“Kamu
bertengkar lagi dengan Bapakmu?” Laila
tetap diam. Dia berdiri di ambang pintu masuk rumahnya, membelakangi ruang
tamu. Tatapannya menerawang ke luar. Sampah
berserakan dimana-mana. Di belakangnya, piring-piring kotor merengek minta
dijamah.
“Kalian
sama-sama keras kepala.” Bude berlalu sambil membereskan piring-piring sisa
makanan yang tergeletak di ruang tamu itu, upacara baru saja usai.
***
Dari
dulu Laila tidak pernah setuju dengan rencana Bapaknya. Tapi apa yang mau
dikata, sekeras dia memprotes, sekeras itu pula Bapaknya membantah. Bapaknya memang
terlahir sebagai pribadi egois, berbeda dengan Budenya.
Laila
tidak habis pikir, kenapa Bapaknya tetap bersikukuh? Apa yang sebetulnya
dipikirkan lelaki lima puluh tahunan itu. Lihat
saja, piring-piring kotor ini dibiarkan begitu saja. Siapa yang membersihkan
kalau bukan Budenya, merepotkan keluarga yang lagi kemalangan saja, pikirnya. Bukankah sudah diterangkan dalam hadist nabi sejelas-jelasnya bahwa,
dilarang merepotkan saudara yang sedang ditimpa musibah.
Tapi
sepertinya, Bapaknya sendiri yang ingin direpotkan. Tetangga sekitar terlihat
biasa saja karena hal ini dianggap lumrah, sudah menjadi adat kebiasaan yang
turun temurun.
Membantah
Bapaknya, berarti sama saja membantah adat. Tapi adat ini memang harus
diluruskan, Laila sudah berbicara dengan Bapaknya berkali-kali.
Sehari
sebelum acara, keputusan Bapaknya sudah final dan tidak bisa diganggu gugat.
“Bapak
akan tetap melaksanakan upacara itu Laila, jangan membangkang kamu!” Bapaknya
berang, ia sampai berdiri dari tempat duduk, suaranya naik satu oktaf, kumisnya
juga ikutan naik turun
mengikuti gerakan nafasnya, dan mukanya memerah.
“Tapi
Nenek tidak membutuhkan itu, Pak…. Yang Nenek butuhkan cuma….” Laila tetap berbicara dengan
nada pelan.
“Sudah…
sudah… Bapak tidak mau mendengar ocehanmu lagi!” Belum selesai Laila berbicara,
lelaki berperawakan tinggi itu
sudah memotong pembicaraannya.
Kalau
sudah begini Laila hanya bisa mengurut dada. Sedangkan Ibunya hanya diam saja
melihat perdebatan Bapak dan anak itu. Ibu Laila memang tipe istri yang
penurut, bahkan untuk urusan yang berkaitan dengan aqidah seperti ini pun, Ibunya tetap tidak berani membantah. Kadang
susah dibedakan, mana sifat penurut dan mana sifat penakut.
Laila
merasa kesal, kenapa Ibunya tak mau sedikit pun membantunya berbicara dengan
Bapaknya mengenai hal ini. Padahal Ibunya juga tahu kalau hal ini salah! Laila
tidak tahu harus minta bantuan siapa lagi, ia jadi uring-uringan sendiri.
Akhirnya
Laila meninggalkan ruangan keluarga ini. Ia pergi ke kamar almarhumah Neneknya,
dan merebahkan diri di atas sofa merah
maroon itu, sofa yang sering menjadi
tempat pengaduannya sewaktu Neneknya masih hidup. Neneknya sudah hafal
kebiasaan cucunya yang kadang kelihatan manja ini. Jika Laila tidur di kamar
Neneknya, itu berarti ia sedang bertengkar dengan Bapaknya.
“Sudahlah
Ndok… jangan kau turuti emosi
Bapakmu!” Begitu setiap kali Neneknya berpesan.
Tak
terasa air mata Laila luruh mengenang hal itu. Seakan-akan ia melihat sosok berwajah
teduh itu tersenyum manis padanya.
“Maafin
Laila Nek, Laila belum bisa menjadi apa yang Nenek minta….” Laila membantin.
Hampir
seharian ini Laila tidak bertegur sapa dengan Bapaknya. Bapaknya juga tidak
kalah diam, padahal Laila duduk tak berapa jauh darinya. Sikap diam Bapak dan
anak itu membentangkan jarak diantara keduanya.
“Sejak
mondok di pesantren, kamu semakin pintar ya. Sudah berani ceramahin orang tua!”
Akhirnya lelaki berblangkon itu buka suara juga.
