Rabu, 03 Juli 2019

Upacara Tujuh Harinya Nenek



“Kamu bertengkar lagi dengan Bapakmu?”  Laila tetap diam. Dia berdiri di ambang pintu masuk rumahnya, membelakangi ruang tamu. Tatapannya menerawang ke luar. Sampah berserakan dimana-mana. Di belakangnya, piring-piring kotor merengek minta dijamah.

“Kalian sama-sama keras kepala.” Bude berlalu sambil membereskan piring-piring sisa makanan yang tergeletak di ruang tamu itu, upacara baru saja usai.
***
Dari dulu Laila tidak pernah setuju dengan rencana Bapaknya. Tapi apa yang mau dikata, sekeras dia memprotes, sekeras itu pula Bapaknya membantah. Bapaknya memang terlahir sebagai pribadi egois, berbeda dengan Budenya.

Laila tidak habis pikir, kenapa Bapaknya tetap bersikukuh? Apa yang sebetulnya dipikirkan lelaki lima puluh tahunan itu. Lihat saja, piring-piring kotor ini dibiarkan begitu saja. Siapa yang membersihkan kalau bukan Budenya, merepotkan keluarga yang lagi kemalangan saja, pikirnya. Bukankah sudah diterangkan dalam hadist nabi sejelas-jelasnya bahwa, dilarang merepotkan saudara yang sedang ditimpa musibah.

Tapi sepertinya, Bapaknya sendiri yang ingin direpotkan. Tetangga sekitar terlihat biasa saja karena hal ini dianggap lumrah, sudah menjadi adat kebiasaan yang turun temurun.

Membantah Bapaknya, berarti sama saja membantah adat. Tapi adat ini memang harus diluruskan, Laila sudah berbicara dengan Bapaknya berkali-kali.

Sehari sebelum acara, keputusan Bapaknya sudah final dan tidak bisa diganggu gugat.

“Bapak akan tetap melaksanakan upacara itu Laila, jangan membangkang kamu!” Bapaknya berang, ia sampai berdiri dari tempat duduk, suaranya naik satu oktaf, kumisnya juga ikutan naik turun mengikuti gerakan nafasnya, dan mukanya memerah.

“Tapi Nenek tidak membutuhkan itu, Pak…. Yang Nenek butuhkan cuma….” Laila tetap berbicara dengan nada pelan.

“Sudah… sudah… Bapak tidak mau mendengar ocehanmu lagi!” Belum selesai Laila berbicara, lelaki berperawakan tinggi itu sudah memotong pembicaraannya.

Kalau sudah begini Laila hanya bisa mengurut dada. Sedangkan Ibunya hanya diam saja melihat perdebatan Bapak dan anak itu. Ibu Laila memang tipe istri yang penurut, bahkan untuk urusan yang berkaitan dengan aqidah seperti ini pun, Ibunya tetap tidak berani membantah. Kadang susah dibedakan, mana sifat penurut dan mana sifat penakut.

Laila merasa kesal, kenapa Ibunya tak mau sedikit pun membantunya berbicara dengan Bapaknya mengenai hal ini. Padahal Ibunya juga tahu kalau hal ini salah! Laila tidak tahu harus minta bantuan siapa lagi, ia jadi uring-uringan sendiri.

Akhirnya Laila meninggalkan ruangan keluarga ini. Ia pergi ke kamar almarhumah Neneknya, dan merebahkan diri di atas sofa merah maroon itu, sofa yang sering menjadi tempat pengaduannya sewaktu Neneknya masih hidup. Neneknya sudah hafal kebiasaan cucunya yang kadang kelihatan manja ini. Jika Laila tidur di kamar Neneknya, itu berarti ia sedang bertengkar dengan Bapaknya.

“Sudahlah Ndok… jangan kau turuti emosi Bapakmu!” Begitu setiap kali Neneknya berpesan.

Tak terasa air mata Laila luruh mengenang hal itu. Seakan-akan ia melihat sosok berwajah teduh itu tersenyum manis padanya.

“Maafin Laila Nek, Laila belum bisa menjadi apa yang Nenek minta….” Laila membantin.

Hampir seharian ini Laila tidak bertegur sapa dengan Bapaknya. Bapaknya juga tidak kalah diam, padahal Laila duduk tak berapa jauh darinya. Sikap diam Bapak dan anak itu membentangkan jarak diantara keduanya.

“Sejak mondok di pesantren, kamu semakin pintar ya. Sudah berani ceramahin orang tua!” Akhirnya lelaki berblangkon itu buka suara juga.

