Aku
tak percaya, kini logat melayu ku benar-benar hilang ketika aku berbahasa
Indonesia. Setidaknya pengakuan ini ku dapat dari murid-murid ku di Padang.
“Bu
Nelvi kok bahasa Indonesianya gaul sih?”
“Gaul
gimana?” :D (rasanya aku gak pernah bilang lo,
gue saat mengajar).
“Gaul
… kayak di tipi-tipi itu, kayak orang
Jakarta.”
Oalah
… haha. Aku paham maksud mereka. Guru mereka sebelumnya adalah orang Minang tulen
yang belum pernah merantau. Ku rasa mereka bisa membandingakn bagaimana guru
tersebut mengucapkan kata ‘benang’ atau menambahkan kata ‘kali’ bukan kata
‘sangat’ di akhir kalimat yang menunjukkan tingkat lebih.
“Jangan
lama kali!”
“Jangan
lama banget!”
Aku
tak sadar dengan perubahan ini. Memang, selama mengajar mereka aku jarang
berbahasa Minang dan lucunya ketika aku mulai berbahasa Minang, selalu ada
seorang murid yang protes.
“Bu
Nelvi jangan bahasa Minang, gak cocok Bu Nelvi bahasa Minang!”
Haha.
Dia pikir aku jadi kagok berbahasa Minang karena terlalu sering berbahasa
Indonesia. Padahal 4 tahun di Serang tidak benar-benar merubah logat ku kecuali
1 tahun di Bandung.
Bagaimana
tidak, untuk orang Minang tulen seperti ku, menghilangkan logat ‘melayu’ itu
sangat sulit karena ada beberapa kata di bahasa Indonesia yang diucapkan dengan
huruf( ė), sedangkan di bahasa Minang kita hanya mengenal huruf (e). seperti
dalam mengucapkan kata ‘Ledeng’. Coba bandingkan bagaimana orang Minang dengan
orang Sunda rmengucapkan kata tersebut.
Bahasa
adalah alat komunikasi bukan sebuah skill.
Itu kata-kata yang ku ingat dari seorang tutor di Kampung Inggris Pare. Kita
bisa karena terbiasa. Mau pintar bahasa Inggris? Cukup makan nasi orang bule
selama 3 bulan, dijamin fasih. Maksudnya ya … tinggal dan bergaul di lingkungan
orang-orang yang berbahasa Inggris. Tutor tersebut bercerita bahwa, ia dulu
menguasai beberapa bahasa daerah sewaktu ia hidup nomaden dari Aceh, Medan,
Jambi, dan beberapa kota lainnya.
Jadi
balik lagi ke awal cerita, tak heran jika logat saya berubah, sebab saya
bergaul dengan teman-teman yang berbahasa Indonesia tanpa dipengaruhi logat
apapun. Ketika mereka berbicara, sudah tidak keciri lagi mana di antara merek
yang orang Jawa, Sunda, dsb. Begitu juga dengan saya, jika saya tak bercerita
sebelumnya, ada teman-teman yang menyangka saya orang Sunda atau orang Jawa. :D
Entah karena wajah atau karena logat Minang saya yang sudah hilang. Tapi ada
juga yang berhasil menebak saya orang Padang dari alis dan mata saya.
Dan
perbedaan itu baru saya sadari setelah saya balik ke Padang dan bergaul dengan
orang-orang Minang tulen. Memang ada yang beda ketika mereka berbicara, ada
perbedaannya bagaimana mereka mengucapkan huruf e dengan huruf ė. Mungkin
seperti ini juga yang dirasakan teman-teman saya di kampus dulu ketika
awal-awal saya merantau dan logat saya masih dipengaruhi oleh logat melayu yang
kental. Pantesan aja mereka sering geli dan mengoreksi saya, “Unii … bar[é]ng,
bukan bar[e]ng.” katanya membetulkan pengucapan saya yang salah. Hihi. Lucu aja
kalau dikenang, sekarang senyum-senyum sendiri kalau mendengar teman-teman di
sekolah di Padang berbahasa Indonesia. Tapi saya gak berani komen, ntar
disangka songong. #piss …. J