“Kau
dapat apa dari jurusan PGSD? Kau tidak lihat nasib guru SD di negeri ini,
berakhir di sekolah kumuh sebagai guru honorer dengan gaji tiga ratus ribu per
bulan yang pembayarannya dirapel tiap 3 bulan sekali.” Belum
sempat aku menjawab.
“Sudahlah
... kau tak usah sok idealis, mau bilang ini pengabdian dengan dalih
mencerdaskan anak bangsa, hah? Kau mau makan apa!” Pertanyaan
yang tak perlu dijawab.
Baiklah
... itu hanya ocehan sepupu ku yang menyebalkan. Ada betulnya juga omongannya.
Aku sebal karna tidak bisa menyanggah. Ini memang bukan mau ku. Aku mau membela
apa dan aku mau protes apa. Bisa kuliah dengan beasiswa sudah mujur bagiku. Boro-boro memikirkan jurusan. Aku
terlalu khawatir untuk hal itu. Khawatir mimpi ketinggian dan kalau jatuh
sakit.
Terlanjur
basah. Aku harus menyelasaikan kuliah ini sampai tuntas dan menjadi yang
terbaik. Kuliah di kampus terbaik dan mendapat predikat cumlaude cukup membanggakan pikirku. Walaupun kata Anies Baswedan
IPK cumlaude hanya akan mengantarkan
ku ke meja wawancara. Toh, aku gak peduli. Yang penting aku bisa
menjawab pertanyaan orang tua ku yang setiap semester selalu menanyakan, “IP mu
berapa?”.
Aku
gak tega harus menjawab IP ku hanya
di bawah 2.75. Untuk itu aku selalu duduk di
kursi paling depan di dalam kelas dan jika UTS aku pindah ke kursi
paling belakang. Haha .... Aku sengaja menyiapkan pertanyaan untuk teman-teman
yang akan presentasi, bahkan jika jawaban pertanyaan itu sudah ada di dalam
buku. Semua ini ku lakukan agar aku terlihat aktif di mata dosen dan
mendapatkan nilai A pada mata kuliahnya.
Huft
... Tak hanya sampai di situ, aku pikir .. banyak sedikitnya aku harus ikut
organisasi, hitung-hitung pengisi waktu luang bagiku yang tak pulang-pulang.
Aku baca tips di buku pejuang beasiswa, katanya sertifikat yang aku dapatkan
dari organisasi berguna untuk menunjang CV ku agar dilirik para pemberi
beasiswa.
Tak
kurang, ku rasa semua itu sudah aku penuhi secara sistematis. Dan aku berhasil
lulus dengan predikat lulusan terbaik.
Lalu
aku bingung, sekarang aku mau kemana? Beberapa bulan menjelang wisuda aku sudah
dihantui perasaan takut. Takut tidak mendapat pekerjaan dan takut menjadi
pengangguran. Link yang aku dapatkan dari organisasi rasanya tak banyak
membantu. Kreativitasku mendadak hilang, judul-judul buku yang aku baca
seperti, “Jangan Mau Jadi Karyawan”, “Jadilah Orang Yang Menggaji Karyawan”,
menari-nari di kepalaku.
Bayangan
itu turun menjadi gambaran mengajar di SD Negeri, yang menurut sebagian temanku
untuk masuknya pun susah, kecuali beberapa teman yang memang berasal dari keluarga
pendidikan, maksudnya bapaknya berkerja di Dinas Pendidikan, atau ibunya yang
menjadi PNS guru SD. Ah, akankah karirku berakhir di sini. Karir? Pantaskah ini ku sebut ini karir? Mengajar untuk
mencerdaskan anak bangsa aku anggap sebagai jalan untuk ‘memperkaya’ diri.
Padahal pepatah populer mengatakan, “Nak
... kalau Kau mau jadi guru, berwirausahalah agar Kau tak menjadikan guru
sebagai tumpuan nafkah utamamu.”
Astaghfirullah
... aku harus banyak istighfar. Terkadang pikiran positif ku muncul, beradu
dengan pikiran negatif. Begitu selalu. Oke baik, aku belum mau pulang ke
kampung halamanku setelah lulus kuliah. Aku masih mau merantau ke kota orang
lain, kota impianku. Dan aku akan mengajar di sana. Untuk itu beberapa bulan
sebelum lulus, selain berjibaku dengan skripsi aku juga sibuk menjelajahi dunia
maya mencari sekolah-sekolah swasta berakreditasi A, lalu melayangkan surat
lamaran ke sana. Aku pikir sekolah sejenis itu pasti gajinya lumayan besar.
Tapi
di satu sisi peluang beasiswa S2 memanggil-manggil, aku harus pilih mana? Kalau
aku pilih mengajar di sekolah swasta pasti aku akan terikat kontrak kerja dan
itu akan membuatku kesulitan mengikuti seleksi beasiswa S2. Sudahlah ... aku
putuskan tidak usah memasukkan lamaran sana-sini. Aku fokus saja ke seleksi
beasiswa. Nanti kalau aku lulus beasiswa, maka aku akan langsung kuliah S2. S2
dua tahun dan langsung menjadi dosen. Enak sekali ya ... menjadi dosen
dibanding guru SD. Aku tidak akan capek mengurusi anak-anak dan membuat RPP.
Selain
peluang beasiswa juga ada peluang untuk ‘mengabdi’ di daerah terpencil. Imbalannyabisa
mengikuti Program Profesi Guru (PPG) gratis. Kan katanya sertifikat PPG berguna
sebagai syarat untuk menjadi CPNS. Ah, peduli amat dengan tujuan utamanya untuk
mengabdi. Toh, kalau tidak
diiming-imingi hal demikian,bisa dihitung jari yang tertarik untuk mengikuti
program semacam itu.
