Rabu, 03 Juli 2019

Laki-Laki dalam Foto



            Zia bertemu dengannnya, di sudut perpustakaan. Laki-laki itu lagi! selalu memberikan senyuman terbaiknya untuk Zia. Senyumnya yang tulus, merekah di pipinya yang tembem, membuat matanya yang sudah sipit semakin sipit, tak kelihatan. Laki-laki berwajah oriental. Alis dan rambut hitam legamnya dengan poni yang dimiringkan ke kanan selalu menarik perhatian Zia.
            Zia hanya tersenyum mafhum, lalu ia kembali mengalihkan pandangan pada buku yang dipegangnya. Laki-laki itu tidak pernah berusaha menghampiri Zia, ia selalau berjarak beberapa meter dari Zia.
            Saat tolehan kedua, Zia tak melihat laki-laki itu lagi.
***
            Burung-burung berkicau seakan bernyanyi riang di cerahnya cuaca siang itu. Kilauan matahari bagai kilatan menembus rindang pohon tempat Zia bernaung. Zia kesal, karena dosen filsafatnya tidak masuk kelas hari ini. Padahal ia sudah bela-belain datang pagi-pagi.
            Zia belum berhasrat untuk pulang, rumah bukan sesuatu yang menarik baginya sebab hanya kesepian yang ia tangkap di sana. Tapi menunggu juga membuatnya bosan. Akhirnya ia berinisiatif untuk memasuki kelas sastra. Dia mempunyai sedikit kecintaan pada sastra.
            Zia berjalan gontai di lorong kelas menuju kelas sastra di ujung koridor. Beberapa mahasiswa sastra sudah berkumpul di sana, menumpuk di depan pintu kelas. Hari ini kelas sastra mengadakan seminar tentang kepenulisan, sedikit mencuri ilmu tidak ada salahnya pikir Zia. Dia lalu masuk ke kelas, menyelinap di antara kerumunan itu. Badannya yang sedikit ramping, cukup membantu. Ia tak perlu bersusah-susah payah untuk mencapai kursi kosong di belakang, dari sini ia bisa melihat pemateri yang sedang bercuap-cuap di depan kelas.
            Laki-laki itu lagi!
            Zia terkesiap. Laki-laki itu memberikan materi kepada teman-temannya di seminar itu. Dan seperti biasa, senyumnya pada Zia.
            Zia terpukau dengan apa yang disampaikan laki-laki itu. Lalu pada saat sesi pertanyaan, secara tidak sadar ia mengangkat tangan.
            “Lalu apa yang anda ketahui tentang sastra?” tanya Zia dengan datar.
            “Sastra adalah hidupku, sastra mampu membuatku lebih muda.”
            Hanya itu. Jawaban yang masih menyisakan pertanyaan bagi Zia, tapi ia urung bertanya lagi. Ia lebih memilih meninggalkan ruangan itu dengan segera setelah seminar usai, dan berjalan dengan cepat keluar. Tapi laki-laki itu mencegatnya. Zia menoleh ke belakang.
            “Ini hadiah untukmu, atas pertanyaan yang kau ajukan.” Katanya dengan senyuman.
            Laki-laki itu berjalan mundur dan berlalu, meniggalkan Zia yang diam terpaku dan belum sempat mengucapkan terima kasih.
***
            Zia menimang-nimang buku yang ada di tangannya. Sebuah novel. Dengan sampul yang sedikit menakutkan bagi Zia. Mungkin bagi pecinta seni, itu adalah lukisan abstrak yang bernilai seni tinggi. Lukisan setengah wajah laki-laki, samar-samar.
            Kilas balik, judul novel itu. Zia tidak berhasrat membacanya. Ia membiarkan buku itu tergeletak di meja kamarnya.
            Beberapa hari setelah itu….
            “Zia… bisakah kau temani Mama ke SMA Mama dulu? ada reunian akbar di sana.”
            “Iya Ma….” Zia menyahut dari balik kamar dan segera mengambil tasnya di meja, lalu tanpa sengaja ia menyinggung novel itu, dan terjatuh. Sebuah kertas mencogok dari novel itu. Dua belas angka yang ia lihat saat membalik kertas itu. Karena terburu-buru, ia menggamit novel itu dan memasukkanya ke tas.
            Di mobil, ia membolak-balik kertas itu. Mungkinkah ini nomor handphone laki-laki itu! Bathinnya.
            “Kau kenapa Zia?” Mama menyelidik di balik kaca mobil.
            Zia tergagap.
            “Akhir-akhir ini mama sering melihatmu melamun. Seperti orang yang sedang jatuh cinta. Ingat Zia, Mama tak pernah mengizinkanmu untuk menjalin hubungan dengan laki-laki manapun!”
            “Ma, jangan bilang soal tradisi itu lagi!”
            “Iya, karena itu Zia! Tradisi turun-temurun dari keluarga kita. Kau tidak boleh menjalin hubungan dengan siapapun, jika tidak pasti laki-laki itu akan menjadi suamimu. Jangan seperti Mama, yang berpacaran dengan banyak lelaki sebelum menikah dengan Papamu. Akhirnya Papamu yang menjadi korban, suami pertama Mama harus meninggal karena Mama melanggar syarat!”
            Kalau sudah membahas masalah ini Zia hanya bisa terdiam. Tradisi macam apa ini! tidak masuk akal katanya. Mungkin tujuan dari tradisi ini baik, agar kesucian cinta terjaga. Agar cinta sang perempuan hanya dipersembahkan untuk suaminya, bukan untuk laki-laki yang datang bagaikan kumbang sebelum perempuan itu menikah. Dan mungkin juga akan menghindari si perempuan dari korban kekecewaan. Jika persyaratan ini dilanggar─jika perempuan sering bergonta-ganti pacar sebelum memutuskan menikah dengan satu lelaki─maka laki-laki yang akan menjadi suaminya nanti akan meninggal setelah ia menikah dalam waktu cepat.
            Hubungan Nenek dengan Kakek memang awet, begitupun dengan saudara-saudara Mama yang lain, sebab mereka hanya menjalin hubungan dengan satu laki-laki, laki-laki yang pasti akan menjadi suaminya. Hanya Mama yang harus ditinggal Papa dalam waktu yang cepat, tapi apa itu bisa dijadikan bukti?
             
