Oleh: Nelvianti
“Picing
berkicau lagi. Siapakah yang akan meninggal hari ini?” Amak[1]
bergumam sendiri. Ia berdiri di depan pintu, matanya mengitari dahan pohon di
sekeliling gubuk kami. “Itu cuma kicauan burung biasa Mak, ndag ada
sangkutannya dengan kematian.” Jawabku sekenanya sambil membersihkan motor
butut kesayanganku.
“Kamu
jangan meremehkan petuah orang tua Lim!” Amak berlalu masuk ke dalam rumah. Amak
memang terlalu fanatik terhadap kepercayaan leluhur yang berkembang di kampung
kami. Menurut mereka kalau burung picing berkicau berarti itu pertanda akan ada
orang yang meninggal, tepatnya sebuah panggilan kematian. Burung yang berbulu
hitam legam itu kerap berkicau di siang hari. “Picing… picing.” Begitulah suara
burung picing, oleh sebab itu warga sering menyebutnya dengan picing.
“Mande
Rubiah… Mande Rubiah…” Panggil Uda [2]Agus
kepada Amak. Nafasnya ngos-ngosan setelah dipaksa berlari-lari. “Ada apa Da?” aku
berdiri dengan tangan yang masih berbusa. “Mana Amakmu Lim?” Uda Agus balik
bertanya. “Mengapa wa’ang [3]berteriak-teriak
Gus?” tiba- tiba Amak keluar dari dapur. “Ini Mande. Tek[4] Rosna
sudah dahulu.”
“Innalillahi wainnaillahi rojiun…” ucapku
menyertai ucapan Amak. Tanpa basa-basi lagi Amak langsung melayat bersama Uda Agus,
karena itu artinya sebuah tugas buat Amak untuk memandikan jenazah. Oleh sebab itulah Amak
dipanggil Mande Rubiah, yaitu sebuah panggilan kepada orang yang biasa
memandikan jenazah di Minang.
Sudah
cukup lama Amak dimintai tolong oleh warga kampung memandikan jenazah, tepatnya
setelah nenek meninggal. Sebelumnya neneklah yang mengemban tugas suci itu dan
kini diturunkan kepada Amak.
Sebelum
pergi kuliah aku sempatkan menjenguk Tek Rosna.
Hanya sebentar, setelah itu aku langsung ke kampus. Sempat aku mendengar
celotehan dari kerumunan ibu-ibu yang berdiri di pinggir jalan sehabis melayat,
“Ini pasti ada hubungannya dengan picing yang berkicau tadi.” Ucap salah
seorang dari mereka. “Iya. Kemaren aku lihat Tek Rosna keluar rumah tua itu.” Imbuh yang lainnya.
Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar
ocehan mereka. Memang sulit memberi pengertian kepada warga kampung sini yang
sangat fanatik dengan ajaran dan kebudayaan leluhurnya. Sudah sering kali hal
ini aku sampaikan kepada Amak dan Uda Agus, tapi Amak malah marah bahkan aku
sempat ribut dengan Uda Agus.
Dia
tidak terima aku memberikan penjelasan kepada warga soal burung picing dan kematian yang menyertainya.
Uda Agus berang, katanya aku mahasiswa yang tidak berguna, suka menyebarkan
ajaran palsu. Aku marasa dipojokkan. Amak memperingatiku untuk tidak mengrurusi
hal-hal seperti itu lagi.
“Kenapa
lagi Lim?” Arman menyentuh bahuku yang masih terbengong-bengong memikirkan
kejadian tadi pagi. “Mending kamu selidiki saja daripada kamu capek-capek mikir
begini!” Sepertinya Arman tahu apa yang mengganggu pikiranku. Ia menarik kursi
dan duduk dihadapanku. Suasana di kafe kampus siang ini tidak begitu beda,
seperti biasanya selalu disibukkan oleh aktifitas para pencari ilmu.
“Bagaimana
caranya?” aku masih saja terpekur. Kedua tanganku aku kepalkan menopang daguku.
“Urusan gampang itu! kamu serahkan saja kepadaku. Nanti kita minta bantuan si
Hamid dan si Abdul. Bagaimana?” usul Arman. “Terserah kamu sajalah.” Aku
beranjak meninggalkan kafe.
“Oke.
Kalau begitu aku tunggu kamu di rumahku pukul 7 malam nanti. Tak begitu aman
kalau bicara di rumahmu.” Ucap Arman kawanku yang terkenal jenius ini.
Beberapa
hari yang lalu waktu pulang kuliah aku lewat di depan rumah tua yang ditinggal
pemiliknya. Dulu rumah itu dihuni oleh keluarga Belanda. Tapi semenjak
Indonesia merdeka keluarga Belanda itu kembali ke negara asalnya. Rumah itu
tampak suram dan kotor. Apabila lewat maghrib tidak ada yang berani lalu di
depan rumah itu. Kata mereka rumah itu angker. Aku hanya bergidik mendengar
gosip itu. Tak ada pilihan lain buatku untuk tidak melewati rumah itu, karena
akan memakan waktu setengah jam jika aku harus lewat memutar menghindari rumah
itu.