“Jadi,
Kau mau pilihyang mana Juned? Kau mau kemana selepas kuliah?Kau mau kerja kah,
lanjut S2 kah, atau ikut program pengabdian itu? Jangan bilang Kau mau nikah
saja. Kau mau lamar anak orang pake apa? Hahaha ....” Celoteh temanku tanpa
henti.
Iya,
aku bingung mau pilih yang mana? Bertanya pada diri sendiri. Lagian kenapa dua
program (beasiswa dan pengabdian ke daerah terpencil) itu dibuka bersamaan,
umpatku. Rutukku semakin lama semakin menjadi-jadi. Aku jadi menyalahkan
keadaan, kenapa aku harus memilih jurusan ini! Sistem pendidikan di Indonesia
kan memang seperti ini, suka gonta-ganti. Selalu ada program baru dan
programyang direvisi, contohnya saja kurikulum!Coba kalau aku memilih jurusan
teknik, pasti aku bisa berkerja di perusahaan internasional dengan gaji puluhan
juta. Aku gak perlu capek-capek
lanjut S2, karena dengan S1 pun aku sudah bisa memperoleh penghasilan yang
lumayan. Tunggu ... tunggu, memangnya kuliah S2 buat mendapatkan gaji yang
lebih besar.
Hei!
kenapa dengan aku ini? Kenapa aku jadi mencelakegelapan dan tidak berusaha
menyalakan lilin. Mana pengabdianku selama ini sebagai penerima beasiswa?
Tumpuan harapan rakyat Indonesia ada di tanganku. Mereka rela menyisihkan
sebagian kecil pendapatannya untuk membayar pajak, yang sebagian kecil dananya
dipakai untuk membiayai kuliah anak yang tidak tau diri seperti aku ini!
“Kau
lebih baik lanjut S2!” Kata dosenku. “Kamu kan lulusan terbaik, sayang ilmumu
gak terus diasah. Di kampus X yang cumlaude
bisa langsung masuk tanpa tes. Tapi kalau kamu mau jadi dosen di kampus ini,
kamu ya harus S2nya di kampus ini lagi. Mangga,
kamu pikirkan lagi!”
Bicara
sih gampang Pak, batinku. Uangnya
yang aku pikirkan, aku dapat darimana. Kalau mau dapat beasiswa, aku kan harus
sabar menjalani proses seleksinya yang hampir satu tahun.Kesuksesan itu memang tidak ada yang instan, Juned! Kau harus sabar
menjalani prosesnya! Batinku bergejolak.
“Ya,
gak ada salahnya sih Ned, kamu coba ikut seleksi beasiswa itu dulu. Gak usahlah
Kau ikut program pengabdian itu ... Kau kan sakit-sakitan, gimana bisa Kau
dengan mudah menggunakan fasilitas kesehatan di daerah terpencil, yang ada
nanti Kau malah mebuat khawatir orang tuamu.”
Benar
juga kata temanku, aku akan coba seleksi beasiswa S2 itu. Tapi apa tujuanku
melanjutkan pendidikan? Benarkah untuk berkontribusi untuk negeriku atau hanya
sekedar memenuhi keinginan pribadi semata. Aku harus mempertanyakan niatku
lagi. Yang ada di benak ku, bayangan rupiah yang aku terima setiap bulan
sebagai penerima beasiswa akan aku gunakan untuk memasang behel, agar lebih
keren.
Berkat
niat tidak tulus itu, aku tidak lulus seleksi beasiswa S2. Haha ...
menertawakan kebodohan. Sekarang aku mau apa? Tenang ... aku masih punya
pilihan lain. Aku masih punya kesempatan melayangkan surat lamaran ke
sekolah-sekolah swasta yang bonafit itu, walaupun kesempatan untuk mengikuti
program pengabdian itu sudah usai.
Lagian
aku juga tidak terlalu tertarik program pengabdian itu. Beberapa teman yang
lulus program itu malah iri melihat pencapaian itu. “Enak ya jadi Juned, sudah
mengajarnya di kota, gajinya lebih gede lagi dari yang kita dapatkan di tempat
terpencil ini.” Kata salah seorang teman ku suatu waktu.
Tapi
kau tidak tau teman, itu hanya kesenangan sesaat bagi ku. Awalnya aku juga
sepemikiran denganmu, tapi lama-kelamaan
aku merasa capek sendiri. Kapan aku merasa
tidak capek menjadi guru?Pergi pagi pulang sore, gaji yang aku dapatkan
sesuai dengan tuntutan yang harus aku penuhi. Oh, Ibu ... aku capek.
Kalau
memang mau santai, tampaknya aku harus mengajar di SD negeri. Tapi batin ku masih
menolak, mengajar di SD negerinya sepertinya tidak keren jika statusnya masih
guru honorer, bukan PNS. Kenapa tidak aku coba bidang lain saja? Memangnya
kuliah di keguruan harus menjadi guru.
***
“Mas,
kira-kira hijab ini cocok gak buat saya?” Pembeli ini seketika membuyarkan kenangan
masa lalu ku, kenangan sebelum aku memustuskan untuk menjadi owner toko busana muslim dengan brand sendiri.
Tanah Rantau, 29
Oktober 2017
Cerpen Oleh: Nelvianti
Cerpen Oleh: Nelvianti
0 komentar:
Posting Komentar