Laila kaget. Bukan maksud hatinya hendak melawan orang tua atau menjadi anak durhaka, tapi ia hanya ingin menyampaikan apa yang sepatutnya disampaikan.

“Pak….” Mata Laila berkaca-kaca, kerongkongannya tercekat, tapi dengan segera ia menyusun kata-kata.

“Sekarang Laila Tanya, untuk apa Bapak menyekolahkan Laila di pesantren? Agar Laila menjadi anak yang baik kan, Pak? Agar Laila lebih paham ilmu agama?” Laila menatap Bapaknya dalam, ia bersiap melanjutkan kata-katanya.

“Laila tahu, Bapak selalu mendirikan sholat lima waktu, Ibu juga, seluruh keluarga kita mendirikan sholat. Mengaji pun tak pernah ketinggalan. Laila yakin, Bapak muslim yang taat. Tapi untuk urusan ini maaf Pak, Laila tidak sependapat dengan Bapak. Laila tidak mau mengikuti Bapak. Di pesantren, Kiyai Lutfi sudah mengajarkan bahwa, dilarang menyiapkan sesaji dalam pengajian…”
“Ini bukan sesaji Laila!” Kebiasaan Bapaknya memotong pembicaraan Laila.

“Tapi pakai kemenyan kan, Pak? Tolong biarkan Laila bicara dulu, Pak….” Laila melanjutkan kata-katanya.

“Kata Kiyai Lutfi, ndak apa-apa kalau kita yasinan memperingati tujuh harinya Nenek, asalkan jangan ditambahi embel-embel lain.”

“Embel-embel lain gimana maksudmu?”

“Jangan ada kemenyan Pak, dan tidak perlu masak-memasak, kasihan Ibu dan Bude.”

“Kemenyan itu hal yang wajib ada disetiap upacara tujuh harian, itu sudah menjadi adat dan kebiasaan. Dan masak-memasak, itu cara kita menjamu setiap tamu yang datang. Mereka kan datang tidak melenggang saja, tapi membawa buah tangan. Ada tamu yang membawa beras yang diisikan dalam rantang, berasnya lalu kita salin dan rantangnya kita isi dengan makanan yang kita masak sebagai balasannya. Ada juga tamu yang membawa amplop. Masa kita ndak ngasih apa-apa!”

“Kita lagi kemalangan lo Pak, bukan pesta. Nenek baru tujuh hari meninggal, kita masih dalam suasana duka. Tidak seharusnya kita merepotkan diri.”

“Jika kita tidak menyediakan apa-apa diupacara tujuh harinya Nenekmu, kita akan jadi bahan omongan tetangga. Dan Kiyai yang kita undang untuk memimpin yasinan itu, mau kita kasih apa mereka, kalau bukan makanan dan amplop.”

“Tamu-tamu itu tidak minta dijamukan Pak, mereka datang ke sini untuk ikut yasinan, bukan untuk barter. Dan perihal Kiyai itu, Laila yakin ndak ada masalah, kita minta saja Kiyai Lutfi yang pimpin. Kiyai Lutfi pasti mengerti. Lagian lebih baik kita sekeluarga aja Pak yang yasinan setiap hari, ndak harus di tujuh hari, empat puluh hari, atau seratus harinya Nenek.”

“Apapun yang kamu katakan, upacara itu tetap dilaksanakan besok. Mendingan sekarang kamu bantu Ibumu memasak di dapur! Banyak makanan yang harus kita masak, kita harus bikin opor ayam, penganan, dan sebagainya.” Bapak berdiri, lalu meninggalkan Laila yang masih mematung di kursi.

Lagi-lagi negosiasinya gagal, pembicaraan ini tidak ada ujungnya. Laila pun berdiri dari kursinya, dan berjalan gontai ke dapur.

“Bude, lagi bikin apa?” Tanya Laila, kala ditemuinya perempuan separuh baya itu sedang mengaduk-ngaduk panci penggorengan.

“Sebentar lagi Magrib, Bude harus menyiapkan makan malam untuk Nenekmu. Kalau tidak, Bapakmu bakalan marah.”

Astagfirullah… Nenek ndak bakalan bisa makan, makanan itu Bude.” Laila kaget, kenapa sekarang Budenya juga ikut-ikutan.

“Memang ndak. Bude tahu… nanti setelah lewat Magrib, kamu boleh memakan, makanan itu.”

