Rabu, 03 Juli 2019

PGSD


“Kau dapat apa dari jurusan PGSD? Kau tidak lihat nasib guru SD di negeri ini, berakhir di sekolah kumuh sebagai guru honorer dengan gaji tiga ratus ribu per bulan yang pembayarannya dirapel tiap 3 bulan sekali.” Belum sempat aku menjawab.

“Sudahlah ... kau tak usah sok idealis, mau bilang ini pengabdian dengan dalih mencerdaskan anak bangsa, hah? Kau mau makan apa!” Pertanyaan yang tak perlu dijawab.

Baiklah ... itu hanya ocehan sepupu ku yang menyebalkan. Ada betulnya juga omongannya. Aku sebal karna tidak bisa menyanggah. Ini memang bukan mau ku. Aku mau membela apa dan aku mau protes apa. Bisa kuliah dengan beasiswa sudah mujur bagiku. Boro-boro memikirkan jurusan. Aku terlalu khawatir untuk hal itu. Khawatir mimpi ketinggian dan kalau jatuh sakit.

Terlanjur basah. Aku harus menyelasaikan kuliah ini sampai tuntas dan menjadi yang terbaik. Kuliah di kampus terbaik dan mendapat predikat cumlaude cukup membanggakan pikirku. Walaupun kata Anies Baswedan IPK cumlaude hanya akan mengantarkan ku ke meja wawancara. Toh, aku gak peduli. Yang penting aku bisa menjawab pertanyaan orang tua ku yang setiap semester selalu menanyakan, “IP mu berapa?”.

Aku gak tega harus menjawab IP ku hanya di bawah 2.75. Untuk itu aku selalu duduk di  kursi paling depan di dalam kelas dan jika UTS aku pindah ke kursi paling belakang. Haha .... Aku sengaja menyiapkan pertanyaan untuk teman-teman yang akan presentasi, bahkan jika jawaban pertanyaan itu sudah ada di dalam buku. Semua ini ku lakukan agar aku terlihat aktif di mata dosen dan mendapatkan nilai A pada mata kuliahnya.

Huft ... Tak hanya sampai di situ, aku pikir .. banyak sedikitnya aku harus ikut organisasi, hitung-hitung pengisi waktu luang bagiku yang tak pulang-pulang. Aku baca tips di buku pejuang beasiswa, katanya sertifikat yang aku dapatkan dari organisasi berguna untuk menunjang CV ku agar dilirik para pemberi beasiswa.

Tak kurang, ku rasa semua itu sudah aku penuhi secara sistematis. Dan aku berhasil lulus dengan predikat lulusan terbaik.

Lalu aku bingung, sekarang aku mau kemana? Beberapa bulan menjelang wisuda aku sudah dihantui perasaan takut. Takut tidak mendapat pekerjaan dan takut menjadi pengangguran. Link yang aku dapatkan dari organisasi rasanya tak banyak membantu. Kreativitasku mendadak hilang, judul-judul buku yang aku baca seperti, “Jangan Mau Jadi Karyawan”, “Jadilah Orang Yang Menggaji Karyawan”, menari-nari di kepalaku.

Bayangan itu turun menjadi gambaran mengajar di SD Negeri, yang menurut sebagian temanku untuk masuknya pun susah, kecuali beberapa teman yang memang berasal dari keluarga pendidikan, maksudnya bapaknya berkerja di Dinas Pendidikan, atau ibunya yang menjadi PNS guru SD. Ah, akankah karirku berakhir di sini. Karir? Pantaskah ini ku sebut ini karir? Mengajar untuk mencerdaskan anak bangsa aku anggap sebagai jalan untuk ‘memperkaya’ diri. Padahal pepatah populer mengatakan, “Nak ... kalau Kau mau jadi guru, berwirausahalah agar Kau tak menjadikan guru sebagai tumpuan nafkah utamamu.”

Astaghfirullah ... aku harus banyak istighfar. Terkadang pikiran positif ku muncul, beradu dengan pikiran negatif. Begitu selalu. Oke baik, aku belum mau pulang ke kampung halamanku setelah lulus kuliah. Aku masih mau merantau ke kota orang lain, kota impianku. Dan aku akan mengajar di sana. Untuk itu beberapa bulan sebelum lulus, selain berjibaku dengan skripsi aku juga sibuk menjelajahi dunia maya mencari sekolah-sekolah swasta berakreditasi A, lalu melayangkan surat lamaran ke sana. Aku pikir sekolah sejenis itu pasti gajinya lumayan besar.

Tapi di satu sisi peluang beasiswa S2 memanggil-manggil, aku harus pilih mana? Kalau aku pilih mengajar di sekolah swasta pasti aku akan terikat kontrak kerja dan itu akan membuatku kesulitan mengikuti seleksi beasiswa S2. Sudahlah ... aku putuskan tidak usah memasukkan lamaran sana-sini. Aku fokus saja ke seleksi beasiswa. Nanti kalau aku lulus beasiswa, maka aku akan langsung kuliah S2. S2 dua tahun dan langsung menjadi dosen. Enak sekali ya ... menjadi dosen dibanding guru SD. Aku tidak akan capek mengurusi anak-anak dan membuat RPP.

