Tahun Terbit : Maret 2011
Perawakannya kecil. Sekuntum bunga merah yang elok melekat di sanggulnya. Senyum yang menyilaukan mata. Ia berdiri di pintu masuk. Sinar setengah gelap. Bentuk badannya tampak jelas dikelilingi cahaya lampu dari belakang. (Ku Antar Ke Gerbang, hal.1)
Itulah kalimat pertama yang kamu baca ketika membuka halaman pertama novel ini. Suatu penggambaran yang sangat indah akan sosok Ibu Inggit di mata Bung Karno.
Novel ini tidak hanya menggambarkan kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno tapi juga menggambarkan sejarah kemerdekaan Indonesia. Ya, bisa dikatakan novel ini adalah novel sejarah. Bagaimana di sini diceritakan kesetiaan Ibu Inggit menemani Bung Karno mencapai tujuannya, kemerdekaan Indonesia. "Inggit tidak memberikan sumbangan pikiran dan teori untuk revolusi Indonesia, tetapi dengan menunjukkan kasih sayang dan kesetiaan yang tiada goyah kepada suami yang sedang mengalami cobaan dan derita dalam perjuangan."Itulah kata-kata Ramadhan K. H. yang saya kutip yang sangat menarik buat saya. Kata-kata tersebut semakin mengokohkan bukti bahwa, "di balik laki-laki yang hebat memang ada perempuan yang hebat".
Membaca novel ini membuat saya menyelami zaman 1920an, zaman-zaman pendudukan Belanda di Indonesia. Saya mampu merasakannya, bagaimana Bandung kala itu-daerah yang menjadi tempat tinggalnya Ibu Inggit dan Bung Karno-lebih tepatnya Cicaheum, Tegalega, Ujung Berung, Lapas Sukamiskin, yang kesemua tempat itu dekat dengan tempat kos saya sekarang. Apalagi penggambaran kota tempat asal saya, Padang, pada setting saat Bung Karno dan Ibu Inggit berjalan melewati hutan Sumatera yang kelam dari masa pembuangan di Bengkulu hingga ke kota Padang.
Tidak lepas dari itu, awal pertemuan Ibu Inggit dan Bung Karno adalah hal yang sangat menarik buat saya. Saya pikir awalnya mereka bertemu saat bujang-gadis. Ternyata pada saat pertama kali mereka bertemu, mereka sudah mempunyai pasangan masing-masing. Bung Karno sudah mempunyai istri dan Ibu Inggit sudah mempunyai suami, suaminya yang ke-2. Dan Bung Karno dengan istri pertamanya belum pernah 'bersentuhan' sama sekali.
Menginap di rumah Ibu Inggit, menimbulkan rasa cinta pada diri Bung Karno terhadap Ibu Inggit dan hal itu ditanggapi oleh Ibu Inggit. Namun sesuatu yang sangat disayangkan dan membuat saya kaget, ternyata rasa cinta itu disalurkan sebelum ijab qabul. Berarti dalam hal ini mereka masih terikat dengan pasangan masing-masing. "Hendaknya semua maklum apa yang terjadi selanjutnya. Aku malu menceritakannya ...." (Ku Antar Ke Gerbang, hal. 32).
Tapi di sini saya salut, bagaimana bijaksananya suami Bu Inggit kala itu, Kang Uci, melepas Ibu Inggit dan merelakannya bersam Bung Karno. "Terimalah dulu lamaran Kusno itu. Setelah jelas begitu, Akang jatuhkan talak .... Akang rido, kalau Eulis menerima lamaran Kusno itu dan kalian berdua nikah. Mari kita jagokan dia sehingga dia nanti benar-benar menjadi orang penting. Mari kita bantu dia sampai benar-benar menjadi pemimpin rakyat. Dampingi dia, bantulah dia, sampai dia benar-benar mencapai cita-citanya." (Ku Antar Ke Gerbang, hal. 37-38).
Betapa besar hati seorang suami, merelakan istri dilamar orang lain, padahal masih berstatus menjadi istri. "Sungguh, aku telah menjadi orang yang tidak berdaya lagi dikalahkan oleh seorang laki-laki yang begitu tinggi budinya" (Ku Antar Ke Gerbang, hal. 37-38). Ini adalah gambaran perasaan Ibu Inggit kala itu.
Namun apapun itu, Bung Karno memang membutuhkan sosok istri seperti Ibu Inggit, yang bisa dijadikan kekasih, Ibu, dan teman katanya. Dan Bung Karno mendapati perpaduan tiga hal itu dalam diri Bu Inggit. Memang itu hal yang wajar, karena dilihat dari umur Ibu Inggit lebih dewasa dari Bung Karno, kira-kira sepuluh tahun. Bung Karno diemong, diasuh oleh Bu Inggit dengan telaten hingga 'Singa Podium' itu mampu menyelesaikan kuliahnya, Teknik Sipil di Dago, Bandung. Saat menikah dengan Ibu Inggit, Bung Karno memang masih berstatus sebagai mahasiswa, dan untuk keperluan rumah tangga, Ibu Inggit udah terbiasa berkerja. Hal ini tidak menjadi masalah bagi Bu Inggit, walaupun dengan suami sebelumnya ia hidup serba berkecukupan, bahkan sudah sangat biasanya baginya plesiran ke Singapura.
Kesetian dan ketabahan Ibu Inggit mendampingi Bung Karno, tidak hanya sampai di situ. Masa-masa Bung Karno di penjara di lapas Sukamiskin, masa-masa pembuangan di Ende dan Bengkulu, adalah masa-masa sulit yang berhasil mereka lalui bersama. Walaupun di Bengkulu goncangan itu datang. Bung Karno bertemu dengan Ibu Fatmawati yang saat itu sempat diangkat menjadi anak oleh mereka. Bung Karno menginginkan keturunan, sedangkan Ibu Inggit tidak bisa memberikan. Dan Bung Karno meminta izin untuk menikahi Ibu Fatmawati, tetapi Ibu Inggit tidak mau di madu. Akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah setelah masa pembuangan di Bengkulu. Ibu Inggit mendampingi Bung Karno selama 20 tahun, dan mereka bercerai sebelum Bung Karno menjadi Presiden RI yang pertama.
Banyak hal yang kita dapati ketika membaca novel ini, pengorbanan, kesetiaan, dan hal lain yang dapat dilihat dari sudut pandang berbeda.