Selasa, 03 Maret 2015

Tachi Ema




Setelah kemaren-kemaren saya memposting cerpen-cerpen jadul saya, kali ini saya akan memposting salah satu cerpen saya yang nasibnya belum beruntung dalam perlombaan, hehe. Bertema 'Perempuan', ketangguhan dibalik sikap lemah lembutnya perempuan, intinya... perempuan juga bisa berkarya tanpa mengesampingkan tugas utamanya, mengurus anak dan suami. Selamat menikmati .... ;-)

========================================================================


            Selamat pagi Batujajar.
            Pagi ini indah dan dingin bukan? Lihat saja, aku berdiri di balkon rumah Tachi Ema menimbun badan dengan jaket─jaket beludru yang dibelikan Tachi Ema di Pasar Tradisional Batujajar kemaren sore. Katanya Bandung dingin. Benar banget, jika dibandingkan dengan Padang.
            Aku merapat ke pagar balkon, melepas pandangan lurus ke depan, ke bukit hijau yang terhampar luas di seberang sana. Hijau nan berseri. Sesaat ku pejamkan mata dan ku pertajam pendengaran. Senyumku merekah mendengar cicit-cicit burung yang bersenandung riang, suaranya tak kalah nyaring dengan klakson mobil yang melenguh dan deru-deram kendaraan di jalanan.
            Aku menghela nafas, sesaat menangkap oksigen yang mengawang di sekitarku. Sayang sekali, udara di sini tidak lagi bersih, sudah terkontaminasi oleh asap knalpot.
            Aku menurunkan pandangan dan melirik jam. 05.00. Masih terlalu pagi, tapi kendaraan sudah memadati jalanan di bawahku. Ah, aku lupa kalau sekarang aku berada di kota yang ramai seperti Bandung, keramaiannya pun sampai ke pelosok. Ku lihat Bus Madona sudah penuh sesak, tapi kenek yang bergelantungan di pintu bus masih saja memasok penumpang. Beberapa penumpang yang berdiri di depan Rumah Makan ini tetap saja berebutan naik, tak peduli kebagian tempat duduk atau tidak. Begitupun dengan angkot-angkot kecil yang tak kalah gesit, menyalip sana-sini. Sementara jalanan kosong di sela-sela bus dan angkot diisi oleh kendaraan roda dua.
            Butuh waktu lima belas menit untuk menyebarangi jalan yang padat merayap seperti ini. Aku ingat kemaren, betapa susahnya menyebrang saat aku diturunkan di SPBU, di depan Rumah Makan Tachi Ema. Ransel di punggung, kardus di tangan kiri, dan koper di tangan kanan, merengek-rengek menguntiti langkahku.
            Aku baru saja datang dari Padang kemaren sore. Pesawat yang aku tumpangi mendarat dengan mulus di bandara Husein Sastranegara. Mak Itam tidak bisa menjemputku, jadi mau tidak mau aku harus naik turun bus sampai di rumahnya.
            “Teteh Yasmin, Mail juga mau lihat bumbum!” tiba-tiba ku rasakan tangan kecil menarik-narik ujung jaketku.
            Mail. Aku tidak sadar kalau ia sudah bangun. Aku mengangkat badan mungilnya naik, enteng. Sejenak ku biarkan Mail menikmati angkot-angkot hijau yang berlalu-lalang di bawah.
            “Sudah ya Dek, cuci muka dulu!” Pintaku sembari menurunkannya.
            Ia tak menolak. Mata ngantuknya masih berkedip-kedip. Ku towel pipinya yang chubby, aku gemas melihat bocah tiga tahun ini. Dia cerewet. Kemaren ia yang menyambutku penuh semangat ketika aku baru menapaki kaki di teras rumahnya.
            Saleh Ismail, putra bungsu dari Tachi Ema dan Mak Itam. Mak Itam adalah adik kandung Ayahku, aku menyebutnya Mak Itam karena kulitnya yang hitam─kalau kata orang Sunda hideung. Mak Itam terbilang sukses, sekarang ia mempunyai Rumah Makan Padang. Waktu bujang Mak Itam yang tak tamat SMP ini merantau ke Bandung mencoba mengadu nasib dengan berjualan batu cincin di halaman Masjid Raya Bandung. Di Bandunglah Mak Itam bertemu Tachi Ema yang sekarang menjadi istrinya.
