“Kau
tau Laka, Kara sudah memerintahkan untuk tidak melewati lembah ini! Barusan segerombolan
manusia melewatinya untuk memata-matai kita.”
“Iya
benar, tapi sayangnya kau baru saja meninggalkan tinjamu sebagai tanda. Itu
akan semakin mempermudah mereka menemukan jejak kita.”
“Hei,
kau jangan pernah berbicara soal kotoran ku di depan putri ku! Ini kan daerah
kekuasaan ku, aku berhak menandainya.” Ia mengacak rambut Garna. Garna tertawa.
Mereka
melewati jalur yang biasa dilewati sekedar untuk berjalan-jalan atau mencari
sesuatu yang bisa dimakan, mengsisi perut yang keroncongan. Matahari sudah
meninggi, sementara hanya segelintir buah-buahan yang dapat dimakan. Tak banyak
membantu.
Mereka
dua kepala keluarga yang bertanggung jawab atas perut-perut lainnya. Entah
bagaimana mereka kerap menghabiskan waktu berdua, kadang mereka akur tapi lebih
sering silang pendapat. Ya, dua kepala keluarga ini tak beda jauh keras
kepalanya. Hanya sesekali di antara mereka bersikap bijaksana, lebih sering
Laka.
“Dan
kau jangan lupa, seluruh kawasan TNUK ini sudah dipasangi kamera pengintai, kau
tidak ingat, videomu lagi mandi viral di kalangan mereka.”
“Aku
lupa, teknologi semakin maju dan kita semakin tua.”
“Haha
... sudahlah nikmati saja, kita ini memang artis.”
“Lebih
tepatnya karena kita istimewa dan terancam punah. Hei, kenapa juga raut muka mu
berubah, aku sedang tidak membicarakan Samson. Oke, baiklah teman ... aku minta
maaf.”
Semua
tentu kenal Samson, kerabatnya yang baru meninggal beberapa waktu lalu akibat
penyakit kolik atau torsio usus, yaitu usus besar dan usus kecil terpuntir
(torso), sehingga mengakibatkan kerusakan pada usus besar, hingga bakteri
mikroflora usus menghasilkan racun dan kemudian menyebar ke seluruh tubuhnya.
Beruntung
mayat Samson tidak ditemukan pemburu sehingga culanya masih utuh dan itu bisa
menjadi salah indikator bagi manusia bahwa, Samson mati tidak dibunuh pemburu.
Namun
dibalik semua ini, Laka dan kawan-kawannya menyadari hal tersebut sebagai takdir.
Samson meninggal di usia 30 tahun dan rata-rata mereka memang berusia 30 – 45
tahun.
Pile
tertunduk lesu, ia baru saja mendaratkan pantatnya di tepi kubangan lumpur.
Tampangnya masygul.
“Kau
benar, kita terancam punah. Kita salah dua keluarga yang bisa bertahan hingga
saat ini. Itupun jika anak Krakatau tidak membuat ulah lagi.”
“Tapi
kita termasuk hebat teman ... setidaknya kita selamat, sementara empat ratus
nyawa manusia melayang karena tsunami kemaren.”
“Bukan
kita yang hebat tapi Tuhanlah Yang Maha Pengasih dan Penyanyang yang masih
melindungi kita.”
“Aduhhh!”
Anak perempuan satu-satunya meringis.
“Hei,
Garna hati-hati! Badanmu tidak cukup kecil melewati celah itu.”
Badan
Garna tambun seperti badan Ayahnya dan memang demikian rata-rata badan
keturunan meraka, sehingga mereka harus hati-hati melewati celah-celah kecil
dengan semak belukar kalau tidak mau kulit mereka tergores ranting. Sebenarnya
ini juga tidak terlalu berpengaruh buat mereka yang memiliki kulit bermozaik
menyeruapai baja. Hanya sajamozaik di kulit Garna belum terbentuk sempurna.
