Senin, 24 Desember 2018

Tentang Seorang Ayah Yang Merelakan Anak Satu-Satunya Menjadi Bagian dari Badan Intelejen Negara (BIN)

Jam menunjukkan pukul 07.29 WIB, telat 10 menit dari waktu yang tertera di tiket. Aku turun dari kereta melewati seorang bapak yang menawarkan jasanya kepada ku, aku menggeleng. Lalu ku keluarkan ponsel dan mengetik, "Bapak dimana?" Sent. Pesan terkirim. Ada telfon masuk setelah itu, ternyata bapak driver yang telah aku abaikan tadi menelfon. Dia adalah driver yang akan menjemput ku. Dia mengantarku dengan ramah menuju mobilnya bersama tiga orang penumpang lainnya.

Aku tidak akan menceritakan bagaimana perjalanan atau pengalaman ku di Pare karena menurutku hampir setiap orang pernah merasakannya, tapi yang ingin aku ceritakan adalah kisah sederhana yang sangat bermakna menurut ku.Tentang keihklasan hati seorang ayah, tentang kekhawatiran seorang ayah yang berusaha disembunyikan, sama seperti ayah ku mungkin. Dari bapak driver ini aku belajar, bagaimana memahami hati seorang Ayah.

Di sepanjang perjalanan bapak itu banyak bercerita, soal Pare awalnya. Kenapa sekarang di setiap lembaga menyediakan jasa jemputan, padahal sebelumnya siswa-siswa bisa menggunakan angkot. Kata si bapak, memang diminta oleh pemerintah setempat untuk menggunakan jasa jemputan selain angkot, agar membangun image yang lebih elitt, maybe ... begitu aku membahasakannya karena setiap driver diminta mengupgrade kendaraannya agar lebih baru dan lebih nyaman tentunya. Mahasiswa sering menggunakan jasa ini katanya.

Obrolan berlanjut hingga pada topik keluarga, si bapak menceritakan tantang anaknya. Anak satu-satunya yang rela ia lepas untuk negara!

"Anak saya masih kuliah, anak satu-satunya, tingkat tiga. Satu tahun lagi mungkin tamat. Ikatan dinas."

"Apa Pak (kampusnya)?"

"Ia nanti akan menjadi bagian dari BIN setelah lulus. Saya sangat jarang ketemu anak saya karena pendidikannya sangat disiplin, kemauan dia sendiri, setelah lulus SMA, ikut tes dan lulus mengalahkan ribuan peserta."

"Seperti Gayatri Walisa (almh) ya, Pak?"

"Iya, tapi itu Gayatri bukan melalu pendidikan tapi melalui perekrutan karena ia berprestasi, menguasai banyak bahasa. Namun ia gak diakui BIN."

"Kenapa, Pak?"

"Kan memang seperti itu BIN, 'meninggal dianggap tiada dan hilang gak dicari'."

"Luar biasa Bapak (melepas anak satu-satunya dengan kosekuensi seperti itu) ...."

"Ya, saya hanya bisa kuatkan anak saya. 'Lebih baik kamu diurus negara daripada kamu jadi preman di jalanan. Setiap pekerjaan memang ada resikonya, termasuk Bapak juga sebagai driver'. Paling gimana pintarnya saya mengatur hati. Yang paling sedih itu ibunya, sebulan nangis terus dan jarang makan melepas anaknya untuk pendidikan."

"Itu ada kontrak (mati)nya ya, Pak?"

"Iya, orang tua menandatangani kontrak bahwa ia telah menyerahkan anaknya ke negara dan kalau mengundurkan diri di tengah-tengah pendidikan, denda 2 milyar (rupiah). Bahkan nama asli pun jangan sampai diketahui orang, anak saya keluar tidak pernah menggunakan nama aslinya. Kalau ketahuan ya ... ada konsekuensinya."

















Pare, 19 Desember 2017

0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design