Jumat, 27 September 2013

Sampai Akhir Hayatmu


Oleh : Nelvianti

 Aku masih menelan kekecewaan setelah kau tinggal pergi. Kamboja disamping pusaramu ini menjadi saksinya. Saat ini aku masih betah duduk bersimpuh memandangi batu nisanmu. Alven Bin Wardana. Nama itu sempat terpahat dihatiku. Tapi kini rangkaian nama itu mungkin telah jatuh berguguran, seperti gugurnya bunga kamboja.
Air mataku juga ikut jatuh membasahi tanah pekuburannya yang masih merah. Kejadian pahit masa itu melekat erat dibenakku.
Dua tahun lalu aku memutuskan meninggalkan Alven untuk melanjutkan studyku ke Jepang demi mendapatkan gelar dokter.
Saat itu Alven mencegahku, ia mengaku tidak sanggup menjalani hubungan long distance, tapi tekadku sangat kuat untuk memperbaiki masa depanku. Menjadi seorang dokter ahli penyakit jantung adalah cita-citaku dari kecil. Aku tidak bisa mempertaruhkan masa depanku untuk hal ini, walau sebenarnya berat bagiku.
Wajah papa selalu membayangiku. Papa yang harus meninggalkanku waktu aku berumur sepuluh tahun, kerena penyakit jantung koroner yang dideritanya.
Semenjak itu aku bertekad menjadi dokter spesialis jantung. Agar tidak ada lagi anak yang berpisah dari orang tuanya dengan cara seperti ini, agar tidak ada lagi orang yang bernasib sama seperti kami.
Sungguh ditinggal papa membuat kami sangat terpukul. Mama harus berjuang sendirian membesarkanku, karena semenjak ditinggal papa, mama tidak mau menikah lagi.
Aku berjanji, suatu saat nanti aku akan membahagiakan mama. Aku yakin, papa pasti tersenyum melihatku disurga sana. I love you father, I love you mother.
***
“Bagaimana dengan aku Merry?” Begitulah awal perdebatan Alven denganku sore itu, dibawah pohon yang rindang disudut taman. Kami berdiri saling berhadapan.
“Bukankah dalam setiap hubungan itu harus saling mempercayai? Kamu sendiri yang bilang begitu.” Aku kembali melempar pertanyaan kepada Alven.
“Aku bukan tidak mempercayaimu Merry. Aku ini pacarmu. Lelaki mana yang betah ditinggal pacarnya selama empat tahun.” Alven terus menghujamku dengan sejuta pertanyaannya.
“Aku ke Jepang bukan untuk senang-senang. Tapi aku kesana untuk mewujudkan cita-citaku menjadi seorang dokter spesialis jantung, itu impianku dari kecil. Aku yakin kamu paham itu.” Aku kembali mengulang penjelasan itu. Walaupun Alven sudah tahu maksud dan tujuanku ke Jepang, karena telah sering kali aku mengulangnya.
“Aku berharap kamu mempertimbangkan keputusanmu kembali.” Sepertinya berat sekali bagi Alven melepas kepergianku.
“Tapi aku akan tetap pergi.” Aku melangkah meninggalkan Alven yang diam terpaku.
***
Bandara Internasional Soekarno Hatta. Aku memasuki gerbangnya. Dengan yakin aku melangkah, langkahku berubah pelan ketika kuingat Alven. Aku menoleh kebelakang. Pandanganku mengitari setiap sudut bandara. Namun aku tidak melihat batang hidung Alven. Sesaat kulirik jam tanganku. Masih ada waktu lima menit lagi. Aku memutuskan untuk menunggunya. Aku yakin dia pasti datang.
Tapi setelah empat menit berjalan Alven tak kunjung datang. Apa dia memang tidak ikhlas dengan kepergianku? Ternyata dugaanku salah. Di ujung koridor kulihat Alven berlari-lari kecil. Dia berputar-putar mencariku, sepertinya dia tidak melihatku. Aku lalu melambaikan tangan kearahnya. Alven langsung menghampiriku dan memelukku.
“Aku akan menunggumu.” Ucapnya padaku. Lalu kutorehkan senyum perpisahan kepada Alven. “Selamat tinggal. Kita akan bertemu kembali.” Hanya kata itu yang sempat aku ucapkan, karena aku harus segera pergi meninggalkan Indonesia.
***
Hari pertamaku di Tokyo University cukup menyenangkan. Disini aku sangat memfokuskan diri pada pelajaran.Tapi aku tidak pernah lupa menghubungi Alven. Aku tetap menjalin komunikasi dengannya. Aku mengabari Alven saat pertama kali menginjakkan kaki di Haneda Airport.
Hari-hari berikutnya Alven sering menghubungiku. Dia sangat perhatian kepadaku. Dia selalu mengangkat telfonku dan dia tidak pernah telat membalas smsku. Aku rasa hubunganku dengan Alven dapat berjalan dengan baik.
Tapi akhir-akhir ini Alven jarang menghubungiku. Perhatiannya seperti berkurang kepadaku. Aku tidak terlalu mempermasalahkan jika Alven jarang menghubungiku. Mungkin saja dia lagi banyak pekerjaan dikantornya, sehingga dia butuh lebih banyak waktu untuk pekerjaannya. Aku masih dapat memaklumi itu.
Aku juga tak mempermasalahkan, jika aku selalu yang menghubunginya. Yang aku masalahkan setiap kali aku menelfonnya, dia sangat lama sekali mengangkat telfonku dan menjawab pertanyaanku dengan jawaban-jawaban singkat yang kurang respon.
Seperti waktu itu, saat terakhir kali aku menghubunginya. “Hallo Merry?” katanya padaku. “Hallo Alven, apa kabar?” sapaku. “Kabarku baik, tapi sekarang aku lagi meeting.” Hanya kalimat itu yang aku dengar dari mulut Alven. Masa untuk mengangkat telfonku saja dia tidak ada waktu. Tapi aku  tetap berusaha untuk mengerti itu, makanya dengan segera aku menutup telfonnya.
Aku menghela nafas dalam, aku menaruh ponselku diatas meja dan aku beranjak dari tempat dudukku. Aku berdiri dihadapan jendela. Sesaat aku nikmati hijaunya alam didepan kamarku.
