahu, Tata bahagia melihat usahaku memenuhi undangannya.
          Aku kagum dengan perkembangan Tata. Busana-busana yang yang lahir dari tangannya sangat elegan. Dia mendapatkan apresiasi yang pantas sebagai mahasiswa terbaik lulusan ISI Denpasar. Tepuk tangan membahana dari balik meja pengunjung De Opera. Sangat ramai. De Opera mampu menampung 300 orang lebih.
            Sebelum jam tutup pukul 22.00 WITA, kami meninggalkan De Opera menuju tempat yang pernah dikunjungi kontestan Miss World 2013, Hong Xing. Sebelumnya kami melintasi Benihana, mencuri pandang, aksi highly skilled teppayaki chefs, gerakan pisaunya sangat lincah, meliuk-liuk mencincang daging dan menghempaskan telur.
Highly Skilled Teppayaki Chefs
            Hong Xing club and resto adalah tempat yang cocok bagi Tata si penggemar seafood. Kegeraman Tata menyantap seafood─yang ku tahu sejak SMA─semakin mempertajam indera perasanya. Dia bisa mencermati mana seafood yang benar-benar enak.
Sofa Putih di Hong Xing
            “Aku berani mengatakan seafood di Hong Xing ini, enak!” katanya, sambil melumat udang goreng yang melingkar-lingkar. Kini, kami telah duduk di sebuah sofa putih dengan nuansa yang berbeda.
             “Dan aku yakin, semua makanan di Hong Xing ini enak karena diracik oleh Koki yang terampil.” Imbuhnya.
Udang Crispy yang digerogoti Tata
           Aku membiarkanTata menggerogoti udang crispynya─sebelum kami menuju ke Bebek Bengil. Aku tersenyum menyaksikan Tata yang sangat bernafsu. Bagiku senyum adalah ungkapan kebahagian. Aku bahagia merasakan, bagaimana kami yang berbeda keyakinan bisa menyatu, bahkan untuk soal makanan. Jika kami berencana makan bersama seperti sekarang ini, Tata selalu memilih makanan yang ‘netral’.
Bebek Telanjang yang Berhasil Ku Robek
           Kami tidak pernah memandang perbedaan, itulah kebahagian bagi kami. Kebahagiaan yang dibangun atas sikap saling menghargai walaupun teman-teman sekelas di SMA sering memanggilku ‘Wulan Arab’ tapi tak pernah sekalipun ku dengar kata-kata itu terlontar dari mulut Tata, baginya aku adalah Anggi Wulandari, asli Padang, bukan Wulan Arab. Harus ku akui, bahwa wajahku yang mirip orang Arab ini yang menjadi pemicu sebutan Wulan Arab itu. Wajah yang dilingkupi kerudung dengan pipi bulat penuh, hidung mancung yang sedikit bengkok, dan mata yang bagaikan bola pimpong, sangat kontras dengan wajah Tata yang tegas di bagian rahangnya, dan mata yang agak sipit. Tapi kami tak pernah membahas masalah itu. Tata selalu nyaman berpergian denganku yang selalu berbusana muslim.
Patung Bebek Keemesan di Bebek Bengil
           Film pendek di otakku berhenti, ketika kami memasuki area Bebek Bengil─Tata baru saja melahap habis seafoodnya sesaat sebelum kami ke sini. Aku tidak suka bebek, tapi Bebek Bengil berhasil mematahkan ketidaksukaanku. Aku sudah tertarik semenjak memasuki areanya, sebuah patung bebek keemasan menyambut kedatanganku. Sekarang ku dapati potongan bebek aslinya di atas piring ceper dengan beraneka rupa. Langsung saja kutarik ‘bebek telanjang’ ini ketenggorokanku, olahan daging bebek ini dengan mudah dirobek taringku, tidak alot dan tidak amis seperti olahan daging bebek pada umumnya.
***
Meja Unik di Bumbu Nusantara
            Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WITA saat aku menghabiskan hidangan ‘ketiga’ ini. Aku harus mengurungkan niatku untuk mengunjungi Bumbu Nusantara dan Pirates Bay Bali malam ini juga. Waktu yang sebentar bentar memang, rasanya tak cukup seharian untuk mengitari ke enam resto─De Opera, Bebek Bengil, Benihana, Hong Xing,  Pirates Bay Bali, dan Bumbu Nusantara. Walaupun begitu aku tetap berhasrat untuk mengunjungi Pirates Bay Bali esok hari, semenjak mendengar namanya, aku sudah dapat membayangkan bajak laut handal yang berseliweran di sana. Aku yang hobi menonton film bajak laut, sangat ingin menyaksikan seorang bajak laut secara langsung yang dikemas dalam suasana resto.
Pirates Bay Bali
         The Bay Bali benar-benar menyuguhkan hal yang unik dan berbeda. Pertemuanku dengan Tata di The Bay Bali mampu merajut kenangan-kenangan masa SMA kami. Kenang-kenangan itu akan berlanjut sampai kami tua nanti. Bersahabat dalam dekapan kepercayaan yang berbeda, itulah Bahagia.

Kota Panas seperti Kotaku, 040414.

*Terinspirasi dari kisah nyata.

Tentang Penulis:
            Nelvianti, perempuan kelahiran Padang, 24 Agustus 1993 ini hobi menulis sejak bangku SD. Waktu SMA ia pernah menjadi reporter/ crew SMS (Singgalang Masuk Sekolah) di Harian Umum Singgalang. Beberapa tulisannya sudah dipublikasikan di media massa, karyanya tergabung dalam antologi FF “POKUN” - AG Publishing (2012), dan Antologi FTS “Sejuta Wajah di Balik Debu”, Penerbit Camar (2013). Sekarang ia menempuh pendidikan S1 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Untuk melihat tulisan lainnya bisa dilihat di blog pribadinya: http://nelvianti.blogspot.com, FB: Nelvianti Virgo, Twitter: @nelvianti



                [1]Sebutan untuk Kakak perempuan di Minang.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! 








 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design