Rabu, 03 Juli 2019

G 30 S/ SB (Gempa 30 September/ Sumatera Barat)


Sebuah kisah ketika ratusan nyawa direnggut di barat Sumatera .... 

            “Ayah, sepatu Yasmin udah rusak!” Yasmin cemberut sambil melepaskan sepatunya yang sudah menganga.
            Rambut panjangnya tergerai, peluh membasahi seragam merah putihnya. Selama ini Yasmin tidak pernah meminta apa-apa dari Ayahnya, lebih tepatnya tidak tega.  Anak yang molek ini paham akan kesusahan Ayahnya walaupun usianya masih sembilan tahun. Ia berbeda dengan anak-anak seusianya.
            Tapi jika Yasmin sudah berkata seperti itu, Ayahnya paham. Itu tandanya Yasmin minta dibelikan sepatu baru. Lelaki empat puluh tahunan itu hanya bisa tersenyum getir. Kulit di sekitar bibirnya tertarik, kulit hitam yang keras dan mengkilap karena setiap hari ditempa terik matahari.
            Badrun, nama lelaki itu. Ia adalah salah satu dari sekian banyak penduduk tigo dusun yang bermata pencarian sebagai nelayan.
            “Sepatu Yasmin minta diganti ya? Sabar ya Nak… bulan depan Insya Allah Ayah belikan.”
            Badrun tak yakin dapat memenuhi janjinya. Namun ia paham, apabila ia sudah berjanji, maka ia harus menepati janjinya dengan apapun caranya.
            Asalamualaikum… anak manis….” Seorang perempuan muda memasuki halaman dengan membawa seikat kayu bakar.
            “Ibu pulang….” Gadis kecil itu segera menurunkan beban kayu dari pundak Ibunya.
            “Kau dapat banyak sekali kayu hari ini Mariati.” Ucap Badrun menyambut kedatangan istrinya.
            Alhamdulillah Bang… hari ini banyak sisa-sisa tebangan pohon yang tidak diangkut truk. Lumayan… kayu-kayu ini bisa kita jual untuk pembeli beras agak seliter.”
            Tiga beranak itu pun masuk ke dalam rumahnya. Sebuah gubuk reot, beratapkan rumbia, berlantaikan tanah, dan beralaskan papan. Gubuk itu berdiri agak terpencil dari beberapa rumah di sebelahnya. Sebenarnya penghidupan di kampung ini sama saja―sama susah. Harta kekayaan yang paling dibanggakan adalah motor. Itu pun hanya beberapa kepala keluarga yang memiliki. Sebenarnya hampir semua kepala keluarga pernah memiliki, tapi hanya singgah sesaat, sekitar dua bulan atau tiga bulan, motor itu ditarik lagi karena kreditnya menunggak.
            Badrun sendiri tidak mau coba-coba mengkredit motor seperti teman-temannya. Prinsipnya lain. Baginya, biarlah sederhana asalkan punya sendiri. Biarlah tak berpunya, asalkan tidak mengkredit. Soal mengkredit barang ini, sangat ditekankan kepada istrinya. Istrinya pun paham, ia tidak mau menambah susah suaminya seperti istri-istri lain yang minta ini dan itu. Walaupun mengkredit tapi tetap dipaksakan mengambil barang, hasilnya tak terbayar dan di ambil lagi. Kadang ada yang menghilang dari rumah malam-malam untuk menghindari tagihan tukang kredit.
            Hidup sederhana ini dirasakan Badrun sangat nyaman, ia tidak pernah ditungguin orang setiap saat di depan pintu, sekedar menangih kredit baju, TV, atau kulkas.
            Prinsip hidup seperti ini yang coba diterapkan Badrun selalu. Walaupun ia bisa meminjam uang kepada tetangga beberapa ratus ribu untuk membeli sepatu Yasmin, tapi ia tidak mau. Kembali lagi, baginya biarlah tidak punya dahulu asalkan tidak mengkredit.
