========================================================================
Selamat pagi
Batujajar.
Pagi ini indah dan
dingin bukan? Lihat saja, aku berdiri di balkon rumah Tachi Ema menimbun badan
dengan jaket─jaket beludru yang dibelikan Tachi Ema di Pasar Tradisional Batujajar
kemaren sore. Katanya Bandung dingin. Benar banget, jika dibandingkan
dengan Padang.
Aku merapat ke
pagar balkon, melepas pandangan lurus ke depan, ke bukit hijau yang terhampar
luas di seberang sana. Hijau nan berseri. Sesaat ku pejamkan mata dan ku
pertajam pendengaran. Senyumku merekah mendengar cicit-cicit burung yang bersenandung
riang, suaranya tak kalah nyaring dengan klakson mobil yang melenguh dan deru-deram
kendaraan di jalanan.
Aku menghela nafas,
sesaat menangkap oksigen yang mengawang di sekitarku. Sayang sekali, udara di
sini tidak lagi bersih, sudah terkontaminasi oleh asap knalpot.
Aku menurunkan
pandangan dan melirik jam. 05.00. Masih terlalu pagi, tapi kendaraan sudah
memadati jalanan di bawahku. Ah, aku lupa kalau sekarang aku berada di kota
yang ramai seperti Bandung, keramaiannya pun sampai ke pelosok. Ku lihat Bus Madona
sudah penuh sesak, tapi kenek yang bergelantungan di pintu bus masih saja
memasok penumpang. Beberapa penumpang yang berdiri di depan Rumah Makan ini
tetap saja berebutan naik, tak peduli kebagian tempat duduk atau tidak. Begitupun
dengan angkot-angkot kecil yang tak kalah gesit, menyalip sana-sini. Sementara
jalanan kosong di sela-sela bus dan angkot diisi oleh kendaraan roda dua.
Butuh waktu lima
belas menit untuk menyebarangi jalan yang padat merayap seperti ini. Aku ingat
kemaren, betapa susahnya menyebrang saat aku diturunkan di SPBU, di depan Rumah
Makan Tachi Ema. Ransel di punggung, kardus di tangan kiri, dan koper di tangan
kanan, merengek-rengek menguntiti langkahku.
Aku baru saja
datang dari Padang kemaren sore. Pesawat yang aku tumpangi mendarat dengan
mulus di bandara Husein Sastranegara. Mak Itam tidak bisa menjemputku, jadi mau
tidak mau aku harus naik turun bus sampai di rumahnya.
“Teteh Yasmin,
Mail juga mau lihat bumbum!” tiba-tiba ku rasakan tangan kecil
menarik-narik ujung jaketku.
Mail. Aku tidak
sadar kalau ia sudah bangun. Aku mengangkat badan mungilnya naik, enteng. Sejenak
ku biarkan Mail menikmati angkot-angkot hijau yang berlalu-lalang di bawah.
“Sudah ya Dek,
cuci muka dulu!” Pintaku sembari menurunkannya.
Ia tak menolak.
Mata ngantuknya masih berkedip-kedip. Ku towel pipinya yang chubby, aku
gemas melihat bocah tiga tahun ini. Dia cerewet. Kemaren ia yang menyambutku
penuh semangat ketika aku baru menapaki kaki di teras rumahnya.
Saleh Ismail,
putra bungsu dari Tachi Ema dan Mak Itam. Mak Itam adalah adik kandung Ayahku,
aku menyebutnya Mak Itam karena kulitnya yang hitam─kalau kata orang Sunda hideung.
Mak Itam terbilang sukses, sekarang ia mempunyai Rumah Makan Padang. Waktu
bujang Mak Itam yang tak tamat SMP ini merantau ke Bandung mencoba mengadu
nasib dengan berjualan batu cincin di halaman Masjid Raya Bandung. Di Bandunglah
Mak Itam bertemu Tachi Ema yang sekarang menjadi istrinya.
Aku memanggilnya
‘Tachi’, tidak ada artinya. Itu hanya panggilan sayangku untuk seorang bibi
yang ramah seperti Tachi Ema. Tachi Ema orang Medan asli, ia merantau ke
Bandung selepas SMK. Waktu gadis ia menjadi buruh pabrik di Batujajar. Sekarang
Tachi Ema menjelma menjadi wanita sukses, ia berhenti jadi buruh pabrik
semenjak menikah dengan Mak Itam.
