Rabu, 03 Juli 2019

Hikmah Dibalik Kegagalan



Aku terpekur di meja belajar, di sudut kamar, di sebuah asrama. Asrama putri UPI Kampus Serang. Mmh… sejenak aku menarik nafas, menikmati apa yang ada di hadapanku. Pikiranku menerawang, ke suatu masa yang tidak pernah aku lupakan. Suatu masa dimana aku bangkit dari kegagalan. Masa-masa perjuanganku.

Satu tahun lalu, tepatnya Maret 2011 aku diajukan sebagai calon mahasiswa undangan atau PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan – suatu jalur masuk PTN tanpa tes).  Saat itu aku menginjak kelas XII SMA N 13 Padang. Aku bersyukur mendapati kabar ini, sesuatu yang aku rencanakan dari dulu akhirnya terealisasikan juga.

Awal masuk SMA, aku sering bertanya kepada guru BP, apa itu PMDK dan bagaimana cara mendapatkannya. Bahkan di kelas XI saat diminta menuliskan keinginanku waktu itu, aku menuliskan satu-satunya tujuanku di SMA adalah untuk mendapatkan PMDK. Padahal teman-temanku belum banyak yang tahu apa itu PMDK. Lalu menginjak kelas XII aku lebih sering mendatangi ruang BK. Waktu istirahat di SMA selalu aku sempatkan menemui guru BP sekedar untuk bertanya-tanya agar tak ketinggalan informasi.

Guru BP ku mengatakan, untuk mendaftar PMDK nilainya harus menanjak terus mulai dari semester 1 hingga semester 5. Jadi akupun berusaha mempertahankan nilai raporku. Dan aku pun berhasil.  

Singkat cerita sampailah pembukaan pendaftaran PMDK. Aku dicalonkan sebagai salah satu pesertanya. Selain itu aku juga dicalonkan sebagai penerima beasiswa Bidik Misi, sehingga aku tidak perlu membayar uang pendaftaran. Senang rasanya. Tanpa ba bi bu lagi aku segera mempersiapkan seluruh berkas yang diminta. Mulai dari legalisir rapor, mengscan piagam penghargaan yang membutuhkan waktu seharian hanya untuk sekedar mencari warnet yang menyediakan jasa scanning. Aku benar-benar galau dibuatnya.

Kegalauanku tidak berhenti sampai disini. Masa penentuan jurusan adalah hal yang paling membuatku galau. Calon mahasiswa undangan diberi jatah untuk memilih 6 jurusan di dua PTN berbeda, dan kita diberi kebebasan untuk memilih universitas mana yang kita inginkan. Tapi yang jelas, aku tidak kepikiran untuk memilih perguruan tinggi diluar kotaku.

Aku sadar dengan kondisi keuangan orangtuaku. Bisa kuliah di Padang saja sudah Alhamdulillah bagiku. Walaupun aku sudah dicalonkan sebagai penerima beasiswa Bidik Misi tapi aku tidak bisa berharap banyak.

Akhirnya ku pilihlah dua PTN di Sumatera Barat. Tapi aku masih bimbang mau memilih jurusan apa. Aku lebih tertarik ke pendidikan, tapi aku tidak berkeinginan menjadi guru SD. Aku lebih suka mengajar di SMP atau SMA sebagai guru bahasa inggris, fisika, ataupun kimia. Aku senang belajar bahasa inggris dan sains, sesuatu yang berkaitan dengan alam. Setelah tanya sana-sini akhirnya ku tetapkan untuk memilih jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Biologi, dan Pendidikan Fisika di UNP. Sedangkan di UNAND aku memilih jurusan Kimia, Sastra Inggris, dan Ilmu Adminitrasi Negara.

16 Mei 2011 kelulusan UN pun diumumkan,  dan Alhamdulillah sekolahku lulus seratus persen. Dua hari setelah itu, tepatnya 18 Mei 2011 hasil PMDK pun diumumkan. Waktu itu selepas maghrib, aku sedang duduk-duduk di ruang keluarga sambil menonton TV. Iseng-iseng aku log in ke facebook lewat hp. Tiba-tiba mataku tertuju pada postingan seorang teman yang menyatakan kalau ia lulus PMDK.

