Jumat, 27 September 2013

Sampai Akhir Hayatmu


Oleh : Nelvianti

 Aku masih menelan kekecewaan setelah kau tinggal pergi. Kamboja disamping pusaramu ini menjadi saksinya. Saat ini aku masih betah duduk bersimpuh memandangi batu nisanmu. Alven Bin Wardana. Nama itu sempat terpahat dihatiku. Tapi kini rangkaian nama itu mungkin telah jatuh berguguran, seperti gugurnya bunga kamboja.
Air mataku juga ikut jatuh membasahi tanah pekuburannya yang masih merah. Kejadian pahit masa itu melekat erat dibenakku.
Dua tahun lalu aku memutuskan meninggalkan Alven untuk melanjutkan studyku ke Jepang demi mendapatkan gelar dokter.
Saat itu Alven mencegahku, ia mengaku tidak sanggup menjalani hubungan long distance, tapi tekadku sangat kuat untuk memperbaiki masa depanku. Menjadi seorang dokter ahli penyakit jantung adalah cita-citaku dari kecil. Aku tidak bisa mempertaruhkan masa depanku untuk hal ini, walau sebenarnya berat bagiku.
Wajah papa selalu membayangiku. Papa yang harus meninggalkanku waktu aku berumur sepuluh tahun, kerena penyakit jantung koroner yang dideritanya.
Semenjak itu aku bertekad menjadi dokter spesialis jantung. Agar tidak ada lagi anak yang berpisah dari orang tuanya dengan cara seperti ini, agar tidak ada lagi orang yang bernasib sama seperti kami.
Sungguh ditinggal papa membuat kami sangat terpukul. Mama harus berjuang sendirian membesarkanku, karena semenjak ditinggal papa, mama tidak mau menikah lagi.
Aku berjanji, suatu saat nanti aku akan membahagiakan mama. Aku yakin, papa pasti tersenyum melihatku disurga sana. I love you father, I love you mother.
***
“Bagaimana dengan aku Merry?” Begitulah awal perdebatan Alven denganku sore itu, dibawah pohon yang rindang disudut taman. Kami berdiri saling berhadapan.
“Bukankah dalam setiap hubungan itu harus saling mempercayai? Kamu sendiri yang bilang begitu.” Aku kembali melempar pertanyaan kepada Alven.
“Aku bukan tidak mempercayaimu Merry. Aku ini pacarmu. Lelaki mana yang betah ditinggal pacarnya selama empat tahun.” Alven terus menghujamku dengan sejuta pertanyaannya.
“Aku ke Jepang bukan untuk senang-senang. Tapi aku kesana untuk mewujudkan cita-citaku menjadi seorang dokter spesialis jantung, itu impianku dari kecil. Aku yakin kamu paham itu.” Aku kembali mengulang penjelasan itu. Walaupun Alven sudah tahu maksud dan tujuanku ke Jepang, karena telah sering kali aku mengulangnya.
“Aku berharap kamu mempertimbangkan keputusanmu kembali.” Sepertinya berat sekali bagi Alven melepas kepergianku.
“Tapi aku akan tetap pergi.” Aku melangkah meninggalkan Alven yang diam terpaku.
***
Bandara Internasional Soekarno Hatta. Aku memasuki gerbangnya. Dengan yakin aku melangkah, langkahku berubah pelan ketika kuingat Alven. Aku menoleh kebelakang. Pandanganku mengitari setiap sudut bandara. Namun aku tidak melihat batang hidung Alven. Sesaat kulirik jam tanganku. Masih ada waktu lima menit lagi. Aku memutuskan untuk menunggunya. Aku yakin dia pasti datang.
Tapi setelah empat menit berjalan Alven tak kunjung datang. Apa dia memang tidak ikhlas dengan kepergianku? Ternyata dugaanku salah. Di ujung koridor kulihat Alven berlari-lari kecil. Dia berputar-putar mencariku, sepertinya dia tidak melihatku. Aku lalu melambaikan tangan kearahnya. Alven langsung menghampiriku dan memelukku.
“Aku akan menunggumu.” Ucapnya padaku. Lalu kutorehkan senyum perpisahan kepada Alven. “Selamat tinggal. Kita akan bertemu kembali.” Hanya kata itu yang sempat aku ucapkan, karena aku harus segera pergi meninggalkan Indonesia.
***
Hari pertamaku di Tokyo University cukup menyenangkan. Disini aku sangat memfokuskan diri pada pelajaran.Tapi aku tidak pernah lupa menghubungi Alven. Aku tetap menjalin komunikasi dengannya. Aku mengabari Alven saat pertama kali menginjakkan kaki di Haneda Airport.