Doa dan usaha
mengantarkan mereka mendirikan bisnis kuliner. Pendirian Rumah Makan ini tidak
lepas dari tangan Tachi Ema. Kalau saja Tachi Ema tak mendesak suaminya terus,
mungkin usaha Rumah Makan ini tidak akan terwujud. Maklum, Mak Itam adalah
orang yang cuek, ia kurang pandai mengelola keuangan.
Tachi Emalah yang
mengarahkan untuk membeli bangunan dua tingkat yang sekarang mereka tempati.
Bangunan yang dibeli dari tabungan hasil penjualan batu cincin ini bisa disebut
ruko, di tingkat satu difungsikan sebagai rumah makan, dan tingkat dua
ditempati Tachi Ema, Mak Itam, dan tiga orang anaknya untuk melepas penat dari
hiruk pikuk Kota Bandung. Di tingkat dua inilah aku sekarang berdiri, di sini terdapat
dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu ruang keluarga. Cukup luas,
bentuknya persegi panjang.
“Uyung… Mail
hayang teh manis….” Mail mengejar Kakaknya menuruni tangga. Mukanya baru
saja ku basuh sesaat sebelum ia membuntuti Buyung turun ke bawah.
Buyung, anak kedua
Tachi Ema dan Mak Itam, duduk di kelas satu SMP. Nama di akte kelahirannya
adalah Rizki Maulana, teman-teman sekelasnya memanggilnya Rizki, cuma di rumah
ia biasa dipanggil Buyung. Entah kenapa, sedari kecil Mak Itam membiasakan
panggilan buat anak yang penurutnya ini, Buyung. Mungkin maksudnya mencirikan
kalau ia keturunan Minang─Buyung di Minangkabau merupakan sebutan buat anak
laki-laki.
Mak Itam selalu
mengkhawatirkan badan anak keduanya ini yang tak mau bertambah bobotnya.
Pukul 06.00.
Aku menyusul
mereka ke bawah. Dari tangga ku lihat Tachi Ema sibuk mengaduk teh buat Mail,
dan Mak Itam merapikan meja makan─bersiap-siap membuka Rumah Makan hari ini.
“Aduh.... Buyung….
Mail hayang bubur, bukan donat!” Mail berceloteh lagi. Sepagi ini ia
meminta bubur, tentu saja belum ada yang buka.
Semua anak Tachi
Ema sangat fasih berbahasa Sunda, dan tidak bisa berbahasa Minang ataupun
bahasa Medan, mungkin karena ketiganya lahir di Bandung. Tachi Ema sendiri juga
mengaku lebih fasih berbahasa Sunda daripada berbahasa Medan, sebab ia sudah
dua puluh tahun lebih berdomisili di Bandung. Hanya Mak Itam yang lambat
belajar, ia masih menggunakan bahasa indomi, Indonesia-Minang.
Buyung yang baru
datang dari warung sebelah tertawa melihat ulah Mail yang memanggil namanya
seperti lagu dangdut, ‘Aduh Buyung.’
Buyung adalah
sosok penyabar yang aku temui di rumah ini, ia selalu bisa memahami adiknya
yang rewel. Setiap hari sepulang sekolah ia menjaga Mail, mengajak Mail bermain
bersamanya di lantai atas, agar Mail tak mengganggu Tachi Ema yang sibuk
memasak di bawah. Buyung juga yang selalu menyuapi Mail ketika lapar dan
memandikannya setiap sore. Ia tak kalah hebat dengan ibu-ibu muda yang baru memiliki
momongan. Selepas memandikan Mail, Buyung membubuhkan minyak telon di perut
adiknya, lanjut memolesinya dengan bedak, memakaikan bajunya, dan menyisir
rambutnya.
Buyung adalah
cerminan sikap patuh yang berhasil ditanamkan Tachi Ema kepada anak-anaknya.
“Yasmin, minum
dulu tehnya!” Tachi Ema menaruh segelas teh panas di atas mejaku. Aku menjawab dengan senyuman.
“Yasmin, nanti
siang Tachi mau ke komplek ibu-ibu PKK, kamu mau ikut?”
“Di mana Tachi?”
“Di komplek
sebelum jembatan yang kamu lewati kemaren.”
Menyebut kata
jembatan, aku teringat bentangan sungai kotor yang ku lintasi kemaren. Sungai
yang mengalir tidak berapa jauh dari rumah Tachi Ema ini luas sekali. Airnya
keruh seakan tidak mengalir, tertahan oleh ribuan enceng gondok yang bersemi di
pinggirnya. Ditambah sampah-sampah yang menumpuk, menyisakan bau busuk. Kadang
ada juga yang membuang mayat di sungai sini─seperti membuang sampah─kata Tachi
Ema. Aku bergidik mendengarnya.
