Zia bertemu
dengannnya, di sudut perpustakaan. Laki-laki itu lagi! selalu memberikan
senyuman terbaiknya untuk Zia. Senyumnya yang tulus, merekah di pipinya yang
tembem, membuat matanya yang sudah sipit semakin sipit, tak kelihatan.
Laki-laki berwajah oriental. Alis dan rambut hitam legamnya dengan poni yang
dimiringkan ke kanan selalu menarik perhatian Zia.
Zia hanya
tersenyum mafhum, lalu ia kembali mengalihkan pandangan pada buku yang
dipegangnya. Laki-laki itu tidak pernah berusaha menghampiri Zia, ia selalau
berjarak beberapa meter dari Zia.
Saat tolehan
kedua, Zia tak melihat laki-laki itu lagi.
***
Burung-burung
berkicau seakan bernyanyi riang di cerahnya cuaca siang itu. Kilauan matahari bagai
kilatan menembus rindang pohon tempat Zia bernaung. Zia kesal, karena dosen
filsafatnya tidak masuk kelas hari ini. Padahal ia sudah bela-belain datang
pagi-pagi.
Zia belum
berhasrat untuk pulang, rumah bukan sesuatu yang menarik baginya sebab hanya
kesepian yang ia tangkap di sana. Tapi menunggu juga membuatnya bosan. Akhirnya
ia berinisiatif untuk memasuki kelas sastra. Dia mempunyai sedikit kecintaan
pada sastra.
Zia berjalan
gontai di lorong kelas menuju kelas sastra di ujung koridor. Beberapa mahasiswa
sastra sudah berkumpul di sana, menumpuk di depan pintu kelas. Hari ini kelas
sastra mengadakan seminar tentang kepenulisan, sedikit mencuri ilmu tidak ada
salahnya pikir Zia. Dia lalu masuk ke kelas, menyelinap di antara kerumunan
itu. Badannya yang sedikit ramping, cukup membantu. Ia tak perlu bersusah-susah
payah untuk mencapai kursi kosong di belakang, dari sini ia bisa melihat
pemateri yang sedang bercuap-cuap di depan kelas.
Laki-laki itu
lagi!
Zia terkesiap. Laki-laki
itu memberikan materi kepada teman-temannya di seminar itu. Dan seperti biasa,
senyumnya pada Zia.
Zia terpukau
dengan apa yang disampaikan laki-laki itu. Lalu pada saat sesi pertanyaan,
secara tidak sadar ia mengangkat tangan.
“Lalu apa yang
anda ketahui tentang sastra?” tanya Zia dengan datar.
“Sastra adalah
hidupku, sastra mampu membuatku lebih muda.”
Hanya itu. Jawaban
yang masih menyisakan pertanyaan bagi Zia, tapi ia urung bertanya lagi. Ia
lebih memilih meninggalkan ruangan itu dengan segera setelah seminar usai, dan
berjalan dengan cepat keluar. Tapi laki-laki itu mencegatnya. Zia menoleh ke
belakang.
“Ini hadiah
untukmu, atas pertanyaan yang kau ajukan.” Katanya dengan senyuman.
Laki-laki itu berjalan
mundur dan berlalu, meniggalkan Zia yang diam terpaku dan belum sempat mengucapkan
terima kasih.
***
Zia
menimang-nimang buku yang ada di tangannya. Sebuah novel. Dengan sampul yang
sedikit menakutkan bagi Zia. Mungkin bagi pecinta seni, itu adalah lukisan
abstrak yang bernilai seni tinggi. Lukisan setengah wajah laki-laki, samar-samar.
Kilas balik, judul novel itu. Zia tidak berhasrat membacanya. Ia membiarkan
buku itu tergeletak di meja kamarnya.
Beberapa hari
setelah itu….
“Zia… bisakah kau
temani Mama ke SMA Mama dulu? ada reunian akbar di sana.”
“Iya Ma….” Zia menyahut
dari balik kamar dan segera mengambil tasnya di meja, lalu tanpa sengaja ia
menyinggung novel itu, dan terjatuh. Sebuah kertas mencogok dari novel itu. Dua
belas angka yang ia lihat saat membalik kertas itu. Karena terburu-buru, ia
menggamit novel itu dan memasukkanya ke tas.
Di mobil, ia
membolak-balik kertas itu. Mungkinkah ini nomor handphone laki-laki itu!
Bathinnya.
“Kau kenapa Zia?”
Mama menyelidik di balik kaca mobil.
Zia tergagap.
“Akhir-akhir ini
mama sering melihatmu melamun. Seperti orang yang sedang jatuh cinta. Ingat
Zia, Mama tak pernah mengizinkanmu untuk menjalin hubungan dengan laki-laki
manapun!”
“Ma, jangan bilang
soal tradisi itu lagi!”
“Iya, karena itu
Zia! Tradisi turun-temurun dari keluarga kita. Kau tidak boleh menjalin hubungan
dengan siapapun, jika tidak pasti laki-laki itu akan menjadi suamimu. Jangan
seperti Mama, yang berpacaran dengan banyak lelaki sebelum menikah dengan
Papamu. Akhirnya Papamu yang menjadi korban, suami pertama Mama harus meninggal
karena Mama melanggar syarat!”