            Aku memanggilnya ‘Tachi’, tidak ada artinya. Itu hanya panggilan sayangku untuk seorang bibi yang ramah seperti Tachi Ema. Tachi Ema orang Medan asli, ia merantau ke Bandung selepas SMK. Waktu gadis ia menjadi buruh pabrik di Batujajar. Sekarang Tachi Ema menjelma menjadi wanita sukses, ia berhenti jadi buruh pabrik semenjak menikah dengan Mak Itam.
            Doa dan usaha mengantarkan mereka mendirikan bisnis kuliner. Pendirian Rumah Makan ini tidak lepas dari tangan Tachi Ema. Kalau saja Tachi Ema tak mendesak suaminya terus, mungkin usaha Rumah Makan ini tidak akan terwujud. Maklum, Mak Itam adalah orang yang cuek, ia kurang pandai mengelola keuangan.
            Tachi Emalah yang mengarahkan untuk membeli bangunan dua tingkat yang sekarang mereka tempati. Bangunan yang dibeli dari tabungan hasil penjualan batu cincin ini bisa disebut ruko, di tingkat satu difungsikan sebagai rumah makan, dan tingkat dua ditempati Tachi Ema, Mak Itam, dan tiga orang anaknya untuk melepas penat dari hiruk pikuk Kota Bandung. Di tingkat dua inilah aku sekarang berdiri, di sini terdapat dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu ruang keluarga. Cukup luas, bentuknya persegi panjang.
            “Uyung… Mail hayang teh manis….” Mail mengejar Kakaknya menuruni tangga. Mukanya baru saja ku basuh sesaat sebelum ia membuntuti Buyung turun ke bawah.
            Buyung, anak kedua Tachi Ema dan Mak Itam, duduk di kelas satu SMP. Nama di akte kelahirannya adalah Rizki Maulana, teman-teman sekelasnya memanggilnya Rizki, cuma di rumah ia biasa dipanggil Buyung. Entah kenapa, sedari kecil Mak Itam membiasakan panggilan buat anak yang penurutnya ini, Buyung. Mungkin maksudnya mencirikan kalau ia keturunan Minang─Buyung di Minangkabau merupakan sebutan buat anak laki-laki.
            Mak Itam selalu mengkhawatirkan badan anak keduanya ini yang tak mau bertambah bobotnya.
            Pukul 06.00.
            Aku menyusul mereka ke bawah. Dari tangga ku lihat Tachi Ema sibuk mengaduk teh buat Mail, dan Mak Itam merapikan meja makan─bersiap-siap membuka Rumah Makan hari ini.
            “Aduh.... Buyung…. Mail hayang bubur, bukan donat!” Mail berceloteh lagi. Sepagi ini ia meminta bubur, tentu saja belum ada yang buka.
            Semua anak Tachi Ema sangat fasih berbahasa Sunda, dan tidak bisa berbahasa Minang ataupun bahasa Medan, mungkin karena ketiganya lahir di Bandung. Tachi Ema sendiri juga mengaku lebih fasih berbahasa Sunda daripada berbahasa Medan, sebab ia sudah dua puluh tahun lebih berdomisili di Bandung. Hanya Mak Itam yang lambat belajar, ia masih menggunakan bahasa indomi, Indonesia-Minang.
            Buyung yang baru datang dari warung sebelah tertawa melihat ulah Mail yang memanggil namanya seperti lagu dangdut, ‘Aduh Buyung.’
            Buyung adalah sosok penyabar yang aku temui di rumah ini, ia selalu bisa memahami adiknya yang rewel. Setiap hari sepulang sekolah ia menjaga Mail, mengajak Mail bermain bersamanya di lantai atas, agar Mail tak mengganggu Tachi Ema yang sibuk memasak di bawah. Buyung juga yang selalu menyuapi Mail ketika lapar dan memandikannya setiap sore. Ia tak kalah hebat dengan ibu-ibu muda yang baru memiliki momongan. Selepas memandikan Mail, Buyung membubuhkan minyak telon di perut adiknya, lanjut memolesinya dengan bedak, memakaikan bajunya, dan menyisir rambutnya.
            Buyung adalah cerminan sikap patuh yang berhasil ditanamkan Tachi Ema kepada anak-anaknya.
            “Yasmin, minum dulu tehnya!” Tachi Ema menaruh segelas teh panas di atas mejaku.  Aku menjawab dengan senyuman.
            “Yasmin, nanti siang Tachi mau ke komplek ibu-ibu PKK, kamu mau ikut?”
            “Di mana Tachi?”
            “Di komplek sebelum jembatan yang kamu lewati kemaren.”
