Dimanakah Cahaya Islam itu?
(Merlyn)
Korban
terus bertambah. Aku sedikit kewalahan menghadapinya.Tapi tidak dengan para
dokter di sini, mereka cekatan. Mungkin aku belum terbiasa.
“Miss
Merlyn, there are more victims!”
Seorang berkebangsaan Eropa menghampiriku,
ia mendorong ranjang. Di atasnya seorang pasien sedang meradang.
Tidak, tidak. Perempuan berkerudung
itu tidak sedang meradang. Ku lihat mulutnya berkomat-kamit, entah apa yang
dilantunkannya.
Astaga! Aku hampir melupakan
kakinya. Kaki perempuan ini terluka, parah sekali. Sepertinya tertimpa reruntuhan
puing-puing.
Tapi aku heran, kenapa darahnya
tidak begitu banyak. Tunggu dulu! Aku bukannya berharap seliter darah segar
mengucur deras dari kaki perempuan bermata bulat ini. Sungguh, ini di luar
nalarku! Berpuluh-puluh tahun aku menekuni profesi sebagai dokter ortopedi di
Indonesia, belum pernah sekalipun aku menemukan hal seperti ini. Biasanya,
seseorang yang kakinya hancur akan mengeluarkan darah yang sangat banyak hingga
dirinya pingsan. Tapi pasien ini tidak, ia begitu tenang.
“Apa yang Anda ucapkan?” Aku
bertanya kepada perempuan yang sedang ku tangani ini.
Ku coba menyentuh kakinya. Darah
merah di kakinya kontras sekali dengan kulitnya yang putih, kulit khas
Palestina.
“Ahad…
Ahad… Ahad….” Katanya.
“Allah itu Esa. Allah penolongku!” Ia
terus mencerocos.
Aku tersentak mendengarnya. Ini
bukan kali pertama aku mendengar kata-kata itu, maksudku di dalam ruangan 15 x
25 meter ini, aku sering mendengar kata-kata itu.
“Where
are you from?” Tanyanya.
Aku menjawab dengan isyarat, menujuk
badge merah putih yang terpatri di
lengan baju kananku. Lalu, senyum mengembang di wajahnya.
Aku
tahu apa yang ada di pikiran perempuan cantik ini, dan aku tahu alasan ia
tersenyum. Pertama kali aku menginjakan kaki di bumi Palestina ini, semuanya
terkaget-kaget.
“Anda
jauh-jauh datang dari Indonesia, hanya untuk membantu kami!” Ucap dokter kepala
di ruangan ini. Lalu, dibuntuti kata-kata berikutnya.
“Kami
senang mempunyai saudara dari Indonesia…. Pasti di negaramu sangat mudah untuk
mendirikan sholat… tidak diganggu desingan peluru atau roket….”
Aku
sudah lama tahu dari media bahwa, rakyat Palestina benar-benar tulus mencintai
Indonesia, saudara seimannya, tapi baru kali ini ku dengar langung dari mulut
muslim di sini.
Aku
berlanjut mengurusi luka pasien cantik ini. Luka perempuan ini cepat kering,
sama dengan luka pasien-pasien lain yang tidak cepat membusuk.
Sekarang, perempuan itu sudah
beristirahat. Ia baru saja ku bius. Aku yakin, masih banyak hal yang ingin
disampaikannya, tapi keadannya mencegahnya untuk berbicara terlalu banyak.
Setelah selesai ku perban kakinya,
aku tertunduk di ranjangnya. Aku menyeka keringat. Tiga hari ini banyak hal-hal
ganjil yang ku temui.
x
Disinikah Cahaya Islam Itu! (Afifa)
Kami
dilarang masuk! Kami harus melakukan negosiasi panjang dengan Hamas. Setelah
dijelaskan oleh juru bicara kami, akhirnya mereka mengerti.
Aku memanfaatkan kesempatan ini
untuk mengorek informasi dari mereka. Siapa sebenarnya pejuang Hamas itu?
“Kenapa wajah Anda ditutup?” Tanyaku.
Said, juru kamera, sudah siap. Ini live!
Jadi tidak ada pengulangan.
“Kami tidak ingin dikenali, kami
tidak ingin riya, kami berjuang
karena Allah!” Ucap salah seorang dari mereka dengan bahasa Arab yang fasih.
Kalau aku tak salah hitung, jumlah
mereka ada sepuluh orang. Ku kira mereka semua adalah armynya Palestina, ternyata bukan. Mereka terhimpun dari berbagai
profesi yang berbeda, ada dokter, dosen, professor, dan profesi lainnya.