Hari-hari berikutnya Alven sering menghubungiku. Dia sangat perhatian kepadaku. Dia selalu mengangkat telfonku dan dia tidak pernah telat membalas smsku. Aku rasa hubunganku dengan Alven dapat berjalan dengan baik.
Tapi akhir-akhir ini Alven jarang menghubungiku. Perhatiannya seperti berkurang kepadaku. Aku tidak terlalu mempermasalahkan jika Alven jarang menghubungiku. Mungkin saja dia lagi banyak pekerjaan dikantornya, sehingga dia butuh lebih banyak waktu untuk pekerjaannya. Aku masih dapat memaklumi itu.
Aku juga tak mempermasalahkan, jika aku selalu yang menghubunginya. Yang aku masalahkan setiap kali aku menelfonnya, dia sangat lama sekali mengangkat telfonku dan menjawab pertanyaanku dengan jawaban-jawaban singkat yang kurang respon.
Seperti waktu itu, saat terakhir kali aku menghubunginya. “Hallo Merry?” katanya padaku. “Hallo Alven, apa kabar?” sapaku. “Kabarku baik, tapi sekarang aku lagi meeting.” Hanya kalimat itu yang aku dengar dari mulut Alven. Masa untuk mengangkat telfonku saja dia tidak ada waktu. Tapi aku  tetap berusaha untuk mengerti itu, makanya dengan segera aku menutup telfonnya.
Aku menghela nafas dalam, aku menaruh ponselku diatas meja dan aku beranjak dari tempat dudukku. Aku berdiri dihadapan jendela. Sesaat aku nikmati hijaunya alam didepan kamarku.
Aku cukup beruntung mendapatkan rumah seperti ini. Pemandangannya sangat indah, aku bisa melihat puncak gunung fuji dari ranjangku. Tempatnya juga sangat sejuk dan nyaman dibandingkan dengan sebuah apartmen. Inilah alasannya aku tidak mau tinggal di apartmen.
Hampir dua tahun aku menjalani kuliah. Tugas-tugas kuliahku sedikit berkurang, tidak terlalu berat seperti awal kuliah. Jadi aku lebih banyak waktu luang untuk refresing.
Aku kepikiran untuk menghubungi Lauren. Lauren adalah sahabatku semenjak SMA. “Hallo sobat?” Sapaku pada Lauren saat menghubunginya.”
“Hai Merry.” Jawab Lauren. Sepertinya Lauren merasa terkejut menerima telfonku. “Bagaimanakah kabarmu?” Tanyaku. “Masih seperti yang dulu. Aku baik-baik saja.” Jawab Lauren. “Kamu sendiri bagaimana? Ke Jepang kok nggak bilang-bilang. “Tanya Lauren padaku. Sama sepertimu, aku baik-baik saja. Kamu ingatkan dulu aku pernah bilang, kalau aku ingin menjadi seorang dokter spesialis jantung.”
Aku mengingatkan Lauren masa-masa SMA dulu, dimana aku menjadi ketua PMR disekolah. Itulah langkah awalku untuk menjadi seorang dokter, dan Laurenlah satu-satunya sahabat yang selalu mendukungku, dan selalu ada untukku. Aku sering curhat pada Lauren. Lauren sangat mengenal diriku dan mengerti aku. Aku juga sangat mempercayai Lauren.
“Ya, aku tahu itu, karena itu  kamu relakan meninggalkan Alven?” terang Lauren padaku. “Dari mana kamu tahu? Kamu sudah ketemu sama Alven?” Tanyaku penasaran.
“Mmmmh, kemaren aku ketemu dia.” Jawab Lauren singkat. “Bagaimana kabarnya? Dia baik-baik sajakan?” Tanyaku kembali. “Ya. By the way, kamu udah travelling ke tempat wisata di Jepang belum?” Tiba-tiba Lauren mengalihkan pembicaraan. “Belum, rencananya minggu-minggu ini aku mau traveling, berhubung tugas kuliahku sedikit berkurang.” Jelasku pada Lauren.
“Oh. Kalau pulang nanti jangan lupa kabarin aku ya!” Pinta Lauren. “Ok. My friend.” Jawabku. “Sayounara.” Ucap Lauren. “Sayounara.” Balasku.
***
17 Juni. Hari ini adalah hari ulang tahun mama. Aku ingin pulang merayakan ulang tahunnya. Aku rindu mama.
Sebelum pulang aku travelling dulu mengelilingi Jepang. Sudah dua tahun aku di Jepang. Selama itu aku belum pernah mencuci mata melihat indahnya kota Tokyo, Kyoto, Hirosyima, Nagasaki, Osaka, dan kota-kota indah lainnya. Hari-hariku selalu disibukkan oleh pelajaran. Rasanya otakku begitu tegang.
