Beberapa Minggu
Sebelum Ujian Nasional (UN)
Puntung rokok berserakan, membaur
bersama tanah lembab bekas hujan semalam. Air di selokan sudah mencapai tubir,
sedikit lagi mungkin mencapai kaki pos ronda yang di sebelah. Pintu pos ronda masih
tertutup rapat terpal biru. Pintu? Sejak kapan pos ronda punya pintu?
Ah, sudahlah! Apapun itu, pos ronda ini
selalu dibungkus lewat Subuh, mungkin nanti setelah matahari meninggi baru
dibuka.
Sekarang sudah pukul 10 pagi. Suara
dengkuran beraneka ritme masih berpacu di dalam pos. Di dalam pos mungkin ada
sekitar lima sampai tujuh orang anak muda. Ya, lima sampai tujuh orang. Kadang
jumlahnya bertambah dan kadang jumlahnya berkurang. Mereka semua sama! Siswa
SMP yang memasuki masa pubertas.
Pos ronda ini dibangun bukan buat
hansip, bukan juga untuk menjaga keamanan. Pos ronda ini dibangun oleh
anak-anak nakal yang kurang kerjaan. Mereka sebut ini markas. Ada saja yang
mereka kerjakan di markas. Pesta rokok pasti! Pesta bir? Pesta sabu?
Entahlah, tak ada yang tahu. Kadang mereka bacakan, main domino, atau
hanya sekedar nongkrong. Kadang juga menggoda
anak gadis orang yang lewat di depan markas.
Bukan tidak ada Ibu-Ibu yang
berteriak di depan markas ini memanggil anaknya pulang. Sudah sering, terlalu
sering malah. Sampai pemilik toko di depan markas hafal, siapa yang paling
sering dipanggil pulang.
“Mal… Mal… cepetan bangun! Sebentar
lagi Ibu lu pasti datang.” Gibran menepuk-nepuk pipi Akmal.
Benar saja, belum selesai Gibran
bicara, seorang Ibu memanggil-manggil nama Akmal.
“AKMAL…!”
Gibran segera meloncat membuka
terpal, beberapa temannya tergagau.
“Cepat pulang!”
Akmal yang masih mengeliat berdiri
terhuyung, satu jeweran mendarat di telinganya. Pemilik toko di depan tertawa
melihatnya, mungkin disangkanya ini adegan lucu.
***
“Sudah berapa kali Ibu bilang Mal…
sebentar lagi kamu UN. Ibu tidak pernah melihatmu membuka buku sedikit pun.” Bu
Tina duduk di samping anaknya yang baru selesai mandi.
Kali ini Ibu Tina bicara tidak pakai
emosi. Mungkin energinya sudah habis menasehati Akmal sejak satu bulan terakhir.
Suami Bu Tina, Pak Anto, juga tidak kalah capeknya, berbagai cara telah ia
lakukan, mulai dari memperingati, memukul kaki anak bujangnya dengan rotan,
bahkan terakhir kali Pak Anto mengancam tidak akan melanjutkan sekolah Akmal ke
SMA jika Akmal tidak lulus UN. Tidak ada yang tahu, apakah hukuman itu
benar-benar akan dilaksanakan, yang pasti Akmal tetap santai.
“Tenang aja Bu… aku pasti lulus UN
kok.” Begitulah jawabannya setiap dinasehati.
“Lulus UN bagaimana, wong kamu
gak pernah belajar.” Bu Tina berlalu. Seperti biasa, percakapan berakhir di
situ.
Esok, esoknya, dan esoknya lagi
kembali terulang. Akmal berangkat ke markas selepas Magrib dan pulang pagi jika
malam minggu. Bu Tina kadang mengunci pintu rumah jika lewat Magrib, agar Akmal
tak bersarang di markasnya. Tapi Akmal tidak tinggal diam, ia kabur lewat pintu
belakang atau menggerutu jika tidak bisa kabur.
“Lingkungan emang selalu membawa
pengaruh buruk!” Pak Anto emosi.
“Awas saja kalau anak itu tidak
sampai lulus UN!” Pak Anto memang temperamen.
Setelah
Pengumuman Kelulusan UN
Gosip-gosip beredar di warung sayur.
“SMP Perubahan lulus UN semua!” Ibu
yang memakai daster membuka pembicaraan.
“Iya, kok bisa ya? Nilainya
tinggi-tinggi lagi. Bahkan ada yang nilai Matematikanya seratus!” Celoteh Ibu
yang memakai baju loreng.