Ayahnya sudah melarang agar ia tidak ikut setiap Ayahnya berkelana mencari
makan, ia bisa tinggal dan bermain bersama Luzo dan Razenda, tapi mereka juga
jarang akur.
“Aku
hanya ingin mencoba salto gaya terbaru Ayah.” Sesaat badan Garna berdebam di
dalam kubangan lumpur, mencipratkan lumpur hitam ke wajah Laka.
Pile
terkekeh.
“Maafkanlah
kelakuan putri kecilku ini, Laka!”
“Upsss
... maaf Paman” Garna baru menyadarinya.
“Kata
Ayah aku harus sering berendam untuk menjaga tubuhku dari serangan penyakit.”Jenius.
“Ayah,
aku khawatir ... bagaimana kalau di tempat baru kita nanti, tidak ditemukan
kubangan lumpur seperti ini.” Kini Garna menghadap pada ayahnya dengan rona
wajah yang berubah.
“Tenang
saja Garna, semua akan baik-baik saja. Tidak semua manusia itu jahat, hanya
segelintir dari mereka yang tidak bertanggung jawab. Mereka pasti memikirkan
nasib kita.” Laka ambil alih menjelaskan.
Rupanya
isu untuk mencari second habitat yang
dilakukan manusia sudah tersebar di kalangan mereka.
“Kamu
yakin dengan rencana mereka, Laka?” Tanya Pile kemudian.
“Masalah ini biar Kara yang
menilai.”
“Aku masih geram dengan ulah
sebagian mereka yang menyerang moyang kita lima puluh tahun yang lalu.”
“Sudahlah Pile, kita harus segera
pulang!”
Tiga
ekor bertubuh molek itu pun berlenggak-lenggok dengan anggunnya menelusuri
jalur yang sama setiap harinya, terkadang mereka keluar jalur sehingga video
trap tidak berhasil megabadikan momen mereka.
Saat
bergabung dengan gerombolannya, mereka memulai rapat yang cukup serius, mengenai
rencana hijrah mereka, lebih tepatnya bukan rencana mereka tapi rencana manusia
seperti yang Pile katakan. Apa yang bisa gerombolan ini lakukan? Dua kepala
keluarga dan seekor tetua yang mereka hormati, Kara. Demikian namanya, ia hidup
sebatang Kara semenjak ditinggal dua orang yang paling dicintainya di dunia,
ayah dan ibunya yang menjadi korban kebiadaban pemburu dua puluh lima tahun
yang lalu. Saat itu umurnya belum genap lima tahun, saat mendapati ayah dan
ibunya dibunuh lalu culanya dipotong oleh pemburu-pemburu rakus.
Cula
mereka bernilai mahal, bisa mencapai tiga puluh ribu dolar per kilogramnya di
pasar gelap, tapi Kara sudah lama memafkan kesalahan manusia. Hidup dalam
keterbatasan adalah ketetapan hidup yang harus diterimanya, pada akhirnya jika
harus punah, itu adalah bagian dari takdir katanya. Tetapi sebagai tetua, ia
tidak bisa pasrah seperti itu. Batinnya bergejolak, apalagi melihat Garna, Luzo
dan Razenda, dua anak Laka dengan Zaneba dan satu anak Pile. Sementara Kara
sejak kejadian kelam tersebut sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan
keturunan. Ia tidak akan mengambil keputusan kawin sedarah, toh jikalau ia berhasil
mempunyai keturunan, ia hanya akan melahirkan keterunan yang lemah dari gen
yang hampir sama. Kara sudah lama memikirkan hal itu, jauh sebelum manusia
memikirkannya.
“Bagaimana
ini, Kara? Kita tidak akan melakukan perjalanan panjang seperti yang dilakukan
segerombolan dinosarurus di film ‘The Land Before Time’kan? Pile terkekeh.
Ia
tidak bisa membayangkan akan bertemu predator ganas jika harus menjadi musafir.
Tapi mereka tidak mempuyai musuh selain manusia, hanya saja sebagian besar dari
mereka terlalu malu untuk bertemu manusia.