Laila semakin tidak mengerti saja. Lalu, untuk apa semua ini. Bapaknya meminta Bude untuk menyiapkan makanan untuk Nenek di malam Jumat ini, tapi makanan itu tak ada artinya.

“Awas, kamu jangan duduk di situ! Itu tempat duduk kesayangan Nenekmu, kamu ndak boleh mendudukinya sampai selesai Magrib!” Bude menghampiri Laila yang duduk di kursi kayu yang terletak di pojok ruang makan.

Bude membawa piring di tangan kanannya dan cangkir di tangan kirinya. Piring dan cangkir itu ditaruh di atas meja yang berada di sebelah kursi. Laila berdiri dan memperhatikan dengan seksama.

Di piring itu tersedia nasi dan ikan goreng, serta sebongkah biskuit. Dan gelas itu, terisi susu hangat. Itu semua makanan dan minuman kesukaan Neneknya. Laila geleng-geleng kepala menatapnya.

Lepas Magrib, Bapak Laila pulang. Ia menjinjing sekantong plastik besar.

“Apa itu Pak? Bapak habis dari pasar?” Laila barusan keluar dari kamarnya selesai sholat Magrib, sambil membenarkan kerudungnya ia memperhatikan barang bawaan Bapaknya.

“Iya. Barang belanjaan buat besok, dan ini kemenyan.” Bapak Laila lalu menghampiri meja di pojok ruang makan, dan meraih piring yang ada di atasnya.

“Lo, kok dimakan Pak? Katanya buat Nenek.” Sindir Laila.

“Kan sudah lewat Magrib.” Santai, Bapaknya tetap mengunyah.

Melihat Bapaknya makan dengan lahap, ia tak tega mengusiknya. Ia memilih membawa barang belanjaan Bapaknya ke dapur. Ia tahu apa yang harus dilakukan dengan barang belanjaan itu.
***
Jumat Pagi. Jam baru menunjukan pukul 08.00, tikar pandan sudah terbentang memenuhi ruang tamu rumah sederhana itu. Makanan sudah berjejer rapi di sepanjang tikar, mengelilingi ruangan, membentuk persegi panjang. Ada opor ayam, ikan goreng, agar-agar, lepet, dan aneka jenis penganan lainnya. Tak ketinggalan nasi, dan buah-buahan.

Di bagian depan ruangan ini, terbentang kasur bujangan yang sudah dilapisi sprei, dan beberapa buah bantal. Tumpukannya terlihat rapi jika dilihat dari pintu masuk. Itu adalah tempat duduk Kiyai yang memimpin yasinan nantinya, entah siapa Kiyainya, Laila tidak tahu.

Tapi satu yang belum terhidang di depan kasur itu. Laila tersinyum simpul, ia yakin usahanya akan berhasil.

Pukul 10.00 semua masakan sudah siap, tidak ada lagi aktifitas didapur. Laila salut atas kerjasama Ibu dan Budenya. Setelah memasak Ibu dan Budenya bersiap-siap menyambut tamu di depan. Tetangga mulai berdatangan, padahal yasinan dimulai bada Magrib nanti.

Kebanyakan dari mereka yang datang pagi ini cuma menengok sebentar, menyerahkan rantang lalu dibawa lagi. Ibunya dan Bude sibuk menjamu tamu-tamu itu. Hingga Magrib tamu tiada putus-putusnya, baik perempuan maupun laki-laki. Sebagian tamu ada yang menunggu untuk ikut yasinan.

Selesai sholat Magrib, semua tamu duduk mengelilingi ruang tengah. Yasinan hendak dimulai.

Tapi... setelah ditunggu-tunggu satu menit, dua menit belum juga dimulai. Ibu masih sibuk mencari-cari sesuatu. Dibukanya lemari tak ada, dilihatnya di bawah kolong juga tak ada, dicarinya di dalam kantong belanjaan kemaren, tetap tak ada. Mata Bapak sudah melotot-melotot kepada Ibu.

Piring di depan Kiyai hanya terisi sebongkah sabut kelapa. Asap dari pembakaran sabut kelapa itu meliuk-liuk di atas piring. Tak ada wangi kemenyannya.

Melihat hal itu, Laila segera meninggalkan ruangan, sebelum Bapak menyadari semuanya. Kemenyannya hilang.

“LAILAAA…!” Amarah Bapaknya meledak, upacara tak akan dimulai sebelum ada kemenyan. [*]

Cerpen Oleh: Nelvianti

0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design