“Nanti kamu
berangkat diantar Veri saja.” Lanjut Tachi Ema.
Veri Firmansyah,
sulung Tachi Ema dan Mak Itam, kini duduk di kelas tiga SMK. Badannya gembul
tidak seperti dua adiknya, dan kulitnya mewarisi kulit Mak Itam─Tachi Ema
memiliki anak dengan tiga tingakatan kulit, hitam, sawo matang, dan putih, si
bungsulah yang berkulit putih, mewarisi kulit Tachi Ema.
Sikap Veri tidak
sesangar wajahnya. Walaupun begitu, sikap manisnya tidak bisa menandingi sikap
manis Buyung kepada Mail. Ia cuek seperti Mak Itam, dan kadang terlihat
kekanak-kanakkan sebab ia sering membuat Mail menangis.
Tachi Ema selalu
adil dalam membagi kasih sayang kepada ketiga orang anaknya, setiap pagi ia
selalu mempersiapkan teh manis, susu, bubur, donat, atau bala-bala sekedar pengganjal perut buat anak-anaknya.
Ia adalah cerminan Ibu sukses yang berhasil mendidik tiga orang anak laki-laki,
sejauh ini tidak ada kenakalan berarti atau ulah dari ketiga anaknya yang
membuat Tachi Ema malu. Pikirku rasanya cukup susah menghindari anak dari
pengaruh lingkungan, apalagi di tengah-tengah kota besar seperti Bandung, tapi
Tachi Ema berhasil mengatasinya.
Kegiatan anaknya
tidak lepas dari sekolah-rumah. Jika Buyung selepas sekolah menjaga Mail, maka
Veri sepulang sekolah membantu Mak Itam melayani pembeli di Rumah Makan. Mereka
hanya sesekali bermain di luar rumah, itupun untuk kegiatan yang jelas dan
tentunya sepengetahuan Tachi Ema.
“Cantik sekali
dompetnya…. ” Aku meraih dompet yang terpajang di pojok ruangan. Dompet kecil,
persegi panjang, dengan sebongkah bunga tersemat di depannya. Aku mematut-matut
bahannya. Terbuat dari apa ini?
“Eceng gondok bisa
di daur ulang menjadi berbagai macam barang serbaguna loh Yasmin.” Jelas
Tachi Ema yang berdiri di belakangku, tampak ia membewa sekantong plastik handmade
yang siap dipajangkan.
Aku mengitari
pandangan ke setiap sudut ruangan. Di sini ku lihat berbagai macam barang
bernilai ekonomis, mulai dari dompet, tas, topi, sendal, dan masih banyak lagi.
“Kak, Veri pulang
dulu ya….” Aku menoleh keluar. Veri bersorak sambil memutar motornya. Dia baru
saja menurunkan ku beberapa detik yang lalu, di depan sebuah rumah yang di halamannya
tertancap plang ‘Komplek Ibu-Ibu PKK Batujajar’.
Ya, inilah komplek
yang dimaksud Tachi Ema─sebuah ‘rumah produksi’ eceng gondok. Komplek ini
didirikannya dengan susah payah setahun yang lalu. Ihwal berdirinya tentu tidak
lepas dari eceng gondok yang menyampah di sungai di bawah jembatan.
Aku menaruh dompet
di tanganku, selanjutnya aku duduk bergabung dengan ibu-ibu lain yang melingkar
di tengah ruangan.
“Dari Padang ya,
Neng?” sapa ibu berbaju biru di sebelahku.
Aku mengangguk
dengan senyuman, tampaknya Tachi Ema sudah bercerita perihal kehadiranku.
“Dalam rangka apa
Neng ke Bandung?” tanya Ibu yang sedang menyulam.
“Liburan aja Bu.”
“Sekalian mau
belajar bikin dompet dari Ibu.” Lanjutku sedikit bergurau.
“Boleh-boleh saja,
Neng. Mari Ibu antar ke belakang melihat proses produksinya lebih lengkap.”
Aku tak menyangka
Ibu ini menanggapi serius omonganku, padahal tadi niatku cuma untuk
melihat-lihat saja.
“Punten,
Bu.” Aku melangkah melewati gerembolan Ibu-ibu yang duduk berjejer, mengikuti
Ibu yang sedang menyulam tadi ke belakang.
“Begini Neng, cara
pengolahannya.”