Rapat
sudah berlangsung satu jam, namun kesepakatan belum juga dicapai. Melakukan
perjalanan panjang tanpa bantuan manusia seperti yang ditanyakan Pile, tentu
hal yang mustahil menurut Kara, apalagi dengan kondisi fisik Kara yang sudah
tua dan anak-anak yang masih kecil. Namun manut pada keputusan manusia juga
bukan perkara gampang, mereka harus merelakan manusia memilih diantara mereka
untuk diangkut menggunakan transportasi canggih. Keluarga Laka yang paling
memungkinkan kerena mereka memiliki bibit unggul namun mereka tak siap berpisah
dengan Laka, Zaneba dan sepasang anak mereka yang lucu-lucu, terutama Pile, ia
akan kehilangan teman bertengkar dan juga Garna akan kehilangan teman bermain.
Lihatlah,
tiga ekor anak badak tersebut sedang asyik adu ketangkasan, mengasah cula mereka.
Mereka berlarian, jatuh berdebam, lalu tertawa bersama.
“Kara,
ternyata kau lebih kuat dari ku!” Puji Luzo.
“Yeaaah!
Kata Ayah aku harus jadi anak perempuan yang tangguh dan pemberani agar bisa
bertahan hidup di lahan yang sempit ini.” Kebiasan anak jenius selalu menjawab
panjang lebar ketika ditanya.
“Karena itu kau selalu ikut ayahmu
setiap mencari makan, Garna?” Kali ini Razenda buka suara.
“Tepat sekali, itu sangat
menyenangkan Razenda. Mungkin lain kali kalian bisa mencobanya!” Ucap Garna riang.
“Kami harus menjaga ibu kami, Garna.”
“Razenda, stop! Kau akan membuat
Garna sedih.” Cegah Luzo.
“Sorry Garna, aku tak bermaksud.”
“Tak apa Razenda. Kau tau cerita tentang
Ibuku, Razenda, Luzo? Ayahku tidak pernah mau bercerita.”
“Mmmh ... mungkin itu terlalu
menyedihkan buat ayahmu, Garna. Eh, maksud ku ... ayahmu tidak mau membuatmu
sedih.” Terbata Luzo menjelaskan alasannya.
“Setidaknya aku bisa memastikan
apakah ibu ku mati di tangan pemburu seperti orang tua Kara atau karena sakit
seperti kata orang-orang.”
“Karena sakit Garna. Baiklah, aku
harus menjelaskan ... Kau tau, badak seperti kita gampang terserang penyakit.”
“Ibu tidak meninggal karena
melahirkan ku?”
“Lebih tepatnya beberapa minggu
setelah melahirkan mu.”
Percakapan tiga anak badak tersebut
terhenti sampai di sana. Kehilangan Ibu di waktu kecil membuat Garna tumbuh
menjadi anak yang emosional, apalagi di bawah didikan ayahnya, Pile.
Pertanyaan diotaknya tidak pernah
terjawab, lebih tepatnya Pile tidak mampu menjelaskan.
“Bagimana kita bertahan hidup, Ayah?
Bagaimana kalau ayah nanti meninggalkan ku, aku hidup dengan siapa? Bagaimana
aku menikah, Ayah?” Pile terbahak mendengar pertanyaan terakhir putrinya.
“Kau terlalu dini memikirkan hal itu
sekarang, Nak!” Masih terbahak.
Tapi pasti Pile memikirkan
pertanyaan Garna. Ya, agar tidak punah, mereka harus melanjutkan keturunan.
Seketika ia terbayang Luzo. Buru-buru ia mengenyahkan pikiran itu, permasalahan
di hadapan mereka sekarang adalah anak krakatau mulai aktif. Ini juga yang menjadi
permasalahan manusia, hingga mereka berpikiran akan memindahkan Kara dan
kawan-kawan ke habitat baru atau yang biasa mereka sebut second habitat.
