Tulisan
ini adalah hasil refleksi dari orang-orang yang saya temui di kehidupan nyata.
Pengalaman dari teman-teman saya, sahabat-sahabat saya, atau curhatan dari
mereka yang saya anggap adik. Membiasakan diri menjadi pendengar yang baik,
banyak pelajaran yang dapat saya ambil dan saya share kepada teman-teman yang
lain. Bukan apa-apa. Saya tidak ada
kepentingan apa-apa di sini. Ini murni sebagai bentuk pengingat diri sendiri,
bahwasanya kita bisa belajar dari pengalaman orang lain. Saya masih ingat
perkataan guru SMA saya, bahwa orang yang beruntung adalah orang yang belajar
dari pengalaman orang lain, bukan dari pengalaman dirinya sendiri. Ini berarti,
jika belajar dari pengalaman orang lain, secara tidak langsung kita sudah
memfilter kejadian tersebut agar tidak terjadi pada diri kita.
Baiklah,
back to the topic! Kenapa judul di
atas terdengar begitu ekstrim (setidaknya menurut saya sendiri)? I don’t know! :D Tapi memang begitulah
adanya. Saya akan mulai bercerita. Ini berawal dari curhatan seorang adik
kelas, sebut saja namanya ‘Mawar’, nama yang sangat familiar bukan? :D
Ok,
Mawar ini saya lihat sering marah-marah ketika menelfon dengan Ayahnya, bahkan
kadang tak sungkan ia berkata kasar kepada Ayah kandungnya. Padahal waktu itu
Ia menelfon di depan orang lain, di depan saya. Setelah itu Ia bercerita
panjang lebar tanpa saya minta. Cerita bagaimana Ia melihat perjuangan Ibunya
seorang diri dalam membiayai kuliahnya.
“Dulu
itu Kak, waktu mau masuk SD ... Ayah saya bilang gini, ‘Mau bayar uang sekolah
pake apa? Kalau gak punya uang, ya ... gak usah sekolah saja!’Saya yang waktu
itu belum masuk SD geram mendengarnya. Walaupun waktu itu saya masih kecil,
tapi saya ingat sampai sekarang apa yang Ayah saya bilang. Dengan gampangnya
Ayah saya bicara seperti itu, enak saja ...! Mana tanggung jawabnya sebagai
Ayah, memang Ayah tidak mempersiapkan dana pendidikan untuk saya sebelum saya
lahir, atau berusaha keras kek, kenapa terkesan pasrah seperti itu. Saya bisa
kuliah sampai sekarang, sebagian besarnya karena keringat banting tulangnya Ibu
saya. Ibu saya tentu gak rela melihat anaknya gak sekolah. Akhirnya Ibu saya
rela-relain pergi pagi pulang malam, menjadi buruh. Apa saja Ibu saya lakukan,
mulai dari buruh tani, berjualan, dan lain sebagainya. Saya masih terbayang
gimana capeknya Ibu saya pulang malam. Sampai sekarang pun, kalau ada
kekurangan biaya kuliah ... Ibu saya yang mengusahakan. Tadi saya menelfon Ayah
untuk mengabarkan itu, tapi sudah diduga apa jawaban Ayah saya, saya kesal!”
Lain
lagi ceritanya dengan Melati. Melati ini melihat dengan mata kepalanya sendiri
Ayahnya sering bertengkar hebat dengan Ibunya sampai adanya KDRT. Puncaknya
ketika Melati melihat Ibunya menangis dan ada sedikit lebam atau memar di
tangan Ibunya. Saat itu Melati baru berumur 5 tahun. Tapi ia sudah mengerti
semuanya, termasuk kenapa Ayahnya sampai hati memukul Ibunya.
“Karena
ada perempuan lain, Kak!” Katanya waktu itu kepada ku. “Aku melihat Papa membawa
pulang perempuan lain ke rumah, Mama protes. Dan terjadilah pertengkaran hebat
itu. Papa sampai memukul Mama dan mendorong Mama, kemudia Papa memilih pergi
bersama perempuan itu dan tidak pernah kembali lagi hingga saat ini. Waktu itu Mama
menangis. Aku bilang, kenapa Mama menangis? Kalau Mama menangis demi Papa, Mama
bodoh. Aku, walaupun masih TK, tapi sudah bicara sefrontal itu. Aku sendiri juga
kadang bingung sama diri aku sendiri, darimana aku bisa dapat kata-kata itu.