            Menyebut kata jembatan, aku teringat bentangan sungai kotor yang ku lintasi kemaren. Sungai yang mengalir tidak berapa jauh dari rumah Tachi Ema ini luas sekali. Airnya keruh seakan tidak mengalir, tertahan oleh ribuan enceng gondok yang bersemi di pinggirnya. Ditambah sampah-sampah yang menumpuk, menyisakan bau busuk. Kadang ada juga yang membuang mayat di sungai sini─seperti membuang sampah─kata Tachi Ema. Aku bergidik mendengarnya.
            “Nanti kamu berangkat diantar Veri saja.” Lanjut Tachi Ema.
            Veri Firmansyah, sulung Tachi Ema dan Mak Itam, kini duduk di kelas tiga SMK. Badannya gembul tidak seperti dua adiknya, dan kulitnya mewarisi kulit Mak Itam─Tachi Ema memiliki anak dengan tiga tingakatan kulit, hitam, sawo matang, dan putih, si bungsulah yang berkulit putih, mewarisi kulit Tachi Ema.
            Sikap Veri tidak sesangar wajahnya. Walaupun begitu, sikap manisnya tidak bisa menandingi sikap manis Buyung kepada Mail. Ia cuek seperti Mak Itam, dan kadang terlihat kekanak-kanakkan sebab ia sering membuat Mail menangis.
            Tachi Ema selalu adil dalam membagi kasih sayang kepada ketiga orang anaknya, setiap pagi ia selalu mempersiapkan teh manis, susu, bubur, donat,  atau bala-bala sekedar pengganjal perut buat anak-anaknya. Ia adalah cerminan Ibu sukses yang berhasil mendidik tiga orang anak laki-laki, sejauh ini tidak ada kenakalan berarti atau ulah dari ketiga anaknya yang membuat Tachi Ema malu. Pikirku rasanya cukup susah menghindari anak dari pengaruh lingkungan, apalagi di tengah-tengah kota besar seperti Bandung, tapi Tachi Ema berhasil mengatasinya.
            Kegiatan anaknya tidak lepas dari sekolah-rumah. Jika Buyung selepas sekolah menjaga Mail, maka Veri sepulang sekolah membantu Mak Itam melayani pembeli di Rumah Makan. Mereka hanya sesekali bermain di luar rumah, itupun untuk kegiatan yang jelas dan tentunya sepengetahuan Tachi Ema.
***
Gambar Diberdayakan Oleh Google :D
            “Cantik sekali dompetnya…. ” Aku meraih dompet yang terpajang di pojok ruangan. Dompet kecil, persegi panjang, dengan sebongkah bunga tersemat di depannya. Aku mematut-matut bahannya. Terbuat dari apa ini?
            “Eceng gondok bisa di daur ulang menjadi berbagai macam barang serbaguna loh Yasmin.” Jelas Tachi Ema yang berdiri di belakangku, tampak ia membewa sekantong plastik handmade yang siap dipajangkan.
            Aku mengitari pandangan ke setiap sudut ruangan. Di sini ku lihat berbagai macam barang bernilai ekonomis, mulai dari dompet, tas, topi, sendal, dan masih banyak lagi.
            “Kak, Veri pulang dulu ya….” Aku menoleh keluar. Veri bersorak sambil memutar motornya. Dia baru saja menurunkan ku beberapa detik yang lalu, di depan sebuah rumah yang di halamannya tertancap plang ‘Komplek Ibu-Ibu PKK Batujajar’.
            Ya, inilah komplek yang dimaksud Tachi Ema─sebuah ‘rumah produksi’ eceng gondok. Komplek ini didirikannya dengan susah payah setahun yang lalu. Ihwal berdirinya tentu tidak lepas dari eceng gondok yang menyampah di sungai di bawah jembatan.
            Aku menaruh dompet di tanganku, selanjutnya aku duduk bergabung dengan ibu-ibu lain yang melingkar di tengah ruangan.
            “Dari Padang ya, Neng?” sapa ibu berbaju biru di sebelahku.
            Aku mengangguk dengan senyuman, tampaknya Tachi Ema sudah bercerita perihal kehadiranku.
            “Dalam rangka apa Neng ke Bandung?” tanya Ibu yang sedang menyulam.
            “Liburan aja Bu.”
            “Sekalian mau belajar bikin dompet dari Ibu.” Lanjutku sedikit bergurau.
            “Boleh-boleh saja, Neng. Mari Ibu antar ke belakang melihat proses produksinya lebih lengkap.”
            Aku tak menyangka Ibu ini menanggapi serius omonganku, padahal tadi niatku cuma untuk melihat-lihat saja.
            Punten, Bu.” Aku melangkah melewati gerembolan Ibu-ibu yang duduk berjejer, mengikuti Ibu yang sedang menyulam tadi ke belakang.
            “Begini Neng, cara pengolahannya.”
