Sebuah kisah ketika ratusan nyawa direnggut di barat Sumatera ....
“Ayah, sepatu Yasmin udah rusak!”
Yasmin cemberut sambil melepaskan sepatunya yang sudah menganga.
Rambut panjangnya tergerai, peluh
membasahi seragam merah putihnya. Selama ini Yasmin tidak pernah meminta
apa-apa dari Ayahnya, lebih tepatnya tidak tega. Anak yang molek ini paham akan kesusahan
Ayahnya walaupun usianya masih sembilan tahun. Ia berbeda dengan anak-anak
seusianya.
Tapi jika Yasmin sudah berkata
seperti itu, Ayahnya paham. Itu tandanya Yasmin minta dibelikan sepatu baru.
Lelaki empat puluh tahunan itu hanya bisa tersenyum getir. Kulit di sekitar
bibirnya tertarik, kulit hitam yang keras dan mengkilap karena setiap hari
ditempa terik matahari.
Badrun, nama lelaki itu. Ia adalah
salah satu dari sekian banyak penduduk tigo dusun yang bermata pencarian
sebagai nelayan.
“Sepatu Yasmin minta diganti ya?
Sabar ya Nak… bulan depan Insya Allah Ayah belikan.”
Badrun tak yakin dapat memenuhi
janjinya. Namun ia paham, apabila ia sudah berjanji, maka ia harus menepati janjinya
dengan apapun caranya.
“Asalamualaikum… anak
manis….” Seorang perempuan muda memasuki halaman dengan membawa seikat kayu
bakar.
“Ibu pulang….” Gadis kecil itu
segera menurunkan beban kayu dari pundak Ibunya.
“Kau dapat banyak sekali kayu hari
ini Mariati.” Ucap Badrun menyambut kedatangan istrinya.
“Alhamdulillah Bang… hari ini
banyak sisa-sisa tebangan pohon yang tidak diangkut truk. Lumayan… kayu-kayu
ini bisa kita jual untuk pembeli beras agak seliter.”
Tiga beranak itu pun masuk ke dalam
rumahnya. Sebuah gubuk reot, beratapkan rumbia, berlantaikan tanah, dan
beralaskan papan. Gubuk itu berdiri agak terpencil dari beberapa rumah di
sebelahnya. Sebenarnya penghidupan di kampung ini sama saja―sama susah. Harta
kekayaan yang paling dibanggakan adalah motor. Itu pun hanya beberapa kepala
keluarga yang memiliki. Sebenarnya hampir semua kepala keluarga pernah
memiliki, tapi hanya singgah sesaat, sekitar dua bulan atau tiga bulan, motor
itu ditarik lagi karena kreditnya menunggak.
Badrun sendiri tidak mau coba-coba
mengkredit motor seperti teman-temannya. Prinsipnya lain. Baginya, biarlah
sederhana asalkan punya sendiri. Biarlah tak berpunya, asalkan tidak
mengkredit. Soal mengkredit barang ini, sangat ditekankan kepada istrinya.
Istrinya pun paham, ia tidak mau menambah susah suaminya seperti istri-istri
lain yang minta ini dan itu. Walaupun mengkredit tapi tetap dipaksakan
mengambil barang, hasilnya tak terbayar dan di ambil lagi. Kadang ada yang
menghilang dari rumah malam-malam untuk menghindari tagihan tukang kredit.
Hidup sederhana ini dirasakan Badrun
sangat nyaman, ia tidak pernah ditungguin orang setiap saat di depan pintu,
sekedar menangih kredit baju, TV, atau kulkas.
Prinsip hidup seperti ini yang coba
diterapkan Badrun selalu. Walaupun ia bisa meminjam uang kepada tetangga beberapa
ratus ribu untuk membeli sepatu Yasmin, tapi ia tidak mau. Kembali lagi,
baginya biarlah tidak punya dahulu asalkan tidak mengkredit.
