Hello blogger, setelah beberapa hari yang lalu saya memposting cerpen jadul saya yang berjudul 'Gila bola', maka kali ini saya akan kembali memposting cerpen jadul saya yang lainnya. Happy Reading! :)
================================================================
Sumber Gambar: novayatsukachangijo.wordpress.com |
Femi cendol.
Begitulah teman-teman biasa memanggilku. Sebenarnya namaku Femi Fatrisa. Tapi
karena aku suka minum cendol mereka jadi memanggilku dengan sebutan itu, dan
karena cendol itu juga aku menemukan cintaku.
***
Siang itu, udara lagi tidak bersahabat. Matahari begitu semangatnya menyinari
bumi, sampai-sampai tubuhku mendidih karna kepanasan. Aku jadi tidak betah
berdiam diri di kelas. Ditambah lagi pelajaran matematika, pelajaran yang membosankan
bagiku. Walaupun Bu Sri guru yang killer, tetap saja kami tidak
memperhatikan. Seperti teman sebangkuku sekaligus sahabatku Febi. Dari tadi ia
asik mengutak-atik hapenya, sedangkan teman-temanku yang lain pada ngerumpi.
Mereka asik dengan kesibukan masing-masing.
Seketika aku teringat es cendol Pak Danar, es cendol langgananku. Aku tidak
pernah absen membelinya, rasanya benar-benar nikmat. Aku jadi nelan ludah
sendiri kalau membayangkannya.
***
Ya ampun… rame umat yang ngantri. Segitu larisnya es cendol Pak Danar, kalau
tlat keluar bisa-bisa nggak kebagian. Kaum Adam juga tak mau kalah, masa mereka
tidak mau berbagi tempat dengan kami kaum Hawa yang lemah ini.
Terpaksa deh, aku berdesak-desakan dengan sejuta umat lain demi mendapatkan
segelas cendol. Tapi usahaku tidak sia-sia, aku berhasil berada di barisan
paling depan.
Lagi asik-asiknya mesan ni, eh ada sesosok makhluk ganteng minta
bantuanku. Dengan bahasa isyarat dia memintaku mengambilkan segelas cendol yang
sudah disiapkan Pak Danar.
***
Dengan mengendarai motor KA alias jalan kaki aku pulang sekolah bersama Febi.
Walaupun cuaca panas aku masih sanggup berjalan. Begitulah setiap hari aku
pulang sekolah.
“Cendol, kenapa kamu senyum-senyum?” suara Febi membuyarkan lamunanku. “Oh…
Feb, kamu tahu nggak cowok, mmh… namanya siapa ya, duh aku lupa lagi nanya
namanya. Ciri-cirinya gini, dia ganteng, putih, tinggi, trus bodynya sixsen.”
Jelasku pada Febi dengan semangat. “Sixpack… sixsen.” Febi menyenggol
bahuku. “Ya, pokoknya gitu deh.” Cetusku. “Aku nggak tahu, mangnya kenapa?”
tanya Febi. “Nggak, nggak pa pa.” Aku masih belum mau memberi tahu Febi kalau
aku suka cowok itu pada pandangan pertama. Dan sepertinya Febi juga tidak
menyadarinya atau dia malas merespon jawabanku. Ah biarlah… untuk saat ini aku
sembunyiin saja dulu.
“Cendol, aku pulang dulu ya.” Rupanya Febi sudah sampai di gerbang rumahnya.
“Oh ya, see you tomorrow.” Lambaiku.
Keesokan harinya ketika akan masuk kelas, Febi memanggilku sambil berlari-lari.
“Cendol… cendol… Femi cendol, aku tahu siapa cowok itu.” Dengan cepat kudekap
mulut Febi. “Jangan keras-keras dong ngomongnya, bikin malu aja.” Langsung
kutraik Febi kedalam kelas. “Atur nafas dulu. Uhh…ha…uh…ha…” kusuruh Febi
menstabilkan detak jantungnya.
“Sekarang
cerita namanya siapa?” desakku. “Namanya Mi…Mi…Mi…” Febi berlagak mengingat.
“Ayo mi apa? Mie ayam, mie goreng, mie rebus…” kupotong pembicaraan Febi. “Kan
aku jadi lupa, kamu sih…” Febi berfikir sejenak. “Oh iya, namanya Mico.”
Kembali Febi melanjutkan kata-katanya.
“Darimana kamu tahu?” tanyaku terkesan
tidak mempercayai omongan Febi. “kamu tahu kan Rina? Teman dekat rumahku.”
Tanya Febi. “Ya, tahu tahu.” Jawabku. “Nah, Rina itu sekelas sama Mico. Dia itu
kelas X1.” Jelas Febi. “Jadi kelasnya bersebelahan dengan kelas kita, kok aku
nggak pernah lihat ya.” Aku merasa terkejut. “Ye… kamu aja nggak kenal dia
sebelumnya.” Bantah Febi. “Trus trus kamu dapat info apa lagi?” aku jadi tak
sabar mendengar cerita Febi selanjutnya. “Itu doang.” Dengan singkat Febi
menjawab sambil menuju tempat duduknya. Aku menghampiri Febi.
“Femi.” Panggil Febi. “Mmh…” aku menyahut tanpa memperhatikan Febi. “Kamu tahu
nggak, aku juga suka sama seseorang.” Aku berhenti mengeluarkan buku dari dalam
tas, lalu kuperhatikan kata-kata Febi selanjutnya.