            Zia membuang nafas, mobil Mamanya sudah memasuki pelataran parkir sebuah sekolah yang terlihat kusam. Ia segera turun dari mobil dan mengambil tempat duduk di depan panggung, di bawah tenda yang sudah dipersiapkan panitia reuni.
            Laki-laki itu lagi! Zia melihatnya di belakang dinding sekolah. Hanya sebentar,  memberikan senyuman seperti biasanya. Zia segera fokus pada pertunjukkan seni di depannya.
***
            Zia mengaduk-ngaduk semangkok mayones di café kampus. Sudah seminggu ia tidak bertemu laki-laki itu. Ia terusik, mengapa ia begitu merindukan kehadiran laki-laki itu. Ah! Dengusnya. Ia merogoh tasnya, lalu menarik sesuatu dari dalamnya. Novel.
            Novel yang diberikan laki-laki itu baru setengah dibacanya. Kisah novel yang kurang masuk akal! pikirnya .
            “Bagaimana novelnya, kau suka?”
            Laki-laki itu, tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.
            “Bolehkah aku duduk di sini?” tanyanya lagi.
            Hanya deheman kecil, Zia terlalu malu untuk mengatakan boleh.
            “Ini novelmu?” akhirnya Zia buka suara.
            “Menurutmu?”
            “Ya, ada nama dan fotomu di belakangnya, Kitaro.”
            “Berarti aku tidak perlu mermperkenalkan diri lagi kepadamu, Zia.”
            “Kau tahu namaku?”
            “Apa yang tidak ku ketahui untuk seseorang yang selalu ku perhatikan, cantik.” Matanya mengerling.
            Zia tertunduk malu, pipinya bersemu merah mendengar sanjungan Kitaro. Sesaat ia hirup aroma parfum yang menebar di hadapannya. Wangi. Laki-laki ini, terlihat seperti sosok Ayah baginya. Sangat bijaksana dan kharismatik.
***
            Ma, hanya Kitaro yang menemani sepiku. Apa salah aku merindukan sosok seorang laki-laki yang tak pernah ku dapat dari Ayah. Aku kini, sudah 20 tahun Mama. Apa Mama lupa? anak gadismu ini sudah berhak mengenal cinta. Tulis Zia di diarynya.
            Zia sudah menjalin hubungan dengan Kitaro semenjak pertemuannya di café kampus, tentunya sembunyi-sembunyi dari perempuan yang dipanggilnya Mama. Kenapa Mama tidak paham dengan perasaannya. Mama tidak menyukai Kitaro.
            Kini, Mama menantang Zia. Perempuan perfect itu mau bertemu dengan Kitaro dulu, baru setelah itu bisa merestui hubungan mereka. Namun, di saat Mamanya hampir memberikan restu, Kitaro justru menghilang!
            Ia sudah tidak tahan lagi dengan deram rindu ini, sudah di ambang batas, harus kemanakah ia lampiaskan? Kepalanya seakan meledak. Dalam kerinduan ini, ia teringat Papa. Tiba-tiba ia berhasrat untuk membuktikan kebenaran tentang tradisi itu. Dia harus mencari tahu lebih banyak tentang Papa, Zia mengacak-ngacak dokumen di laci kamar Mamanya. Ia menemukan sebuah buku bersampul coklat, dan menarik buku itu keluar. Lalu dibukanya lembar demi lembar….
            Nama                                       : Nayotmi Kitaro
            Tempat dan Tanggal Lahir         : Jepang, 6 Agustus 1966
            HAH… Zia tercekat. Foto itu, foto yang tertempel di atas nama itu: Kitaro!
            Foto Kitaro ada di buku tahunan SMA Mamanya. Seketika bayangan berkelabat di matanya, Kitaro yang pernah ia temui di acara reunian SMA Mamanya, tentang Kitaro yang tak mau diajak bertemu Mama, tentang tanggal lahir yang tak pernah ia cantumkan di dalam novel-novelnya, dan Kisah di novel itu, seseorang yang kelihatan seperti umur tiga puluh tahun padahal sebenarnya sudah lima puluh tahun hanya karena suatru penyakit aneh. Lagi-lagi ia tercekat. (*)

Kota Panas seperti Kotaku, 7 April 2014

Cerpen Oleh: Nelvianti


0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design