Aku cukup beruntung mendapatkan rumah seperti ini. Pemandangannya sangat indah, aku bisa melihat puncak gunung fuji dari ranjangku. Tempatnya juga sangat sejuk dan nyaman dibandingkan dengan sebuah apartmen. Inilah alasannya aku tidak mau tinggal di apartmen.
Hampir dua tahun aku menjalani kuliah. Tugas-tugas kuliahku sedikit berkurang, tidak terlalu berat seperti awal kuliah. Jadi aku lebih banyak waktu luang untuk refresing.
Aku kepikiran untuk menghubungi Lauren. Lauren adalah sahabatku semenjak SMA. “Hallo sobat?” Sapaku pada Lauren saat menghubunginya.”
“Hai Merry.” Jawab Lauren. Sepertinya Lauren merasa terkejut menerima telfonku. “Bagaimanakah kabarmu?” Tanyaku. “Masih seperti yang dulu. Aku baik-baik saja.” Jawab Lauren. “Kamu sendiri bagaimana? Ke Jepang kok nggak bilang-bilang. “Tanya Lauren padaku. Sama sepertimu, aku baik-baik saja. Kamu ingatkan dulu aku pernah bilang, kalau aku ingin menjadi seorang dokter spesialis jantung.”
Aku mengingatkan Lauren masa-masa SMA dulu, dimana aku menjadi ketua PMR disekolah. Itulah langkah awalku untuk menjadi seorang dokter, dan Laurenlah satu-satunya sahabat yang selalu mendukungku, dan selalu ada untukku. Aku sering curhat pada Lauren. Lauren sangat mengenal diriku dan mengerti aku. Aku juga sangat mempercayai Lauren.
“Ya, aku tahu itu, karena itu  kamu relakan meninggalkan Alven?” terang Lauren padaku. “Dari mana kamu tahu? Kamu sudah ketemu sama Alven?” Tanyaku penasaran.
“Mmmmh, kemaren aku ketemu dia.” Jawab Lauren singkat. “Bagaimana kabarnya? Dia baik-baik sajakan?” Tanyaku kembali. “Ya. By the way, kamu udah travelling ke tempat wisata di Jepang belum?” Tiba-tiba Lauren mengalihkan pembicaraan. “Belum, rencananya minggu-minggu ini aku mau traveling, berhubung tugas kuliahku sedikit berkurang.” Jelasku pada Lauren.
“Oh. Kalau pulang nanti jangan lupa kabarin aku ya!” Pinta Lauren. “Ok. My friend.” Jawabku. “Sayounara.” Ucap Lauren. “Sayounara.” Balasku.
***
17 Juni. Hari ini adalah hari ulang tahun mama. Aku ingin pulang merayakan ulang tahunnya. Aku rindu mama.
Sebelum pulang aku travelling dulu mengelilingi Jepang. Sudah dua tahun aku di Jepang. Selama itu aku belum pernah mencuci mata melihat indahnya kota Tokyo, Kyoto, Hirosyima, Nagasaki, Osaka, dan kota-kota indah lainnya. Hari-hariku selalu disibukkan oleh pelajaran. Rasanya otakku begitu tegang.
Tempat pertama yang aku kunjungi adalah pusat perbelanjaan Jepang, Shibuya. Karena disini aku ingin shopping souvenir yang sangat spesial buat mama. Selanjutnya aku mengunjungi pusat perbelanjaan Harajuku dan Sinjuku. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan ke Ariake. Bangunan futuristik di Ariake sangat indah dan unik. Negeri matahari terbit ini memang menakjubkan. Aku sangat bangga dapat menginjakkan kaki disini.
Dan besok aku akan pulang ke Indonesia untuk beberapa waktu sampai liburanku selesai. Aku tak lupa untuk mengabari Lauren terutama Alven tentang kepulanganku. Namun, setelah kutelfon, ternyata nomor mereka tidak aktif. Aku jadi mengurungkan niatku untuk menghubunginya. Biarlah kepulanganku menjadi surprise buat mereka.
***
Tiada seorang pun yang menjemputku  di Bandara, termasuk mama. Aku memang sengaja tidak memberi tahu mama tentang kepulanganku, karena aku ingin memberikan surprise di hari ulang tahunnya. Dan aku berhasil membuat mama terkejut.
Mama bahagia sekali menerima hadiah dariku, sebuah tas cantik Ginza Tanaka Platinum Handbag. Itu adalah tas impian mama. Alven dan Lauren juga terkejut melihat aku pulang, karena mereka berpikir aku masih di Jepang.
Setelah melepas lelah aku langsung manyambangi Alven dirumahnya, aku tak sabar ingin bertemu dengannya. Seperti biasanya, rumah Alven tampak sepi dengan pintu depannya yang selalu terbuka. Sore-sore begini biasanya Alven bersantai-santai dibelakang rumahnya, dipinggir kolam renang. Akupun langsung masuk kebelakang.
Ternyata benar, ku lihat Alven sedang duduk dipinggir kolam. Tapi dia bersama dengan seorang perempuan, dan sepertinya aku kenal perempuan itu. Ya, itu adalah Lauren.
“Merry….kamu kapan pulang? Kok nggak ngasih kabar dulu, aku dan Alven kan bisa menjemputmu?” Tanya Lauren padaku. “Tadi siang. Aku sudah menghubungimu, tapi nomormu tidak aktif, nomor Alven juga.” Jelasku.
“Oh” Lauren dan Alven berpandangan. “Kebetulan sekali Lauren kamu ada disini, jadi aku tidak perlu kerumahmu mengantarkan cindera mata ini.” Aku memberikan sebuah cindera mata dari Jepang pada Lauren dan Alven.
Alven tersenyum melihatku. Akupun memeluknya. “Bagaimana kuliahmu?” Tanya Alven padaku. “Sejauh ini lancar-lancar saja. Kamu doain aja aku lulus tepat pada waktunya.” Pintaku pada Alven. “Pasti.” Jawab Alven.
Kamipun berbincang-bincang melepas rindu, aku banyak bercerita tentang Jepang pada mereka. Tentang keindahannya dan kedisiplinan orang-orangnya. Jujur jika kami telah berkumpul bertiga rasanya seperti sahabat yang tak terpisahkan. Apalagi Lauren sudah lama mengenal Alven dan akulah yang memperkenalkan Lauren pada Alven.
Saat kami sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba Lauren mual-mual. Aku melihat Lauren seperti orang yang lagi berbadan dua. Tapi tak mungkin Lauren hamil, aku segera membuang pikiran itu.