Selain peluang beasiswa juga ada peluang untuk ‘mengabdi’ di daerah terpencil. Imbalannyabisa mengikuti Program Profesi Guru (PPG) gratis. Kan katanya sertifikat PPG berguna sebagai syarat untuk menjadi CPNS. Ah, peduli amat dengan tujuan utamanya untuk mengabdi. Toh, kalau tidak diiming-imingi hal demikian,bisa dihitung jari yang tertarik untuk mengikuti program semacam itu.

“Jadi, Kau mau pilihyang mana Juned? Kau mau kemana selepas kuliah?Kau mau kerja kah, lanjut S2 kah, atau ikut program pengabdian itu? Jangan bilang Kau mau nikah saja. Kau mau lamar anak orang pake apa? Hahaha ....” Celoteh temanku tanpa henti.

Iya, aku bingung mau pilih yang mana? Bertanya pada diri sendiri. Lagian kenapa dua program (beasiswa dan pengabdian ke daerah terpencil) itu dibuka bersamaan, umpatku. Rutukku semakin lama semakin menjadi-jadi. Aku jadi menyalahkan keadaan, kenapa aku harus memilih jurusan ini! Sistem pendidikan di Indonesia kan memang seperti ini, suka gonta-ganti. Selalu ada program baru dan programyang direvisi, contohnya saja kurikulum!Coba kalau aku memilih jurusan teknik, pasti aku bisa berkerja di perusahaan internasional dengan gaji puluhan juta. Aku gak perlu capek-capek lanjut S2, karena dengan S1 pun aku sudah bisa memperoleh penghasilan yang lumayan. Tunggu ... tunggu, memangnya kuliah S2 buat mendapatkan gaji yang lebih besar.

Hei! kenapa dengan aku ini? Kenapa aku jadi mencelakegelapan dan tidak berusaha menyalakan lilin. Mana pengabdianku selama ini sebagai penerima beasiswa? Tumpuan harapan rakyat Indonesia ada di tanganku. Mereka rela menyisihkan sebagian kecil pendapatannya untuk membayar pajak, yang sebagian kecil dananya dipakai untuk membiayai kuliah anak yang tidak tau diri seperti aku ini!

“Kau lebih baik lanjut S2!” Kata dosenku. “Kamu kan lulusan terbaik, sayang ilmumu gak terus diasah. Di kampus X yang cumlaude bisa langsung masuk tanpa tes. Tapi kalau kamu mau jadi dosen di kampus ini, kamu ya harus S2nya di kampus ini lagi. Mangga, kamu pikirkan lagi!”

Bicara sih gampang Pak, batinku. Uangnya yang aku pikirkan, aku dapat darimana. Kalau mau dapat beasiswa, aku kan harus sabar menjalani proses seleksinya yang hampir satu tahun.Kesuksesan itu memang tidak ada yang instan, Juned! Kau harus sabar menjalani prosesnya! Batinku bergejolak.

“Ya, gak ada salahnya sih Ned, kamu coba ikut seleksi beasiswa itu dulu. Gak usahlah Kau ikut program pengabdian itu ... Kau kan sakit-sakitan, gimana bisa Kau dengan mudah menggunakan fasilitas kesehatan di daerah terpencil, yang ada nanti Kau malah mebuat khawatir orang tuamu.”

Benar juga kata temanku, aku akan coba seleksi beasiswa S2 itu. Tapi apa tujuanku melanjutkan pendidikan? Benarkah untuk berkontribusi untuk negeriku atau hanya sekedar memenuhi keinginan pribadi semata. Aku harus mempertanyakan niatku lagi. Yang ada di benak ku, bayangan rupiah yang aku terima setiap bulan sebagai penerima beasiswa akan aku gunakan untuk memasang behel, agar lebih keren.

Berkat niat tidak tulus itu, aku tidak lulus seleksi beasiswa S2. Haha ... menertawakan kebodohan. Sekarang aku mau apa? Tenang ... aku masih punya pilihan lain. Aku masih punya kesempatan melayangkan surat lamaran ke sekolah-sekolah swasta yang bonafit itu, walaupun kesempatan untuk mengikuti program pengabdian itu sudah usai.

Lagian aku juga tidak terlalu tertarik program pengabdian itu. Beberapa teman yang lulus program itu malah iri melihat pencapaian itu. “Enak ya jadi Juned, sudah mengajarnya di kota, gajinya lebih gede lagi dari yang kita dapatkan di tempat terpencil ini.” Kata salah seorang teman ku suatu waktu.

Tapi kau tidak tau teman, itu hanya kesenangan sesaat bagi ku. Awalnya aku juga sepemikiran denganmu,  tapi lama-kelamaan aku merasa capek sendiri. Kapan aku merasa tidak capek menjadi guru?Pergi pagi pulang sore, gaji yang aku dapatkan sesuai dengan tuntutan yang harus aku penuhi. Oh, Ibu ... aku capek.

Kalau memang mau santai, tampaknya aku harus mengajar di SD negeri. Tapi batin ku masih menolak, mengajar di SD negerinya sepertinya tidak keren jika statusnya masih guru honorer, bukan PNS. Kenapa tidak aku coba bidang lain saja? Memangnya kuliah di keguruan harus menjadi guru.
***
“Mas, kira-kira hijab ini cocok gak buat saya?” Pembeli ini seketika membuyarkan kenangan masa lalu ku, kenangan sebelum aku memustuskan untuk menjadi owner toko busana muslim dengan brand sendiri.
Tanah Rantau, 29 Oktober 2017

Cerpen Oleh: Nelvianti














0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design