Sungguh, mereka adalah pejuang yang
hebat. Di tengah malam yang buta ini mereka rela meninggalkan anak, istri, dan
keluarga yang disayangi untuk menjaga keamanan wilayahnya. Menjadi pejuang
Hamas, berarti siap mati, katanya.
Aku tak sengaja melirik granat di
kaitan celana laki-laki yang sedang ku wawancarai ini. Said lalu mengerlingkan
matanya kepadaku, memberi kode. Aku mengerti.
“Granat ini, apa kalian buat
sendiri?” Todongku.
“Ya. Kami tak sengaja menemukan
granat. Granat itu lalu kami pelajari, kami bongkar, dan kami rangkai sendiri.”
Ia mengusap gerigi granat di tangannya.
Aku takjub dengan kecerdasan mereka.
Di tengah blockade seperti ini, tak
mungkin rasanya mereka memperoleh bantuan peralatan perang dari luar. Mau tidak
mau, mereka harus membuat sendiri.
Wawancara ditutup. Kami tidak bisa
melakukan wawancara terlalu lama. Crew
segera mengemasi semua peralatan liputan. Kali ini, kami akan melanjutkan
perjalanan menelusuri terowongan di Gaza. Ahmad, bos ku, sudah mewanti-wanti kami
ketika di Jakarta untuk membuat liputan yang menarik, jadi kami harus melakukan
hal yang extraordinary.
Aku
bersiap untuk pengambilan scane
pertama dengan kalimat pembuka yang menarik. Aku berdiri di tengah-tengah
terowongan, dan Said berjarak satu hasta di depanku.
“Lihatlah, betapa panjangnya
terowongan ini….” Aku mengetuk-ngetukan tangan pada papan yang membidangi
permukaan terowongan ini.
Aku sedikit takut menelusuri
terowongan ini. Tak terbayangkan, jika terowongan ini tiba-tiba runtuh.
“Terowongan inilah yang digunakan
rakyat Palestina untuk mengakses dunia luar.” Aku mengakhiri scane.
“Sip!”
Kata Said.
“Besok kita lanjut ke rumah sakit.”
Katanya.
Rumah sakit? Ku rasa, sudah tak ada
lagi rumah sakit di sekitar sini. Kalau
yang dimaksud Said tempat penampungan orang-orang sakit, benar adanya.
x
Inikah Cahaya Islam Untukku
(Merlyn)
Aku
sudah mendapat kabar bahwa, akan ada peliputan di tempat penampungan siang ini
dari salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Ini kabar bagus, karena
aku bisa mengirim kabar untuk Mama di Indonesia yang selalu mencemaskan
kedaanku. Hampir dua bulan aku di
Palestina menjadi relawan medis, dan selama itu pula aku belum bisa menghubungi
Mama. Aku ingin menyapa Mama dulu, sebelum pulang akhir Februari ini.
“Miss
Merlyn, sebentar lagi rombongan reporter dari Indonesia akan datang. Bisakah
anda menjadi juru bicaranya dan membantu menerjemahkan?” Pinta dokter kepala.
Aku menyanggupi.
Pukul satu siang, seorang perempuan
berkerudung hitam, berwajah Asia, memasuki camp,
diikuti oleh seorang laki-laki di belakangnya. Inikah reporternya? Aku tak
menyangka reporternya seorang perempuan.
“Afifa.” Katanya memperkenalkan
diri.
“Merlyn.” Aku menjabat tangannya.
Sedikit basa-basi. Langsung saja ku
giring dua orang ini mengelilingi camp.
Hal pertama yang mereka sorot adalah anak-anak.
“Bolehkah saya mewawancarai anak
ini?” Pintanya.
“Boleh. Asalkan tidak terlalu lama.”
Aku lalu berdiri di belakangnya.
Bocah laki-laki yang diwawancarai
Afifa kondisinya sudah cukup sehat, beberapa hari lalu tangannya diamputasi.
Namanya Faiz, umurnya baru tujuh tahun. Ia adalah anak yang ceria, walaupun
kehilangan satu tangan kananya, tapi senyuman tak pernah luntur dari wajah
polosnya.
Afifa
memperkenalkan diri, lalu sedikit berbasa-basi, dan satu-persatu melontarkan
pertanyaan.
“Faiz bercita-cita menjadi apa?” Pertanyaan
standar untuk anak kecil.
“Ingin menjadi Brigade al-Qassam.” Ungkapnya.
Aku dan Afifa saling berpandangan.
Siapa sangka jawaban Faiz di luar pikiran anak-anak pada umumnya. Di saat
anak-anak lain, dibelahan bumi yang lain, bercita-cita menjadi dokter, guru,
atau sebagainya, Faiz justru bercita-cita menjadi pejuang Hamas untuk membela
negaranya.