Aku memperhatikan
dengan seksama. Beberapa orang Ibu-ibu mencuci bersih eceng gondok yang sudah
dipanen. Di sudut lain ada mesin pengepress eceng gondok, mesin press ini
dengan ganasnya meremas-remas ratusan eceng gondok, memaksa mengeluarkan kadar
airnya. Di sebelahnya, seorang Ibu mmemisahkan eceng gondok yang sudah diperas
sesuai panjangnya.
Aku merekam setiap
proses itu. Setelah eceng gondok diperas, dilakukan pewarnaan, lalu pengawetan
dengan direndam dalam asam borat selama dua sampai tiga jam. Setelah diawetkan,
selesailah tugas Ibu-ibu di ‘dapur’ ini. Selanjutnya tugas Ibu-ibu yang di
depanlah untuk menyulap tumpukan eceng gondok yang sudah kering ini.
Aku kembali ke
depan, celingak-celinguk mencari Tachi Ema. Semenjak datang tadi aku hanya
sekali melihat batang hidungnya.
“Teh Ema ke kelurahan
Neng, mengurus segala adminitrasi buat pameran minggu depan.” Ibu berbaju biru
paham apa yang ku cari.
“Memangnya minggu
depan ada pameran Bu? pameran apa?” Tachi Ema belum cerita soal ini.
“Ya… pameran hasil
daur ulang eceng gondok ini, Neng.”
Ibu ini dengan
bangga menunjukkan beberapa piala yang tersimpan dalam lemari kaca di salah
satu sudut ruangan.
“Kita sering dapat
penghargaan loh, Neng. Mulai dari Pak Lurah, Pak Camat, bahkan Pak
Bupati sudah pernah datang ke sini.” Ibu ini berceloteh penuh semangat tanpa
henti. Aku menangkap binar di matanya.
“Yang hebat itu
Tachi Ema, Neng. Kalau tidak ada Tachi Ema kita tidak akan mendapat pekerjaan
seperti ini.” Sahut Ibu yang sedang menjahit topi. Tampaknya Tachi Ema sangat
dihargai oleh Ibu-ibu di sekitar sini.
Dari Ibu-ibu ini
aku tahu kehebatan tersembunyi Tachi Ema. Awalnya Tachi Ema iseng-iseng memungut
seonggok eceng gondok di tubir sungai─enceng gondok ini biasanya ditaruh begitu
saja setelah sungai dibersihkan. Berbekal kemampuan menyulam yang di dapatnya
waktu SMK plus segudang kreativitas, Tachi Ema mulai merangkai sampah
eceng gondok itu.
Ia berhasil
menciptakan sebuah dompet. Dompet ini dipakainya sehari-hari untuk menyimpan
uang kembalian pengunjung di Rumah Makan, lalu beberapa tetangga melirik dan
tertarik. Tachi Ema mencoba membuat lagi, mengajak beberapa orang tetangga.
Lagi, dan lagi. Hingga handmade itu mulai dipasarkan.
Karena ruko Tek
Ema tak memungkinkan lagi untuk dijadikan tempat produksi, Tachi Ema berinisiatif
mencari tempat mandiri. Tapi pencarian lokasi itu tidak mudah, terkendala dana
dan adminitrasi.
Tachi Ema pun
melapor ke kelurahan untuk izin mendirikan komplek PKK, semua itu dilakukan
Tachi Ema sendiri. Akhirnya dapatlah bangunan
seluas 15x8 meter ini yang disewakan per tahun.
Tachi Ema membayar
uang sewa rumah ini dengan profit yang setiap bulan mulai meningkat katanya. Profit
ini juga yang digunakan untuk menggaji dua puluh orang karyawannya.
Kini, sudah dapat
dirasakan hasil jerih payah Tachi Ema. Eceng gondok yang ku lihat di bawah
jembatan tadi katanya sudah mulai berkurang, dulu lebih banyak dari itu.
Pukul 16.00.
Aku kembali lagi
ke Rumah Makan sebelum Tachi Ema pulang dari kelurahan. Hari ini aku mendapat
pelajaran lagi dari seorang perempuan hebat yang tersembunyi di pelosok
Batujajar. Tachi Ema seakan membuktikan bahwa, wanita juga bisa berkarya tanpa
melupakan tugasnya sebagai seorang istri dan Ibu bagi anak-anaknya. (*)
Kota Panas Seperti Kotaku, 150414
5 komentar:
Inspiring short story :')
Really? Oh, Alhamdulillah... Thank's Aul. :)
yesss
my pleasure
Bagus :)
Makasi Kak Indi :)
Posting Komentar