Rapat dilanjutkan. Jika mereka tidak
menggelar rapat kecil secara tidak sengaja saat berjalan-jalan di dalam hutan
seperti beberapa hari yang lalu, maka mereka akan menggelar rapat di rumah Kara.Rapat
kali ini bisa disaksikan Zaneba, istri Laka dan anak-anak.
“Sepertinya rencana manusia untuk
memindahkan kita butuh waktu yang lama, Laka. Mereka harus memastikan bahwa
tempat baru yang akan ditempati nantinya benar-benar sesuai dengan habitat asli
kita.”
“Ya, kau benar Pile, karena kalau
tidak, itu sama saja dengan mempercepat kepunahan kita.”
“Tapi bagaimana dengan anak krakatau
yang mulai aktif? Kita tidak mungkin mengatur Tuhan untuk memperlambat
terjadinya letusan tersebut.”
“Aku merasakan manusia begitu
menyayangi kita, Pile. Lihat, bagaimana mereka memikirkan untuk membuat
‘cadangan’ kita tapi mereka tidak berpikiran demikian untuk saudaranya sesama
manusia.”
“Mereka tidak perlu second habitat, Laka. Hampir semua
tempat di bumi bisa mereka tinggali. Haha.”
“Ya, dan jumlah mereka sangat
banyak, tidak seperti kita.”
“Kita harus lebih awas dari kemaren
terhadap tanda-tanda tsunami.” Kara mengalihkan topik.
“Kita lebih pintar daripada manusia
membaca tanda-tanda, Kara.” Sanggah Pile dengan sombong.
“Itu tidak bisa menjamin, jika
kejadian 1883 kembali terulang. Bisa dipastikan seluruh kita akan punah.”
Tidak ada yang bisa membayangkan
bagaimana menyelamatkan diri dari dentuman maha dasyat yang suaranya saja sudah
membuat tuli seketika. Kemungkinan menyelamatkan diri hanya bisa dilakukan jika
ketinggian tsunami seperti Desember 2018 lalu. Kara dan gerombolannya sudah bergerak menjauhi
pantai ketika mereka mendenar suara aneh seperti suara gemuruh yang luput dari
pendengaran manusia.
Selain itu, selama ini mereka memang
jarang beraktifitas di pantai. Mereka hanya butuh air garam sesekali. Kontur di
Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang merupakan bukit memuncak pada ketinggian
lima ratus meter juga mebantu mereka terhindar dari sapuan ombak.
“Ayah, boleh aku ikut rapat? Aku
ingin menyampaikan sesuatu.”
“Jangan sok pintar, Razenda!” Sergah
Garna. Sifat angkuhnya muncul.
“Oh, tentu boleh anak-anak ku. Garna
... kau juga boleh ikut.” Ucap Kara bijak.
“Aku tidak akan mengusulkan apa pun
kecuali aku dapat berkumpul dengan ibu ku kembali, lengkap!” Jawaban sinis dan
Kara cukup memahaminya untuk anak seperti Garna.
“Garna!!! Tidak bisa kau berbicara
sedikit lebih sopan kepada Kara???” Pile menghardik putri tunggalnya.
Garna menahan emosi, mukanya memerah
dan bulir bening di matanya hampir pecah. Sebelum air itu benar-benar jatuh
membasahi pipinya, Garna melarikan diri.Meninggalkan Pile yang terpaku.
“Garnaaaa!!!” Luzo dan Razenda
mengikuti.
Zaneba berdiri dari duduknya,
bersiap menyusul anak-anaknya. Segera dicegah oleh Pile.
“Pile, kau tidak bisa terlalu keras
dengan Garna.” Kara menasehati Pile.
Pile hanya terduduk lesu, sebanarnya
ia sendiri juga tidak tega. Tapi karakternya yang sama-sama keras dengan
anaknya memuat ia kesulitan mengatur emosi ketika Garna mulai bertingkah.
Semua terdiam dalam kebisuan.
Prasangka mereka bahwa anak-anak akan kembali sebelum matahari terbenam
ternyata salah, Garna, Luzo dan Razenda belum jua menampakkan batang hidungnya.