Akupun memutuskan membawa Lauren kerumah sakit, karena aku cemas melihat kondisinya. Tetapi Lauren menolak. Lauren menatap Alven dengan dalam, lalu air mata hangat menetes dipipinya. Sedangkan Alven hanya diam menunduk. Aku heran melihat hal itu.
Ada apa dengan mereka? Aku semakin heran, segudang pertanyaan menghantui pikiranku. Tapi tak ku temukan satupun jawaban dari pertanyaan itu. Lauren dan Alven tak berbicara sepatah katapun.
Apakah Lauren benar-benar hamil? Aku terus mendesak Lauren dengan pertanyaan-pertanyaanku. Tapi tetap Lauren tidak mau bicara, dia hanya diam membisu. Lalu Alven menasehatiku untuk tidak memaksa Lauren. Aku mulai curiga, apa hubungannya dengan Alven?
“Maafkan aku Merry.” Akhirnya Lauren buka mulut. “Kamu benaran hamil?” Lauren hanya menjawab pertanyaanku dengan anggukan. Lalu apa maksud permintaan maaf itu. Apa dia mau bilang kalau Alven yang menghamilinya? Tak mungkin Lauren mengatakan hal itu, dan aku berharap tak mendengar jawaban itu dari mulutnya.
“Siapa yang menghamilimu?” aku mau Lauren segera menjawab pertanyaanku. Lagi-lagi Lauren tak mengatakan apa-apa. Tangisnya semakin deras. Kecurigaanku bertambah. Tolong jawab Lauren, aku membutuhkan jawabanmu!”
Lauren terdiam cukup lama. Dan aku biarkan Lauren menangis sepuasnya. Akhirnya Lauren menyebut satu nama. Alven.
“Apa?” sontak aku terkejut. Ini sungguh kejutan yang luar biasa bagiku, melebihi kejutanku  pada mereka. Aku memandangi Alven, mataku berkaca-kaca. Aku berharap Alven mengatakan sesuatu, aku berharap Alven mengatakan kalau itu semua tidak benar.
Tetapi Alven tidak berusaha mengklarifikasi hal itu, mulutnya seakan terkunci. Bahkan dia tidak berani memandang mataku, dan aku merasa saat itu Alven bukanlah seorang pria yang gentleman. Aku tidak menemukan sosok Alven yang selama ini aku kenal, Alven yang dewasa, Alven yang bijaksana. Semua penilaianku terhadapnya terpatahkan pada saat itu. Aku telah salah menilainya.
Dan aku tidak perlu mendengar penjelasan apa-apa lagi dari mereka. Bukti ini sudah cukup bagiku bahwa benar Alven telah menghamili Lauren. Mereka berdua telah mengkhianatiku. Dan aku tak perlu berlama-lama lagi berdiri disini, aku segera meninggalkan mereka.
Alven berlari mengejarku, dengan cepat kupacu mobilku. Sesampai dirumah langsung kukunci pintu, dan aku masuk kekamar. Lalu kehempaskan tubuhku diatas sofa. Aku menangis sejadi-jadinya.
Mama yang duduk diruang tamu menyusulku, aku memeluk mama dengan erat. Saat ini hanya mama yang dapat memberikan ketenangan untukku. Setelah sahabatku, tempat curahan isi hatiku menikamku dari belakang. Aku menceritakan semua yang kualami kepada mama.
Awanpun mendung semendung hatiku saat ini. Dan akhirnya ia tidak sanggup menahan butir-butir mutiaranya yang melimpah ruah hingga rezki itu jatuh kebumi, seperti air mataku yang tak berhenti mengalir dan membasahi pundak mama. Air mataku yang tak kalah derasnya dengan hujan yang turun saat ini.
Aku melepaskan pelukanku pada mama, kemudian aku berdiri di samping jendela. Dari balik tirai kamarku, kuintip Alven yang berdiri tegak dihalamanku. Sepertinya dia tidak menghiraukan hujan yang membasahi tubuhnya.
Mama lalu mengahampiriku, dia membelai rambutku. Dengan lembut mama menyuruhku untuk menemui Alven. Mama memang bukanlah orang yang emosional. Dia selalu menghadapi setiap masalah dengan sabar, walau seberat apapun masalah itu. Cobaan berat yang pernah kami alamilah yang membuat mama sesabar ini. Setidaknya, sifat itu mengalir dalam diriku. Demi mama akupun turun kebawah menemui Alven.
“Aku benar-benar minta maaf Merry. Aku khilaf, ini semua diluar dugaanku.” Jelas Alven padaku. “jangan pernah menyalahkan keadaan. Nasi sudah menjadi bubur, kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Nikahilah Lauren! aku rela melepasmu.” Aku berusaha tegar dihadapan Alven, walau ini sangat menyakitkan.
“Tapi aku masih mencintaimu Merry.” Ungkap Alven. “Angin yang berhembus tidak akan kembali ketempat asalnya. Pergilah! Jangan ganggu aku lagi.”
Aku tak tahu apa yang harus ku katakan lagi. Aku rasa ini keputusan yang terbaik. Sebenarnya aku kasihan melihat Lauren, walaupun dia telah menyakitiku aku berusaha untuk memaafkannya. Bagaimanapun juga Lauren lebih membutuhkan Alven dari pada diriku. Sebab Lauren tidak bisa membesarkan seorang anak tanpa seorang ayah.
Untung Alven mengerti kondisiku, dan dia mau menyeret langkahnya meninggalkan rumahku. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri.
Beberapa saat setelah Alven pergi, tiba-tiba ponselku berdering. Aku mendapat kabar bahwa Alven kecelakaan dari teman kantornya.
***
Mama mengajakku pulang, dan aku melangkah meninggalkan pusara Alven. Aku tak dapat menggambarkan perasaanku saat ini, setelah dua orang yang aku sayangi pergi meninggalkanku. Yang jelas aku berusaha untuk mengikhlaskannya. Aku tak tahu bagaimana kabar Lauren saat ini, karena semenjak saat itu aku tidak pernah bertemu Lauren. Yang aku pikirkan sekarang, apakah aku masih bisa melanjutkan kuliahku yang tinggal dua tahun lagi atau tidak.

