Cuaca Ibukota siang itu panas terik, membuatku sedikit gerah. Sesekali aku merapikan kerudung yang ku lilitkan ke leher. Sementara kakiku tetap melangkah, menapaki setiap anak tangga gedung perkantoran yang megah ini. Seragam ku kali ini necis sekali. Kerudung biru dipadukan dengan kemeja berwarna senada, dilapisi blazer hitam, dan celana bahan juga berwarna hitam. Sepatu pantofel ku mengkilap, abis ku semir tadi malam. Aku melangkah dengan percaya diri menenteng tas kecil.
Tapi rasanya seragam ku kalah necis dengan mereka. Ya, mereka yang duduk di sebelahku. Wanita-wanita cantik dengan rok mini di atas lutut, hig heells, dan rambut yang tergerai indah. Nampaknya hanya aku satu-satunya peserta interview yang mengenakan hijab. Aku langsung menciut, membayangkan kemungkinan terburuk yang akan aku hadapi.
***
Mata interviewer itu nanar menatap ku dari kepala hingga ke ujung kaki. "Bu Shaqi, ehm ... kami akan menempatkan Bu Shaqi di bagian yang mengharuskan Ibu bertemu dengan orang banyak. Berapa gaji yang Ibu butuhkan?"
Aku cukup tercengang mendengarkan angka 8 digit yang ditawarkannya. Gaji ini jauh lebih besar dari yang ku harapkan. Terlebih untuk ku yang fresh graduate. Aku menunggu kelanjutan perkataan Bapak ini ....
"Tapi begini, Bu ... seperti yang Ibu ketahui, perusahaan ini banyak berhubungan dengan orang asing. Untuk itu perusahaan punya kebijakan bagi setiap pegawainya untuk tidak menggunakan kerudung."
Deg! Kemungkinan terburuk yang aku bayangkan terjadi. Perusahaan asing ini benar-benar memberlakukan hal itu.
"Karena begini, Bu ... karena berhubungan dengan banyak orang asing yang belum tentu bisa memahami penutup kepala yang Ibu gunakan ini, jadi kami ingin meminta Ibu untuk melepaskan kerudung. Karena kami tidak ingin ada perbedaan, kami ingin menyamaratakan." Lanjutnya lagi ....
"Maaf Pak, saya tidak bisa!" Dengan tegas aku menjawab. Batin ku bergejolak, besarnya gaji yang ditawarkannya menguap begitu saja dari kepala ku. Hal itu tidak berarti apa-apa, dibanding aku harus melepas hijab ku.
"Begini saja, Bu ... di dalam kantor Ibu boleh menggunakan kerudung. Ibu melepas kerudung hanya ketika bertemu dengan klien asing." Tawarnya lagi seolah merayu.
Nah, ini lebih mempermainkan lagi. Apa-apaan ini! Aku tidak akan bermain-main dengan aqidah ku. Memang kerudung ku belum sempurna, tapi jika diminta melepas kerudung aku tidak mau. Aku tidak mau memulai dari 'nol' lagi. Usaha ku untuk memutuskan mengenakan kerudung tidak gampang. Dan sekarang aku sudah terbiasa dengan benda yang selalu menutup kepala ku ini. Jika aku sekarang tidak menggunakannya, rasanya seperti tidak berbusana.
Aku tetap pada pendirianku. Aku menolak dan memilih meninggalkan gedung perkantoran ini. Dengan keyakinan kalau rezeki ku tidak tertukar. Rezeki ku mungkin tidak di sini tapi di tempat lain. Dan sekarang aku sudah nyaman di tempat baru yang aku pilih. Menjadi guru mungkin tidak linear dengan jurusan kuliah ku, tapi di sekolah ini membuatku lebih dekat denganMu. Bukannya diminta melepas kerudung, malahan di sekolah ini aku diharuskan memperbaiki bacaan Al-Quran ku. Aku merasa nyaman di sini walaupun gajinya di bawah gaji yang ditawarkan di tempat yang dulu.
*terinspirasi dari kisah nyata, diceritakn berdasarkan kisah seornag teman. Nama disamarkan.
0 komentar:
Posting Komentar