Melihat hal itu aku langsung me-sms salah seorang teman yang juga calon PMDK, namanya Fatur. Aku minta bantuannya untuk melihat nomor pesertaku, karena aku tidak bisa mengaksesnya dirumah karena belum mempunyai modem.

Dengan harap-harap cemas aku menunggu sms dari Fatur. Beberapa menit kemudian hpku bergetar. ‘1 message’ diterima. Segera ku buka apa isi pesan itu, dan ternyata … aku tidak lulus PMDK.

Ada rasa sesak di dadaku membaca sms itu. Aku tak sanggup melihat raut kesedihan di wajah ayah dan ibu saat ku sampaikan berita ini. Tapi dengan tegar aku mencoba menerimanya, masih ada jalur SNMPTN tulis harapku.

Setelah mengetahui bahwa aku tidak lulus PMDK, aku segera pergi ke bank untuk membeli pin agar bisa mendaftar SNMPTN tulis. Karena aku tidak mengurus beasiswa Bidik Misi lagi, jadi aku harus mengeluarkan biaya pendaftaran sendiri untuk SNMPTN tulis ini.

Kali ini aku kembali dihadapkan pada masalah jurusan. Tutor ku di tempat bimbel mengatakan bahwa jurusan yang aku ambil passing gradenya terlalu tinggi. Sehingga ia menyarankanku untuk mengganti pilihan ketiganya dengan jurusan yang passing gradenya lebih rendah. Aku tidak mau. Karena jurusan itulah yang ku rasa cocok denganku . “Jika kamu tetap  memilih jurusan itu, lebih baik kamu mengambil PTN yang ada di luar kota agar peluang lulusnya lebih besar.” Sarannya. Aku masih tak terpikirkan untuk kuliah di luar kota sedikutpun. Aku kan tidak terdaftar sebagai penerima beasiswa, biaya kuliah di luar kota pasti mahal pikirku. Nggak ah. Lebih baik aku turuti saran pertama Bapak itu, mengganti pilihan jurusan.

Tapi hatiku masih diliputi rasa cemas. Bagaimana tidak? Belajar sebulan penuh tidaklah cukup bagiku untuk memahami rumus-rumus mulai dari kelas X hingga kelas XII SMA. Materi pelajaran IPS begitu juga, tak banyak yang aku hafal padahal ujian tulis SNMPTN tinggal seminggu lagi.

            Aku berusaha setenang mungkin menghadapi ujian. Soal-soalnya dapat aku jawab dengan lancar, tapi ada beberapa soal yang membuatku pusing. Aku tak menyangka ada soal seperti ini, ini di luar yang aku hafal, persiapanku tak cukup untuk menghadapinya.

Aku tak yakin lulus. Aku benar-benar pasrah menunggu hasilnya. Sampailah pada pengumuman SNMPTN. Mendadak perasaan takut menyergapku. Tanganku bergetar ketika mengecek hasil ujian. Tapi ku paksakan. Dan hasilnya... “Maaf, anda belum lulus.” Mataku nanar melihat tulisan itu.

Aku keluar dari warnet dengan tubuh lunglai. Di luar hujan turun dengan derasnya. Padahal tadi aku bela-belain menempuh hujan demi melihat info kelulusan. Tapi hasilnya tak mampu mengalahkan hujan yang turun.  Hati dan pikiranku lelah. Telingaku tak cukup tebal buat menerima perkataan-perkataan miring dari orang-orang. “Masa anak bimbel gak lulus SNMPTN! Masa bintang kelas gagal.”

Aku malu. Aku malu bertemu teman-teman sesama reporter SMS (Singgalang Masuk Sekolah) sebuah harian umum di Sumatera Barat. Padahal sebelumnya aku pernah menulis artikel disana tentang “Tips Memilih Jurusan di Perguruan Tinggi”, tapi kenyataannya aku sendiri si penulis artikel tidak bisa menakhlukkan SNMPTN. Aku juga malu ke sekolah, aku malu bertemu guru-guru. Aku rasa aku belum siap menghadapi kegagalan ini. Apa yang harus ku lakukan? Aku ingin kuliah? Tapi aku mau kuliah dimana? Bathinku menjerit.

