Kamis, 01 Oktober 2015

Peran Pemuda dalam Pembudidayaan Talas Beneng sebagai Ikon Baru Pandegalang



Bersama Teman-teman KKN


Berawal dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tanagara, Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandegalang, Banten, saya menemukan ikon baru dari Pandeglang, Talas beneng. Talas beneng merupakan tanaman sejenis talas dengan bahasa latin Xantoshoma undipes K. Koch. Kata “Beneng” berasal dari kata besar dan koneng. Koneng (dalam bahasa Sunda) berarti kuning, yang  mana talas ini memang berwarna kuning dan memiliki umbi yang besar. Berat tanaman ini mencapai 42 kg dalam umur 2 tahun dengan panjang 120 cm dan ukuran lingkaran luar 50 cm. Talas beneng mempunyai kandungan nutrisi yang cukup baik, yaitu protein 2,01%, karbohidrat 18,30%, lemak 0,27%, pati 15,21% dan kalori sebesar 83,7 kkal. 
Daerah penghasil talas beneng adalah kelurahan Juhut, kecamatan Karang Tanjung, Kabupaten Pandeglang. Asal mula talas beneng adalah tanaman liar dalam hutan Gunung Karang (Pandeglang). Namun daerah Banten telah membudidayakan talas beneng untuk dijadikan salah satu komoditi bahan pangan pokok di Provinsi Banten sehingga dapat menguatkan dan mengurangi kerawanan ketahanan pangan (BPTP Banten; 2015).
Talas beneng banyak dibudidayakan penduduk mulai tahun 2008. Di Kelurahan Juhut ada 4 RW dari 6 RW yang mengembangkan talas beneng dengan luasan sekitar 70 hektar. Setidaknya sekitar 1.800 kepala keluarga (KK) dari 2.400 KK yang menanam. Pembudidayaan talas beneng telah mengurangi perambahan hutan. Daerah yang dijadikan usaha budidaya pengembangan talas beneng dulunya merupakan sumber kejahatan dan perambahan hutan, namun setelah empat tahun pengembangan talas beneng, pelaku kejahatan dan perambahan hutan pun menurun.
Selain dibudidayakan dengan lahan yang semakin luas, talas beneng juga diolah menjadi makanan yang lebih beragam. Tidak hanya menjadi tepung, talas beneng diolah oleh warga menjadi kripik, donat talas, chiffon cake, marmer cake, kroket talas beneng, kering/sambal goreng beneng, talam beneng, klapertaart beneng, bubur sumsum yang diberi nama “bubernis”, dan berbagai jenis makanan lainnya. Tercatat, sudah 11 jenis makanan yang dihasilkan dari olahan talas beneng. Seiring hal ini, industri rumah tangga di Pandeglang pun berkembang. Berkembangnya industri rumah tangga di Pandeglang tidak terlepas dari partisipasi masyarakat setempat terutama para pemuda yang telah turut serta memperkenalkan dan memasarkan produk olahan talas beneng hingga dikenal luas.
Melalui dana PNPM usaha rumahan talas beneng dapat dikembangkan dengan membentuk KWT (Kelompok Wanita Tani). Saat ini telah berdiri dua KWT yaitu, Bina Mandiri dan Sejahtera Mandiri. Dari hasil usahanya, KWT-KWT ini mampu menyumbang untuk pendirian SD, pipanisasi air, dan perbaikan jalan. Dampak lain dari berkembangnya usaha talas beneng terlihat dari pembayaran PBB masyarakat yang sebagian besar telah lunas.
Citra talas beneng semakin meningkat melalui sentuhan teknologi. Teknologi pengolahan Talas Beneng mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. Awalnya dari umbi sebanyak 50 kg dengan harga jual 1000 (Rp 50.000/bulan), setelah diolah menjadi kripik talas beneng, menghasilkan pendapatan sebesar Rp 1.200.000/bulan. Dampaknya juga dirasakan bagi usaha penggilingan tepung. Setip hari pemilik usaha penggilingan mampu menggiling umbi talas beneng sampai 1 ton dengan ongkos giling Rp 12 ribu per kilogram. Perkembangan talas beneng telah memberikan efek domino ekonomis bagi masyarakat Desa Juhut. Bahkan juga menjadi kebanggaan pemerintah daerah. Semuanya tidak terlepas dari peran pemuda dan Perda.


0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design