Laila
kaget. Bukan maksud hatinya hendak melawan orang tua atau menjadi anak durhaka,
tapi ia hanya ingin menyampaikan apa yang sepatutnya disampaikan.
“Pak….”
Mata Laila berkaca-kaca, kerongkongannya tercekat, tapi dengan segera ia
menyusun kata-kata.
“Sekarang
Laila Tanya, untuk apa Bapak menyekolahkan Laila di pesantren? Agar Laila
menjadi anak yang baik kan, Pak? Agar Laila lebih paham ilmu agama?” Laila
menatap Bapaknya dalam, ia bersiap melanjutkan kata-katanya.
“Laila
tahu, Bapak selalu mendirikan sholat lima waktu, Ibu juga, seluruh keluarga
kita mendirikan sholat. Mengaji pun tak pernah ketinggalan. Laila yakin, Bapak
muslim yang taat. Tapi untuk urusan ini maaf Pak, Laila tidak sependapat dengan
Bapak. Laila tidak mau
mengikuti Bapak. Di pesantren, Kiyai Lutfi sudah mengajarkan bahwa, dilarang
menyiapkan sesaji dalam pengajian…”
“Ini
bukan sesaji Laila!” Kebiasaan Bapaknya memotong pembicaraan Laila.
“Tapi
pakai kemenyan kan, Pak? Tolong biarkan Laila bicara dulu, Pak….” Laila melanjutkan kata-katanya.
“Kata Kiyai Lutfi, ndak
apa-apa kalau kita yasinan memperingati tujuh harinya Nenek, asalkan jangan
ditambahi embel-embel lain.”
“Embel-embel
lain gimana maksudmu?”
“Jangan
ada kemenyan Pak, dan tidak
perlu masak-memasak, kasihan Ibu dan Bude.”
“Kemenyan
itu hal yang wajib ada disetiap upacara tujuh harian, itu sudah menjadi adat
dan kebiasaan. Dan masak-memasak, itu cara kita menjamu setiap tamu yang
datang. Mereka kan datang tidak melenggang saja, tapi membawa buah tangan. Ada
tamu yang membawa beras yang diisikan dalam rantang, berasnya lalu kita salin
dan rantangnya kita isi dengan makanan yang kita masak sebagai balasannya. Ada
juga tamu yang membawa amplop. Masa kita ndak
ngasih apa-apa!”
“Kita
lagi kemalangan lo Pak, bukan pesta. Nenek baru tujuh hari meninggal, kita
masih dalam suasana duka. Tidak seharusnya kita merepotkan diri.”
“Jika
kita tidak menyediakan apa-apa diupacara tujuh harinya Nenekmu, kita akan jadi bahan omongan
tetangga. Dan Kiyai yang kita undang untuk memimpin yasinan itu, mau kita kasih
apa mereka, kalau bukan makanan dan amplop.”
“Tamu-tamu
itu tidak minta dijamukan Pak, mereka datang ke sini untuk ikut yasinan, bukan
untuk barter. Dan perihal Kiyai itu, Laila yakin ndak ada
masalah, kita minta saja Kiyai Lutfi yang pimpin. Kiyai Lutfi pasti mengerti.
Lagian lebih baik kita sekeluarga aja Pak yang yasinan setiap hari, ndak
harus di tujuh hari, empat puluh hari, atau seratus harinya Nenek.”
“Apapun
yang kamu katakan, upacara itu tetap dilaksanakan besok. Mendingan sekarang
kamu bantu Ibumu memasak di dapur!
Banyak makanan yang harus kita masak, kita harus bikin opor ayam, penganan, dan
sebagainya.” Bapak berdiri, lalu meninggalkan Laila yang masih mematung di
kursi.
Lagi-lagi
negosiasinya gagal, pembicaraan ini tidak ada ujungnya. Laila pun berdiri dari
kursinya, dan berjalan gontai ke dapur.
“Bude,
lagi bikin apa?” Tanya Laila, kala ditemuinya perempuan separuh baya itu sedang
mengaduk-ngaduk panci penggorengan.
“Sebentar
lagi Magrib, Bude harus menyiapkan makan malam untuk Nenekmu. Kalau tidak, Bapakmu
bakalan marah.”
“Astagfirullah… Nenek ndak
bakalan bisa makan, makanan itu Bude.” Laila kaget, kenapa sekarang Budenya
juga ikut-ikutan.
“Memang
ndak. Bude tahu… nanti setelah lewat
Magrib, kamu boleh memakan, makanan itu.”
