Apakah Anda penggemar sastra lama? atau suka bernostalgia dengan novel angkatan Balai Pustaka? Sebut saja ''Salah Pilih'', a novel by Nur St. Iskandar.
Nur Sutan Iskandar adalah seorang sastrawan angkatan Balai Pustaka yang lahir di Sungaibatang, Maninjau, Sumatera Barat, pada tanggal 3 november 1893. Nur Sutan Iskandar merupakan satu dari sebagian penulis angkatan Balai Pustaka yang berasal dari Maninjau. Ia tidak berbeda jauh dengan Buya Hamka, tepatnya novelnya tidak berbeda jauh dengan karangan Buya Hamka-mengkisahkan tentang percintaan yang berlatarkan atau dibalut adat dan budaya Minangkabau.
Salah Pilih, novel Nur St. Iskandar yang ketiga, yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1928, mengkisahkan tentang percintaan dua kakak beradik angkat, Asri dan Asnah. Namun cinta mereka tak dapat segera bersatu karena Asri menikah dengan Saniah anak orang kaya di Sungaibatang--Latar tempat yang diambil oleh Nur St. Iskandar dalam novel ini adalah tanah kelahirannya sendiri, sehingga ia mampu mendeskripsikan dengan jelas setiap tempat yang tercantum dalam novelnya.
Saniah memiliki laku yang buruk, sebagaimana yang diajarkan Bundanya bahwa perempuan selalu di atas suaminya. Seperti yang tampak pada perilaku Bundanya, ia lebih berkuasa daripada Ayah Saniah, berkuasa atas masa depan anak-anaknya. Perempuan jangan mau di atur suami, tepatnya begitu. Saniah tidak mau memasak atau membereskan Rumah Gadang--rumah adat Minangkabau. Setiap hari kerjaannya bersolek. Segala gaji yang diperoleh Asri--suaminya diserahkan kepadanya untuk membeli pakaian yang baru saja. Di sini sangat tampak sekali, bahwasanya perempuan pada zaman itu, tepatnya tahun 1928, belum diperbolehkan mengecap pendidikan terlalu tinggi. Perempuan dipingit bak bunga dalam jambangan hingga nanti tiba saatnya dipinang. Saniah sendiri ketika menikah dengan Asri berumur 16 tahun, dan Asri berumur 19 tahun. Jika dibandingkan dengan masa sekarang, tentu umur tersebut terbilang kecil untuk memasuki pernikahan, usia tersebut masih dalam usia sekolah. Namun dalam novel angkatan Balai Pustaka, tokoh dengan umur segitu digambarkan memiliki sifat yang dewasa, terutama dalam novel salah pilih, kedewasaan tokoh tampak dalam dialog antar tokoh Asri dengan Asnah dan Rusiah yang memakai kata, 'Kanda' dan 'Dinda'.
Membaca novel ini, membuat saya bisa merasakan bagaimana hidup di Sumatera Barat pada tahun 1928. Mungkin bagi sebagian pembaca, novel ini tidak terlalu mengena ke hati, aplagi yang awam dengan adat dan budaya Minangkabau. Namun bagi saya sendiri, yang bersuku Minangkabau dan masih merasakan sebagian adat Minangkabau yang digambarakan dalam novel tersebut, tentu bisa merasakan kekentalan adat pada masa itu dan bisa merasakan perbedaannya, serta bisa mengetahui mana adat yang sudah luntur dan mana adat yang masih dipakai hingga saat ini. Novel ini sebagai pembanding bagi saya, dan bisa dijadikan rujukan--begitu agaknya--jika saya ingin mengetahui lebih dalam tentang adat Minangkabau yang tak sempat diceritakan secara mendetail oleh Kakek atau Nenek saya.
