Jakarta,
12 Desember 2012
Hujan.
Aku suka hujan. Hujan mengingatkanku
padanya. Sedari tadi aku masih duduk mematung di kursi menghadap ke luar
jendela. Di jendela bias-bias hujan menepi. Buram, seperti hatiku. Aku masih
bisa menikmati secangkir kopi―yang biasa ku nikmati dengannya. Secangkir kopi
hangat yang masih mengepul asapnya. Aromanya wangi, tapi tak sewangi hatiku.
Hujan.
Terus mengguyur. Pandangan di luar
sana berkabut. Sederet pengendara motor menepi, beberapa kendaraan berputar
mengelilingi bundaran seakan terhisap oleh pusarannya. Aku berdiri, mempertajam
pandangan. Menempelkan badanku ke kaca,
dingin. Aku merapatkan jaket. Ku bayangkan nanti dalam keadaan seperti ini, ia
akan mendekapku dari belakang.
Segera ku beristghfar, mengusir
khayalan ini. Aku sadar, aku belum halal baginya.
Aku menarik nafas, masa-masa ini
sangat sulit bagiku. Setiap melihat hujan, kopi, dan ruangan ini, aku selalu
terkenang dengannya. Ia, yang mempunyai hobi yang sama denganku. Pecinta hujan,
penikmat kopi, dan pencipta suasana romantis.
Ku lirik jam, 14.00 WIB. Dan saat
ini mungkin di Abu Dhabi sedang menunjukkan pukul 19.00. ada perbedaan waktu 19
jam. Ah, calon imamku… sedang apa engkau di sana?
***
Pertunangan itu baru seminggu yang
lalu dicetuskan. Sebenarnya tidak ada kata pertunangan dalam Islam menurut murabbi
ku di pesantren. Yang ada hanya hibah, menentukan waktu pernikahan dalam
waktu dekat, dan selesai. Sudah sah sebagai suami istri. Lalu, secepat itukah?
Ku rasa tidak. Mengingat proses yang aku alami sekarang.
Aku tak mengenal lelaki itu. Aku
mengenal lelaki itu hanya sebagai teman kakakku. Suatu hal yang kebetulan. Kak
Gio pernah bercerita kepadaku bahwa ia mempunyai teman lelaki di Abu Dhabi,
sama-sama dari Indonesia. Aku tidak menggubris. Mungkin karena pikiranku waktu
itu tidak terfokus pada pernikahan. Dan lelaki bukanlah hal yang menarik
bagiku, tepatnya memikirkan lelaki bukanlah hal yang menarik bagiku saat itu.
***
Sudah satu jam, aku berdiri di sini.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda pasien yang aku obati. Jadi biarlah ku nikmati
kesendirian ini dulu. Ruangan ini cukup nyaman bagiku. Ruangan berasitektur
putih, mulai dari keramik, cat tembok, dan furniture. Aku yang memintanya.
Putih? Putih itu suci bagiku.
Seperti cinta kami, selayaknya begitu. Tidak akan pernah ku nodai. Seperti aku
yang selalu menjaga diri ini. Aku tidak ambil pusing soal teman-teman atau
pasienku yang berceloteh.
“Ibu dokter cantik, apa sudah punya pendamping?”
pendamping? Masih layak didengar daripada kalimat ini.
“Kamu itu cantik Yasmin, tajir,
cerdas… tapi kok gak mau pacaran sih, kan banyak cowok yang naksir kamu? Kenapa
kamu tolak semua?”
Ku rasa, aku tak harus menjelaskan
tentang hal ini kepada teman-temanku. Selayaknya mereka mengerti prinsip
hidupku. Mungkin hijabku tidak terlalu sempurna, tapi untuk hal yang satu
ini―pacaran―aku katakan, tidak!
Aku memang mempunyai banyak teman,
itu karena aku berusaha membuka diri. Dan pekerjaanku memang mengharuskan demikian.
Dulu, semasa kuliah di Jogja, aku mengurus bisnis Papa. Bisnis di bidang
kuliner, Rumah Makan Padang. Restoran ke lima Papa ini berkembang pesat di
Jogja, cukup membiayai uang kuliahku di yang membengkak tiap semester.
Papa.
