Sabtu, 19 November 2016

Alasan Orang Suka Saya dan Tidak Suka Saya

Hari ini hari terakhir IHT di hari Sabtu, ada yang menarik dari feedback di hari ini yaitu, setiap peserta diminta menyebutkan rasa suka dan rasa tidak sukanya terhadap peserta lain. Saya paling suka hal yang berbau psikologi seperti ini karena setiap orang bisa mengenali karakternya dan kekurangannya untuk perbaikan diri. Untuk itu hal ini sengaja saya tulis di sini, agar saya selalu ingat bagaimana orang lain mengenal saya, terutama kekurangan saya dan saya bisa memperbaiki diri. Tadi tiba giliran saya, saya diminta duduk di depan peserta lainnya, dan saya harus mendengarkan statement dari setiap peserta.
Bu Nuri: "Saya suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi pintar. Saya tidak suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi kurang hangat." (Besok kemana-mana saya bawa kompor, Bu. )
Bu Muti: "Saya suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi ramah. Saya tidak suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi kalau udah ngomong suka nyerocos dan saya gak ngerti." Lalu dikomen sama peserta lain, "Itu Ibunya yang emang lola apa gimana? "
Bu Susan: "Saya suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi cerdas. Dan saya tidak suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi kurang senyum." (Mungkin waktu itu saya lagi PMS Bu, hehe.)
Bu Sisil: "Saya suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi rajin. Dan saya tidak suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi orangnya terstruktur." Lalu diiyakan sama peserta lain, "Iya ya ... perfect gitu ya." (Maksudanya saya kalau mengerjakan sesuatu harus sempurna ya? Iya, sih ....)
Bu Lola: "Saya suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi pintar. Saya tidak suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi susah akrab dengan orang lain."
Pak Agus: "Saya suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi orangya bertanggung jawab. Saya tidak suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi butuh proses untuk dekat dengan orang lain."
Pak Tian: "Saya suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi orangnya cerdas. Saya tidak suka Bu Nelvi karena ngomongnya pelan, pelannnn ... banget." (Lain kali saya ngomong pake TOA, Pak. )
Pak Syamsul: "Saya suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi orangnya sopan. Saya tidak suka Bu Nelvi karena Bu Nelvi orangnya tertutup." Lalu dikomen sama peserta lain, "Jadi kamu mau Bu Nelvi terbuka, terbuka apanya? " (Dasar Bapak-Bapak bercandaannya. )
Lalu kata pematerinya, "Beginilah ya ... bercandaannya orang 20 tahunan." Si Ibu mukanya sampai merah karena dari tadi ketawa ngakak mendengar perkataan kocak dari peserta lainnya. Keingat waktu muda ya, Bu? Hihi.


*catatan: kita baru mengenal selama sebulan terakhir dan baru beberapa kali pertemuan. Tapi kita sudah bisa mengenal karakter masing-masing. :)

Oke guys, hari ini hari yang sangat menyenangkan. Terima kasih untuk teman-temannya untuk kritik dan sarannya. Saya akan [terus] belajar lagi untuk memperbaiki diri.

Sabtu, 22 Oktober 2016

Kisah Saya Tidak Lulus Seleksi LPDP - Sepertinya ditolak LPDP itu lebih nyesek daripada putus cinta

HAHA. Itulah kata pertama yang ingin saya gambarkan, bawa enjoy aja. Walaupun pada hari H penguman 'sempat' berlinang air mata, sekarang enggak dong ya. Allah ganti dengan hal yang lebih baik.

Jangan tanya kenapa saya tidak lulus? Saya juga tidak tahu jawabanna, tapi saya mempunyai beberapa indikasi. Apalagi kalau bukan soal kontribusi. Saya benar-benar digembleng pas pertanyaan ini. Pertanyaan yang sama sampai ditanyakan dua kali oleh interviewer kepada saya. Apa Itu? penasaran kan ...?

Nanti aja ya, saya kasih tahu script wawancara saya. Sekarang saya ngantuk dan mohon undur diri untuk rehat dulu. Babay ...

Sabtu, 15 Oktober 2016

Ramahnya Gojek Bandung

 

Gojek. Itu adalah salah satu kemudahan yang saya dapatkan di Bandung. Apa itu gojek? Pasti sudah tidak asing lagi bagi sebagian Anda. Itu lo ... ojek online, yang bisa dipesan kapan saja dan dimana saja. Bagi saya hal ini sangat membantu. Murah, cepat, dan menyenangkan. Jadilah aplikasi 'Gojek' selalu nangkring di android saya.