PICING



Oleh: Nelvianti

“Picing berkicau lagi. Siapakah yang akan meninggal hari ini?” Amak[1] bergumam sendiri. Ia berdiri di depan pintu, matanya mengitari dahan pohon di sekeliling gubuk kami. “Itu cuma kicauan burung biasa Mak, ndag ada sangkutannya dengan kematian.” Jawabku sekenanya sambil membersihkan motor butut kesayanganku.
“Kamu jangan meremehkan petuah orang tua Lim!” Amak berlalu masuk ke dalam rumah. Amak memang terlalu fanatik terhadap kepercayaan leluhur yang berkembang di kampung kami. Menurut mereka kalau burung picing berkicau berarti itu pertanda akan ada orang yang meninggal, tepatnya sebuah panggilan kematian. Burung yang berbulu hitam legam itu kerap berkicau di siang hari. “Picing… picing.” Begitulah suara burung picing, oleh sebab itu warga sering menyebutnya dengan picing.
“Mande Rubiah… Mande Rubiah…” Panggil Uda  [2]Agus kepada Amak. Nafasnya ngos-ngosan setelah dipaksa berlari-lari. “Ada apa Da?” aku berdiri dengan tangan yang masih berbusa. “Mana Amakmu Lim?” Uda Agus balik bertanya. “Mengapa wa’ang [3]berteriak-teriak Gus?” tiba- tiba Amak keluar dari dapur. “Ini Mande. Tek[4] Rosna sudah dahulu.”
Innalillahi wainnaillahi rojiun…” ucapku menyertai ucapan Amak. Tanpa basa-basi lagi Amak langsung melayat bersama Uda Agus, karena itu artinya sebuah tugas buat Amak  untuk memandikan jenazah. Oleh sebab itulah Amak dipanggil Mande Rubiah, yaitu sebuah panggilan kepada orang yang biasa memandikan jenazah di Minang.
Sudah cukup lama Amak dimintai tolong oleh warga kampung memandikan jenazah, tepatnya setelah nenek meninggal. Sebelumnya neneklah yang mengemban tugas suci itu dan kini diturunkan kepada Amak.
Sebelum pergi kuliah aku sempatkan menjenguk Tek Rosna. Hanya sebentar, setelah itu aku langsung ke kampus. Sempat aku mendengar celotehan dari kerumunan ibu-ibu yang berdiri di pinggir jalan sehabis melayat, “Ini pasti ada hubungannya dengan picing yang berkicau tadi.” Ucap salah seorang dari mereka. “Iya. Kemaren aku lihat Tek Rosna keluar rumah tua itu.” Imbuh yang lainnya.
 Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar ocehan mereka. Memang sulit memberi pengertian kepada warga kampung sini yang sangat fanatik dengan ajaran dan kebudayaan leluhurnya. Sudah sering kali hal ini aku sampaikan kepada Amak dan Uda Agus, tapi Amak malah marah bahkan aku sempat ribut dengan Uda Agus.
Dia tidak terima aku memberikan penjelasan kepada warga soal  burung picing dan kematian yang menyertainya. Uda Agus berang, katanya aku mahasiswa yang tidak berguna, suka menyebarkan ajaran palsu. Aku marasa dipojokkan. Amak memperingatiku untuk tidak mengrurusi hal-hal seperti itu lagi.
“Kenapa lagi Lim?” Arman menyentuh bahuku yang masih terbengong-bengong memikirkan kejadian tadi pagi. “Mending kamu selidiki saja daripada kamu capek-capek mikir begini!” Sepertinya Arman tahu apa yang mengganggu pikiranku. Ia menarik kursi dan duduk dihadapanku. Suasana di kafe kampus siang ini tidak begitu beda, seperti biasanya selalu disibukkan oleh aktifitas para pencari ilmu.
“Bagaimana caranya?” aku masih saja terpekur. Kedua tanganku aku kepalkan menopang daguku. “Urusan gampang itu! kamu serahkan saja kepadaku. Nanti kita minta bantuan si Hamid dan si Abdul. Bagaimana?” usul Arman. “Terserah kamu sajalah.” Aku beranjak meninggalkan kafe.
“Oke. Kalau begitu aku tunggu kamu di rumahku pukul 7 malam nanti. Tak begitu aman kalau bicara di rumahmu.” Ucap Arman kawanku yang terkenal jenius ini.
Beberapa hari yang lalu waktu pulang kuliah aku lewat di depan rumah tua yang ditinggal pemiliknya. Dulu rumah itu dihuni oleh keluarga Belanda. Tapi semenjak Indonesia merdeka keluarga Belanda itu kembali ke negara asalnya. Rumah itu tampak suram dan kotor. Apabila lewat maghrib tidak ada yang berani lalu di depan rumah itu. Kata mereka rumah itu angker. Aku hanya bergidik mendengar gosip itu. Tak ada pilihan lain buatku untuk tidak melewati rumah itu, karena akan memakan waktu setengah jam jika aku harus lewat memutar menghindari rumah itu.
“Brak…gedubrak.” Tiba-tiba aku mendengar suara benda jatuh dari dalam rumah itu. Aku tertegun. Sempat aku mengintip ke dalam rumah itu lewat pagarnya yang tinggi menjulang. Sekelabat aku melihat ada bayangan hitam yang melintas di ruang tengah rumah itu. Samar-samar, karena rumah itu hanya diterangi lampu lima watt di pojok terasnya.
Aku menyeruput kopi di teras rumah Arman bersama Abdul temanku yang bertubuh gempal dan Hamid temanku yang terkenal tampan diantara kami berempat.  Sudah lama kami bersahabat, tepatnya semenjak kami diospek. Selain itu rumah kami juga tidak terlalu jauh. Arman masih satu kampung denganku. Hanya Abdul dan Hamid yang tinggal di kampung sebelah.
“Jadi apa rencana kita kali ini?” tanyaku membuka pembicaraan. Asap kopi yang hangat mengepul dari mulutku di malam yang dingin ini. Asap itu berputar-putar sejenak lalu mengembang dan menghilang disapu angin malam. Seperti pikiranku saat ini yang mengembang memikirkan tentang tahayul di kampungku.
“Aku penasaran dengan rumah Belanda itu.” Kata Arman memainkan puntung rokoknya. “Mengapa setiap orang yang masuk rumah itu selalu meninggal?” lanjutnya. “Itu kan cuma dugaan warga sini.” Bantahku. “Iya. Aku juga tak sependapat dengan mereka.” Kata Arman. 
“Tapi tak bisa dipungkiri juga! Rumah tua, Picing, dan kematian. Semuanya berkaitan.” Kenyataanya memang seperti yang dikatakan Hamid, picing berkicau, lalu ada orang yang meninggal setelah itu. Tek Maimun, Tek Jannah, dan terakhir Tek Rosna. Usut punya usut, orang yang meninggal itu sebelumnya sempat masuk ke rumah Belanda.