Badrun duduk di kursi makan di
tengah rumahnya, sementara istrinya menaruh segulung kayu bakar di dekat
tungku. Yasmin sendiri, segera mengganti seragamnya. Badrun lalu menarik laci
yang ada di dekatnya, dan mengeluarkan segala alat jahit-menjahit. Badrun
memilih menjahit sendiri sepatu anaknya yang menganga. Hasilnya tidak buruk. Masih
bisa dipakai Yasmin sampai sepatu baru berhasil dibelinya.
“Hari ini kita masak apa Ibu?” sorak
Yasmin dari balik kamarnya. Sebenarnya ini tak layak disebut kamar, hanya
sebuah ruangan yang diberi sekat di dekat tungku perapian. Namun begitu, Yasmin
tetap bahagia dan merasa nyaman karena ia sudah mempunyai wilayah
ekstrateritorial sendiri. Ia tidak perlu berbagi tempat tidur dengan Ayah dan
Ibunya. Gadis yang merasa sudah beranjak remaja itu bebas melakukan apapun di
kamarnya. Kadang ia menulis surat cinta yang tak pernah disampaikan kepada
teman sekelasnya. Setiap membaca surat itu, ia tertawa cekikikan sendiri. Lalu
buru-buru menyembunyikan surat itu ketika Ibunya bertanya kenapa ia tertawa
sendirian.
Yasmin adalah anak yang ceria. Ia
mempunyai banyak teman, namun ia kadang tak mempunyai kesempatan untuk bermain
bersama teman-temannya. Anak manis ini lebih memilih membantu pekerjaan Ibunya
di rumah daripada bermain. Sebab itulah Badrun dan Mariati semakin sayang
dengan anak semata wayangnya ini.
Selesai menjahit sepatu anaknya,
Badrun terpekur di kursi kesayangannya. Pandangannya menerawang, memikirkan
bagaimana caranya agar ia bisa membelikan sepatu baru buat Yasmin sementara ia
belum bisa melaut beberapa hari ini. Cuaca buruk. Untuk beberapa hari ke depan
nelayan dilarang melaut, begitulah berita yang ia dengar di TV.
“Kenapa Bang, sepertinya murung?”
Mariati menghampiri lakinya sambil membawakan secangkir kopi. Asap panas
mengepul dari kopi itu, berputar-putar lalu hilang menerobos gubuk reot itu.
“Yasmin minta dibelikan sepatu.”
Ekspersinya datar, tak ditatapnya wajah istrinya barang sedetikpun.
“Bukankah Abang telah menjahitkan
sepatunya?”
“Ia, tapi lambat laun sepatu ini
akan tetap diganti.”
“Berarti tidak sekarang kan Bang,
kita bisa menabung dulu. Besok Ati mau jual kayu ini ke pasar dan uangnya akan
Ati tabungkan buat membeli sepatu Yasmin.” Ati menatap suaminya dengan senyuman
yang menyejukkan.
***
Hari yang cerah, suasana di pasar
siang itu sangat ramai. Penjual dan pembeli semuanya membaur menjadi satu.
Pedagang tak mau kalah bersorak-sorai menjajakan barang daganganya. Beberapa
orang lalu-lalang hanya untuk sekedar melihat-lihat saja. Di sudut pasar,
seorang perempuan lusuh sedang bernegosiasi. Ia berdiri di tengah-tengah
tumpukan kayu.
Peluh bercucuran di dahinya,
pertanda betapa payahnya ia setelah mengangkat seikat kayu. Sesaat kemudian,
perempuan itu tampak tersenyum lebar lalu ke luar dari toko kayu itu.
***
“Yasmin, itu sepatu baru kamu?
Hahaha…”
Yasmin hanya menunduk ditertawai
teman-temannya. Ia bukannya malu, tapi ia tak mau dihina teman-temannya. Ia pun
lari menghindar dari kerumunan teman-temannya, dan memilih berdiam diri di
sudut sekolah. Tempat ini adalah tempat bermain favorit baginya. Ketika
teman-temannya berhamburan ke warung pada jam istirahat, Yasmin lebih memilih
duduk di lorong antara dinding pembatas sekolah dengan pagar. Tempat ini agak
terpencil dan menjorok ke dalam.
