Sebentar lagi 2019 ya ... kalender puasa 2019 sudah bermunculan di sosmed dan aku jadi teringat tentang masa sahur pertama di rantau orang, kebetulan aku lagi buka-buka file di netbook dan menemukan tulisan lama tersebut, sayang kalau gak diposting di sini. :)
Sebenarnya ini bukan masalah cengeng
atau tidak, ini masalah kerinduan yang menyeruak di dada. Rindu Ibu; rindu
Ayah; rindu kakak perempuanku yang baru menikah; rindu kakak laki-lakiku; rindu
dua orang adik laki-lakiku yang selalu bertengkar, padahal umur mereka terpaut
jauh; rindu kampung halaman; rindu masakan Ibu; dan rindu semuanya. Pokoknya
rindu suasana Ramadhan di rumah! Biasanya setiap sahur aku selalu makan masakan
Ibu, tapi sahur kali ini tidak! Sama seperti sahur pertama 1433 H, waktu aku
harus regitrasi akademik sebagai mahasiswa baru di Bandung.
Kini, aku akan menginjak semester
lima, sahur pertama bersama keluarga hanya sempat ku rasakan ketika akan
menginjak semester tiga, tepatnya Ramadhan kemaren.
Masalah rindu masih bisa ku atasi!
Yang jadi masalah buat ku sekarang adalah kampus sepi. Jika kampus sepi,
berarti penjual makanan juga sepi. Lantas aku mau sahur pakai apa?
Kemaren Malam, ba’da Isya, aku dan
dua orang sahabatku dari Padang memutuskan mencari makanan buat sahur di luar.
Aku yang sudah tahu kondisi di sini, tak banyak berharap. Aku sudah bisa
menebak, malam ini kita akan sahur dengan sesuatu yang paling enak di dunia.
Zur dan Arini, dua orang orang
sahabatku, hanya bisa melongo melihat warung-warung di depan kampus yang
menutup diri. Deg! Aku tidak ambil pusing, aku mengajak mereka untuk berjalan
sampai ke simpang lima yang tidak jauh dari kampus, biasanya di situ ramai dan
banyak yang menjual makanan.
Benar saja, masih ada yang jualan
tahu bulat, piscok, bakso, dan gorengan. Tapi ini makanan ringan semua! Aku
lalu memutuskan untuk ke mini market saja, membeli makanan yang paling enak
sedunia, mie instan! Dan pulang.
Tiba-tiba
Zur berhenti di depan kafe yang menjual fried chicken, sepertinya kafe
itu baru.
“Aku mau beli ayam goreng aja deh!”
“Tapi dapat gak ya lima ribu…?” Zur
melirik selembar uang lima ribu rupiah yang ada di tangannya.
“Udah, tanyain dulu sana!” Saran ku.
“Tapi kalau gak dapat, nanti aku
malu Vi….”
“Mahasiswa gak boleh malu!” Aku
tetap berdiri menunggu reaksi Zur.
Zur hanya cengengesan melihatku,
akhirnya dia bilang….
“Gak jadi deh, kita pulang aja!” Zur
menarik tangan ku.
“Yah… sahur pakai mie deh!”
Celoteh Arini dari belakang.
“Udah… gak pa pa, yang penting masih
diberi rezki oleh Allah.” Aku tersenyum merangkul kedua sahabat ku. Inilah
bagian dari masa-masa perjuangan yang indah yang kami rasakan.
Aku tetap bersyukur, Allah masih
memberiku kesempatan bertemu dengan Ramadhan tahun ini. Sungguh, ini nikmat
yang luar biasa.
Serang, 29 Juni 2014
0 komentar:
Posting Komentar