Tapi yang jelas, aku tau Mama ku orang hebat. Dan aku yakin, beliau bisa
menjaga kami tanpa Papa! Mama ku dulu kerja di pertambangan Kak, kantornya dan
gajinya lebih gede dari Papa aku. Papa aku dulu yang masukin kerja Mama, Papa
bisa sampai di posisi sekarang ini, itu karena Mama! Mama rela resign dari tempat kerjanya demi mengikuti
Papa, biar karir Papa saja yang melejit, Mama tidak usah, begitu mungkin pikir Mama.
Tapi apa, saat itu setelah Papa berada di posisi puncak jabatan, bergelimang
uang, lalu perempuan-perempuan itu datang. Perempuan-perempuan yang hanya mau
uangnya Papa! Papa ku gak tau itu, terakhir ku dengar kabar Papa ku udah
bangkrut, mungkin juga sudah dicampakkan oleh perempuan itu. Tak taulah ... dan
aku gak mau tau. Aku gak mau dengar kabar apa-apa tentangnya. Aku benci Kak!
Aku bahkan tak ingin ketemu Papa, dan aku bahkan sempat ingin bu**h Papa!
(Masya Allah) Dan sekarang kalau Papa datang [lagi] dalam kehidupan kami, kami
gak butuh, kehidupan kami sekarang sudah lebih baik. Mama sudah berkerja lagi
dan karirnya bagus. Dulu setelah ditinggal Papa, Mama mulai lagi dari nol,
tertaitih-tatih. Aku merasakan hari-hari makan dengan mie instan dan roti cukup
lama, padahal sebelumnya apa pun barang mewah yang aku minta bisa dipenuhi.
Berat, sangat berat rasanya dikhianati Papa! Tapi aku pastikan aku gak akan jadi
anak broken home, yang suka bertinak
seenaknya, buat apa! Aku juga gak menyalahkan jika ada teman-teman yang lain
sampai bertindak di luar batas, karena aku gak pernah tau apa yang mereka
rasakan. Yang jelas aku merasakan sakit, makanya aku gak pernah meminta orang
untuk sabar ketika ditimpa musibah sebelum aku merasakan musibah itu sendiri!
Sabar itu berat dan aku memilih diam daripada tidak memberikan solusi.”
Mmh
... saya tidak bisa berkomentar apa-apa mendengar ceritanya, saya hanya bisa
merenung, bahwa ketidakberdayaan seorang Ayah, Ayah yang tekesan kurang
bertanggung jawab, bisa menyulut api kebencian dalam diri anak perempannya.
Kenapa anak perempuan yang lebih merasakannya? Karena kodrat ‘perempuan’ ingin
dilindungi, dan ketika hal yang diharapkan itu tidak dapat Ia rasakan dari
Ayahnya, sebagai seorang laki-laki terdekat dalam hidupnya, laki-laki yang pertama
kali ia temui ketika Ia lahir, laki-laki yang mengumandangkan adzan di telinga,
maka di situ ada perasaan tidak menerima. Kenapa
begini? Kok begitu? Ia terus mencari-cari, membanding-bandingkan dirinya
dengan teman-temannya, Ayahnya dengan Ayah teman-temannya. Ayah teman saya gak
begitu, kenapa Ayah saya tidak seperti Ayah teman-teman saya? Huaaa ...
pecahlah semua! Benci! Perasaan itu muncul. Saya kira begitu.
2 komentar:
Kenapa ya crita nya sama persis dengan kehidupan kluarga saya pada 10 tahun yang lalu, tapi sekarang allhamdulilah semua sudah berubah 180 derjat๐, trus berkarya ya nelvi. Semangat. Hehehe
Oh, iya kah?? Masya Allah ... semoga kisah ini mencerahkan ya, semoga para ayah di luar sana tau akan tanggung jawabnya. Makasi yaa sudah berkunjung, semangat selalu. ๐ช๐
Posting Komentar