Awal saya menggunakan gojek, ketika saya malas mencari-cari alamat. Dengan gojek saya hanya tinggal mengetik alamat atau tempat tujuan dan saya bisa sampai ke tempat tujuan dalam waktu yang cepat tanpa harus nanya sana-sini. Gojek juga sangat membantu ketika saya harus ke tempat-tempat tertentu yang tidak dilalui angkot, seperti komplek perumahan dan yang lainnya. Dan saya yakin hal ini juga bisa dilakukan oleh ojek biasa.

Namun hal yang paling membedakannya adalah soal tarifnya yang murah. Anda bisa mengetahui tarif sebelum memesan, dan tarif ini tergantung pada jarak yang Anda tempuh. Selain itu, para driver gojek juga ramah-tamah. Ada penilaian yang konsumen berikan setelah menggunakan gojek berupa poin yang dapat meningkatkan pendapatan driver gojek. Mungkin inilah yang membuat driver gojek ramah-tamah. Jika menggunakan gojek, Anda akan selalu ditawarkan untuk menggunakan helm oleh drivernya, jas hujan saat hujan, dan bahkan masker untuk melindungi dari debu.

Setiap menggunakan gojek, selalu ada cerita yang saya dapatkan. Entah itu tentang perjuangan, kerja keras, dan sebagainya. Pernahnya saya diboncengi oleh driver gojek seorang perempuan, dan hal ini sangat jarang. Hal yang saya lihat dari si Ibu ini adalah semangatnya untuk berkerja, tapi tetap bisa memperhatikan pendidikan anaknya.

Dibalik kelebihan, tentu ada juga kelemahan. Aplikasi gojek kadang bisa eror. Di jam-jam sibuk seperti saat magrib, kita bisa susah menemukan driver. Untuk itu ketika akan menggunakan gojek, ada baiknya dipesan 30 menit sebelum berangkat. Susahnya menemukan driver yang berlokasi di dekat kita adalah masalah yang sering saya hadapi. Alasannya karena ada kawasan-kawasan tertentu yang tidak bisa dimasuki gojek sebab kawasan tersebut adalah kawasan ojek biasa. Masalah penetapan kawasan oleh ojek biasa adalah suatu upaya agar konsumen tetap menggunakan ojek biasa, sehingga ojek biasa tidak tersingkirkan begitu saja.