Aku mendesah lagi. Apakah aku harus
menikah bulan ini?
Aku melirik setumpuk dokumen yang
tertata rapi di mejaku. Itulah berkas-berkas yang aku bawa nanti ke Kalimantan.
Impian, pengabdian, dan cinta, seharusnya melebur menjadi satu. Tapi jika aku
memilih mengabdi, maka untuk sementara cinta harus bersabar menunggu. Namun,
bisakah diterima calon imamku? Aku tahu, menunggu bukanlah hal yang diinginkan
laki-laki.
Aku kembali ke kursi, menghempaskan
badan. Kursi ini ku putar-putar, seperti
otak ku yang berputar-putar mencari solusi. Mama sudah membicarakannya
denganku.
“Mama tidak masalah… lebih baik kamu
komunikasikan dulu keputusanmu dengan calon suamimu, karena biar bagaimanapun
kalian yang akan melaluinya berdua.”
“Ya Ma, aku paham.”
Untuk beberapa saat kita termenung.
Dia ada di hadapan ku. Tapi kami tak berdua, di meja makan di balik lemari hias
ada Mama yang memantau kami dari jauh. Kita sama-sama diam. Aku, dan diapun
juga.
Ayolah, aku ingin mendengar
keputusan dari mulutmu. Untuk saat ini tak ada yang bisa ku katakan.
Aku tahu ini sangat berat bagimu.
Kamu meninggalkan pekerjaanmu untuk sementara demi aku, berharap bisa mengurus
segala tetek-bengek untuk pernikahan secepat mungkin. Tapi, aku malah
mengabarkan bahwa kita harus menunda pernikahan ini. Karena aku sudah menekan
kontrak untuk mengabdi di Kalimantan selama enam bulan, dan selama itu aku
dilarang menikah.
Aku kembali berdiri menghadap
jendela. Hujan belum berhenti. Jakarta selalu menawarkan kesibukkan, dari
lantai lima rumah sakit ini semuanya terlihat jelas. Rumah sakit yang
menjajikan pundi-pundi uang. Rumah sakit seperti ini yang membuat teman-temanku
tidak mau mengabdi di pelosok sebagai sukarelawan.
Aku terlahir memang sebagi orang yang
mempunyai rasa sosial tinggi. Bukannya menyombongkan diri, aku penyuka
anak-anak dan sangat terenyuh melihat Ibu-ibu hamil yang berjuang keras untuk
jabang bayinya, karena itu aku mengambil spesialis kandungan.
Mungkin ini juga hal penarik bagi
Yusuf―calon imamku. Salah satunya iya. Tapi faktor utamnya bukan itu. Mata ini.
Kata Mamanya, mata lentik khas Arab yang ku miliki yang mampu menghinoptisnya
ketika pertama kali pandangan kami bersirobok di depan rumahnya waktu itu.
Aku yang posisinya waktu itu sedang
berlibur di rumah, dalam masa-masa menyusun skripsi. Di rumah aku biasa
membantu Mama memasak, karena aku memang hobi memasak―hobi inilah yang
membuatku mampu mengelola usaha kuliner Papa.
“Yasmin… daun pandannya gak ada ini
Nak, Mama lupa beli daun pandan. Udah gak keburu beli nih, kolaknya udah mau
masak. Coba minta aja ke rumah Tante
Sumi yang dekat.”
Dalam kondisi ini Tante Sumi yang
baik ini selalu menjadi tumpuan harapan kami.
“Tante, Mama… mau minta daun
pandan.” Aku mencabuti beberapa daun pandan yang rimbun di halaman rumah Tante
Sumi.
“Terima kasih Tante.”
Seketika darahku berdesir, melihat
sesosok pria tinggi dan berkulit putih ke luar dari rumah Tante Sumi. Sesaat
kami tak berkedip, lalu aku menundukkan pandangan untuk detik selanjutnya.
“Siapa Ma?” kata lelaki itu.
“Itu anaknya Bu Ani, masa kamu gak
tahu?”
“Berarti adiknya Gio dong Ma?”
Tante Sumi hanya mengangguk dan
berlalu meninggalkan anaknya.
“Cantik ya Ma?”
“Kamu suka Yusuf?”
“Mama, mau melamarkannya untuk Yusuf
gak?”