“Kenapa bercita-cita menjadi Brigade
al-Qassam, emang Faiz tidak takut dengan Israel?”Afifa semakin menelontarkan
pertanyaan retorik.
“Tidak. Saya ingin menjadi
pemberani. Saya ingin melindungi Ibu, adik-adik, dan mempertahankan wilayah
umat Islam.”
Lagi-lagi aku tersentak. Bagaimanakah
anak sekecil ini bisa berbicara seperti itu? Begitu kuatkah imannya? Bagaimana
dengan diriku? Perlahan-lahan cahaya itu menyusup dalam sanubariku. Aku mulai
mempertanyakan keimananku. Siapakah yang aku imani selama ini?
Setelah melakukan wawancara, aku menyeret
Afifa ke ruangan konsumsi. Aku ingin berbicara panjang lebar padanya. Walaupun
Afifa orang yang baru ku temui, tapi aku merasa nyaman bercerita kepadanya.
“Jadi kamu non muslim?” Afifa tak
dapat menyembunyikan keterkejutannya. Tapi aku yakin, ia sudah menduga
sebelumnya lantaran melihat kerudungku yang asal-asalan.
“Rasa kemanusiaanlah yang membawaku
ke sini. Dalam memberikan pertolongan, aku tak pernah memandang ras. Bagiku,
siapun dia, dibumi manapun ia tinggal, apapun warna kulitnya, kalau ia lagi
kesusahan, maka wajib ditolong.” Aku menjelaskan dengan gamblang pertanyaan
tersirat Afifa.
Mata Afifa berkaca-kaca.
“Afifa, tolong tuntun aku mengenal
Islam!” Afifa menghambur dalam pelukanku, air matanya tumpah.
x
Siapapun Bisa Menemukan CahayaNya
(Afifa)
Siapapun bisa menemukan CahayaNya.
Ia datang dari jalan yang tak disangka-sangka. Beruntunglah orang-orang yang
menemukannya.
Ku
akhiri ketikan di kalimat penutup ini. Ini bukan ‘artikel wajib’ yang akan
dimuat Ahmad, ini hanya artikel tambahan. Artikel tentang seseorang yang
menemukan Islam di bumi Palestina. Merlyn. Aku ingin
mengukir kisahnya.
Setelah
beberapa jam lalu ku antarkan ia kepada salah seorang Imam Masjid, ku yakin, ia
sekarang sedang khusyuk menekuni Islam. Semoga ia semakin menemukan cahayaNya.
“Afifa, sedang apa anti?” Said menyapa dari balik tenda.
“Nothing. Aku baru saja menyelesaikan
satu artikel.” Jawabku santai.
“Bisakah,
anti ke sini sebentar? Ana butuh
komentar untuk hasil liputan kita tadi.” Aku memakai kerudung dan menghampiri
Said di luar tenda.
“Good job!” Puji ku, setelah melihat
hasil editan Said.
“Merlyn,
apakah ia akan pulang bersama kita lusa?” Tanya Said tiba-tiba, ia tidak
menanggapi pujian ku.
“Mungkin
beberapa hari lagi, tugasnya belum selesai.”
Kami
terdiam. Bergumul dengan pikiran masing-masing. Begitu banyak keajaiban di
tanah ini, dan Merlyn adalah salah satunya. Aku masih belum mengerti, kenapa ia
mau mengungkapkan kisahnya padaku.
Tiba-tiba…
aku mendapat kabar yang mengejutkan. Roket baru saja jatuh beberapa meter dari
tempat penampungan orang-orang sakit. Merlyn? Kami berpacu ke sana!
Suasana
kacau balau, Said terseok-seok membawa kamera, tak mudah meliput dalam suasana
seperti ini. Tidak, bukan liputan lagi yang ada dalam pikiran kami. Tapi
saudaraku. Merlyn, apa kabarnya di sana?
Langit
berubah cerah, di selatan seonggok cahaya kuning berkoar-koar, bekas letusan
roket. Roket menari-nari di udara, tapi kami terus berlari.
Tendaku
cukup jauh dari tempat Merlyn. Keadaan sudah cukup tenang ketika kami sampai di
sana. Tapi tidak ku temukan Merlyn, sangat susah mencarinya. Aku memaksa masuk camp yang penuh sesak itu. Oh no, jangan sampai! Harus ku cari
kemana lagi ia, aku tak dapat menghubungi teman relawannya yang lain. Ia tak
meninggalkan jejak.
Ya Allah, dia baru mengenal
cahayaMu, akankah Kau ambil ia? [*]
Cerpen Oleh: Nelvianti