Yasmin duduk di bongkahan batu dan
bersandar ke tembok, sambil sesekali melirik sepatu teman-temannya yang lalu
lalang di halaman sekolah. sepatu mereka bagus-bagus, batin Yasmin. Sejurus
kemudian, ia menatap lagi ke bawah, memperhatikan sepatu hitamnya. Tak terlalu
buruk, jahitan Ayahnya sangat rapi. Tapi ia heran kenapa teman-temannya masih saja
menertawainya.
***
Badrun menggaruk-garuk kepalanya. Ia
duduk di pelanta, di sebuah kedai kopi. Ia tak tertarik dengan topik
perbincangan di kedai itu. Ada yang berbincang tentang hebohnya orgen tunggal
semalam, ada yang mencerca pemerintah karena kurang tanggap mengahadapi
bencana, ada yang hanya sekedar tertawa lepas dan sebagainya. Bunyi tawa riuh
rendah, berlaga dengan hentakkan batu domino.
“Hei, Badrun! Kenapa kau bermuram
durja seperti itu? Ayolah bermain bersama kita! Ajak seorang laki-laki yang
berambut kribo.
Badrun tak menggubris, ia hanya
tersenyum masam. Benar-benar tidak ada kerjaan batinnya. Ia sendiri, kalau
bukan karena tidak bisa melaut, ia tidak akan duduk di kedai itu. Hanya buat
menambah-nambah dosa pikirnya. Bisakah pemuda di kampung ini bergotong royong
untuk membangun fasilitas umum, seperti wc umum, jembatan, atau lapanagn volly,
daripada hanya mencerca pemerintah.
“Kemana anak dan istri kau?” seorang
lelaki yang dituakan di kelompok itu akhirnya angkat suara. Seperti ia paham
akan kegundahan Badrun.
“Istriku ke pasar, anak ku seperti
biasa… ke sekolah.” Badrun menjawab sekenanya.
Pikiran tentang sepatu masih
menggelayut di benak Badrun. Matanya menatap ke layar televisi, segelas kopi
pahit terhidang di hadapannya.
Tiba-tiba gelas kopi itu bergetar,
semakin lama, semakin kencang seperti ayunan.
“GEMPA…! GEMPA…!” lelaki kribo
berteriak sembari menghambur dari tempat duduknya, yang punya warung juga tak
kalah histerisnya, semua kalang-kabut. Yasmin… Mariati… nama itu terngiang-ngiang
di benak Badrun di tengah kelimpungannya.
Belum jauh lelaki kribo itu
beranjak, bukit di belakang kedai kopi itu runtuh, menimbun kedai dan semua
yang ada di sekitarnya termasuk beberapa rumah penduduk. Dalam sekejap semuanya
rata oleh tanah… bukit itu telah menelan segala jerit dan tangis.
***
“Ibu… Yasmin takuttt….” Yasmin
beranjak dari tempat duduknya, air matanya meleleh. Kepalanya agak sedikit
pusing, tembok pagar di sebelahnya bergetar hebat sekali. Sebelum Yasmin mampu
mengatasi rasa pusingnya… tembok itu roboh.
“Au… Sakittt…!” Yasmin menarik
kakinya, namun tertahan. Ia menoleh ke belakang, kaki mungil itu tertimpa
rentutuhan pagar, darah segar mengucur dengan derasnya. Yasmin meringis.
“Ibuuu…. Ayah….” Lirihnya sesat
sebelum ia pingsan.
***
“Yasmin… maafkan Ibu, Nak… ini se…
pa tu nya…” Mariati tertelungkup di sela-sela-sela ribuan kaki yang berlarian
di pasar.
Cerpen Oleh: Nelvianti
0 komentar:
Posting Komentar