“Selamat pagi siswa.” Tiba-tiba Bu Sri masuk kelas. “Selamat pagi bu.” Dengan
serempak kami menjawabnya. Kedatangan Bu Sri memutuskan pembicaraanku dengan
Febi.
***
Dikedai cendol Pak Danar. “Feb, siapa sih orang yang kamu suka?” aku
mulai membuka pembicaraan yang sempat terputus tadi, sebab aku masih penasaran
siapa sih cowok yang ditaksir sahabatku ini. “Dia Adit teman SMP ku dulu,
sekarang dia sekolah di SMA Dharma Bakti.” Dengan mudah Febi menjawab
pertanyaanku. “Trus…” aku berharap Febi melanjutkan kata-katanya. “Aku nggak
tahu harus gimana, yang jelas aku masih suka sama dia. Dan aku cukup sering
ketemu dia, tapi aku tak berani mengatakan kalau aku suka sama dia. Aku bukan
cewek yang aggressive, aku pemalu, aku orangnya tertutup.”
Aku biarkan Febi menumpahkan isi hatinya yang mungkin selama ini selalu
dipendamnya. “Bahkan untuk curhat sama orang lain aja aku susah, kamulah orang
pertama yang aku beri tahu tentang perasaanku. Selama ini aku selalu
memendamnya.” Febi melanjutkan kata-katanya.
“Kita sama Feb. Aku juga seperti itu, makanya aku cocok berteman sama kamu.
Sehingga aku merasa kamulah sahabatku. Kamu mau tahu ngggak Feb, dimana aku
bertemu Mico?” aku mencoba mencairkan suasana kembali. “Dimana?” Febi langsung
penasaran. “Dikedai cendol ini.” Jawabku sambil menunjuk meja.
“Oh miss cendol, suka makan cendol, ketemu cinta dikedai
cendol juga. Ha ha ha…” Febi menertawakanku. “Eh, tapi aku nggak pernah bilang
tu, aku suka sama dia. Darimana kamu tahu?” tanyaku. “Kita kan sahabat.” Jawab
Febi.
“By the way, mana ya orangnya?” kepalaku celingak-celinguk lihat
kiri-kanan, muka belakang. “Dia nggak seperti kamu kali, tiap hari beli
cendol.” Febi mengingatkan kebiasaanku.
Seminggu sudah berselang sejak percakapanku dengan Febi, sejak saat itu aku
tidak pernah membahas tentang Mico begitu juga dengan Febi, dia tidak pernah
menyinggung sedikitpun tentang Adit.
Hari-hariku berjalan seperti biasa. Pergi sekolah dan pulang sekolah jalan
kaki. Tidak ada yang berubah kecuali perasaanku. Sesekali aku curi-curi pandang
pada Mico. Dan ketika aku bertemu Mico, jantungku selalu berdetak kencang,
darahku seakan berhenti mengalir, aku tidak berani memandang matanya. Oh tuhan
tolonglah hambamu ini. Begitulah ratapku dalam hati.
Febi pernah bertanya padaku, waktu perjalanan pulang sekolah. “Cendol, gimana?”
begitulah Febi membuka pembicaraan denganku. “Gimana apanya?” aku berlagak tak
mengerti. “Kamu dengan Mico.” Febi memperjelas kata-katanya. “Aku dengan Mico.
Kamu nanyanya kayak aku punya hubungan aja dengan Mico, orang aja nggak kenal.”
Aku menjawab dengan santai. “Justru itu, setidaknya kamu harus kenal Mico, kamu
kan suka sama dia.” Kata Febi. “Kamu sendiri gimana?” aku balik nanya Febi.
“Aku beda Fem, aku udah kenal dengan Adit, aku Cuma butuh waktu untuk
mengungkapkan isi hatiku. Sedangkan kamu kenal aja belum.” Ungkap Febi tak mau
kalah.
“Habis gimana Feb. Aku juga pemalu seperti kamu.” Aku menarik nafas dalam lalu
terdiam sejenak. “Biarlah Feb, semua berjalan seiring bergulirnya waktu.”
Kataku.
“Terserah kamu deh.” Sepertinya Febi tidak mau membantah kata-kataku. Mungkin dia
juga merasakan hal yang sama denganku, tidak bisa memperjuangkan cinta.
***
Hari ini aku kerumah Febi. Kami mau mengerjakan tugas kelompok dari bu Sri.
Pelajaran trigonometri ini cukup susah bagi kami. Kami terpaksa mengerjakannya,
kalau tidak bisa mati berdiri kami didepan kelas.
“Fem kamu udah tahu belum kabar terbaru?” tiba-tiba Febi bertanya padaku dengan
mimik yang sangat serius. “Kabar apa?” aku menanggapinya sambil menyelesaikan
soal yang terakhir. “Tapi kamu janji ya, nggak bakalan marah.” Kali ini bukan
wajah Febi saja yang serius, tapi kata-katanya juga. “Aku janji. Tapi apa dulu
beritanya?” aku menjawab antara rasa ragu dan ingin tahu. “Mico… Mico udah
jadian sama Risa.” Febi menjawab dengan pelan.
Darahku berdesir mendengarnya. Serasa disambar petir disiang bolong. Aku tak
mampu berkata-kata lagi. “Fem, kamu nggak pa pa kan?” aku tak mampu mendengar
kata-kata Febi lagi. Pikiranku menerawang pada Mico, tanganku mengemasi buku
matematika kedalam tas. Aku tak peduli lagi dengan pr matematika, aku tak
peduli kalau dihukum Bu Sri.