30 tahun Mendatang Anak Kita


Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Sumber Foto: Google

Jangan remehkan dakwah kepada anak-anak! Jika telah terikat hatinya dengan Islam, mereka akan mudah bersungguh-sungguh menetapi agama ini setelah dewasa. Jika engkau siapkan mereka untuk siap menghadapi kesulitan, maka kelak mereka tak mudah ambruk hanya karena langkah mereka terhalang oleh kendala-kendala yang menghadang. Tetapi jika engkau salah membekali, mereka akan menjadi beban bagi ummat ini di masa yang akan datang. Cemerlangnya otak sama sekali tidak memberi keuntungan jika hati telah beku dan kesediaan untuk berpayah-payah telah runtuh.
Maka, ketika engkau mengurusi anak-anak di sekolah, ingatlah sejenak. Tugas utamamu bukan sekedar mengajari mereka berhitung. Bukan! Engkau sedang berdakwah. Sedang mempersiapkan generasi yang akan mengurusi umat ini 30 tahun mendatang. Dan ini pekerjaan sangat serius. Pekerjaan yang memerlukan kesungguhan berusaha, niat yang lurus, tekad yang kuat serta kesediaan untuk belajar tanpa henti.
Karenanya, jangan pernah main-main dalam urusan ini. Apa pun yang engkau lakukan terhadap mereka di kelas, ingatlah akibatnya bagi dakwah ini 30 40 tahun yang akan datang. Jika mereka engkau ajari curang dalam mengerjakan soal saja, sesungguhnya urusannya bukan hanya soal bagaimana agar mereka lulus ujian. Bukan. Yang terjadi justru sebaliknya, masa depan umat sedang engkau pertaruhkan!!! Tidakkah engkau ingat bahwa induk segala dusta adalah ringannya lisan untuk berdusta dan tiadanya beban pada jiwa untuk melakukan kebohongan.
Maka, ketika mutu pendidikan anak-anak kita sangat menyedihkan, urusannya bukan sekedar masa depan sekolahmu. Bukan. Sekolah ambruk bukan berita paling menyedihkan, meskipun ini sama sekali tidak kita inginkan. Yang amat perlu kita khawatiri justru lemahnya generasi yang bertanggung-jawab menegakkan dien ini 30 tahun mendatang. Apa yang akan terjadi pada umat ini jika anak-anak kita tak memiliki kecakapan berpikir, kesungguhan berjuang dan ketulusan dalam beramal?
Maka…, ketika engkau bersibuk dengan cara instant agar mereka tampak mengesankan, sungguh urusannya bukan untuk tepuk tangan saat ini. Bukan pula demi piala-piala yang tersusun rapi. Urusannya adalah tentang rapuhnya generasi muslim yang harus mengurusi umat ini di zaman yang bukan zamanmu. Kitalah yang bertanggung-jawab terhadap kuat atau lemahnya mereka di zaman yang boleh jadi kita semua sudah tiada.
Hari ini, ketika di banyak tempat, kemampuan guru-guru kita sangat menyedihkan, sungguh yang paling mengkhawatirkan adalah masa depan umat ini. Maka, keharusan untuk belajar bagimu, wahai Para Guru, bukan semata urusan akreditasi. Apalagi sekedar untuk lolos sertifikasi. Yang harus engkau ingat adalah: “Ini urusan umat. Urusan dakwah.” Jika orang-orang yang sudah setengah baya atau bahkan telah tua, sulit sekali menerima kebenaran, sesungguhnya ini bermula dari lemahnya dakwah terhadap mereka ketika masih belia; ketika masih kanak-kanak. Mereka mungkin cerdas, tapi adab dan iman tak terbangun. Maka, kecerdasan itu bukan menjadi kebaikan, justru menjadi penyulit bagi mereka untuk menegakkan dien.
Wahai Para Guru, belajarlah dengan sungguh-sungguh bagaimana mendidik siswamu. Engkau belajar bukan untuk memenuhi standar dinas pendidikan. Engkau belajar dengan sangat serius sebagai ibadah agar memiliki kepatutan menjadi pendidik bagi anak-anak kaum muslimin. Takutlah engkau kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh, jika engkau menerima amanah sebagai guru, sedangkan engkau tak memiliki kepatutan, maka engkau sedang membuat kerusakan.
Sungguh, jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, tunggulah saatnya (kehancuran) tiba.
Ingatlah hadis Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
“Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat,” Dia (Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?” Beliau menjawab, “Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat!” (HR. Bukhari).
Maka, keharusan untuk belajar dengan sungguh-sungguh, terus-menerus dan serius bukanlah dalam rangka memenuhi persyaratan formal semata-mata. Jauh lebih penting dari itu adalah agar engkau memiliki kepatutan menurut dien ini sebagai seorang guru. Sungguh, kelak engkau akan ditanya atas amanah yang engkau emban saat ini.
Wahai Para Guru, singkirkanlah tepuk tangan yang bergemuruh. Hadapkan wajahmu pada tugas amat besar untuk menyiapkan generasi ini agar mampu memikul amanah yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka. Sungguh, kelak engkau akan ditanya di Yaumil-Qiyamah atas urusanmu.
Jika kelak tiba masanya sekolah tempatmu mengajar dielu-elukan orang sehingga mereka datang berbondong-bondong membawa anaknya agar engkau semaikan iman di dada mereka, inilah saatnya engkau perbanyak istighfar. Bukan sibuk menebar kabar tentang betapa besar nama sekolahmu. Inilah saatnya engkau sucikan nama Allah Ta’ala seraya senantiasa berbenah menata niat dan menelisik kesalahan diri kalau-kalau ada yang menyimpang dari tuntunan-Nya. Semakin namamu ditinggikan, semakin perlu engkau perbanyak memohon ampunan Allah ‘Azza wa Jalla.
Wahai Para Guru, sesungguhnya jika sekolahmu terpuruk, yang paling perlu engkau tangisi bukanlah berkurangnya jumlah siswa yang mungkin akan terjadi. Ada yang lebih perlu engkau tangisi dengan kesedihan yang sangat mendalam. Tentang masa depan ummat ini; tentang kelangsungan dakwah ini, di masa ketika kita mungkin telah tua renta atau bahkan sudah terkubur dalam tanah.
Ajarilah anak didikmu untuk mengenali kebenaran sebelum mengajarkan kepada mereka berbagai pengetahuan. Asahlah kepekaan mereka terhadap kebenaran dan cepat mengenali kebatilan. Tumbuhkan pada diri mereka keyakinan bahwa Al-Qur’an pasti benar, tak ada keraguan di dalamnya. Tanamkan adab dalam diri mereka. Tumbuhkan pula dalam diri mereka keyakinan dan kecintaan terhadap As-Sunnah Ash-Shahihah. Bukan menyibukkan mereka dengan kebanggaan atas dunia yang ada dalam genggaman mereka.
Ini juga berlaku bagi kita.
Ingatlah do’a yang kita panjatkan:
“اللهُمَّ أَرِنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا التِبَاعَةَ وَأَرِنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ”
“Ya Allah, tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami rezeki kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukilah kami bahwa yang batil itu batil, serta limpahilah kami rezeki untuk mampu menjauhinya.”
Inilah do’a yang sekaligus mengajarkan kepada kita agar tidak tertipu oleh persepsi kita. Sesungguhnya kebenaran tidak berubah menjadi kebatilan hanya karena kita mempersepsikan sebagai perkara yang keliru. Demikian pula kebatilan, tak berubah hakekatnya menjadi kebaikan dan kebenaran karena kita memilih untuk melihat segi positifnya. Maka, kepada Allah Ta’ala kita senantiasa memohon perlindungan dari tertipu oleh persepsi sendiri.
Pelajarilah dengan sungguh-sungguh apa yang benar; apa yang haq, lebih dulu dan lebih sungguh-sungguh daripada tentang apa yang efektif. Dahulukanlah mempelajari apa yang tepat daripada apa yang memikat. Prioritaskan mempelajari apa yang benar daripada apa yang penuh gebyar. Utamakan mempelajari hal yang benar dalam mendidik daripada sekedar yang membuat sekolahmu tampak besar bertabur gelar. Sungguh, jika engkau mendahulukan apa yang engkau anggap mudah menjadikan anak hebat sebelum memahami betul apa yang benar, sangat mudah bagimu tergelincir tanpa engkau menyadari. Anak tampaknya berbinar-binar sangat mengikuti pelajaran, tetapi mereka hanya tertarik kepada caramu mengajar, tapi mereka tak tertarik belajar, tak tertarik pula menetapi kebenaran.