Zaneba tampak paling menyesal, seharusnya dari tadi ia tidak menghiraukan
larangan Pile. Jika sudah begini, ia hanya bisa merengek pada Laka. Laka hafal
tabiat istrinya. Maka dengan segera ia berunding dengan Kara.
Pile tanpa berpikir dua kali sudah
lebih dulu masuk ke dalam hutan beberapa langkah.
“Pile, tunggu!!! Kau jangan membuat
kesalahan untuk yang kedua kalinya dengan bertindak seenaknya!”
“Apa kau bilang?? Bertindak
seenaknya? Yang hilang itu anak ku!” Pile hampir menghantam dagu Laka dengan
culanya.
“Iya, tapi dua anak ku juga
mengikuti anak mu!”
Sebelum pertempuran hebat terjadi,
Kara segera mencegah mereka.
“Kita akan membuang banyak waktu,
jika aku harus menyaksikan kalian bertarung!”
Dua-duanya menyadari kekeliruannya
dan segera mengatur emosi masing-masing.
“Kita harus atur strategi.” Lanjut
Kara.
“Kita tidak bisa berpencar mencari
anak-anak karena itu akan semakin menyulitkan kita. Bagaimana kalau kita
bertemu kawanan pemburu? Pertahanan kita yang paling kuat adalah dengan tetap
berkoloni, saling melindungi. Dan untuk Zaneba, tetaplah di tempat! Tunggu
anak-anak, seandainya mereka pulang sebelum kami berhasil menemukannya!”
Perintah Kara.
Tiga badak jantan tersebut bergerak
pelan tapi pasti, memasuki hutan, menelusuri jalur biasanya.
“Aku khawatir, anak-anak akan keluar
jalur Kara!” Ucap Pile memacah keheningan. Sedari tadi mereka hanya diam
membisu, hampir satu jam perjalanan.
“Ya, seandainya mereka tertangkap
kawanan pemburu, video trap tidak banyak membantu untuk mengungkap identitas si
pemburu.” Tambah Laka.
“Tidak akan Pile, Laka. Kawasan TNUK
kini dijaga sangat ketat sehingga jumlah kita bisa bertambah puluhan ekor dalam
satu dasawarsa terakhir.” Kara menenangkan.
“Tapi buktinya kita sendiri tidak
tau kemana perginya dua kawanan kita yang tidak tertangkap video trap satu
tahun belakangan.”
“Pile, kecemasan mu tidak akan
menyelesaikan masalah kan? Jadi berhentilah bicara yang tidak-tidak!” Ucap Kara
tegas.
“Maaf, Kara.” Pile pias.
Sebenarnya kekhawatirannya
beralasan, Garna adalah satu-satunya harta yang ia punya. Ia sudah berjanji
pada almarhumah istrinya untuk menjaga Garna sepenuh hati. Tapi barusan ia
membuat kesalahan, ia memang terlalu keras kepada Garna selama ini dan ia baru
menyadarinya.Sementara Laka juga memikirkan hal yang sama, situasi semakin
rumit dan pikirannya berkecamuk.
Jauh di dalam hutan sana, di bawah
pohon kayu yang rindang tampak tiga ekor anak badak bercengkrama. Tampang Garna
masygul, ia menopangkan dagunya pada sebongkah batu. Luzo dan Razenda berusaha
menghibur.
“Aku hanya kangen ibu.” Rintih
Garna.
Luzo dan Razenda sudah mencoba
berbagai cara untuk menghibur Garna dan membujuknya agar pulang ke rumah, namun
tak dihiraukannya. Tak ada yang bisa dilakukan Luzo dan Razenda selain menemani
Garna yang sedari tadi tidakpernah berhenti mengoceh, mengutuk takdir.
Padahal sejatinya tidak ada yang
bisa mengatur takdir, menebaknyapun tak bisa. Termasuk takdir yang akan terjadi
pada mereka beberapa puluh menit kemudian. Dari tadi mereka abai tersebab
kesedihan Garna dan mereka tidak terlalu mahir membaca tanda-tanda seperti
orang tua mereka.