Laila
semakin tidak mengerti saja. Lalu, untuk apa semua ini. Bapaknya meminta Bude
untuk menyiapkan makanan untuk Nenek di malam Jumat ini, tapi makanan itu tak
ada artinya.
“Awas,
kamu jangan duduk di situ! Itu tempat duduk kesayangan Nenekmu, kamu ndak boleh mendudukinya sampai selesai
Magrib!” Bude menghampiri Laila yang duduk di kursi kayu yang terletak di pojok
ruang makan.
Bude
membawa piring di tangan kanannya dan cangkir di tangan kirinya. Piring dan
cangkir itu ditaruh di atas meja yang berada di sebelah kursi. Laila berdiri
dan memperhatikan dengan seksama.
Di
piring itu tersedia nasi dan ikan goreng, serta sebongkah biskuit. Dan gelas
itu, terisi susu hangat. Itu semua makanan dan minuman kesukaan Neneknya. Laila
geleng-geleng kepala menatapnya.
Lepas
Magrib, Bapak Laila pulang. Ia menjinjing
sekantong plastik besar.
“Apa
itu Pak? Bapak habis dari pasar?” Laila barusan keluar dari kamarnya selesai
sholat Magrib, sambil membenarkan kerudungnya ia memperhatikan barang bawaan
Bapaknya.
“Iya. Barang belanjaan buat besok, dan ini
kemenyan.” Bapak Laila lalu menghampiri meja di
pojok ruang makan, dan meraih piring yang ada di atasnya.
“Lo,
kok dimakan Pak? Katanya buat Nenek.” Sindir Laila.
“Kan
sudah lewat Magrib.”
Santai, Bapaknya tetap mengunyah.
Melihat
Bapaknya makan dengan lahap, ia tak tega mengusiknya. Ia memilih membawa barang
belanjaan Bapaknya ke dapur. Ia tahu apa yang harus dilakukan dengan barang
belanjaan itu.
***
Jumat
Pagi. Jam baru menunjukan pukul 08.00, tikar pandan sudah terbentang memenuhi
ruang tamu rumah sederhana itu. Makanan sudah berjejer rapi di sepanjang tikar,
mengelilingi ruangan, membentuk persegi panjang. Ada opor ayam, ikan goreng,
agar-agar, lepet, dan aneka jenis penganan lainnya. Tak ketinggalan nasi, dan
buah-buahan.
Di
bagian depan ruangan ini, terbentang kasur bujangan
yang sudah dilapisi sprei, dan beberapa buah bantal. Tumpukannya terlihat rapi
jika dilihat dari pintu masuk. Itu adalah tempat duduk Kiyai yang memimpin
yasinan nantinya, entah siapa Kiyainya, Laila tidak tahu.
Tapi
satu yang belum terhidang di depan kasur itu. Laila tersinyum simpul, ia yakin
usahanya akan berhasil.
Pukul
10.00 semua masakan sudah siap, tidak ada lagi aktifitas didapur. Laila salut
atas kerjasama Ibu dan Budenya. Setelah memasak Ibu dan Budenya bersiap-siap menyambut tamu di depan.
Tetangga mulai berdatangan, padahal yasinan dimulai bada Magrib
nanti.
Kebanyakan
dari mereka yang datang pagi ini cuma menengok sebentar, menyerahkan rantang
lalu dibawa lagi. Ibunya dan Bude sibuk menjamu tamu-tamu itu. Hingga Magrib tamu tiada putus-putusnya, baik
perempuan maupun laki-laki. Sebagian tamu ada yang menunggu untuk ikut yasinan.
Selesai
sholat Magrib,
semua tamu duduk mengelilingi ruang tengah. Yasinan hendak dimulai.
Tapi... setelah ditunggu-tunggu satu menit, dua
menit belum juga dimulai. Ibu masih sibuk mencari-cari sesuatu. Dibukanya
lemari tak ada, dilihatnya di bawah kolong juga tak ada, dicarinya di dalam
kantong belanjaan kemaren, tetap tak ada. Mata Bapak sudah melotot-melotot
kepada Ibu.
Piring
di depan Kiyai hanya terisi sebongkah sabut kelapa. Asap dari pembakaran sabut
kelapa itu meliuk-liuk di atas piring. Tak ada wangi kemenyannya.
Melihat
hal itu, Laila segera meninggalkan ruangan, sebelum Bapak menyadari semuanya.
Kemenyannya hilang.
“LAILAAA…!”
Amarah Bapaknya meledak, upacara tak akan dimulai sebelum ada kemenyan. [*]
Cerpen Oleh: Nelvianti
0 komentar:
Posting Komentar