 “Jadi apa yang harus kita lakukan?” kali ini Abdul buka suara. “Begini saja, kita pasang handycam di rumah itu! Sehari sesudah itu bisa kita ambil dan kita lihat hasilnya.” Argumen Arman.
“Siapa yang berani? aku tak mau masuk rumah angker itu.” Ujar Abdul, selain hobi makan ia juga penakut. “Ah… payah kau Dul!” ledek Hamid. “Kalau kau ketemu hantunya, pasti hantunya yang ketakutan melihat kau Dul.” Tambahku. “Hahaha…” ucapanku ditingkahi gelak tawa mereka.
Seperti yang sudah kami rencanakan malam sebelumnya, malam ini kami akan memulai aksi. Sehabis sholat Isya kami telah mempersiapkan semuanya. Masih terlalu sore memang, tapi keadaan kampung sudah lengang. Tidak ada warga yang lalu lalang jadi cukup aman buat kami, tidak perlu khawatir gerak-gerik kami akan dilihat orang lain. Di kampungku tidak ada aktifitas ronda malam, sehabis maghrib warga sudah berdiam diri di rumah. Mereka seperti ketakukan. Kata mereka noni-noni Belanda sering bergentayangan.
Ah, lagi-lagi masalah rumah tua itu. Aku kesal, aktifitas kampungku seperti mati dibuatnya. Tak ada satupun warga yang berani mendekati rumah itu, walaupun pada siang hari.
“Hati-hati Man!” ucapku pelan kepada Arman yang memanjat memasang handycam di ventilasi rumah itu. “Sudah. Selesai.” Arman turun. “Pegal juga pundakku Man menopang tubuhmu.” Keluh Abdul seraya memijit-mijit lehernya. “Ayo pergi! Nanti keburu dilihat orang.” Ajak Hamid sedikit was-was.
Aku berjalan terburu-buru. Bug. Tubuhku menabrak sesuatu. “Halim! Apa yang kau lakukan disini?” tanya Uda Agus yang sudah berdiri di depanku. Aku tergagap.
“Kami dari rumah Halim Da, habis belajar kelompok.” Jawab Arman santai. Uda Agus mendelik, ia seperti menganalisa. “Oh…” akhirnya kata itu yang keluar dari mulutnya. Kami pun berlalu meninggalkan Uda Agus yang diam terpaku.
Udara pagi ini sangat sejuk, rugi kalau tidak dirasakan. Untuk itu aku sempatkan olahraga, sedikit berlari-lari kecil keliling kampung. Kampungku terletak di kaki bukit yang permai, diapit oleh sungai yang mengalir jernih dan lingkungannya yang masih asri.
Aku berhenti di tepi sungai. Tiba-tiba mataku tertuju kepada dua orang yang berbicara sangat serius di ujung sana. Kalau aku tidak salah lihat itu adalah Uda Agus. Ya benar, itu memang Uda Agus. Tapi apa yang dia lakukan disini? diakhir pembicaraannya ku lihat pria berjas itu menyalami Uda Agus sambil menenteng sebuah koper, lalu ia masuk ke dalam mobilnya. Aku bersembunyi di balik pepohonan saat mobil mewah itu melintas dihadapanku.
“Lim, kok akhir-akhir ini banyak beredar uang palsu di kampung kita?” ucap Hamid kepadaku di kampus siang ini. “Iya, kemaren Amak ku juga mengeluh saat uang yang dibelanjakannya tidak laku karena dibilang palsu oleh petugas bank.” Abdul nimbrung.
Aku terdiam dalam keheranan mengingat kejadian tadi pagi. “Lim, jangan lupa nanti malam kita ambil handycam.” Arman menyembul dari belakang mengingatkanku.
***
            Sebuah handyacm sudah berada di tangan Arman. Kami mengambil posisi duduk berjejer di kursi di ruang tengah rumah Arman. Aku begitu penasaran, bagaiman hasil observasi kami malam kemaren.
            “Wah… agak gelap, pencahayaannya kurang bagus.” Gerutu Arman. Tiba-tiba sebuah lampu menerangi ruangan itu. Kami akhirnya bisa melihat dengan jelas, tapi aku heran siapa yang menyalakan lampu di dalam rumah itu? “Lihat! Ada sosok hitam.” Tunjukku pada handycam. Kawanku memperhatikan. “Sepertinya aku kenal sosok itu, hitam, pendek, dan berjambang.”
            “Uda Agus!” ucapku serentak dengan Arman. “Tapi tunggu, dia tidak sendirian. Ada empat orang lagi.” Hamid mengamati. Apa yang dilakukan Uda Agus di rumah tua ini? kami menunggu sebuah jawaban besar. Terlihat Uda Agus membopong sebuah peti dari dalam kamar rumah itu. Di sampingnya ada sebuah mesin mirip tempat pencetakkan kertas, serta di bawahnya berserakan tinta aneka warna. 
            Salah satu dari empat orang itu membuka peti yang dibopong oleh Uda Agus. Astaga! Kami terkesiap menyaksikan isi dari peti itu. Berpuluh-puluh lembar uang seratus ribu rupiah menumpuk memenuhi peti itu.
            Sekarang sudah jelas pikirku. Mengapa selama ini Uda Agus selalu memarahiku setiap kali aku membahas soal picing dan melarangku mendekati rumah tua itu. Kejadian ini langsung kami laporkan kepada ketua RW dengan membawa bukti hasil rekaman itu. Pak RW manggut-manggut saat kami jelaskan tentang video itu. Akhirnya kami berencena akan menyergap Uda Agus dan rekan-rekannya esok malam.
            Malam ini ramai warga menyaksikan Uda Agus dan empat orang temannya digondol oleh polisi. Uda Agus sempat melirik kepadaku, tatapannya penuh dendam dan amarah. Aku hanya tersenyum puas, akhirnya apa yang meresahkan warga selama ini dapat kami buktikan.
            Uda Agus sengaja memanfaatkan tahayul ini untuk melancarkan usaha sindikat pembuatan uang palsunya. Ia semakin menebar-nebarkan gosip seram tentang rumah tua itu agar tidak ada warga yang berani mendekati rumah itu, sehingga ia bebas menggunakan rumah itu sebagai markasnya.
 Masalah picing dan kematian itu hanya suatu kebetulan. Kini Amak percaya kepadaku, juga warga kampung.
            “Picing… picing..” burung itu berkicau lagi. Tapi warga hanya menganggapnya sebuah kicauan burung belaka.
***