Di sisi hutan yang lain, tiga ekor
badak jantan terus mencari anak-anaknya.
“Kara, Pile, apa kau mendengar
sesuatu? Seperti suara gemuruh?” Laka mempertajam pendengarannya.
Kara yang lebih paham seketika mengeluarkan
titah, “Percepat jalan kalian!”
Laka dan Pile malah mendorong Kara dari
belakang, membantunya berjalan lebih cepat, menaiki tanjakan. Tak dapat
dipungkiri, tubuh tua Kara terlalu payah mendaki anak bukit yang ada di depan
mereka. Ia tak dapat mengimbangi langkah Laka dan Pile yang masih gesit.
Suara
gemuruh semakin jelas terdengar, nafas mereka memburu, pikiran Laka dan Pile
terpecah antara menyelamatkan dirinya, istrinya dan anaknya. Sementara Kara
tidak mau dibantu, ia menyuruh Laka dan Pile menyelamatkan diri lebih dulu. Ia
sebenarnya paham suasana, ia bahkan sudah membaca tanda-tanda tersebut sebelum
Laka bertanya. Sedari tadi ia gelisah.
“Tidak,
Kara! Kami tidak akan meninggalkan mu!” Tegas Laka.
Kara
paham, ia tidak akan bisa melawan keteguhan hati Laka. Keteguhan yang lahir
dari hati yang lurus, hati yang bersih, menciptakan rasa kesetiakawanan yang
tinggi. Kara pun akhirnya mengalah, ia harus memaksakan dirinya menaiki bukit
tersebut demi melihat semangat Laka dan Pile, demi membayangkan wajah anak-anak
mereka.
Dalam
kegentingan, Zaneba muncul dari belakang menyusul mereka. Ia berlari sekuat
tenaga, membuat tanah di sekitarnya bergoyang. Teriakannya sangat lantang,
siapaun belum pernah mendengar teriakan seseorang seperti itu, teriakan seorang
ibu yang ingin menyelamatkan keluarganya.
“Aku
mempunyai firasat buruk dan aku memutuskan mengikuti kalian beberapa saat
setelah kalian meninggalkan rumah kita.”
Malang.
Beberapa langkah sebelum Zaneba berhasil meraih mereka bertiga, air setinggi
puluhan meter sampai lebih dulu mendorong tubuhnya dari belakang dan
menghempaskannya ke depan bersama beberapa pohon yang terserabut dari akarnya.
Seberapa
cepat jalan mereka, tidak ada yang mengalahkan cepatnya liukan air. Gulungan ombak
maha dasyat sudah menghantam mereka, Kara terhempas, terpisah dari Laka dan
Pile. Tubuh Zaneba sempat menghantam tubuh mereka bertiga. Tubuh gempalnya
berputar-putar tergulung ombak sebelum akhirnya menghantam sesuatu, entah batu
atau pohon besar. Gelap.
“Zanebaaaa!!!”
Teriak Laka kalap. Ia terperangah, ia sendiri kesulitan bernafas, tubuhnya
kemasukkan air, entah sudah berapa banyak air yang ia minum.
Di sisinya sudah tak ditemukan Kara
dan Pile, terpisah. Tubuh Laka terbawa arus dan culanya melewati celah pohon
yang sempit, tersangkut di sana. Beruntung, badannya bisa tertahan, tak terbawa
arus. Namun matanya tak dapat melihat dengan jernih, matanya terus mencari-dari
dimana istrinya, Kara dan Pile.
Pile
sedikit lebih mujur, ia berhasil menghindar ke tepi, menapaki bukit yang
sedikit lebih tinggi, hingga hanya kakinya yang terkena sapuan ombak.
Kara,
tidak ada yang tau dimana keberadaannya.
“Tsunami!!!” Luzo berteriak kencang.