Tempat pertama yang aku kunjungi adalah pusat perbelanjaan Jepang, Shibuya. Karena disini aku ingin shopping souvenir yang sangat spesial buat mama. Selanjutnya aku mengunjungi pusat perbelanjaan Harajuku dan Sinjuku. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan ke Ariake. Bangunan futuristik di Ariake sangat indah dan unik. Negeri matahari terbit ini memang menakjubkan. Aku sangat bangga dapat menginjakkan kaki disini.
Dan besok aku akan pulang ke Indonesia untuk beberapa waktu sampai liburanku selesai. Aku tak lupa untuk mengabari Lauren terutama Alven tentang kepulanganku. Namun, setelah kutelfon, ternyata nomor mereka tidak aktif. Aku jadi mengurungkan niatku untuk menghubunginya. Biarlah kepulanganku menjadi surprise buat mereka.
***
Tiada seorang pun yang menjemputku  di Bandara, termasuk mama. Aku memang sengaja tidak memberi tahu mama tentang kepulanganku, karena aku ingin memberikan surprise di hari ulang tahunnya. Dan aku berhasil membuat mama terkejut.
Mama bahagia sekali menerima hadiah dariku, sebuah tas cantik Ginza Tanaka Platinum Handbag. Itu adalah tas impian mama. Alven dan Lauren juga terkejut melihat aku pulang, karena mereka berpikir aku masih di Jepang.
Setelah melepas lelah aku langsung manyambangi Alven dirumahnya, aku tak sabar ingin bertemu dengannya. Seperti biasanya, rumah Alven tampak sepi dengan pintu depannya yang selalu terbuka. Sore-sore begini biasanya Alven bersantai-santai dibelakang rumahnya, dipinggir kolam renang. Akupun langsung masuk kebelakang.
Ternyata benar, ku lihat Alven sedang duduk dipinggir kolam. Tapi dia bersama dengan seorang perempuan, dan sepertinya aku kenal perempuan itu. Ya, itu adalah Lauren.
“Merry….kamu kapan pulang? Kok nggak ngasih kabar dulu, aku dan Alven kan bisa menjemputmu?” Tanya Lauren padaku. “Tadi siang. Aku sudah menghubungimu, tapi nomormu tidak aktif, nomor Alven juga.” Jelasku.
“Oh” Lauren dan Alven berpandangan. “Kebetulan sekali Lauren kamu ada disini, jadi aku tidak perlu kerumahmu mengantarkan cindera mata ini.” Aku memberikan sebuah cindera mata dari Jepang pada Lauren dan Alven.
Alven tersenyum melihatku. Akupun memeluknya. “Bagaimana kuliahmu?” Tanya Alven padaku. “Sejauh ini lancar-lancar saja. Kamu doain aja aku lulus tepat pada waktunya.” Pintaku pada Alven. “Pasti.” Jawab Alven.
Kamipun berbincang-bincang melepas rindu, aku banyak bercerita tentang Jepang pada mereka. Tentang keindahannya dan kedisiplinan orang-orangnya. Jujur jika kami telah berkumpul bertiga rasanya seperti sahabat yang tak terpisahkan. Apalagi Lauren sudah lama mengenal Alven dan akulah yang memperkenalkan Lauren pada Alven.
Saat kami sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba Lauren mual-mual. Aku melihat Lauren seperti orang yang lagi berbadan dua. Tapi tak mungkin Lauren hamil, aku segera membuang pikiran itu.
Akupun memutuskan membawa Lauren kerumah sakit, karena aku cemas melihat kondisinya. Tetapi Lauren menolak. Lauren menatap Alven dengan dalam, lalu air mata hangat menetes dipipinya. Sedangkan Alven hanya diam menunduk. Aku heran melihat hal itu.
Ada apa dengan mereka? Aku semakin heran, segudang pertanyaan menghantui pikiranku. Tapi tak ku temukan satupun jawaban dari pertanyaan itu. Lauren dan Alven tak berbicara sepatah katapun.
Apakah Lauren benar-benar hamil? Aku terus mendesak Lauren dengan pertanyaan-pertanyaanku. Tapi tetap Lauren tidak mau bicara, dia hanya diam membisu. Lalu Alven menasehatiku untuk tidak memaksa Lauren. Aku mulai curiga, apa hubungannya dengan Alven?
“Maafkan aku Merry.” Akhirnya Lauren buka mulut. “Kamu benaran hamil?” Lauren hanya menjawab pertanyaanku dengan anggukan. Lalu apa maksud permintaan maaf itu. Apa dia mau bilang kalau Alven yang menghamilinya? Tak mungkin Lauren mengatakan hal itu, dan aku berharap tak mendengar jawaban itu dari mulutnya.
“Siapa yang menghamilimu?” aku mau Lauren segera menjawab pertanyaanku. Lagi-lagi Lauren tak mengatakan apa-apa. Tangisnya semakin deras. Kecurigaanku bertambah. Tolong jawab Lauren, aku membutuhkan jawabanmu!”