[1] Amak: ibu, dipakai untuk panggilan kepada ibu di Minang.
[2] Uda: abang, dipakai untuk panggilan kepada saudara laki-laki yang lebih tua di Minang.
[3] Wa’ang: kamu, kata ganti orang kedua. Dipakai hanya kalau berbicara dengan orang seumur atau lebih muda (bahasa Minang).
[4] Tek atau etek: tante, dipakai untuk panggilan kepada perempuan yang seangkatan ibu. Tidak dipakai untuk paqnggilan kepada perempuan yang seangkatan kakak (bahasa Minang).

Mendung di Wajah Ibu



Oleh: Nelvianti

Mendung itu akhirnya luruh juga, bersama untaian kata dari mulut ibu yang menghunjam jantungku. Sebuah pengakuan yang  membuatku menyesal untuk mengetahuinya. Aku lebih baik tidak mendengar jawaban itu dari mulut ibu daripada harus merasa sakit seperti ini. Jawaban dari sebuah pertanyaan, siapa ayahku?
Sudah sering ku tanyakan hal itu kepada ibu. Tapi setiap kali aku bertanya, setiap kali juga ibu menangis. Akhirnya ku urungkan niatku untuk mengetahuinya. Tapi kali ini tidak. Kali ini ibu bercerita panjang lebar hal ikhwal kelahiranku di dunia yang fana ini.
“Ibu hampir saja bunuh diri nak.” Bibir ibu basah oleh bulir bening yang menetes dari matanya. Ku usap bulir itu, terasa hangat di tanganku. “Tapi karna mengenangmu, perbuatan laknat itu tak jadi ibu lakukan.” Aku menatap wajah ibu sayu. Ada rasa sakit di hulu hatiku. Tak tahu siapa yang harus ku salahkan.
Perhalan ku tarik nafas, dalam… ku rasakan hembusan angin malam yang menyelimuti gubuk kami. Ku biarkan uap-uap kesedihan itu terbang diterpa angin. Agar tak ada lagi mendung di wajah ibu, agar aku bisa melihat senyum ibu. Senyum kebahagian bukan senyum keterpaksaan.
Ibu memang selalu berusaha tersenyum dihadapanku, tapi aku tahu di balik senyum itu ada sesuatu yang disembunyikan ibu. “Ketika itu ibu masih duduk di kelas dua SMP…” Ibu menerawang.
***
Kicauan burung terdengar sangat syahdu sekali, mengiringi langkah kaki seorang siswi SMP yang baru pulang sekolah.
“Asalamualaikum… Sekar pulang…” Tak ada yang menjawab salam Sekar. Sekar langsung menuju dapur, matanya mengitari setiap sudut dapur. “BAR…” Terdengar suara pintu dihempaskan. Sekar menoleh ke belakang, seorang laki-laki cungkring keluar dari dalam kamar.
“Ibu mana yah?” Tanya Sekar kepada laki-laki empat puluh tahunan itu. “Ibumu pergi ke ladang.” Pria itu lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kunci, dengan sigap ia mengunci pintu. Ia memaksa Sekar  masuk ke dalam kamar. Namun Sekar berontak, alhasil sebuah tamparan mendarat dipipinya. Membuat Sekar ketakutan, ia tak berdaya melawan hasrat laki-laki bejat itu yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri.
***
            Aku shock mendengar penjelasan ibu. Bagaimana bisa seorang ayah tega menodai anak kandungnya sendiri? Ada rasa jijik yang timbul dalam diriku. Aku jijik terhadap diriku sendiri, aku tak ingin dilahirkan seperti ini. Mengapa ibu tak menggugurkan saja dulu janin itu? Mengapa? Mengapa semua ini harus terjadi kepadaku?
Begitu banyak pertanyaan yang menghimpit otakku. Kepalaku terasa berat, ada tekanan yang begitu besar ku rasakan. Namun ku coba menenangkan diri, jika ibu bisa setegar ini maka aku juga harus bisa. Begitu ku teriakkan dalam diri setiap kali aku merasa putus asa. Putus asa terhadap susahnya kehidupan yang ku rasakan saat ini.
Ibulah penyemangatku. Hanya ibulah yang ku punya di dunia ini. Dia bagaikan intan permata bagiku, mutiara mulia dari surga. Dirinya begitu kuat, sekuat batu karang yang berdiri kokoh walaupun diterjang ombak berkali-kali.  Ia bukan hanya seorang ibu, tapi juga seorang kepala keluarga. Ia tidak pernah mengeluh sedikitpun walaupun tak ada beras yang ditanak untuk esok.
 Ibu mengajarkanku arti rasa syukur. Tidak cengeng menghadapi kejamnya dunia, selalu berusaha dan berdoa. Ibu seorang yang pekerja keras. Ia rela bekerja serabutan demi menghidupiku, melihatku mengenyam bangku sekolahan sama seperti anak yang lainnya.
Ibu bekerja sebagai buruh tani di sawah milik tetangga. Walau hujan badai menghadang ibu tetap turun ke sawah menancapkan setiap bibit padi itu ke dalam lumpur. Aku sangat khawatir kalau tiba-tiba saja petir datang menyambar. Sungguh aku tak bisa bayangkan, aku selalu berdoa untuk keselamatan ibu.
