Selasa, 14 Agustus 2018

Keluarga dan Tantangan Pendidikan Masa Depan

Sumber Gambar: sentika.wordpress.com



“. . . Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri . . . .”

Peringatan di atas tercantum dalam Al Quran surat Ar Ra’d ayat 11. Masih ingat kisah tentang kaum-kaum yang dibinasakan oleh Allah SWT? Kaum ‘Ad, kaum Tsamud, kaum Madyan, adalah beberapa dari rentetan kisah yang akrab di telinga. Kaum-kaum tersebut dibinasakan tersebab mereka gagal membangun peradabannya, gagal membangun akhlaknya, hingga Allah murka dan menampakkan kuasaNya sebagai pelajaran bagi umat yang akan datang.
Yang bertahan adalah yang lolos seleksi alam. Seleksi alam beragam jenisnya, bencana alam dan kemajuan teknologi tentunya. Di era milenial seperti sekarang ini tantangan kemajuan teknologilah yang paling berat dihadapi anak-anak kita. Anak-anak yang tidak mampu mengikuti kemajuan teknologi dengan bijak, maka akan tergerus perkembangan teknologi, akan rusak moralnya. Apabila moral sudah rusak, maka hancurlah peradaban.
Berbicara peradaban, berarti berbicara masyarakat; berbicara masyarakat, berarti berbicara keluarga. Keluarga sebagai unit masyarakat terkecil memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun peradaban masa depan. Seperti apa gambaran peradaban masa depan, dapat dilihat dari peradaban keluarga masa kini, bagaimana cara orang tua mendidik anak-anak mereka dan menjawab tantangan zaman.
Agama Landasan Utama
Keluarga adalah hal yang komplek. Membangun keluarga tidak [hanya] dimulai ketika ijab qabul terucap atau ketika sang anak lahir ke dunia, tapi jauh sebelum itu, dimulai dari cara setiap insan memilih pasangan hidupnya.
Dalam Al Quran Surah An Nur ayat 26 sudah dijelaskan bahwa, “Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).”
Sebegitu ditekankannya untuk memilih pasangan yang baik, sebab pasangan yang baik, mengerti akan tanggung jawabnya sebagai orang tua untuk menjaga dan merawat ‘titipan Allah’ dengan sepenuh hatinya. Terhadap calon anak, semenjak dalam kandungan Ibunya, pastikan untuk memberikan ‘makanan’ yang halal, dimana setiap makanan yang masuk ke dalam kerongkongan adalah hasil jerih payah dan hasil tetesan keringat Ayah yang halal. Sebab sari-sari makanan tersebut akan menjadi darah daging yang mengalir dalam tubuh anak sepanjang hidup dan hal itulah yang salah satunya mempengaruhi perilaku atau sikap seorang anak. Bagaimana kita harapkan anak yang sholeh dan sholehah, jika setiap rezeki yang kita suguhkan diragukan kehalalannya, bagaimana jika terdapat hak orang lain di dalamnya yang ‘tidak sengaja’ kita ambil? Lalu kepada siapa kelak kita memprotes, jika pada akhirnya tumbuh kembang anak-anak dengan tingkah dan perangai buruk.
Tanamkan tauhid pada jiwa anak-anak sejak dini, ajarkan mereka mengenal Tuhannya, Tuhan Yang Esa, yang menciptakannya, yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya, sehingga tumbuh rasa cinta dalam hatinya, rasa cinta yang mengakar kuat. Setelah itu baru kenalkan mereka dengan aturan-aturan yang harus mereka jalani sebagai bentuk rasa cintanya terhadap Tuhannya. Karena mustahil mengajarkan anak sholat tanpa diberitahu kenapa ia harus sholat.
Perempuan Kunci Peradaban