***
Jangan sepelekan dakwah terhadap anak! Kesalahan mendidik terhadap anak kecil, tak mudah kelihatan. Tetapi kita akan menuai akibatnya ketika mereka dewasa. Betapa banyak yang keliru menilai. Masa kanak-kanak kita biarkan direnggut TV dan tontonan karena menganggap mendidik anak yang lebih besar dan lebih-lebih orang dewasa, jauh lebih sulit dibanding mendidik anak kecil. Padahal sulitnya melunakkan hati orang dewasa justru bersebab terabaikannya dakwah kepada mereka di saat belia.
Wallahu a’lam bish-shawab. Kepada Allah Ta’ala kita memohon pertolongan.

Sumber:  https://osolihin.wordpress.com/2013/02/02/30-tahun-mendatang-anak-kita-tulisan-mohammad-fauzil-adhim/

Kamis, 29 September 2016

Nasihat-nasihat Mulia dari Seorang Ibu yang Terdidik


Ada satu nasihat bagus yang diwariskan oleh seorang wanita Arab, yaitu, nasihat Umamah binti Harits kepada putrinya, Ummu Iyas binti Auf pada malam pernikahannya. Beberapa nasihatnya waktu itu adalah sebagai berikut:

"Putriku, engkau akan meninggalkan suasana yang telah melahirkanmu, dan engkau pun akan berpisah dengan kehidupan yang selama ini membesarkanmu. Seandainya seorang wanita tidak membutuhkan seorang suami karena kekayaan kedua orangtuanya dan kebutuhan mereka terhadapnya, maka engkau adalah orang yang paling tidak membutuhkan suami. Namun, kenyataan menyatakan bahwa wanita itu diciptakan untuk laki-laki dan kaum laki-laki diciptakan untuknya."