“Brak…gedubrak.”
Tiba-tiba aku mendengar suara benda jatuh dari dalam rumah itu. Aku tertegun.
Sempat aku mengintip ke dalam rumah itu lewat pagarnya yang tinggi menjulang.
Sekelabat aku melihat ada bayangan hitam yang melintas di ruang tengah rumah
itu. Samar-samar, karena rumah itu hanya diterangi lampu lima watt di pojok
terasnya.
Aku
menyeruput kopi di teras rumah Arman bersama Abdul temanku yang bertubuh gempal
dan Hamid temanku yang terkenal tampan diantara kami berempat. Sudah lama kami bersahabat, tepatnya semenjak
kami diospek. Selain itu rumah kami juga tidak terlalu jauh. Arman masih satu
kampung denganku. Hanya Abdul dan Hamid yang tinggal di kampung sebelah.
“Jadi
apa rencana kita kali ini?” tanyaku membuka pembicaraan. Asap kopi yang hangat
mengepul dari mulutku di malam yang dingin ini. Asap itu berputar-putar sejenak
lalu mengembang dan menghilang disapu angin malam. Seperti pikiranku saat ini
yang mengembang memikirkan tentang tahayul di kampungku.
“Aku
penasaran dengan rumah Belanda itu.” Kata Arman memainkan puntung rokoknya.
“Mengapa setiap orang yang masuk rumah itu selalu meninggal?” lanjutnya. “Itu
kan cuma dugaan warga sini.” Bantahku. “Iya. Aku juga tak sependapat dengan
mereka.” Kata Arman.
“Tapi
tak bisa dipungkiri juga! Rumah tua, Picing, dan kematian. Semuanya berkaitan.”
Kenyataanya memang seperti yang dikatakan Hamid, picing berkicau, lalu ada
orang yang meninggal setelah itu. Tek Maimun, Tek Jannah, dan terakhir Tek
Rosna. Usut punya usut, orang yang meninggal itu sebelumnya sempat masuk ke
rumah Belanda.
“Jadi apa yang harus kita lakukan?” kali ini
Abdul buka suara. “Begini saja, kita pasang handycam
di rumah itu! Sehari sesudah itu bisa kita ambil dan kita lihat hasilnya.”
Argumen Arman.
“Siapa
yang berani? aku tak mau masuk rumah angker itu.” Ujar Abdul, selain hobi makan
ia juga penakut. “Ah… payah kau Dul!” ledek Hamid. “Kalau kau ketemu hantunya,
pasti hantunya yang ketakutan melihat kau Dul.” Tambahku. “Hahaha…” ucapanku
ditingkahi gelak tawa mereka.
Seperti
yang sudah kami rencanakan malam sebelumnya, malam ini kami akan memulai aksi. Sehabis
sholat Isya kami telah mempersiapkan semuanya. Masih terlalu sore memang, tapi
keadaan kampung sudah lengang. Tidak ada warga yang lalu lalang jadi cukup aman
buat kami, tidak perlu khawatir gerak-gerik kami akan dilihat orang lain. Di
kampungku tidak ada aktifitas ronda malam, sehabis maghrib warga sudah berdiam
diri di rumah. Mereka seperti ketakukan. Kata mereka noni-noni Belanda sering
bergentayangan.
Ah,
lagi-lagi masalah rumah tua itu. Aku kesal, aktifitas kampungku seperti mati
dibuatnya. Tak ada satupun warga yang berani mendekati rumah itu, walaupun pada
siang hari.
“Hati-hati
Man!” ucapku pelan kepada Arman yang memanjat memasang handycam di ventilasi rumah itu. “Sudah. Selesai.” Arman turun. “Pegal
juga pundakku Man menopang tubuhmu.” Keluh Abdul seraya memijit-mijit lehernya.
“Ayo pergi! Nanti keburu dilihat orang.” Ajak Hamid sedikit was-was.
Aku
berjalan terburu-buru. Bug. Tubuhku menabrak sesuatu. “Halim! Apa yang kau
lakukan disini?” tanya Uda Agus yang sudah berdiri di depanku. Aku tergagap.
“Kami
dari rumah Halim Da, habis belajar kelompok.” Jawab Arman santai. Uda Agus
mendelik, ia seperti menganalisa. “Oh…” akhirnya kata itu yang keluar dari
mulutnya. Kami pun berlalu meninggalkan Uda Agus yang diam terpaku.
