Jumat, 27 September 2013

Mendung di Wajah Ibu



Oleh: Nelvianti

Mendung itu akhirnya luruh juga, bersama untaian kata dari mulut ibu yang menghunjam jantungku. Sebuah pengakuan yang  membuatku menyesal untuk mengetahuinya. Aku lebih baik tidak mendengar jawaban itu dari mulut ibu daripada harus merasa sakit seperti ini. Jawaban dari sebuah pertanyaan, siapa ayahku?
Sudah sering ku tanyakan hal itu kepada ibu. Tapi setiap kali aku bertanya, setiap kali juga ibu menangis. Akhirnya ku urungkan niatku untuk mengetahuinya. Tapi kali ini tidak. Kali ini ibu bercerita panjang lebar hal ikhwal kelahiranku di dunia yang fana ini.
“Ibu hampir saja bunuh diri nak.” Bibir ibu basah oleh bulir bening yang menetes dari matanya. Ku usap bulir itu, terasa hangat di tanganku. “Tapi karna mengenangmu, perbuatan laknat itu tak jadi ibu lakukan.” Aku menatap wajah ibu sayu. Ada rasa sakit di hulu hatiku. Tak tahu siapa yang harus ku salahkan.
Perhalan ku tarik nafas, dalam… ku rasakan hembusan angin malam yang menyelimuti gubuk kami. Ku biarkan uap-uap kesedihan itu terbang diterpa angin. Agar tak ada lagi mendung di wajah ibu, agar aku bisa melihat senyum ibu. Senyum kebahagian bukan senyum keterpaksaan.
Ibu memang selalu berusaha tersenyum dihadapanku, tapi aku tahu di balik senyum itu ada sesuatu yang disembunyikan ibu. “Ketika itu ibu masih duduk di kelas dua SMP…” Ibu menerawang.
***
Kicauan burung terdengar sangat syahdu sekali, mengiringi langkah kaki seorang siswi SMP yang baru pulang sekolah.
“Asalamualaikum… Sekar pulang…” Tak ada yang menjawab salam Sekar. Sekar langsung menuju dapur, matanya mengitari setiap sudut dapur. “BAR…” Terdengar suara pintu dihempaskan. Sekar menoleh ke belakang, seorang laki-laki cungkring keluar dari dalam kamar.
“Ibu mana yah?” Tanya Sekar kepada laki-laki empat puluh tahunan itu. “Ibumu pergi ke ladang.” Pria itu lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kunci, dengan sigap ia mengunci pintu. Ia memaksa Sekar  masuk ke dalam kamar. Namun Sekar berontak, alhasil sebuah tamparan mendarat dipipinya. Membuat Sekar ketakutan, ia tak berdaya melawan hasrat laki-laki bejat itu yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri.
***
            Aku shock mendengar penjelasan ibu. Bagaimana bisa seorang ayah tega menodai anak kandungnya sendiri? Ada rasa jijik yang timbul dalam diriku. Aku jijik terhadap diriku sendiri, aku tak ingin dilahirkan seperti ini. Mengapa ibu tak menggugurkan saja dulu janin itu? Mengapa? Mengapa semua ini harus terjadi kepadaku?
Begitu banyak pertanyaan yang menghimpit otakku. Kepalaku terasa berat, ada tekanan yang begitu besar ku rasakan. Namun ku coba menenangkan diri, jika ibu bisa setegar ini maka aku juga harus bisa. Begitu ku teriakkan dalam diri setiap kali aku merasa putus asa. Putus asa terhadap susahnya kehidupan yang ku rasakan saat ini.
Ibulah penyemangatku. Hanya ibulah yang ku punya di dunia ini. Dia bagaikan intan permata bagiku, mutiara mulia dari surga. Dirinya begitu kuat, sekuat batu karang yang berdiri kokoh walaupun diterjang ombak berkali-kali.  Ia bukan hanya seorang ibu, tapi juga seorang kepala keluarga. Ia tidak pernah mengeluh sedikitpun walaupun tak ada beras yang ditanak untuk esok.
 Ibu mengajarkanku arti rasa syukur. Tidak cengeng menghadapi kejamnya dunia, selalu berusaha dan berdoa. Ibu seorang yang pekerja keras. Ia rela bekerja serabutan demi menghidupiku, melihatku mengenyam bangku sekolahan sama seperti anak yang lainnya.
Ibu bekerja sebagai buruh tani di sawah milik tetangga. Walau hujan badai menghadang ibu tetap turun ke sawah menancapkan setiap bibit padi itu ke dalam lumpur. Aku sangat khawatir kalau tiba-tiba saja petir datang menyambar. Sungguh aku tak bisa bayangkan, aku selalu berdoa untuk keselamatan ibu.
Pulang dari sawah ibu tak langsung ke rumah, ia lanjutkan mencari kayu bakar di bukit belakang rumah. kayu bakar itu nanti ibu kumpulkan untuk dijual. Lumayan untuk membeli lauk-pauk kata ibu. Sekembali dari bukit ibu langsung memasak dirumah, mencuci, dan membereskan rumah.