Adapun inti dari nasihat-nasihatnya adalah sebagai berikut:

Pertama dan kedua: Seorang istri harus mematuhi suaminya dengan penuh ketulusan dan memperhatikan perintah-perintahnya dengan penuh ketaatan.

Ketiga dan keempat: Seorang istri hendaknya memelihara kebersihan bagian-bagian tubuhnya yang selalu menjadi tujuan hidung dan mata suami. Artinya, jangan sampai matanya melihat sesuatu yang tidak menyenangkannya pada dirimu, dan agar ia selalu mencium bau wangi dari tubuhmu.

Kelima dan keenam: Seorang istri hendaknya selalu memperhatikan waktu tidur dan waktu makan suaminya. Karena, rasa lapar akan membuatnya garang dan kurang tidur akan membuatnya mudah marah.

Ketujuh dan kedelapan: Seorang istri hendaklah menjaga harta suaminya, memelihara kehormatannya dan keluarganya, mengatur keuangan rumah tangga dengan cara yang baik dan merawat anak-anaknya dengan penuh perhatian.

Nasihat kesembilan dan kesepuluh: Jangan pernah menentang perintahnya dan juga menyebarkan aib atau rahasianya. Sebab, menentang perintahnya, engkau akan membuat dadanya bergolak. Dan jika engkau menyebarrkan rahasianya, berarti engkau tidak bisa menjaga kehormatannya.

Berikutnya, hendaklah engkau tidak menampakkankeceriaan di hadapannya mana kala ia sedang sedih. Namun, jangan pula engkau menampakkan wajah bersedih ketika ia dalam keadaan berbunga-bunga.

Pencerahan:
"Kebahagiaan bukan di tangan orang lain, tapi di tanganmu sendiri"

Sumber: Menjadi Wanita Paling Bahagia

Selasa, 27 September 2016

10 Kunci Kebahagiaan

Seorang psikolog Amerika, DR Dicxi berkata : Hidup bahagia adalah seni keindahan yang memiliki sepuluh dimensi kategori, yaitu:
  1. Lakukanlah perbuatan yang Anda cintai. Jika Anda tidak mampu, maka lakukanlah kegemaran yang engkau sukai di waktu kosongmu dan perdalamilah.
  2. Menjaga kesehatan adalah ruh kebahagiaan, yaitu dengan menyeimbangkan pola makanan dan minuman serta berolah raga. Dan juga dengan menjauhi kebiasaan buruk yang membahayakan.
  3. Mempunyai cita-cita hidup, karena itu akan mempengaruhi pola hiudp dan membuat Anda lebih bersemangat.
  4. Menghadapi hidup dengan apa adanya, dan siap menerima manis atau pahitnya kehidupan.
  5. Siap hidup di zaman sekarang dan tidak menyesali masa lalu, serta tidak takut menghadapi hari esok.
  6. Memikirkan dan menentukan pekerjaan yang harus dikerjakan, serta tidak mencela orang lain terhadap keputusannya dan apa yang telah menimpanya.
  7. Memandang orang yang dibawah Anda keadaannya (Agar Anda senantiasa bersyukur)
  8. Membiasakan tersenyum dan gembira serta bergaul dengan mereka yang mempunyai sikap optimis.
  9. Berusaha berbuat kebaikan untuk kebahagiaan orang lain.
  10. Berusaha menggunakan dengan waktu sebaik-baiknya dan mampu mengambil pelajaran darinya. 


Itulah 10 kunci penting dalam meraih kebahagiaan hidup secara teori, namun pada dasarnya pembuka kunci-kunci kebahagian terdapat pada diri Anda sendiri. Dan jika kita yakin akan kebesaran Allah , tidak ada alasan hidup terpuruk dalam kesedihan karena dari satu kesempatan tarikan nafas yang kita hirup ada kebahagian yang tidak ternilai harganya.
Berpegang teguhlah pada pelita hidup yang Allah tuntunkan menuju jalan kebahagiaan, dengan meyakini hal tersebut sesulit apapun permasalahan yang Anda hadapi akan selalu ada seribu satu alasan bagi Anda untuk tetap berbahagia.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan”
(QS. Al-Baqoroh:286)

Source : DR. Aidh Abdullah Al-Qarni, MA, Agar Menjadi Wanita Paling Bahagia Di Dunia

Minggu, 25 September 2016

Resensi Buku "Ku Antar Ke Gerbang"