Beberapa orang teman yang juga tidak lulus menyemangatiku. Ada teman yang mengajak masuk PTS ini, universitas itu. Aku sempat tergoda. Universitas yang awalnya tidak aku minati, tapi sekarang malah aku lirik. Ada 3 PTS yang masuk dalam daftar incaranku. Sebelum mendaftar, aku sampaikan dulu kepada ayah kalau aku ingin memasuki universitas itu. Tapi ketika mengutarakan keinginan itu, Ayah tidak menyetujuinya. Ayah menyangsikan keputusanku.

            Akhirnya ku putuskan bekerja, walaupun hatiku belum bisa menerima. Tapi tak ada hak bagiku untuk memaksakan kehendak, apalagi kepada Sang Pencipta yang telah menggariskan takdirku.

            Kakak sepupu menawarkan ku untuk bekerja di konter miliknya. Daripada duduk-duduk tak menentu di rumah, aku terima tawaran itu. Gajinya cukup untuk memenuhi  kebutuhan pribadiku, jadi aku tak terlalu memberatkan ibu. Pekerjaan ini ku jalani, tapi dengan setengah hati. Karena hanya badanku saja yang bekerja, tapi hatiku melalang jauh memikirkan bagaimana supaya nanti aku bisa kuliah.

            Jujur, hatiku pilu saat melihat teman lalu-lalang pergi ke kuliah. Menikmati tugas yang menumpuk, merasakan manisnya berorganisasi, dan segudang kegiatan lainnya. Apalagi mendengar pertanyaan orang-orang yang membeli pulsa di konter, “Vi, kuliah dimana? Vi, gak kuliah?” Aku harus jawab apa. Sementara aku disini hanya duduk, bertemu dengan orang yang itu-itu lagi. Huah, aku bosan. Aku ingin SNMPTN diulang lagi, aku ingin 2012 segera datang, dan akan ku persiapkan seluruh senjata untuk menghadapinya.

            Ya, belajar sambil bekerja. Setiap hari aku membawa buku ke konter. Apabila tidak ada pembeli, aku membuka buku-buku itu, membaca, dan memahaminya. Aku kenali betul model soal SNMPTN itu, aku pelajari dimana kesalahanku, dan bagaimana solusinya.

            Buku kumpulan soal-soal SNMPTN setebal 3 cm yang aku beli dari gajiku, aku lahap lembar demi lembar. Aku menjadi orang yang haus ilmu. Rasa dahaga ini tak akan terlepas sampai ada penawarnya, yaitu bangku kuliah. Entah mengapa bangku kuliah menjadi tujuan utamaku, kuliah menjadi jalan hidup yang harus aku lewati, jalan untuk menggapai mimpi-mimpiku.

            Di konter aku sering merenung. Kenapa aku bisa gagal SNMPTN? Terkadang ada rasa penyesalan dalam diriku. Apakah aku salah memilih jurusan, apa karena aku tidak yakin, atau karena aku terlalu sombong dan meremehkan orang lain? Aku ingat, dulu aku pernah mejudge teman-teman yang memilih jurusan yang kurang diminati, “Ah, paling mereka cuma milih jurusan itu asal lulus SNMPTN doang, mereka gak mikirin prospek kerjanya sih.” Pikirku. Picik sekali memang pemikiranku kala itu.
***
“Aku pengen kuliah di Bandung Nisa.” Ucapku pada Nisa kala itu. Dan itu artinya aku harus mencari beasiswa agar bisa mewujudkan cita-citaku.

            Maka berangkatlah aku ke sekolah, bersama Nisa sahabatku. Aku buang segala rasa malu. Tidak ada rasa malu untuk hal ini. Kegagalan itu sesuatu yang biasa, yang pernah dialami semua orang. Maka janganlah kamu berlarut-larut meratapi kegagalan, saatnya bangkit dan berjuang. Hadapi!

            Aku menemui guru BP lagi. Ku uturakan niatku bahwa aku ingin direkomendasikan untuk beasiswa Bidik Misi. Ku serahkan semua persyaratan yang sudah ku persiapkan sebelumnya, kepada Pak Agus guru BP ku. Pak Agus menyambut baik. Aku di bimbing dalam pemilihan jurusan.

            “Vivi, kamu mau ambil jurusan apa?” Tanya Pak Agus.