Garna
dan Razenda tersentak dari duduknya lalumenoleh ke belakang, mereka melihat air
bagaikan kepala kobra yang siap mematok, mencungkil, apapun yang ada di
depannya. Mereka melihat semuanya dengan jelas.
Razenda
dan Luzo tanpa pikir panjang berlarian ke arah utara,menjauhi tsunami. Namun Garna
malah bergerak ke selatan hendak melawan arus.
“Garna, kau salah jalur!” Teriak
Razenda.
Luzo yang menyadari bahwa Garna
bukan salah jalur tapi sengaja melawan arus, segera menarik Garna.Garna
akhirnya pasrah ditarik Luzo. Ia berlari mengikuti Luzo sambil menahan tangis,
yang ada di pikirannya sama, orang tua mereka.
“Bagimana
kita bertahan hidup, Ayah? Bagaimana kalau ayah nanti meninggalkan ku, aku
hidup dengan siapa?”
Kalimat tersebut
terngiang-ngiang lagi di benak Garna, dengan satu keyakinan bahwa, ayahnya
pasti selamat, Garna berlari sekuat tenaga, berpacu dengan air yang semakin
dekat. Hingga mereka mencapai puncak tertinggi danbatas aman tsunami menurut
perkiraan manusia.
Mereka terduduk lesu, kehabisan
tenaga. Tangis Garna dan Razenda pecah. Luzo terisak. Kini yang ada di hadapan
mereka hanya hamparan lumpur dengan pohon tumbang dan balok-balok kayu yang
berserakan. Termasuk beberapa mayat manusia yang terseret hingga sejauh itu.
Garna berdiri tertatih, memaksakan tubuhnya
untuk mencari ayahnya. Kali ini Luzo tidak mencegah Garna, karena ia dan
Razenda pun ingin melakukan hal yang sama.
Setelah memastikan tsunami tak kan
datang untuk yang kedua kalinya, mereka berjalan menuruni bukit,
memanggil-manggil dengan sisa suara dan tenaga yang dimiliki. Tak berapa jauh
setelah mereka menuruni bukit, mereka menemukan seonggok tubuh dan mereka berharap itu bukan tubuh
tapi hanya timbunan lumpur dan dedaunan.
“KARAA!!!” Teriak mereka serentak.
***
Mereka berduka kehilangan Kara,
orang yang selama ini mereka hormati dan orang yang paling mereka dengar
nasehatnya.
Tidak hanya mereka yang berduka tapi
seluruh dunia, termasuk manusia karena salah satu badak yang selama ini
dilindungi, pergi meninggalkan dunia. Beritanya sempat fenomenal sama dengan
fenomenalnya berita kehilangan beberapa nyawa manusia. Berita tentang Laka juga
fenomenal, ‘Pasca Tsunami, Seekor Badak Bercula Satu Tersangkut di Ranting
Pohon’.
Andai waktu dapat diputar,
badak-badak tersebut berpikir, mereka akan memberi tau dari dulu para pemburu
dampak perbuatan mereka beberapa puluh tahun kemudian.
Ini
baru tsunami dengan ketinggian beberapa meter, bagaimana dengan tsunami dengan
ketinggian berpuluh-puluh meter? Akankah nasib mereka seperti dinosaurus yang
hilang ditelan zaman dan hanya tinggal kenangan.
Cerpen oleh: Nelvianti
*ini adalah cerpen yang pernah diikutsertakan dalam salah satu lomba dengan tema menjaga kelstarian alam tapi cerpen ini gagal menjadi juara, alhasil saya posting di sini, mau minta saran dan komentar dari pembaca blog ini, jika berkenan ... tolong tinggalkan komentarnya di bawah yaa! Terima kasih. :)
*ini adalah cerpen yang pernah diikutsertakan dalam salah satu lomba dengan tema menjaga kelstarian alam tapi cerpen ini gagal menjadi juara, alhasil saya posting di sini, mau minta saran dan komentar dari pembaca blog ini, jika berkenan ... tolong tinggalkan komentarnya di bawah yaa! Terima kasih. :)
0 komentar:
Posting Komentar