Pulang dari sawah ibu tak langsung ke rumah, ia lanjutkan mencari kayu bakar di bukit belakang rumah. kayu bakar itu nanti ibu kumpulkan untuk dijual. Lumayan untuk membeli lauk-pauk kata ibu. Sekembali dari bukit ibu langsung memasak dirumah, mencuci, dan membereskan rumah.
 Hingga pukul sepuluh malam ibu baru bisa terlelap menjemput mimpinya yang telah terkubur semu. Begitulah setiap hari ibu bekerja keras, pergi pagi pulang petang. Bahkan ketika bangun pagi aku tak sempat melihat ibu karena ia telah lebih dulu menantang fajar, mencari rezeki.
  Aku sangat ingin membantu ibu, tapi ibu melarangku. Pernah suatu ketika aku bolos sekolah untuk menjadi tukang semir sepatu. Ibu marah besar kepadaku mengetahui hal itu. Dia sampai menitikkan air mata.
“Kamu harus sekolah nak! Ibu ingin melihatmu sekolah hingga serjana. Menjadi orang sukses biar tak melarat seperti ibu ini. Biar tak selalu dihina orang.” Ibu memperingatkanku kala itu dengan nada yang sedikit mengancam.
Aku tak bisa menjawab apa-apa, aku menjadi serba salah. Apa gunanya aku? Aku seorang anak laki-laki! Seharusnya aku tak membiarkan ibu susah-susah begini. Tapi aku sudah berjanji dalam hati kecilku, akan membahagiakan ibu lewat prestasiku di sekolah.
Tekanan bathin yang dirasakan ibu selama ini memang cukup besar. Tak mudah menghadapi hinaan tetangga terhadap perlakuan ayah di masa lalu. Ibu sampai di usir setelah aku lahir. Aku juga seriang diteriaki teman-teman setiap pulang sekolah. “Ayahmu adalah kakekmu!! Haha… haha…”
Sungguh menyakitkan memang. Ingin ku tonjok muka mereka satu-satu, agar mereka tahu bagaimana caranya menghargai orang lain. Tapi ibu telah menanamkan sifat sabar dalam diriku semenjak aku lahir. Sehingga membuatku lebih dewasa dalam menyikapi setiap masalah.
 “Ibu sudah menceritakan kepada nenekmu nak. Nenek melaporkan kakekmu sekaligus ayahmumu ke polisi. Ia di penjara, sedangkan nenek meninggal seminggu setelah kamu lahir.” Ibu kembali melanjutkan kata-katanya. Suara ibu parau, kerongkongannya seperti tercekat duri. Duri yang merongrong kehidupan ibu selama ini.
            “Lalu sekarang dimana ayah bu?”
            “Ibu tidak tahu, entah dimana ayah tinggal setelah keluar dari penjara.”
            Ah sudahlah, untuk apa ku tanyai laki-laki itu? Hati kecilku berkata. Yang perlu aku pikirkan sekarang adalah kebahagian ibu. Aku tak boleh mengecewakan ibu, aku harus menjadi anak laki-lakinya yang baik.
            “Tok..tok…tok…” Tiba-tiba pintu rumah kami digedor dengan sangat keras sekali. Ibu cepat-cepat mengusap air matanya dan keluar membuka pintu. Aku mengiringi di belakang.
            “Mana sewa kontrak kalian?” Seorang perempuan bertubuh gempal berdiri di depan pintu. Dandanannya menor. Matanya mengisyaratkan betapa bengisnya ia.
            “Maaf bu, kami belum bisa bayar.” Ibu merintih. “Tolong beri kami waktu seminggu lagi!” Pinta ibu. “Tidak ada. Ini sudah minggu ke berapa? Sudah tiga bulan kalian menunda kontrakan.” Ibu gendut itu marah-marah. Dua orang centangnya berdiri dengan siaga, dia mendorong ibu hingga terjatuh.
            “Hei…!  Jangan kasar pada ibuku!”      Bentakku kepada laki-laki bertato itu. “Sudahlah, lempar saja mereka berdua keluar!” Perintah perempuan itu kepada anak buahnya.
            Kami tak berdaya, akhirnya kami keluar hanya dengan membawa beberapa helai baju. “Kita tidur dimana malam ini bu?” “Nanti kita berteduh aja di mushalla ya.” Ajak ibu sambil menutupi kepalaku dari guyuran hujan.
            “Kamu nggak boleh sakit, besok kamu harus sekolah.” Ibu masih memikirkan sekolahku. Beruntunglah ada dana BOS, sehingga ibu tidak perlu memikirkan biaya sekolahku. Di kelas aku juga selalu menjadi jawara, sehingga aku sering mendapatkan beasiswa berupa seragam dan buku-buku pelajaran.
            Akhirnya dari kumpulan kardus-kardus bekas kami berhasil membuat sepetak tempat tinggal untuk sekedar berteduh. Semalam selesai sholat tahajud kami tertidur di mushalla. Beruntunglah tidak ada yang mengusir kami.
            Tadi malam aku berdoa agar ibu aku bisa membahagiakan ibu.