Kalau sudah
membahas masalah ini Zia hanya bisa terdiam. Tradisi macam apa ini! tidak masuk
akal katanya. Mungkin tujuan dari tradisi ini baik, agar kesucian cinta
terjaga. Agar cinta sang perempuan hanya dipersembahkan untuk suaminya, bukan
untuk laki-laki yang datang bagaikan kumbang sebelum perempuan itu menikah. Dan
mungkin juga akan menghindari si perempuan dari korban kekecewaan. Jika
persyaratan ini dilanggar─jika perempuan sering bergonta-ganti pacar sebelum
memutuskan menikah dengan satu lelaki─maka laki-laki yang akan menjadi suaminya
nanti akan meninggal setelah ia menikah dalam waktu cepat.
Hubungan Nenek
dengan Kakek memang awet, begitupun dengan saudara-saudara Mama yang lain, sebab
mereka hanya menjalin hubungan dengan satu laki-laki, laki-laki yang pasti akan
menjadi suaminya. Hanya Mama yang harus ditinggal Papa dalam waktu yang cepat,
tapi apa itu bisa dijadikan bukti?
Zia membuang
nafas, mobil Mamanya sudah memasuki pelataran parkir sebuah sekolah yang
terlihat kusam. Ia segera turun dari mobil dan mengambil tempat duduk di depan
panggung, di bawah tenda yang sudah dipersiapkan panitia reuni.
Laki-laki itu
lagi! Zia melihatnya di belakang dinding sekolah. Hanya sebentar, memberikan senyuman seperti biasanya. Zia
segera fokus pada pertunjukkan seni di depannya.
***
Zia
mengaduk-ngaduk semangkok mayones di café kampus. Sudah seminggu ia
tidak bertemu laki-laki itu. Ia terusik, mengapa ia begitu merindukan kehadiran
laki-laki itu. Ah! Dengusnya. Ia merogoh tasnya, lalu menarik sesuatu dari
dalamnya. Novel.
Novel yang
diberikan laki-laki itu baru setengah dibacanya. Kisah novel yang kurang masuk
akal! pikirnya .
“Bagaimana
novelnya, kau suka?”
Laki-laki itu,
tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.
“Bolehkah aku
duduk di sini?” tanyanya lagi.
Hanya deheman
kecil, Zia terlalu malu untuk mengatakan boleh.
“Ini novelmu?”
akhirnya Zia buka suara.
“Menurutmu?”
“Ya, ada nama dan
fotomu di belakangnya, Kitaro.”
“Berarti aku tidak
perlu mermperkenalkan diri lagi kepadamu, Zia.”
“Kau tahu namaku?”
“Apa yang tidak ku
ketahui untuk seseorang yang selalu ku perhatikan, cantik.” Matanya mengerling.
Zia tertunduk
malu, pipinya bersemu merah mendengar sanjungan Kitaro. Sesaat ia hirup aroma
parfum yang menebar di hadapannya. Wangi. Laki-laki ini, terlihat seperti sosok
Ayah baginya. Sangat bijaksana dan kharismatik.
***
Ma, hanya
Kitaro yang menemani sepiku. Apa salah aku merindukan sosok seorang laki-laki
yang tak pernah ku dapat dari Ayah. Aku kini, sudah 20 tahun Mama. Apa Mama
lupa? anak gadismu ini sudah berhak mengenal cinta. Tulis Zia di diarynya.
Zia sudah menjalin
hubungan dengan Kitaro semenjak pertemuannya di café kampus, tentunya
sembunyi-sembunyi dari perempuan yang dipanggilnya Mama. Kenapa Mama tidak
paham dengan perasaannya. Mama tidak menyukai Kitaro.
Kini, Mama
menantang Zia. Perempuan perfect itu mau bertemu dengan Kitaro dulu,
baru setelah itu bisa merestui hubungan mereka. Namun, di saat Mamanya hampir
memberikan restu, Kitaro justru menghilang!
Ia sudah tidak
tahan lagi dengan deram rindu ini, sudah di ambang batas, harus kemanakah ia
lampiaskan? Kepalanya seakan meledak. Dalam kerinduan ini, ia teringat Papa.
Tiba-tiba ia berhasrat untuk membuktikan kebenaran tentang tradisi itu. Dia
harus mencari tahu lebih banyak tentang Papa, Zia mengacak-ngacak dokumen di
laci kamar Mamanya. Ia menemukan sebuah buku bersampul coklat, dan menarik buku
itu keluar. Lalu dibukanya lembar demi lembar….
Nama :
Nayotmi Kitaro
Tempat dan Tanggal
Lahir : Jepang, 6 Agustus 1966
HAH… Zia tercekat.
Foto itu, foto yang tertempel di atas nama itu: Kitaro!
Foto Kitaro ada di
buku tahunan SMA Mamanya. Seketika bayangan berkelabat di matanya, Kitaro yang
pernah ia temui di acara reunian SMA Mamanya, tentang Kitaro yang tak mau
diajak bertemu Mama, tentang tanggal lahir yang tak pernah ia cantumkan di
dalam novel-novelnya, dan Kisah di novel itu, seseorang yang kelihatan seperti
umur tiga puluh tahun padahal sebenarnya sudah lima puluh tahun hanya karena
suatru penyakit aneh. Lagi-lagi ia tercekat. (*)
Kota Panas seperti Kotaku, 7 April 2014
Cerpen Oleh: Nelvianti
0 komentar:
Posting Komentar