Berawal
dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tanagara, Kecamatan Cadasari,
Kabupaten Pandegalang, Banten, saya menemukan ikon baru dari Pandeglang, Talas
beneng. Talas beneng merupakan tanaman sejenis talas dengan bahasa latin Xantoshoma undipes K. Koch. Kata
“Beneng” berasal dari kata besar dan koneng.
Koneng (dalam bahasa Sunda) berarti
kuning, yang mana talas ini memang
berwarna kuning dan memiliki umbi yang besar. Berat tanaman ini mencapai 42 kg
dalam umur 2 tahun dengan panjang 120 cm dan ukuran lingkaran luar 50 cm. Talas
beneng mempunyai kandungan nutrisi yang cukup baik, yaitu protein 2,01%,
karbohidrat 18,30%, lemak 0,27%, pati 15,21% dan kalori sebesar 83,7
kkal.
Daerah
penghasil talas beneng adalah kelurahan Juhut, kecamatan Karang Tanjung,
Kabupaten Pandeglang. Asal
mula talas beneng adalah
tanaman liar dalam hutan Gunung Karang (Pandeglang). Namun daerah Banten telah membudidayakan talas beneng untuk
dijadikan salah satu komoditi bahan pangan pokok di Provinsi Banten sehingga
dapat menguatkan dan mengurangi kerawanan ketahanan pangan (BPTP Banten; 2015).
Talas
beneng banyak dibudidayakan penduduk mulai tahun 2008. Di Kelurahan Juhut ada 4
RW dari 6 RW yang mengembangkan talas beneng dengan luasan sekitar 70 hektar.
Setidaknya sekitar 1.800 kepala keluarga (KK) dari 2.400 KK yang menanam.
Pembudidayaan talas beneng telah mengurangi perambahan hutan. Daerah yang
dijadikan usaha budidaya pengembangan talas beneng dulunya merupakan sumber
kejahatan dan perambahan hutan, namun setelah empat tahun pengembangan talas
beneng, pelaku kejahatan dan perambahan hutan pun menurun.
Selain
dibudidayakan dengan lahan yang semakin luas, talas beneng juga diolah menjadi
makanan yang lebih beragam. Tidak hanya menjadi tepung, talas beneng diolah oleh
warga menjadi kripik, donat
talas, chiffon cake, marmer cake, kroket talas beneng, kering/sambal
goreng beneng, talam beneng, klapertaart beneng, bubur sumsum yang diberi nama
“bubernis”, dan berbagai jenis makanan lainnya. Tercatat, sudah 11 jenis
makanan yang dihasilkan dari olahan talas beneng. Seiring hal ini, industri
rumah tangga di Pandeglang pun berkembang. Berkembangnya industri rumah tangga
di Pandeglang tidak terlepas dari partisipasi masyarakat setempat terutama para
pemuda yang telah turut serta memperkenalkan dan memasarkan produk olahan talas
beneng hingga dikenal luas.
Melalui
dana PNPM usaha rumahan talas beneng dapat dikembangkan dengan membentuk KWT
(Kelompok Wanita Tani). Saat ini telah berdiri dua KWT yaitu, Bina Mandiri dan
Sejahtera Mandiri. Dari hasil usahanya, KWT-KWT ini mampu menyumbang untuk
pendirian SD, pipanisasi air, dan perbaikan jalan. Dampak lain dari
berkembangnya usaha talas beneng terlihat dari pembayaran PBB masyarakat yang
sebagian besar telah lunas.
Citra
talas beneng semakin meningkat melalui sentuhan teknologi. Teknologi pengolahan
Talas Beneng mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. Awalnya dari
umbi sebanyak 50 kg dengan harga jual 1000 (Rp 50.000/bulan), setelah diolah
menjadi kripik talas beneng, menghasilkan pendapatan sebesar Rp
1.200.000/bulan. Dampaknya juga dirasakan bagi usaha penggilingan tepung. Setip
hari pemilik usaha penggilingan mampu menggiling umbi talas beneng sampai 1 ton
dengan ongkos giling Rp 12 ribu per kilogram. Perkembangan talas beneng telah
memberikan efek domino ekonomis bagi masyarakat Desa Juhut. Bahkan juga menjadi
kebanggaan pemerintah daerah. Semuanya tidak terlepas dari peran pemuda dan
Perda.
0 komentar:
Posting Komentar