            Aku memperhatikan dengan seksama. Beberapa orang Ibu-ibu mencuci bersih eceng gondok yang sudah dipanen. Di sudut lain ada mesin pengepress eceng gondok, mesin press ini dengan ganasnya meremas-remas ratusan eceng gondok, memaksa mengeluarkan kadar airnya. Di sebelahnya, seorang Ibu mmemisahkan eceng gondok yang sudah diperas sesuai panjangnya.
            Aku merekam setiap proses itu. Setelah eceng gondok diperas, dilakukan pewarnaan, lalu pengawetan dengan direndam dalam asam borat selama dua sampai tiga jam. Setelah diawetkan, selesailah tugas Ibu-ibu di ‘dapur’ ini. Selanjutnya tugas Ibu-ibu yang di depanlah untuk menyulap tumpukan eceng gondok yang sudah kering ini.
            Aku kembali ke depan, celingak-celinguk mencari Tachi Ema. Semenjak datang tadi aku hanya sekali melihat batang hidungnya.
            “Teh Ema ke kelurahan Neng, mengurus segala adminitrasi buat pameran minggu depan.” Ibu berbaju biru paham apa yang ku cari.
            “Memangnya minggu depan ada pameran Bu? pameran apa?” Tachi Ema belum cerita soal ini.
            “Ya… pameran hasil daur ulang eceng gondok ini, Neng.”
            Ibu ini dengan bangga menunjukkan beberapa piala yang tersimpan dalam lemari kaca di salah satu sudut ruangan.
            “Kita sering dapat penghargaan loh, Neng. Mulai dari Pak Lurah, Pak Camat, bahkan Pak Bupati sudah pernah datang ke sini.” Ibu ini berceloteh penuh semangat tanpa henti. Aku menangkap binar di matanya.
            “Yang hebat itu Tachi Ema, Neng. Kalau tidak ada Tachi Ema kita tidak akan mendapat pekerjaan seperti ini.” Sahut Ibu yang sedang menjahit topi. Tampaknya Tachi Ema sangat dihargai oleh Ibu-ibu di sekitar sini.
            Dari Ibu-ibu ini aku tahu kehebatan tersembunyi Tachi Ema. Awalnya Tachi Ema iseng-iseng memungut seonggok eceng gondok di tubir sungai─enceng gondok ini biasanya ditaruh begitu saja setelah sungai dibersihkan. Berbekal kemampuan menyulam yang di dapatnya waktu SMK plus segudang kreativitas, Tachi Ema mulai merangkai sampah eceng gondok itu.
            Ia berhasil menciptakan sebuah dompet. Dompet ini dipakainya sehari-hari untuk menyimpan uang kembalian pengunjung di Rumah Makan, lalu beberapa tetangga melirik dan tertarik. Tachi Ema mencoba membuat lagi, mengajak beberapa orang tetangga. Lagi, dan lagi. Hingga handmade itu mulai dipasarkan.
            Karena ruko Tek Ema tak memungkinkan lagi untuk dijadikan tempat produksi, Tachi Ema berinisiatif mencari tempat mandiri. Tapi pencarian lokasi itu tidak mudah, terkendala dana dan adminitrasi.
            Tachi Ema pun melapor ke kelurahan untuk izin mendirikan komplek PKK, semua itu dilakukan Tachi Ema sendiri. Akhirnya dapatlah bangunan  seluas 15x8 meter ini yang disewakan per tahun.
            Tachi Ema membayar uang sewa rumah ini dengan profit yang setiap bulan mulai meningkat katanya. Profit ini juga yang digunakan untuk menggaji dua puluh orang karyawannya.
            Kini, sudah dapat dirasakan hasil jerih payah Tachi Ema. Eceng gondok yang ku lihat di bawah jembatan tadi katanya sudah mulai berkurang, dulu lebih banyak dari itu.
            Pukul 16.00.
            Aku kembali lagi ke Rumah Makan sebelum Tachi Ema pulang dari kelurahan. Hari ini aku mendapat pelajaran lagi dari seorang perempuan hebat yang tersembunyi di pelosok Batujajar. Tachi Ema seakan membuktikan bahwa, wanita juga bisa berkarya tanpa melupakan tugasnya sebagai seorang istri dan Ibu bagi anak-anaknya. (*)

Kota Panas Seperti Kotaku, 150414




5 komentar:

Aul Howler's Blog mengatakan...

Inspiring short story :')

Nelvianti mengatakan...

Really? Oh, Alhamdulillah... Thank's Aul. :)

Aul Howler's Blog mengatakan...

yesss
my pleasure

dunia kecil indi mengatakan...

Bagus :)

Nelvianti mengatakan...

Makasi Kak Indi :)

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design