Pengajaran yang disebutkan di atas diperoleh pertama kali dalam lingkungan keluarga. Ibu sebagai madrasah pertama seorang anak memiliki peranan yang lebih besar. Untuk itu kita membutuhkan perempuan-perempuan cerdas dalam membangun peradaban zaman. Perempuan-perempuan cerdas memiliki kontribusi lebih besar akan lahirnya anak-anak hebat dan tangguh, anak-anak yang tidak mudah tergerus perkembangan zaman. Dan di bawah didikkannyalah (perempuan-perempuan cerdas) semua itu dapat tercapai. Cerdas tidak hanya berarti intelektual, tapi juga baik akhlaknya dan ini yang lebih utama!
Mulailah Dari Kebiasan Kecil
Hadist nabi mengatakan, “Sampaikanlah walau satu ayat”. Tidak perlu muluk-muluk, awali dengan kebiasaan kecil karena hal yang besar selalu berawal dari hal yang kecil. Ingin anak sholeh, rajin beribadah, mulailah dari rumah, mulailah dari orang tua. Beberapa orang tua di luar sana mengeluhkan remajanya susah untuk bangun pagi. Baliklah melihat kebiasaannya dari kecil, bagaimana kebiasaan si kecil dulu?
Ada yang mengatakan, karakter anakmu tergantung pagimu. Maka ciptakan suasana pagi yang sehat. Ayah Bunda dapat memulainya dengan bangun pagi sebelum sholat Subuh. Jika rata-rata sholat Subuh dilaksanakan di Indonesia pada pukul setengah lima, maka Ayah Bunda dapat bangun pukul empat. Tidak hanya Bunda yang notabenenya sebagai Ibu Rumah Tangga yang harus bangun lebih awal, tapi Ayah juga. Jika Ayah mampu bangun pagi, lalu Ayah membantu meringankan pekerjaan Ibu, seperti menyiapkan sarapan, maka pekerjaan rumah akan cepat selesai. Hal ini menjaga suasana hati istri. Menjaga suasana hati istri berarti menjaga suasana hati anak.
Hindari pagi yang repot, pagi yang hectic, pagi yang penuh dengan teriakan, pagi yang penuh emosi! Jangan sampai hecticnya pagi membuat suasana rumah tidak enak. Mulailah sholat Subuh tepat waktu, sholat berjamaah bersama putra dan putri kesayangan, dan sarapan pagi dengan tenang. Ciptakan suasana hangat di meja makan, bangun kedekatan sesama anggota keluarga, dan berangkatlah menunaikan aktivitas masing-masing dengan hati riang gembira. Ciptakan suasana seperti ini setiap hari.
Jalin Kedetakan Sesama Anggota Keluarga
Penuhi kebutuhan emosional anak, sebab anak-anak yang kebutuhan emosionalnya tidak terpenuhi, saat dewasa kelak akan menjadi lebih tidak merasa aman, kurang empati, dan dalam beberapa kasus ekstrim, memiliki gangguan keterikatan dan temperamen. Mengantisipasi hal ini terapkan attachment parenting─pola asuh anak yang baru berkembang lima tahun terakhir─jalin kedekatan sesama anggota keluarga. Ini adalah benteng yang kuat bagi anak agar terhindar dari pengaruh buruk lingkungan. Anak-anak yang memiliki ikatan emosional yang sangat kuat dengan orang tuanya, saat menemukan masalah di lingkungannya, anak akan pertama kali ‘lari’ ke orang tua, bukan ke orang lain, sebab anak sudah merasa rumah adalah sebaik-baik tempat pulang. Biasakanlah anak untuk selalu bercerita kepada orang tua. Sebab anak yang mudah bercerita kepada orang tua, akan mudah dikontrol perkembangannya. Jika anak pulang ke rumah dengan keadaan murung, segera respon. Orang tua harus sering ‘duduk’ bersama anak. Ajak anak bicara pelan-pelan, ciptakan suasana nyaman.
Jika sudah demikian, seberapa hebat pun pengaruh lingkungan, pengaruh media massa, maka anak akan mampu melewati tantangan dan rintangannya. Sebab aqidah sudah tertanam kuat dalam dirinya. Mari menjadi orang tua hebat! (Nelvianti)

Referensi: https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4929

#sahabatkeluarga                                                                             



 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design