Beberapa hari setelah itulah
pertunangan terjadi.
“Gio, kok antum gak pernah
bilang sih, punya adik secantik ini.” Candanya pada Kak Gio waktu itu.
Aku menerimanya tanpa syarat waktu
itu, mungkin karena itulah dia bersedia menungguku selama enam bulan. Penantian
yang terasa panjang.
Kalimantan,
19 Desember 2012
Di sini, pertama
aku mengawali hari untuk enam bulan ke depan. Dia sudah kembali ke Abu Dhabi
satu minggu yang lalu. Aku, Mama, dan Kak Gio yang mengantarnya ke bandara.
Hanya setangkup tangan di dada dan seulas senyuman yang ku berikan. Karena
jarak jualah diantara kami, jadi tidak ada pelukkan. Aku hanya bisa melihat dia
yang menepuk bahu Kak Gio, seakan berucap, jaga adikmu untuk ku.
Kak Giolah orang yang sangat
mendukung hubungan ini, dan menguatkan di masa-masa penantian ini.
“Yusuf itu sahabat Kakak, Dek. Kita
berteman semenjak kuliah, sama-sama mengambil jurusan Teknik Perminyakan ITB.
Dan kita juga sama-sama lolos seleksi bekerja di Abu Dhabi. Jadi Kakak udah
tahu baik dan buruknya Yusuf.”
“Dia itu orangnya sholeh lo, Dek.”
Kak Gio seperti melancarkan aksinya mempromosikan Yusuf kepadaku.
Aku memang tidak terlalu mengenal
Yusuf. Aku juga tidak terlalu mengenal Tante Sumi, pengetahuanku tentang Tante
Sumi hanya sebatas bahwa, ia adalah tetanggaku di Jakarta yang berasal dari
Solo. Aku tidak tahu kalau Tante Sumi mempunyai seorang anak laki-laki. Sebab,
semenjak kuliah di Jogja aku hanya sesekali pulang ke Jakarta, ketika libur.
Aku sendiri dilahirkan di Kuala
Lumpur (KL) berbeda dengan Kak Gio yang dilahirkan di Jakarta. Perbedaan tempat
lahir ini karena Papa mengelola lima restoran yang tersebar di lima kota, KL, Jakarta, Padang, Bandung, dan terakhir
Jogja. Sedari kecil kami selalu berpindah rumah mengikuti Papa.
Aku tersenyum mengenang semua itu.
Satu kata―sholeh―cukup bagiku untuk melepasnya beberapa bulan. Kepercayaannlah
yang menjadi kunci utama dalam hubungan jarak jauh ini, hingga aku bisa
melewati masa-masa sulit ini dengan apik.
Abu
Dhabi, 25 Juni 2013
“Sayang… kuncup
bunganya bagus ya…?” ia berlari mengejarku.
Ia menangkapku dari belakang, persis
seperti yang ku impikan.
Honeymoon ini sudah kami
rancang sedemikian rupa―menjelajahi kota Abu Dhabi, kota tempat Kakak ku dan
suamiku mencari nafkah. Untuk beberapa tahun ke depan aku akan tinggal di sini,
mengikuti suamiku dan melepaskan perkerjaan ku di Indonesia. Mungkin anak
pertama kita akan lahir di sini.
Kita sudah merencanakan semua ini,
semenjak ijab qabul terucap dari mulutnya beberapa hari setelah aku
kembali dari Kalimantan.
Indah sekali. Aku tergugu, mendengar
suara merdunya melantunkan surat Ar Rahman sebagai maharnya untukku.
“Sayang… kita cobain naik Roller
Coaster di Ferrari World ini yuk!” tantangku.
“Katanya ini
Roller Coaster yang tercepat di dunia.”
“Cepatan
mana dengan cinta kita?” rayunya.
Aku
tersenyum. Ia menggamit tanganku.
“Yasmin El
Fasya… percayalah, Mas akan menjadi imam yang baik buatmu.”
“Yasmin
juga akan berusaha menjadi istri yang baik buat Mas.” Kami bergandengan tangan menuju Roller Coaster.
Penantian
panjang ini, akhirnya berbuah manis.
Cerpen Oleh: Nelvianti
0 komentar:
Posting Komentar