 Hingga pukul sepuluh malam ibu baru bisa terlelap menjemput mimpinya yang telah terkubur semu. Begitulah setiap hari ibu bekerja keras, pergi pagi pulang petang. Bahkan ketika bangun pagi aku tak sempat melihat ibu karena ia telah lebih dulu menantang fajar, mencari rezeki.
  Aku sangat ingin membantu ibu, tapi ibu melarangku. Pernah suatu ketika aku bolos sekolah untuk menjadi tukang semir sepatu. Ibu marah besar kepadaku mengetahui hal itu. Dia sampai menitikkan air mata.
“Kamu harus sekolah nak! Ibu ingin melihatmu sekolah hingga serjana. Menjadi orang sukses biar tak melarat seperti ibu ini. Biar tak selalu dihina orang.” Ibu memperingatkanku kala itu dengan nada yang sedikit mengancam.
Aku tak bisa menjawab apa-apa, aku menjadi serba salah. Apa gunanya aku? Aku seorang anak laki-laki! Seharusnya aku tak membiarkan ibu susah-susah begini. Tapi aku sudah berjanji dalam hati kecilku, akan membahagiakan ibu lewat prestasiku di sekolah.
Tekanan bathin yang dirasakan ibu selama ini memang cukup besar. Tak mudah menghadapi hinaan tetangga terhadap perlakuan ayah di masa lalu. Ibu sampai di usir setelah aku lahir. Aku juga seriang diteriaki teman-teman setiap pulang sekolah. “Ayahmu adalah kakekmu!! Haha… haha…”
Sungguh menyakitkan memang. Ingin ku tonjok muka mereka satu-satu, agar mereka tahu bagaimana caranya menghargai orang lain. Tapi ibu telah menanamkan sifat sabar dalam diriku semenjak aku lahir. Sehingga membuatku lebih dewasa dalam menyikapi setiap masalah.
 “Ibu sudah menceritakan kepada nenekmu nak. Nenek melaporkan kakekmu sekaligus ayahmumu ke polisi. Ia di penjara, sedangkan nenek meninggal seminggu setelah kamu lahir.” Ibu kembali melanjutkan kata-katanya. Suara ibu parau, kerongkongannya seperti tercekat duri. Duri yang merongrong kehidupan ibu selama ini.
            “Lalu sekarang dimana ayah bu?”
            “Ibu tidak tahu, entah dimana ayah tinggal setelah keluar dari penjara.”
            Ah sudahlah, untuk apa ku tanyai laki-laki itu? Hati kecilku berkata. Yang perlu aku pikirkan sekarang adalah kebahagian ibu. Aku tak boleh mengecewakan ibu, aku harus menjadi anak laki-lakinya yang baik.
            “Tok..tok…tok…” Tiba-tiba pintu rumah kami digedor dengan sangat keras sekali. Ibu cepat-cepat mengusap air matanya dan keluar membuka pintu. Aku mengiringi di belakang.
            “Mana sewa kontrak kalian?” Seorang perempuan bertubuh gempal berdiri di depan pintu. Dandanannya menor. Matanya mengisyaratkan betapa bengisnya ia.
            “Maaf bu, kami belum bisa bayar.” Ibu merintih. “Tolong beri kami waktu seminggu lagi!” Pinta ibu. “Tidak ada. Ini sudah minggu ke berapa? Sudah tiga bulan kalian menunda kontrakan.” Ibu gendut itu marah-marah. Dua orang centangnya berdiri dengan siaga, dia mendorong ibu hingga terjatuh.
            “Hei…!  Jangan kasar pada ibuku!”      Bentakku kepada laki-laki bertato itu. “Sudahlah, lempar saja mereka berdua keluar!” Perintah perempuan itu kepada anak buahnya.
            Kami tak berdaya, akhirnya kami keluar hanya dengan membawa beberapa helai baju. “Kita tidur dimana malam ini bu?” “Nanti kita berteduh aja di mushalla ya.” Ajak ibu sambil menutupi kepalaku dari guyuran hujan.
            “Kamu nggak boleh sakit, besok kamu harus sekolah.” Ibu masih memikirkan sekolahku. Beruntunglah ada dana BOS, sehingga ibu tidak perlu memikirkan biaya sekolahku. Di kelas aku juga selalu menjadi jawara, sehingga aku sering mendapatkan beasiswa berupa seragam dan buku-buku pelajaran.
            Akhirnya dari kumpulan kardus-kardus bekas kami berhasil membuat sepetak tempat tinggal untuk sekedar berteduh. Semalam selesai sholat tahajud kami tertidur di mushalla. Beruntunglah tidak ada yang mengusir kami.
            Tadi malam aku berdoa agar ibu aku bisa membahagiakan ibu.

0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design