Lauren terdiam cukup lama. Dan aku biarkan Lauren menangis sepuasnya. Akhirnya Lauren menyebut satu nama. Alven.
“Apa?” sontak aku terkejut. Ini sungguh kejutan yang luar biasa bagiku, melebihi kejutanku  pada mereka. Aku memandangi Alven, mataku berkaca-kaca. Aku berharap Alven mengatakan sesuatu, aku berharap Alven mengatakan kalau itu semua tidak benar.
Tetapi Alven tidak berusaha mengklarifikasi hal itu, mulutnya seakan terkunci. Bahkan dia tidak berani memandang mataku, dan aku merasa saat itu Alven bukanlah seorang pria yang gentleman. Aku tidak menemukan sosok Alven yang selama ini aku kenal, Alven yang dewasa, Alven yang bijaksana. Semua penilaianku terhadapnya terpatahkan pada saat itu. Aku telah salah menilainya.
Dan aku tidak perlu mendengar penjelasan apa-apa lagi dari mereka. Bukti ini sudah cukup bagiku bahwa benar Alven telah menghamili Lauren. Mereka berdua telah mengkhianatiku. Dan aku tak perlu berlama-lama lagi berdiri disini, aku segera meninggalkan mereka.
Alven berlari mengejarku, dengan cepat kupacu mobilku. Sesampai dirumah langsung kukunci pintu, dan aku masuk kekamar. Lalu kehempaskan tubuhku diatas sofa. Aku menangis sejadi-jadinya.
Mama yang duduk diruang tamu menyusulku, aku memeluk mama dengan erat. Saat ini hanya mama yang dapat memberikan ketenangan untukku. Setelah sahabatku, tempat curahan isi hatiku menikamku dari belakang. Aku menceritakan semua yang kualami kepada mama.
Awanpun mendung semendung hatiku saat ini. Dan akhirnya ia tidak sanggup menahan butir-butir mutiaranya yang melimpah ruah hingga rezki itu jatuh kebumi, seperti air mataku yang tak berhenti mengalir dan membasahi pundak mama. Air mataku yang tak kalah derasnya dengan hujan yang turun saat ini.
Aku melepaskan pelukanku pada mama, kemudian aku berdiri di samping jendela. Dari balik tirai kamarku, kuintip Alven yang berdiri tegak dihalamanku. Sepertinya dia tidak menghiraukan hujan yang membasahi tubuhnya.
Mama lalu mengahampiriku, dia membelai rambutku. Dengan lembut mama menyuruhku untuk menemui Alven. Mama memang bukanlah orang yang emosional. Dia selalu menghadapi setiap masalah dengan sabar, walau seberat apapun masalah itu. Cobaan berat yang pernah kami alamilah yang membuat mama sesabar ini. Setidaknya, sifat itu mengalir dalam diriku. Demi mama akupun turun kebawah menemui Alven.
“Aku benar-benar minta maaf Merry. Aku khilaf, ini semua diluar dugaanku.” Jelas Alven padaku. “jangan pernah menyalahkan keadaan. Nasi sudah menjadi bubur, kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Nikahilah Lauren! aku rela melepasmu.” Aku berusaha tegar dihadapan Alven, walau ini sangat menyakitkan.
“Tapi aku masih mencintaimu Merry.” Ungkap Alven. “Angin yang berhembus tidak akan kembali ketempat asalnya. Pergilah! Jangan ganggu aku lagi.”
Aku tak tahu apa yang harus ku katakan lagi. Aku rasa ini keputusan yang terbaik. Sebenarnya aku kasihan melihat Lauren, walaupun dia telah menyakitiku aku berusaha untuk memaafkannya. Bagaimanapun juga Lauren lebih membutuhkan Alven dari pada diriku. Sebab Lauren tidak bisa membesarkan seorang anak tanpa seorang ayah.
Untung Alven mengerti kondisiku, dan dia mau menyeret langkahnya meninggalkan rumahku. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri.
Beberapa saat setelah Alven pergi, tiba-tiba ponselku berdering. Aku mendapat kabar bahwa Alven kecelakaan dari teman kantornya.
***
Mama mengajakku pulang, dan aku melangkah meninggalkan pusara Alven. Aku tak dapat menggambarkan perasaanku saat ini, setelah dua orang yang aku sayangi pergi meninggalkanku. Yang jelas aku berusaha untuk mengikhlaskannya. Aku tak tahu bagaimana kabar Lauren saat ini, karena semenjak saat itu aku tidak pernah bertemu Lauren. Yang aku pikirkan sekarang, apakah aku masih bisa melanjutkan kuliahku yang tinggal dua tahun lagi atau tidak.

0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design