Sarang media




Kompas
opini@kompas.co.id
1.000.000,- s.d. 1.500.000,-

Jawa Pos
editor@jawapos.co.id
1.000.000,-

Koran Tempo
ktminggu@tempo.co.id
750.000,- s.d. 1.000.000,-

Majalah Horison
horisoncerpen@gmail.com, & horisonpuisi@gmail.com
500.000,-

Suara Pembaruan
koransp@suarapembaruan.com
400.000,-


Republika
sekretariat@republika.co.id
400.000,-

Jurnal Nasional
redaksi@jurnas.com
400.000,-

Suara Merdeka
triwikromo@yahoo.com
300.000,-

Jurnal Cerpen Indonesia
jurnalcerita@yahoo.com
250.000,-

Majalah Story
story_magazine@yahoo.com
250.000,-

Lampung Post
redaksi@lampost.com
200.000,-

Majalah Sabili
elkasabili@yahoo.com
200.000,-

Jurnal Bogor
donyph@jurnas.com
150.000,-

Surabaya Post
redaksi@surabayapost.co.id
150.000,-

Berita Pagi
huberitapagi@yahoo.com
100.000,-

Analisa
rajabatak@yahoo.com
100.000,-

Global
teja_purnama@yahoo.com
100.000,-

Waspada
sunanlangkat@yahoo.com
50.000,-

Padang Ekspres
yusrizal_kw@yahoo.com
75.000,-

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design