Senin, 15 Oktober 2018

Catatan Hati Guru #10: Perubahan logat


Aku tak percaya, kini logat melayu ku benar-benar hilang ketika aku berbahasa Indonesia. Setidaknya pengakuan ini ku dapat dari murid-murid ku di Padang.

“Bu Nelvi kok bahasa Indonesianya gaul sih?”

“Gaul gimana?” :D (rasanya aku gak pernah bilang lo, gue saat mengajar).

“Gaul … kayak di tipi-tipi itu, kayak orang Jakarta.”

Oalah … haha. Aku paham maksud mereka. Guru mereka sebelumnya adalah orang Minang tulen yang belum pernah merantau. Ku rasa mereka bisa membandingakn bagaimana guru tersebut mengucapkan kata ‘benang’ atau menambahkan kata ‘kali’ bukan kata ‘sangat’ di akhir kalimat yang menunjukkan tingkat lebih.

“Jangan lama kali!”

“Jangan lama banget!”

Aku tak sadar dengan perubahan ini. Memang, selama mengajar mereka aku jarang berbahasa Minang dan lucunya ketika aku mulai berbahasa Minang, selalu ada seorang murid yang protes.

“Bu Nelvi jangan bahasa Minang, gak cocok Bu Nelvi bahasa Minang!”

Haha. Dia pikir aku jadi kagok berbahasa Minang karena terlalu sering berbahasa Indonesia. Padahal 4 tahun di Serang tidak benar-benar merubah logat ku kecuali 1 tahun di Bandung.

Bagaimana tidak, untuk orang Minang tulen seperti ku, menghilangkan logat ‘melayu’ itu sangat sulit karena ada beberapa kata di bahasa Indonesia yang diucapkan dengan huruf( ė), sedangkan di bahasa Minang kita hanya mengenal huruf (e). seperti dalam mengucapkan kata ‘Ledeng’. Coba bandingkan bagaimana orang Minang dengan orang Sunda rmengucapkan kata tersebut.

Bahasa adalah alat komunikasi bukan sebuah skill. Itu kata-kata yang ku ingat dari seorang tutor di Kampung Inggris Pare. Kita bisa karena terbiasa. Mau pintar bahasa Inggris? Cukup makan nasi orang bule selama 3 bulan, dijamin fasih. Maksudnya ya … tinggal dan bergaul di lingkungan orang-orang yang berbahasa Inggris. Tutor tersebut bercerita bahwa, ia dulu menguasai beberapa bahasa daerah sewaktu ia hidup nomaden dari Aceh, Medan, Jambi, dan beberapa kota lainnya.

Jadi balik lagi ke awal cerita, tak heran jika logat saya berubah, sebab saya bergaul dengan teman-teman yang berbahasa Indonesia tanpa dipengaruhi logat apapun. Ketika mereka berbicara, sudah tidak keciri lagi mana di antara merek yang orang Jawa, Sunda, dsb. Begitu juga dengan saya, jika saya tak bercerita sebelumnya, ada teman-teman yang menyangka saya orang Sunda atau orang Jawa. :D Entah karena wajah atau karena logat Minang saya yang sudah hilang. Tapi ada juga yang berhasil menebak saya orang Padang dari alis dan mata saya.

Dan perbedaan itu baru saya sadari setelah saya balik ke Padang dan bergaul dengan orang-orang Minang tulen. Memang ada yang beda ketika mereka berbicara, ada perbedaannya bagaimana mereka mengucapkan huruf e dengan huruf ė. Mungkin seperti ini juga yang dirasakan teman-teman saya di kampus dulu ketika awal-awal saya merantau dan logat saya masih dipengaruhi oleh logat melayu yang kental. Pantesan aja mereka sering geli dan mengoreksi saya, “Unii … bar[é]ng, bukan bar[e]ng.” katanya membetulkan pengucapan saya yang salah. Hihi. Lucu aja kalau dikenang, sekarang senyum-senyum sendiri kalau mendengar teman-teman di sekolah di Padang berbahasa Indonesia. Tapi saya gak berani komen, ntar disangka songong. #piss …. J



0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design