 “Pendidikan Bahasa Inggris Pak.” Jawabku.

“Kalau PGSD UPI mau?” Tanya Pak Agus lagi.

 “Tapi yang di Kampus Serang. Soalnya di Kampus Serang daya tampungnya lebih banyak, jadi peluang lulusnya lebih besar.” Terangnya lagi.

“Udah nganggur setahun kan? Gak mau nganggur setahun lagi kan ?” Kata Pak Agus lagi.
            Aku bingung. Aku memang tak berhasrat lagi untuk memilih PTN yang ada di Sumatera Barat. Aku ingin keluar daerah, tapi aku kurang berminat dengan jurusan PGSD. Tapi yang dikatakan Pak Agus benar juga, tak ada salahnya aku mencoba. Lagian toh, kan sama-sama kependidikan. Setelah ku pikir-pikir panjang ku putuskan akhirnya untuk memilih PGSD UPI kampus Serang, Penddikan Kimia UNSRI, dan Ekonomi Pembangunan UNRI. Nisa juga memilih jurusan itu, hanya saja jurusan ke-3nya berbeda.
***
            Aku bersemedi melihat hasil ujianku di kamar. Aku tidak perlu ke warnet lagi, karena aku sudah bisa membeli modem dari hasil gaji ku. Dengan sedikit menutup pintu kamar dan menghitung mundur, aku mulai log in. Aku menutup mata. Dari sela-sela jari tangan aku intip hasil ujianku. Tulisan pertama yang ku lihat adalah sebuah kata “Universitas,” lalu … ku lanjutkan … “Universitas Pendidikan Indonesia. Selamat Atas Keberhasilan Anda!”

            “Uni … uni … aku lulus di UPI.” Seketika aku berlari ke luar memanggil kakak perempuanku.

 “Alhamdulillah … jadi juga kamu ke Bandung.” Ucap kakak. Ayah dan ibu bahagia mendengar berita kelulusanku. Bahkan ibu sampai bernazar buat kelulusanku tanpa ku ketahui sebelumnya.

            Tepat di hari kelulusan itu, aku mengundurkan diri dari konter. Empat hari setelah itu, tepatnya tanggal 11 Juli aku bersama Nisa berangkat ke Bandung ditemani ibu. Terlalu cepat memang. Padahal status beasiswa yang ku daftarkan sebelumnya belum jelas, karena beritanya akan ada penyeleksian lagi. Tapi semuanya ku serahkan kepada Allah.

            Beasiswapun kami raih, setelah menunggu hampir sebulan. Kami bertolak ke Serang diantar oleh Paman. Selama di Bandung kami tinggal di rumah Paman. Di Serang kami langsung menempati asrama. Kemudian ibu pulang ke Padang setelah sebulan penuh menemani perjalananku. Waktu itu pertengahan puasa. Tinggal aku berdua dengan Nisa melewati pertengahan Ramadhan hingga lebaran di asrama. Hanya berdua, asrama masih sepi karena perkuliahan dimulai sesudah lebaran.

Allah telah mengijabah doaku. Doaku untuk menempuh pendidikan di rantau orang, doa untuk di tempatkan di lingkungan orang yang sholeh dan sholehah, dan doa untuk selalu bisa bersama dengan sahabatku Nisa. Allah telah mengabulkan semuanya. Aku bersyukur. Allah ternyata mempunyai rencana lain terhadap diriku. Dia menunda kelulusanku untuk mempertemukanku dengan beasiswa ini, bahkan lebih dari itu yang aku dapatkan.
***
Aku beranjak dari meja belajar di pojok kamar, dan tidur. Saatnya untuk merangkai mimpi-mimpi ku yang lain, walaupun berliku jalan yang ku tempuh. MAN JADDA WAJADA.

Sahabat…
Jangan pernah takut untuk bermimpi, Jangan pernah takut dengan kegagalan
Karena kegagalan akan menjadikanmu kuat, Bermimpilah setinggi-tingginya
Yakinlah kamu bisa mewujudkannya, Bersungguh-sungguhlah…. dan
Berdoalah … Karena Dia Yang Maha Kuasa
Semangat sahabat ….

Cerpen Oleh: Nelvianti


            

0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design