Judul Buku   :Ku Antar Ke Gerbang (Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno)
Pengarang    : Ramadhan K. H.
Tebal Buku   : 431 halaman
Harga Buku  : Rp. -,-
Penerbit        : Bentang
Tahun Terbit  : Maret 2011

Perawakannya kecil. Sekuntum bunga merah yang elok melekat di sanggulnya. Senyum yang menyilaukan mata. Ia berdiri di pintu masuk. Sinar setengah gelap. Bentuk badannya tampak jelas dikelilingi cahaya lampu dari belakang. (Ku Antar Ke Gerbang, hal.1) 

Itulah kalimat pertama yang kamu baca ketika membuka halaman pertama novel ini. Suatu penggambaran yang sangat indah akan sosok Ibu Inggit di mata Bung Karno. 

Novel ini tidak hanya menggambarkan kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno tapi juga menggambarkan sejarah kemerdekaan Indonesia. Ya, bisa dikatakan novel ini adalah novel sejarah. Bagaimana di sini diceritakan kesetiaan Ibu Inggit menemani Bung Karno mencapai tujuannya, kemerdekaan Indonesia. "Inggit tidak memberikan sumbangan pikiran dan teori untuk revolusi Indonesia, tetapi dengan menunjukkan kasih sayang dan kesetiaan yang tiada goyah kepada suami yang sedang mengalami cobaan dan derita dalam perjuangan."Itulah kata-kata Ramadhan K. H. yang saya kutip yang sangat menarik buat saya. Kata-kata tersebut semakin mengokohkan bukti bahwa, "di balik laki-laki yang hebat memang ada perempuan yang hebat".

Membaca  novel ini membuat saya menyelami zaman 1920an, zaman-zaman pendudukan Belanda di Indonesia. Saya mampu merasakannya, bagaimana Bandung kala itu-daerah yang menjadi tempat tinggalnya Ibu Inggit dan Bung Karno-lebih tepatnya Cicaheum, Tegalega, Ujung Berung, Lapas Sukamiskin, yang kesemua tempat itu dekat dengan tempat kos saya sekarang. Apalagi penggambaran kota tempat asal saya, Padang, pada setting saat Bung Karno dan Ibu Inggit berjalan melewati hutan Sumatera yang kelam dari masa pembuangan di Bengkulu hingga ke kota Padang.

Tidak lepas dari itu, awal pertemuan Ibu Inggit dan Bung Karno adalah hal yang sangat menarik buat saya. Saya pikir awalnya mereka bertemu saat bujang-gadis. Ternyata pada saat pertama kali mereka bertemu, mereka sudah mempunyai pasangan masing-masing. Bung Karno sudah mempunyai istri dan Ibu Inggit sudah mempunyai suami, suaminya yang ke-2. Dan Bung Karno dengan istri pertamanya belum pernah 'bersentuhan' sama sekali. 

Menginap di rumah Ibu Inggit, menimbulkan rasa cinta pada diri Bung Karno terhadap Ibu Inggit dan hal itu ditanggapi oleh Ibu Inggit. Namun sesuatu yang sangat disayangkan dan membuat saya kaget, ternyata rasa cinta itu disalurkan sebelum ijab qabul. Berarti dalam hal ini mereka masih terikat dengan pasangan masing-masing. "Hendaknya semua maklum apa yang terjadi selanjutnya. Aku malu menceritakannya ...." (Ku Antar Ke Gerbang, hal. 32).

Tapi di sini saya salut, bagaimana bijaksananya suami Bu Inggit kala itu, Kang Uci, melepas Ibu Inggit dan merelakannya bersam Bung Karno. "Terimalah dulu lamaran Kusno itu. Setelah jelas begitu, Akang jatuhkan talak .... Akang rido, kalau Eulis menerima lamaran Kusno itu dan kalian berdua nikah. Mari kita jagokan dia sehingga dia nanti benar-benar menjadi orang penting. Mari kita bantu dia sampai benar-benar menjadi pemimpin rakyat. Dampingi dia, bantulah dia, sampai dia benar-benar mencapai cita-citanya." (Ku Antar Ke Gerbang, hal. 37-38).

Betapa besar hati seorang suami, merelakan istri dilamar orang lain, padahal masih berstatus menjadi istri. "Sungguh, aku telah menjadi orang yang tidak berdaya lagi dikalahkan oleh seorang laki-laki yang begitu tinggi budinya" (Ku Antar Ke Gerbang, hal. 37-38). Ini adalah gambaran perasaan Ibu Inggit kala itu.