Pada tahun 1928, seorang Ibu sangat malu jika melihat anaknya yang berumur 15 tahun belum jua menikah. Anak tersebut dianggap tidak berbangsa dan tidak laku. (Salah Pilih, hlmn.39). Pandangan ini tentu tidak berlaku lagi sekarang. Positifnya dari orang dulu, tidak mengenal yang namanya 'pacaran'. Sesuai dengan pepatah Adat Minangkabau: Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah, yang artinya Adat Berlandaskan Agama, Agama berlandaskan Al Quran. Mungkin pepatah ini agak susah saya pahami jika melihat di Minangkabau melarang orang yang satu suku untuk menikah. Seperti yang dikisahkan dalam novel ini, Asri dan Asnah tidak bisa menikah sebab mereka satu suku. Adat ini masih dipertahankan sampai sekarang, karena orang satu suku dianggap bersaudara sehingga tidak boleh menikah menurut adat, walaupun menurut Agama Islam diperbolehkan.
Beberapa adat yang berbeda dengan sekarang adalah tentang adat lamar-melamar. Di dalam novel Salah Pilih diceritakan bahwa beberapa tempat di Minangkabau saat itu mempunyai cara yang berbeda dalam adat melamar. Di tempat yang satu dinyatakan bahwa yang datang melamar haruslah pihak perempuan, namun di tempat lain dikatakan bahwa yang datang melamar adalah siapa yang berhajatkan/menginginkan terlebih dahulu. Jika laki-laki, maka pihak laki-lakilah yang datang ke rumah pihak perempuan. Namun jika perempuan, maka pihak perempuanlah yang datang melamar ke pihak laki-laki. (Salah Pilih, hlmn.80). Proses melamar itu diiringi dengan proses mengantarkan sirih (daun sirih)--sebagai tanda dalam adat Minangkabau. Untuk perkara mengantarkan sirih ini pada saat itu, tetap dilakukan oleh pihak laki-laki ke rumah orang tua pihak perempuan. Di mana pada sekarang ini keadaannya bertolak belakang, jika sekarang sesama orang Minang menikah, maka yang mengantarkan sirih secara adat adalah pihak perempuan ke pihak laki-laki.
Begitu sakralnya upacara pernikahan pada saat itu yang mana masih terjaga hingga saat ini. Proses perkenalan mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan setelah proses mengantarkan sirih dijaga dengan sangat ketat. Calon mempelai laki-laki jika bertamu ke rumah calon mempelai perempuan tidak diizinkan seorang diri, melainkan harus ditemani beberapa orang teman dari pihak laki-laki. Dan jangan harap di rumah pihak perempuan akan dijamu oleh calon mempelai perempuannya langsung, sebab yang menjamu adalah Ibu atau sanak saudara dari pihak perempuan. Dan dalam perjamuan itu, sangat diperhatikan sekali tingkah laku calon mempelai laki-laki termasuk kawan-kawannya, mulai dari cara makan, berpakaian, dan sebagainya. Adat sopan santun sangat dijunjung di sini. (Salah Pilih, hlmn.98). Kisah dalam perjamuan itu digambarkan dengan sangat jenakanya pada halaman 104.
Namun soal pergaulan antara perempuan dan laki-laki pada saat ini agak mulai longgar. Dari cara berpakaian saja jauh berubah drastis, jika dulu perempuan Minang diwajibkan memakai 'baju kurung', sekarang hampir tak dapat terlihat.
Kembali lagi pada upacara pernikahan yang digambarkan dengan sangat detail pada novel ini. Setelah Asri dan Saniah menikah, maka Asri langsung boleh tinggal di rumah Saniah karena waktu pernikahan dengan waktu pesta dilangsungkan dalam satu hari (Salah Asuhan, hlmn.116). Sedangkan sekarang, sebagian besar di beberapa tempat di Sumatera Barat, waktu pernikahan dengan waktu pesta atau perhelatan berselang satu hari sehingga setelah menikah suami tidak dapat langsung tinggal bersama istrinya, melainkan suami tinggal di rumah istrinya terhitung hari Minggu. Contohnya jika menikah hari Jumat, maka resepsi diselenggarakan hari Minggu. Sementara pada hari Sabtu tenda-tenda tetap terpasang, hidnangan tetap terhidang, dan mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki berpisah jarak, berada di rumah masing-masing.