            Badrun duduk di kursi makan di tengah rumahnya, sementara istrinya menaruh segulung kayu bakar di dekat tungku. Yasmin sendiri, segera mengganti seragamnya. Badrun lalu menarik laci yang ada di dekatnya, dan mengeluarkan segala alat jahit-menjahit. Badrun memilih menjahit sendiri sepatu anaknya yang menganga. Hasilnya tidak buruk. Masih bisa dipakai Yasmin sampai sepatu baru berhasil dibelinya.
            “Hari ini kita masak apa Ibu?” sorak Yasmin dari balik kamarnya. Sebenarnya ini tak layak disebut kamar, hanya sebuah ruangan yang diberi sekat di dekat tungku perapian. Namun begitu, Yasmin tetap bahagia dan merasa nyaman karena ia sudah mempunyai wilayah ekstrateritorial sendiri. Ia tidak perlu berbagi tempat tidur dengan Ayah dan Ibunya. Gadis yang merasa sudah beranjak remaja itu bebas melakukan apapun di kamarnya. Kadang ia menulis surat cinta yang tak pernah disampaikan kepada teman sekelasnya. Setiap membaca surat itu, ia tertawa cekikikan sendiri. Lalu buru-buru menyembunyikan surat itu ketika Ibunya bertanya kenapa ia tertawa sendirian.
            Yasmin adalah anak yang ceria. Ia mempunyai banyak teman, namun ia kadang tak mempunyai kesempatan untuk bermain bersama teman-temannya. Anak manis ini lebih memilih membantu pekerjaan Ibunya di rumah daripada bermain. Sebab itulah Badrun dan Mariati semakin sayang dengan anak semata wayangnya ini.
            Selesai menjahit sepatu anaknya, Badrun terpekur di kursi kesayangannya. Pandangannya menerawang, memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa membelikan sepatu baru buat Yasmin sementara ia belum bisa melaut beberapa hari ini. Cuaca buruk. Untuk beberapa hari ke depan nelayan dilarang melaut, begitulah berita yang ia dengar di TV.
            “Kenapa Bang, sepertinya murung?” Mariati menghampiri lakinya sambil membawakan secangkir kopi. Asap panas mengepul dari kopi itu, berputar-putar lalu hilang menerobos gubuk reot itu.
            “Yasmin minta dibelikan sepatu.” Ekspersinya datar, tak ditatapnya wajah istrinya barang sedetikpun.
            “Bukankah Abang telah menjahitkan sepatunya?”
            “Ia, tapi lambat laun sepatu ini akan tetap diganti.”
            “Berarti tidak sekarang kan Bang, kita bisa menabung dulu. Besok Ati mau jual kayu ini ke pasar dan uangnya akan Ati tabungkan buat membeli sepatu Yasmin.” Ati menatap suaminya dengan senyuman yang menyejukkan.
***
            Hari yang cerah, suasana di pasar siang itu sangat ramai. Penjual dan pembeli semuanya membaur menjadi satu. Pedagang tak mau kalah bersorak-sorai menjajakan barang daganganya. Beberapa orang lalu-lalang hanya untuk sekedar melihat-lihat saja. Di sudut pasar, seorang perempuan lusuh sedang bernegosiasi. Ia berdiri di tengah-tengah tumpukan kayu.
            Peluh bercucuran di dahinya, pertanda betapa payahnya ia setelah mengangkat seikat kayu. Sesaat kemudian, perempuan itu tampak tersenyum lebar lalu ke luar dari toko kayu itu.
***
            “Yasmin, itu sepatu baru kamu? Hahaha…”
            Yasmin hanya menunduk ditertawai teman-temannya. Ia bukannya malu, tapi ia tak mau dihina teman-temannya. Ia pun lari menghindar dari kerumunan teman-temannya, dan memilih berdiam diri di sudut sekolah. Tempat ini adalah tempat bermain favorit baginya. Ketika teman-temannya berhamburan ke warung pada jam istirahat, Yasmin lebih memilih duduk di lorong antara dinding pembatas sekolah dengan pagar. Tempat ini agak terpencil dan menjorok ke dalam.