Namun apapun itu, Bung Karno memang membutuhkan sosok istri seperti Ibu Inggit, yang bisa dijadikan kekasih, Ibu, dan teman katanya. Dan Bung Karno mendapati perpaduan tiga hal itu dalam diri Bu Inggit. Memang itu hal yang wajar, karena dilihat dari umur Ibu Inggit lebih dewasa dari Bung Karno, kira-kira sepuluh tahun. Bung Karno diemong, diasuh oleh Bu Inggit dengan telaten hingga 'Singa Podium' itu mampu menyelesaikan kuliahnya, Teknik Sipil di Dago, Bandung. Saat menikah dengan Ibu Inggit, Bung Karno memang masih berstatus sebagai mahasiswa, dan untuk keperluan rumah tangga, Ibu Inggit udah terbiasa berkerja. Hal ini tidak menjadi masalah bagi Bu Inggit, walaupun dengan suami sebelumnya ia hidup serba berkecukupan, bahkan sudah sangat biasanya baginya plesiran ke Singapura.

Kesetian dan ketabahan Ibu Inggit mendampingi Bung Karno, tidak hanya sampai di situ. Masa-masa Bung Karno di penjara di lapas Sukamiskin, masa-masa pembuangan di Ende dan Bengkulu, adalah masa-masa sulit yang berhasil mereka lalui bersama. Walaupun di Bengkulu goncangan itu datang. Bung Karno bertemu dengan Ibu Fatmawati yang saat itu sempat diangkat menjadi anak oleh mereka. Bung Karno menginginkan keturunan, sedangkan Ibu Inggit tidak bisa memberikan. Dan Bung Karno meminta izin untuk menikahi Ibu Fatmawati, tetapi Ibu Inggit tidak mau di madu. Akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah setelah masa pembuangan di Bengkulu. Ibu Inggit mendampingi Bung Karno selama 20 tahun, dan mereka bercerai sebelum Bung Karno menjadi Presiden RI yang pertama.

Banyak hal yang kita dapati ketika membaca novel ini, pengorbanan, kesetiaan, dan hal lain yang dapat dilihat dari sudut pandang berbeda.  
  



Sabtu, 24 September 2016

Tentang Keputusan Saya Untuk Menonaktifkan Sebagian Sosmed - Saya Lagi Belajar


Mmh ... mungkin saat ini ada teman-teman yang masih bertanya dan belum sempat saya kabari dan rasanya saya tidak berkeinginan untuk mengabari. Bukan saya sengaja menghilang dari peredaran (:D) dan ingin dicari-cari. Saya hanya ingin belajar, itu saja. Belajar menghargai diri saya sendiri, belajar menghargai waktu, belajar menghargai orang-orang di sekitar saya (di dunia nyata), dan belajar menghargai apa yang telah saya miliki.

Hidup saya terlalu sempit rasanya jika saya habiskan di dunia maya. Ada 6 akun sosmed yang selalu nangkring di galeri hp saya (dulu) dan sekarang saya pangkas menjadi 3 saja. BBM, Line, Instagram (IG), Telegram, WA, dan Facebook (FB) yang selalu saya pantau silih berganti. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Astaghfirullah ... kadang bukan Al Quran yang saya buka ketika bangun pagi, tapi BBM atau yang lainnya, bahkan sebelum saya berwuduk.

Sebenarnya bukan tanpa alasan saya menggunakan beberapa akun sosmed tersebut. BBM saya gunakan karena di situ terdapat kontak Abang saya (Abang mudah dihubungi lewat BBM) dan ada kontak sahabat saya dari SMP yang dia juga lebih mudah dihubungi lewat BBM. Line saya gunakan karena di sana ada kontak kerja dengan menulis. IG, tujuan awal saya menggunakannya hanya untuk konsumsi pribadi, untuk mengamankan foto-foto saya yang resiko terdelete sewaktu-waktu lebih besar jika hanya saya save di flashdisk (fd) dan netbook (nb). Saya pernah 2 x kehilangan album SMA karena fd saya rusak, nasibnya tidak jauh berbeda jika saya save di nb. Makanya untuk IG saya membatasi follower, mohon maaf, orang-orang yang tidak saya kenal, tidak akan saya accept. Telegram, karena di sini banyak grup beasiswa. WA yang paling sering saya akses karena lebih fast respont daripada akun sosmed lain. Dan terakhir Fb tempat saya menemukan informasi bermanfaat. Untuk akun sosmed lainnya tidak usah ditanya, seperti Path atau yang lainnya, karena saya merasa belum terlalu perlu untuk menggunakannya. Pernah saya bikin akun Path tapi kemudian saya deactive. Kini, tinggalah Telegram, WA, dan FB yang masih nangkring di galeri hp saya.