Terlepas dari adat menikah, hal yang tidak ada lagi sekarang adalah adat mengabarkan kematian dengan bedil (Salah Asuhan, hlmn 165). Jika pada tahun 1928, kalau ada yang meninggal maka akan dibunyikan bedil sebagai berita himbauan. Cara seperti itu sudah tidak dilakukan lagi sekarang.
Hal yang paling menyentil bagi saya pada masa itu adalah adat seorang laki-laki diperbolehkan, bahkan bisa diharuskan beristri lebih dari satu. Karena pada masa itu, jika ada seorang laki-laki yang tidak mau mempunyai istri lebih dari satu akan dipandang rendah dan jadi bahan pergunjingan di kampung. Seperti Asri yang tidak mau menduakan Saniah walaupun tingkah laku Saniah buruk. Saya bersyukur adat itu tidak berlaku lagi sekarang, karena budaya tersebut seperti merendahkan kaum perempuan pada masa itu. Agaknya Nur St, Iskandar juga menyampaikan protesnya akan hal itu lewat novel ini. Dan banyak lagi protes-protes yang ingin disampaikan Nur St. Iskandar yang disampaikan lewat tokoh Asri. Saya yakin Nur St, Iskandar menulis novel ini sesuai dengan keadaan masyarakat Minangkabau pada tahun 1928.
Hal lain yang membuat saya bisa merasakan alam Minangkabau pada tahun 1928 adalah, keasrian alam Minangkabau yang belum terjamah teknologi. Di mana pada saat itu untuk menyampaikan pesan dari Kota Padang hingga ke Maninjau harus melalui surat. Padahal untuk sekarang jarak itu terasa dekat karena adanya hp dan internet. Hal yang saya rindukan dan tidak dapat saya rasakan sekarang adalah perjalanan dari Maninjau ke Padang dengan kereta api. Sekarang kereta api hanya bisa digunakan dari Padang ke Pariaman, karena rel kereta api dari Padang ke Maninjau atau Padang ke Bukittinggi telah tertutup, mungkin ada beberapa penduduk yang membangun rumah di atas rel yang telah uzur tersebut. Ah, betapa elok dan permainya alam negeriku pada masa itu.
Salah Pilih. Sesuai dengan makna novel, tokoh utama, Asri yang telah salah memilih Saniah bukan Asnah saudara angkatnya. Namun akhirnya Asri bisa bersatu dengan Asnah, setelah Saniah meninggal. Hanya ini novel angkatan Balai Pustaka yang pernah saya baca, yang berakhir happy ending.Tidak seperti novel Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Vander Wijck, atau Di Bawah Lindungan Kakbah, yang cinta tokoh utamanya tidak bisa bersatu. Namun dalam kebanyakan novel angkatan Balai Pustaka selalu dikisahkan ada tokoh yang meninggal, sebut saja ketiga novel di atas, ditambah lagi novel Layar Terkembang.
Novel angkatan Balai Pustaka selalu menarik hati buat saya, sampai-sampai gaya bercerita saya dalam tulisan ini terbawa-bawa gaya berceritanya Nur St, Iskandar. Melayu dan klasik. 1928. Sebuah masa yang sangat lama sekali, hingga kini novelnya masih dikenang. 1928. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, di mana pada masa itu rakyat Minangkabau masih hidup rukun dan damai walaupun sudah terjamah oleh Belanda, terbukti dengan sudah adanya sekolah Belanda pada masa itu seperti yang digambarkan dalam novel Salah Pilih. Ketika novel ini terbit untuk pertama kali Nur St. Iskandar berumur 35 tahun.
Walaupun teman-teman sering meledek saya membaca novel jadul, saran saya, cobalah untuk membaca novel angkatan Balai Pustaka, karena novel-novel tersebut sarat akan makna kehidupan. Ada banyak pelajaran yang dapat kita ambil di sana.[*]
Nelvianti, 8 Mei 2014
Nelvianti, 8 Mei 2014
0 komentar:
Posting Komentar