Harus saya akui, bahwa saya terlambat dalam mengenal film imi. Ya, Film yang diproduksi pada tahun 2008 ini, tak sengaja saya temukan di youtube kemaren. Judulnya "The Song of Sparrows", awal kisah dibuka dengan adegan di peternakan burung unta. Saya jadi berpikir, film ini nantinya akan mengisahkan tentang burung unta. Tapi melihat dari arti judulnya "Sparrows", bukanlah burung unta melainkan burung pipit. Secara keseluruhan The Song of Sparrows, berarti nyanyian burung-burung pipit. Lalu dimanakah hubungannya?
Oke, lupakan masalah judul! Sebelum meresensi, izinkan saya terlebih dahulu membahas di belakang layar film ini. Rasa penasaran, membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang film ini. Dari hasil googling, tak banyak saya temukan yang membahas film ini dalam Bahasa Indonesia. (Tak banyak, berarti ada.) Dari beberapa hasil searching saya temukan bahwa, film The Song of Sparrows adalah produk Iran yang disutradarai oleh Majid Majidi, yang juga sutradara film "Children of Heaven", kalian tahukan film yang sangat fenomenal itu?
Majid Majidi, ternyata adalah sutradara kondang di Iran, ia biasa mengangkat kisah film dari kehidupan sehari-hari yang sarat dengan nilai sosial, etika, dan moral.
Dalam film The Song of Sparrows, digambarkan perjuangan seorang Ayah, yang bernama Karim-saya merasa melihat sosok Ayah saya dalam diri Karim. Seorang Ayah, yang pekerja keras, bertanggung jawab terhadap keluarganya, sedikit temprament, namun sangat sayang kepada anak-anaknya.
Hal ini dibuktikan saat konflik pertama, Haneya-anak Karim yang pertama-kehilangan alat bantu dengarnya. Haneya adalah seorang gadis yang tuna rungu. Dari situ Karim berusaha untuk membelikan alat bantu dengar yang baru untuk Haneya, namun harga alat bantu dengar itu selangit. Karim berinisiatif untuk meminjam uang pada 'bos'nya di peternakan burung Unta.
Namun, malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Seekor burung unta lepas dari kandangnya saat Karim sedang bertugas,alhasil Karim dipecat.
Ia menerima dengan sedikit kecewa, namun rasa dukanya tak ditampakkan pada anak-anak dan istrinya di rumah. Ia tetap pergi ke kota untuk mencari alat bantu dengar buat Haneya, di kota ia melihat peluang menjadi tukang ojek. Karim selalu berusaha tanpa lelah untuk memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Kehidupan keluarga yang dinamis sangat terasa di sini.
Hal yang paling menarik bagi saya, adalah Hossein-anak kedua Karim & anak laki-laki satu-satunya-yang sangat bandel. Karim sering dibuat marah karenanya, mulai dari ulahnya yang dianggap menghilangkan alat bantu dengar Haneya, sampai pada kegaduhan-kegaduhan kecil lainnya. Namun dibalik sikap bandelnya ia mempunyai rasa sayang yang lebih kepada Ayahnya. Terbukti saat ia ingin membeli dua kotak jus, namun uangnya tak cukup, dan akhirnya ia membeli satu kotak jus saja. Jus itu ia berikan kepada Ayahnya, dan ia memilih meredam hasratnya untuk minum jus. Karakter Hossein juga mengingatkan saya pada adik bungsu saya yang bandel, apalagi wajah mereka agak mirip menurut saya, hehe (abaikan jika anda tidak setuju bagian ini). Soal sikap tempramen Karim, terlihat saat ia memukul Haneya karena saking marahnya melihat anak-anaknya berjualan bunga di pinggir jalan TOL (mirip jalan TOL di Indonesia) yang ramai. Namun begitu mereka tetap saling menyayangi, Haneya tetap merawat Ayahnya saat Karim kecelakaan-tertimpa runtuhan tembok saat memperbaiki pagar.
Hal yang membuat saya sedih adalah saat Hossein dan teman-temannya menangis, sebab ia harus merelakan satu gentong ikan yang lepas. Ikan-ikan ini adalah impian mereka buat menjadi milyuder.
Soal Nargess-istri Karim-ia adalah perempuan yang sabar dan welas asih. Salah satu adegan romantis yang diciptakan Karim adalah saat Nargess menangis karena Karim mengambil lagi pintu biru yang sudah Nargess berikan kepada teman/tetangganya. Nargess menangis karena merasa malu. Karim lalu membujuk istrinya ini dengan bujukan/pengertian, dan kata-kata yang lemah lembut.
Adegan Karim mengangkat pintu biru dari rumah tetangganya ke rumahnya membuat saya terenyuh. Ia harus menggotong pintu itu sendirian dengan berjalan kaki di tengah ladang yang panas. Disana tampak sekali wajah lelah Karim yang sudah menua.
Penasaran dengan bagaimana nasib burung unta dan alat dengar Haneya, silahkan tonton filmnya dan beri penilaian.
Penilaian dari saya: 8. Saya suka kisah film yang menginspiratif, Majid Majidi berhasil mengaduk-aduk emosi penikmat filmnya, mulai dari sedih, kecewa, marah, hingga lucu. Tapi di film The Song of Sparrows seperti tidak ada benang merahnya, tidak seperti film Majid Majidi yang sebelumnya-Children of Heaven-yang jelas benang merahnya, menggambarkan seorang anak yang ingin memiliki sepatu.
But, over all, film ini bagus! film ditutup dengan adegan burung unta yang sedang berjoged. :D I like it, sepertinya aku lebih jatuh cinta pada film Iran daripada film Thailand yang mayoritas ditonton teman-teman di kampus.
Sampai jumpa lagi di resensi film berikutnya....
:)
2 komentar:
kakak, blog-nya keren.. nanti aku ajarin bikin design nya yah, aku masih pemula banget, hehe
Makasi Dek. :) Boleh, kita sama-sama belajar ya, Kakak juga masih belajar. Hehe... nih coba pelajari link ini dulu http://btemplates.com/
Posting Komentar