            Yasmin duduk di bongkahan batu dan bersandar ke tembok, sambil sesekali melirik sepatu teman-temannya yang lalu lalang di halaman sekolah. sepatu mereka bagus-bagus, batin Yasmin. Sejurus kemudian, ia menatap lagi ke bawah, memperhatikan sepatu hitamnya. Tak terlalu buruk, jahitan Ayahnya sangat rapi. Tapi ia heran kenapa teman-temannya masih saja menertawainya.
***
            Badrun menggaruk-garuk kepalanya. Ia duduk di pelanta, di sebuah kedai kopi. Ia tak tertarik dengan topik perbincangan di kedai itu. Ada yang berbincang tentang hebohnya orgen tunggal semalam, ada yang mencerca pemerintah karena kurang tanggap mengahadapi bencana, ada yang hanya sekedar tertawa lepas dan sebagainya. Bunyi tawa riuh rendah, berlaga dengan hentakkan batu domino.
            “Hei, Badrun! Kenapa kau bermuram durja seperti itu? Ayolah bermain bersama kita! Ajak seorang laki-laki yang berambut kribo.
            Badrun tak menggubris, ia hanya tersenyum masam. Benar-benar tidak ada kerjaan batinnya. Ia sendiri, kalau bukan karena tidak bisa melaut, ia tidak akan duduk di kedai itu. Hanya buat menambah-nambah dosa pikirnya. Bisakah pemuda di kampung ini bergotong royong untuk membangun fasilitas umum, seperti wc umum, jembatan, atau lapanagn volly, daripada hanya mencerca pemerintah.
            “Kemana anak dan istri kau?” seorang lelaki yang dituakan di kelompok itu akhirnya angkat suara. Seperti ia paham akan kegundahan Badrun.
            “Istriku ke pasar, anak ku seperti biasa… ke sekolah.” Badrun menjawab sekenanya.
            Pikiran tentang sepatu masih menggelayut di benak Badrun. Matanya menatap ke layar televisi, segelas kopi pahit terhidang di hadapannya.
            Tiba-tiba gelas kopi itu bergetar, semakin lama, semakin kencang seperti ayunan.
            “GEMPA…! GEMPA…!” lelaki kribo berteriak sembari menghambur dari tempat duduknya, yang punya warung juga tak kalah histerisnya, semua kalang-kabut. Yasmin… Mariati… nama itu terngiang-ngiang di benak Badrun di tengah kelimpungannya.
            Belum jauh lelaki kribo itu beranjak, bukit di belakang kedai kopi itu runtuh, menimbun kedai dan semua yang ada di sekitarnya termasuk beberapa rumah penduduk. Dalam sekejap semuanya rata oleh tanah… bukit itu telah menelan segala jerit dan tangis.
***
            “Ibu… Yasmin takuttt….” Yasmin beranjak dari tempat duduknya, air matanya meleleh. Kepalanya agak sedikit pusing, tembok pagar di sebelahnya bergetar hebat sekali. Sebelum Yasmin mampu mengatasi rasa pusingnya… tembok itu roboh.
            “Au… Sakittt…!” Yasmin menarik kakinya, namun tertahan. Ia menoleh ke belakang, kaki mungil itu tertimpa rentutuhan pagar, darah segar mengucur dengan derasnya. Yasmin meringis.
            “Ibuuu…. Ayah….” Lirihnya sesat sebelum ia pingsan.
***
            “Yasmin… maafkan Ibu, Nak… ini se… pa tu nya…” Mariati tertelungkup di sela-sela-sela ribuan kaki yang berlarian di pasar.

Cerpen Oleh: Nelvianti







0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design