Udara
pagi ini sangat sejuk, rugi kalau tidak dirasakan. Untuk itu aku sempatkan
olahraga, sedikit berlari-lari kecil keliling kampung. Kampungku terletak di kaki
bukit yang permai, diapit oleh sungai yang mengalir jernih dan lingkungannya
yang masih asri.
Aku
berhenti di tepi sungai. Tiba-tiba mataku tertuju kepada dua orang yang
berbicara sangat serius di ujung sana. Kalau aku tidak salah lihat itu adalah
Uda Agus. Ya benar, itu memang Uda Agus. Tapi apa yang dia lakukan disini? diakhir
pembicaraannya ku lihat pria berjas itu menyalami Uda Agus sambil menenteng
sebuah koper, lalu ia masuk ke dalam mobilnya. Aku bersembunyi di balik
pepohonan saat mobil mewah itu melintas dihadapanku.
“Lim,
kok akhir-akhir ini banyak beredar uang palsu di kampung kita?” ucap Hamid
kepadaku di kampus siang ini. “Iya, kemaren Amak ku juga mengeluh saat uang
yang dibelanjakannya tidak laku karena dibilang palsu oleh petugas bank.” Abdul
nimbrung.
Aku
terdiam dalam keheranan mengingat kejadian tadi pagi. “Lim, jangan lupa nanti
malam kita ambil handycam.” Arman
menyembul dari belakang mengingatkanku.
***
Sebuah handyacm sudah berada di tangan Arman. Kami mengambil posisi duduk
berjejer di kursi di ruang tengah rumah Arman. Aku begitu penasaran, bagaiman
hasil observasi kami malam kemaren.
“Wah… agak gelap, pencahayaannya
kurang bagus.” Gerutu Arman. Tiba-tiba sebuah lampu menerangi ruangan itu. Kami
akhirnya bisa melihat dengan jelas, tapi aku heran siapa yang menyalakan lampu
di dalam rumah itu? “Lihat! Ada sosok hitam.” Tunjukku pada handycam. Kawanku memperhatikan.
“Sepertinya aku kenal sosok itu, hitam, pendek, dan berjambang.”
“Uda Agus!” ucapku serentak dengan
Arman. “Tapi tunggu, dia tidak sendirian. Ada empat orang lagi.” Hamid
mengamati. Apa yang dilakukan Uda Agus di rumah tua ini? kami menunggu sebuah
jawaban besar. Terlihat Uda Agus membopong sebuah peti dari dalam kamar rumah
itu. Di sampingnya ada sebuah mesin mirip tempat pencetakkan kertas, serta di
bawahnya berserakan tinta aneka warna.
Salah satu dari empat orang itu
membuka peti yang dibopong oleh Uda Agus. Astaga! Kami terkesiap menyaksikan
isi dari peti itu. Berpuluh-puluh lembar uang seratus ribu rupiah menumpuk
memenuhi peti itu.
Sekarang sudah jelas pikirku.
Mengapa selama ini Uda Agus selalu memarahiku setiap kali aku membahas soal
picing dan melarangku mendekati rumah tua itu. Kejadian ini langsung kami
laporkan kepada ketua RW dengan membawa bukti hasil rekaman itu. Pak RW
manggut-manggut saat kami jelaskan tentang video
itu. Akhirnya kami berencena akan menyergap Uda Agus dan rekan-rekannya esok
malam.
Malam ini ramai warga menyaksikan
Uda Agus dan empat orang temannya digondol oleh polisi. Uda Agus sempat melirik
kepadaku, tatapannya penuh dendam dan amarah. Aku hanya tersenyum puas,
akhirnya apa yang meresahkan warga selama ini dapat kami buktikan.
Uda Agus sengaja memanfaatkan
tahayul ini untuk melancarkan usaha sindikat pembuatan uang palsunya. Ia
semakin menebar-nebarkan gosip seram tentang rumah tua itu agar tidak ada warga
yang berani mendekati rumah itu, sehingga ia bebas menggunakan rumah itu
sebagai markasnya.
Masalah picing dan kematian itu hanya suatu
kebetulan. Kini Amak percaya kepadaku, juga warga kampung.
“Picing… picing..” burung itu
berkicau lagi. Tapi warga hanya menganggapnya sebuah kicauan burung belaka.
***
[1] Amak:
ibu, dipakai untuk panggilan kepada ibu di Minang.
[2] Uda:
abang, dipakai untuk panggilan kepada saudara laki-laki yang lebih tua di
Minang.
[3] Wa’ang:
kamu, kata ganti orang kedua. Dipakai hanya kalau berbicara dengan orang seumur
atau lebih muda (bahasa Minang).
[4] Tek atau
etek: tante, dipakai untuk panggilan kepada perempuan yang seangkatan ibu.
Tidak dipakai untuk paqnggilan kepada perempuan yang seangkatan kakak (bahasa
Minang).
0 komentar:
Posting Komentar