Sekarang, kesimpulannya ... marilah kita berbenah diri. Saya ingin mengajak teman-teman untuk merenung sejenak. Saya menggunakan beberapa akun sosmed, saya mungkin bisa menggunakan semua akun sosmed. Lalu apa yang saya dapat? Ketenaran (hahah ...), pada awalnya saya berpikir pastinya kelancaran informasi. Tapi semakin ke sini lebih bnayak mudharat yang saya rasakan. Mata saya jadi sakit, pulsa jadi cepat habis, dan yang pasti capek hati. Why?? Membaca postingan orang-orang/ pengguna sosmed yang lain, banyak sedikitnya pasti berimbas pada diri kita. Mending itu postingan positif, bagaimana kalau itu postingan negatif. Postingan orang-orang yang suka mengeluh, yang berkata kasar, de el el. Masya Allah, saya ikut kecipratan aura negatifnya, hidup rasanya gak bersyukur banget. Maka dari itu, saya lebih baik tidak usah baca (tapi terbaca). Manajemen Qolbu. Beginilah cara yang saya lakukan.

Tampilan Blog Baru

Asalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Selamat malam blogger, sudah lama saya rasanya tidak update blog ini, terhitung mulai awal tingkat 4 kuliah, tepatnya sebelum skripsi. Maklum berbagai kesibukan yang sering saya kambing hitamkan, hehe. Tapi apapun itu, saya sudah sangat rindu, rindu menulis. Banyak hal yang ingin saya tulis di sini, masalah perjalanan hidup, soal kegagalan, perjuangan, dan cinta mungkin, hehe. Baiklah, saya akan mulai satu-persatu secara runtut, setelah postingan ini. Check it dot! ;)


Minggu, 14 Agustus 2016

MEA Dan Jati Diri Bangsa




Pasar bebas Asia Tenggara atau yang lebih dikenal dengan istilah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) telah diberlakukan. Keuntungan dan tantangan yang harus dihadapi Indonesia banyak disorot dengan diberlakukannya MEA ini. Faktanya, akses pasar bebas memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia yang berkompeten untuk bersaing di kancah internasional. Namun ini sekaligus menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia yang belum mampu memenuhi kualifikasi tinggi dari MEA.
Untuk menghadapi tantangan ini berbagai cara bisa dilakukan. Dari segi barang bisa dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas barang. Produk makanan misalnya, lebih ditingkatkan lagi dari segi packaging atau kemasan. Dari segi jasa, juga ditingkatkan dengan mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Hal ini perlu dilkukan oleh setiap individu, yaitu dengan menambah skill. Salah satu skill tersebut adalah menguasai bahasa asing untuk memperlancar komunikasi dengan Warga Negara Asing.
Dibalik semua usaha untuk menghadapi tantangan atau arus globalisasi ini, ada hal yang perlu diperhatikan yaitu jati diri bangsa. Bagaimana sebuah bangsa yang besar dapat terus mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan identitas diri. Salah satu identitas diri tersebut adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.
Masyarakat Indonesia boleh meningkatkan kualifikasi diri dengan mempelajari bahasa asing, namun tetap membudayakan bahasa Indonesia. Bangga menggunakan bahasa Indonesia adalah salah satu karakter yang perlu ditanamkan. Caranya dengan membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar jika berkomunikasi dengan sesama orang Indonesia dan lingkungan yang tidak menuntut menggunakan bahasa asing. Menggunakan bahasa asing hanya ketika berbicara dengan Warga Negara Asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia atau di lingkungan yang memang dituntut berbahasa asing. Selain itu bagi masyarakat Indonesia yang fasih berbahasa asing, hal ini bisa dijadikan ajang untuk mempromosikan bahasa Indonesia. Sementara itu, bahasa daerah juga patut dipertahankan agar tidak tergerus perkembanagn zaman.
 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design