“Katanya, anak-anak itu dapat kunci
jawaban.”
“Bukan anak SMP Perubahan aja kali,
seluruh provinsi, mungkin seluruh Indonesia.”
Miris!
Gosip terus berkembang, bagaikan
dengungan lebah. Sepenuhnya bukan gosip, separuhnya adalah fakta! Terang saja,
Akmal tetap santai walau diancam Bapaknya. Ia mendapat kunci jawaban yang
dibeli dari hasil iuran kelas Rp 120.000 per orang. Walaupun begitu, nilainya
tidak sememuaskan teman-temannya, lepas makan. Rata-rata 70. Akmal tidak
berhasil diterima di SMA negeri. Pak Anto marah-marah, Bu Tina menangis
sedu-sedan. Akmal hanya cuek.
“Kalau gitu… masukan aja Akmal ke
swasta, Pak!” Ibu Tina baru melihat ijazah Akmal.
“Gak ada biaya, Bu. Ibu gak lihat
kondisi kita gimana? Uang darimana!”
“Trus gimana Pak… masa Akmal gak
melanjutkan sekolah!”
Pak Anto mengacak rambut, panik!
“Akmal tetap sekolah kan, Pak? Pak…
jawab Pak!” tangis Bu Tina semakin deras.
“Sudahlah, masukan saja dia ke Madrasah
di belakang rumah. Biayanya lebih murah.”
Pak Anto berlalu. Bu Tina mengusap
air matanya, Hari ini seuntai doa mengapung, doa dari seorang Ibu yang berharap
anaknya masih tetap sekolah.
Saat Bersekolah di
Madrasah
“Gimana Nak, kamu kerasan sekolah di
Madrasah?”
“Susah Bu! kenapa sih, Ibu itu gak
masukin aku ke sekolah tekhnik aja yang gak ada pelajaran Fiqihnya, bahasa
Arab, dan segala macamnya?”
“Uang darimana Nak...? sekolah
tekhnik kan mahal.”
Bu Tina hanya mengusap dada. Setiap
hari ia semakin melankolis, tak banyak yang bisa ia lakukan. Jika semakin
dikerasin, Akmal semakin tidak betah bersekolah di madrasah. Sementara kelakuan
Akmal tidak berubah. Setiap hari selalu mengunjungi markasnya, bergaul dengan
anak-anak putus sekolah. Apalagi sekarang bertambah dua orang temannya yang
putus sekolah―temannya sesama di Madrasah. Alasannya putus sekolah sederhana,
bersekolah di Madrasah dianggap tidak keren.
Semester pertama, empat dari dua
belas mata pelajaran berhasil tidak dituntaskan Akmal. Nilai mata pelajran
Fiqih, Bahasa Arab, Al Quran Hadis, dan Tajwidnya di bawah rata-rata.
Pak Anto marah-marah lagi.
Semester dua tak jauh beda. Bu Tina
takut anaknya tidak naik kelas, ia takut jika suaminya benar-benar tidak mau
melanjutkan sekolah Akmal. Itu tentu hal yang menyenangkan buat Akmal, dia
bebas bermain dengan teman-temannya.
Penerimaan Rapor
Kenaikan Kelas
“Apa? Anak itu tidak naik kelas?”
“Kemarin empat yang tidak tuntas,
sekarang bertambah menjadi tujuh yang tidak tuntas. Pantas saja dia tidak naik
kelas!” Pak Anto meradang ketika melihat rapor Akmal.
“Tapi ini belum tentu sepenuhnya
salah Akmal Pak, kita bisa tanya dulu kepada wali kelasnya.” Bu Tina mencoba
tenang.
“TANYA APA? Kamu mau mengemis-ngemis
supaya Akmal naik kelas?”
“Kalau kamu mau anak itu masih tetap
sekolah, kamu aja yang membiayai. Aku gak punya uang untuk mengulang satu tahun
lagi!” Sifat egois Pak Anto mulai muncul.
Apa dayaku Pak, jika beban ini
ditanggungkan pada ku sendiri. Ya Allah, jika seandainya guru Akmal tahu kalau
anak ku tidak bisa melanjutkan sekolah karena ia tidak menaikan anak ku ke
kelas dua, apakah ia tetap tidak menaikan anak ku ke kelas dua? Siapa yang bersalah
Ya Allah, tidak semua orang tua pandai mendidik anak. Bu Tina membatin.
Cerpen Oleh: Nelvianti
Cerpen Oleh: Nelvianti
0 komentar:
Posting Komentar