Oleh: Nelvianti
Mendung
itu akhirnya luruh juga, bersama untaian kata dari mulut ibu yang menghunjam
jantungku. Sebuah pengakuan yang
membuatku menyesal untuk mengetahuinya. Aku lebih baik tidak mendengar
jawaban itu dari mulut ibu daripada harus merasa sakit seperti ini. Jawaban dari
sebuah pertanyaan, siapa ayahku?
Sudah
sering ku tanyakan hal itu kepada ibu. Tapi setiap kali aku bertanya, setiap
kali juga ibu menangis. Akhirnya ku urungkan niatku untuk mengetahuinya. Tapi
kali ini tidak. Kali ini ibu bercerita panjang lebar hal ikhwal kelahiranku di
dunia yang fana ini.
“Ibu
hampir saja bunuh diri nak.” Bibir ibu basah oleh bulir bening yang menetes
dari matanya. Ku usap bulir itu, terasa hangat di tanganku. “Tapi karna
mengenangmu, perbuatan laknat itu tak jadi ibu lakukan.” Aku menatap wajah ibu
sayu. Ada rasa sakit di hulu hatiku. Tak tahu siapa yang harus ku salahkan.
Perhalan
ku tarik nafas, dalam… ku rasakan hembusan angin malam yang menyelimuti gubuk
kami. Ku biarkan uap-uap kesedihan itu terbang diterpa angin. Agar tak ada lagi
mendung di wajah ibu, agar aku bisa melihat senyum ibu. Senyum kebahagian bukan
senyum keterpaksaan.
Ibu
memang selalu berusaha tersenyum dihadapanku, tapi aku tahu di balik senyum itu
ada sesuatu yang disembunyikan ibu. “Ketika itu ibu masih duduk di kelas dua
SMP…” Ibu menerawang.
***
Kicauan
burung terdengar sangat syahdu sekali, mengiringi langkah kaki seorang siswi
SMP yang baru pulang sekolah.
“Asalamualaikum…
Sekar pulang…” Tak ada yang menjawab salam Sekar. Sekar langsung menuju dapur,
matanya mengitari setiap sudut dapur. “BAR…” Terdengar suara pintu dihempaskan.
Sekar menoleh ke belakang, seorang laki-laki cungkring keluar dari dalam kamar.
“Ibu
mana yah?” Tanya Sekar kepada laki-laki empat puluh tahunan itu. “Ibumu pergi
ke ladang.” Pria itu lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kunci,
dengan sigap ia mengunci pintu. Ia memaksa Sekar masuk ke dalam kamar. Namun Sekar berontak,
alhasil sebuah tamparan mendarat dipipinya. Membuat Sekar ketakutan, ia tak
berdaya melawan hasrat laki-laki bejat itu yang tak lain adalah ayah kandungnya
sendiri.
***
Aku shock mendengar penjelasan ibu. Bagaimana bisa seorang ayah tega
menodai anak kandungnya sendiri? Ada rasa jijik yang timbul dalam diriku. Aku
jijik terhadap diriku sendiri, aku tak ingin dilahirkan seperti ini. Mengapa
ibu tak menggugurkan saja dulu janin itu? Mengapa? Mengapa semua ini harus
terjadi kepadaku?
Begitu
banyak pertanyaan yang menghimpit otakku. Kepalaku terasa berat, ada tekanan
yang begitu besar ku rasakan. Namun ku coba menenangkan diri, jika ibu bisa
setegar ini maka aku juga harus bisa. Begitu ku teriakkan dalam diri setiap
kali aku merasa putus asa. Putus asa terhadap susahnya kehidupan yang ku rasakan
saat ini.
Ibulah
penyemangatku. Hanya ibulah yang ku punya di dunia ini. Dia bagaikan intan
permata bagiku, mutiara mulia dari surga. Dirinya begitu kuat, sekuat batu
karang yang berdiri kokoh walaupun diterjang ombak berkali-kali. Ia bukan hanya seorang ibu, tapi juga seorang
kepala keluarga. Ia tidak pernah mengeluh sedikitpun walaupun tak ada beras
yang ditanak untuk esok.
Ibu mengajarkanku arti rasa syukur. Tidak
cengeng menghadapi kejamnya dunia, selalu berusaha dan berdoa. Ibu seorang yang
pekerja keras. Ia rela bekerja serabutan demi menghidupiku, melihatku mengenyam
bangku sekolahan sama seperti anak yang lainnya.
Ibu
bekerja sebagai buruh tani di sawah milik tetangga. Walau hujan badai
menghadang ibu tetap turun ke sawah menancapkan setiap bibit padi itu ke dalam
lumpur. Aku sangat khawatir kalau tiba-tiba saja petir datang menyambar.
Sungguh aku tak bisa bayangkan, aku selalu berdoa untuk keselamatan ibu.
Pulang
dari sawah ibu tak langsung ke rumah, ia lanjutkan mencari kayu bakar di bukit
belakang rumah. kayu bakar itu nanti ibu kumpulkan untuk dijual. Lumayan untuk
membeli lauk-pauk kata ibu. Sekembali dari bukit ibu langsung memasak dirumah,
mencuci, dan membereskan rumah.
Hingga pukul sepuluh malam ibu baru bisa
terlelap menjemput mimpinya yang telah terkubur semu. Begitulah setiap hari ibu
bekerja keras, pergi pagi pulang petang. Bahkan ketika bangun pagi aku tak
sempat melihat ibu karena ia telah lebih dulu menantang fajar, mencari rezeki.
Aku sangat ingin membantu ibu, tapi ibu
melarangku. Pernah suatu ketika aku bolos sekolah untuk menjadi tukang semir
sepatu. Ibu marah besar kepadaku mengetahui hal itu. Dia sampai menitikkan air
mata.
“Kamu
harus sekolah nak! Ibu ingin melihatmu sekolah hingga serjana. Menjadi orang
sukses biar tak melarat seperti ibu ini. Biar tak selalu dihina orang.” Ibu
memperingatkanku kala itu dengan nada yang sedikit mengancam.
Aku
tak bisa menjawab apa-apa, aku menjadi serba salah. Apa gunanya aku? Aku
seorang anak laki-laki! Seharusnya aku tak membiarkan ibu susah-susah begini.
Tapi aku sudah berjanji dalam hati kecilku, akan membahagiakan ibu lewat
prestasiku di sekolah.
Tekanan
bathin yang dirasakan ibu selama ini memang cukup besar. Tak mudah menghadapi
hinaan tetangga terhadap perlakuan ayah di masa lalu. Ibu sampai di usir
setelah aku lahir. Aku juga seriang diteriaki teman-teman setiap pulang
sekolah. “Ayahmu adalah kakekmu!! Haha… haha…”
Sungguh
menyakitkan memang. Ingin ku tonjok muka mereka satu-satu, agar mereka tahu
bagaimana caranya menghargai orang lain. Tapi ibu telah menanamkan sifat sabar
dalam diriku semenjak aku lahir. Sehingga membuatku lebih dewasa dalam
menyikapi setiap masalah.
“Ibu sudah menceritakan kepada nenekmu nak.
Nenek melaporkan kakekmu sekaligus ayahmumu ke polisi. Ia di penjara, sedangkan
nenek meninggal seminggu setelah kamu lahir.” Ibu kembali melanjutkan
kata-katanya. Suara ibu parau, kerongkongannya seperti tercekat duri. Duri yang
merongrong kehidupan ibu selama ini.
“Lalu sekarang dimana ayah bu?”
“Ibu tidak tahu, entah dimana ayah
tinggal setelah keluar dari penjara.”
Ah sudahlah, untuk apa ku tanyai
laki-laki itu? Hati kecilku berkata. Yang perlu aku pikirkan sekarang adalah
kebahagian ibu. Aku tak boleh mengecewakan ibu, aku harus menjadi anak
laki-lakinya yang baik.
“Tok..tok…tok…” Tiba-tiba pintu
rumah kami digedor dengan sangat keras sekali. Ibu cepat-cepat mengusap air
matanya dan keluar membuka pintu. Aku mengiringi di belakang.
“Mana sewa kontrak kalian?” Seorang
perempuan bertubuh gempal berdiri di depan pintu. Dandanannya menor. Matanya
mengisyaratkan betapa bengisnya ia.
“Maaf bu, kami belum bisa bayar.”
Ibu merintih. “Tolong beri kami waktu seminggu lagi!” Pinta ibu. “Tidak ada.
Ini sudah minggu ke berapa? Sudah tiga bulan kalian menunda kontrakan.” Ibu gendut
itu marah-marah. Dua orang centangnya berdiri dengan siaga, dia mendorong ibu
hingga terjatuh.
“Hei…! Jangan kasar pada ibuku!” Bentakku kepada laki-laki bertato itu.
“Sudahlah, lempar saja mereka berdua keluar!” Perintah perempuan itu kepada
anak buahnya.
Kami tak berdaya, akhirnya kami
keluar hanya dengan membawa beberapa helai baju. “Kita tidur dimana malam ini
bu?” “Nanti kita berteduh aja di mushalla ya.” Ajak ibu sambil menutupi
kepalaku dari guyuran hujan.
“Kamu nggak boleh sakit, besok kamu
harus sekolah.” Ibu masih memikirkan sekolahku. Beruntunglah ada dana BOS,
sehingga ibu tidak perlu memikirkan biaya sekolahku. Di kelas aku juga selalu
menjadi jawara, sehingga aku sering mendapatkan beasiswa berupa seragam dan
buku-buku pelajaran.
Akhirnya dari kumpulan kardus-kardus
bekas kami berhasil membuat sepetak tempat tinggal untuk sekedar berteduh.
Semalam selesai sholat tahajud kami tertidur di mushalla. Beruntunglah tidak
ada yang mengusir kami.
Tadi malam aku berdoa agar ibu aku
bisa membahagiakan ibu.
0 komentar:
Posting Komentar