Semua berawal
dari disetujuinya permintaan mutasi ku. Semenjak itu aku resmi dipindah
tugaskan dari kota Serang ke kota Bandung. Hal ini ku lakukan demi menjaga
keutuhan rumah tangga ku.
***
“Wah, telat!”
Batinku.
Biasanya jam 15.30 WIB aku sudah keluar kelas. Sementara sekarang jam 15.50 WIB
aku masih di dalam kelas dan baru siap-siap pulang. Segera ku rapikan file-file
yang tergeletak di atas meja, ku masukkan ke dalam tas dan ku langkahkan kaki
cepat ke luar. Suara ketukan sepatu ku terdengar nyaring seiring semakin
cepatnya langkah ku. Agaknya orang yang mendengar sudah bisa menebak kalau aku
sedang terburu-buru atau mulai cemas. Cemas tidak dapat bis pulang.
Kebetulan di ruang
yang ku ajar kaliini tidak ada lift. Lengkap sudah. Aku harus menuruni sekian anak
tangga dari lantai tiga ke laintai satu, dan ini cukup menguras waktu. Jam
pulang ku semakin telat, 15 menit. Waktu 15 menit ini seharusnya bisa ku
manfaatkan untuk menunggu bis. Tapi ini tidak! Aku masih ‘terjebak’ dalam
gedung raksasa ini dan masih setia menuruni anak tangga satu persatu. Yup, satu
lantai lagi. Nafas ku mulai ngos-ngosan, bukan karena aku kurang olahraga tapi
lebih ke perasaan khawatiryang mendera ku sedari tadi. Ya, pulang di jam segini
memang sangat mengkhawatirkan.
Jarak yang ku
tempuh lumayan jauh! Bandung – Cirebon, lintas kota, bahkan lintas provinsi
karena dari Cirebon aku harus menyambung bis lagi ke Semarang. Semenjak
dipindahkan ke Bandung aku harus menempuh perjalanan dengan berganti bis dua
kali, Bandung-Cirebon dan Cirebon-Semarang. Tujuan akhir adalah Brebes,
kediamanku, tempat dimana selama ini aku membangun cinta bersama suami ku.
Ke luar dari ruangan,
badan ku mulai diterpa hangatnya cuaca sore. Cuaca kota Bandung akhir-akhir ini
memang panas, tapi sedikit sejuk di dalam ruangan walaupun tanpa AC. Aku terus berjalan
sambil merapikan kerudung ku yang miring, tapi aku tidakbenar-benar fokus pada
kerudung yang mulai berantakan ini. Yang ada di pikiran ku cuma satu, bagaimana
sampai di rumah tepat waktu─seperti biasanya, jam sembilan malam.
Terbayang wajah
Bagas, putra ku satu-satunya yang tidak mau tidur kalau belum bertemu Bundanya,
terbayang wajah Mas Haris, suami ku yang selalu setia menunggu ku di pinggir
jalan Brebes. Ah, Mas ... aku gak mau menunjukkan sisi manja ku, makanya ku
abaikan tawaran dari mu untuk menjemput ku tadi. Tidak ada alasan untuk
mengeluh bagiku, kalian berdua adalah penyemangat ku.
Alhamdulillahbis
yang ku tumpangi masih ada. Bis Bhinneka jurusan Cirebon. Aku segera naik dan
mengambil tempat duduk persis di sisi jendela. Bis melaju, perlahan-lahan
meninggalkan kota Bandung, seiring melajunya pikiran ku ke kejadian beberapa
waktu lalu.
Aku menatap ke
luar jendela, deret pepohonan hijau terpampang di mataku membentuk pagar. Tapi
aku tak benar-benar memandangnya. Pohon-pohon itu hanya ibarat pantulan cermin
di mata ku. Seketika batin ku berkata, “Akan kah aku bertemu sopir itu lagi?”
Kemaren dia tak
segan-segan ‘merayu’ ku di hari pertama bertemu. Ah, ku pikir ini hanya bentuk
ungkapan sisi nyamannya berbicara dengan ku.
Tak terasa
kantuk mulai mendera, perasaan khawatir yang tadi bersemayam mulai hilang,
seiring terlelapnya kelopak mata ku. Hingga aku tak menyadari sudah mendekati
tujuan akhir bis ini, Cirebon. Aku sampai di Cirebon pukul 6 sore. Ini adalah
jadwal bis Coyo, bis jurusan Cirebon-Semarang lewat.
Sayang sekali
hampir seluruh kursi di bis ini penuh, satu-satunya kursi yang tersisa hanya di
sebelah sopir. Lagi-lagi aku tak dapat mengelak. Beberapa waktu lalu aku juga
terjebak di kursi yang sama, karena tak ada kursi kosong di belakang. Ya,
seperti biasa mau tidak mau aku harus duduk daripada tidak ada bis lagi.
“Salam Bu,
ketemu lagi.”
Deg. Sopir itu
lagi.
“Iya.”
Jawaban singkat
tanpa arti, tapi seulas senyum cukup mewakili, senyum kaget. Bagaimana tidak
kaget, kalimat rayuannya masih terngiang-ngiang di telinga ku dan aku belum
memberitahukannya pada suami ku, bahwa aku mendapat rayuan dari seorang
laki-laki, dari seorang sopir yang mungkin ke depannya akan lebih sering ku
tumpangi bisnya.
Aku tidak enak
untuk tidur, kali ini ku pastikan tidak! Selain rasa kantuk ku sudah hilang
karena tertidur di bis Bhineka tadi, aku juga tidak mau tertidur di samping
sopir ini. Kemaren awal dia menyapa ku,
karena aku hampir tertidur di bisnya.
“Kalau ngantuk
gak apa-apa Bu, tidur aja!”
Katanya sambil
tersenyum. Aku menoleh tiba-tiba, kaget. Sepertinya sopir ini tau kalau dari
tadi aku berusaha menahan kantuk. Aku hanya menjawab dengan senyum simpul.
“Darimana, Bu?
Eh, maksudnya ... sore-sore ini baru pulang kerja?”
“Iya,saya abis
ngajar dari Bandung.”
“Ibu, guru?”
“Bukan ...
dosen.”
“Oh ... gurunya
guru ternyata. Haha.”
Katanya tertawa
terbahak. Dan mengalirlah obrolan kami. Di akhir pembicaraan, dia bilang nyaman
berbicara denganku dan dia berharap besok bisa bertemu aku lagi. Dan harapannya
terkabul! Benar, hari ini aku bertemu dia lagi. Akan kah ceritanya sama seperti
kamaren?
Kemaren sewaktu
membayar ongkos, dia tidak mau menerima uangku. Entah apa maksudnya. Namun uang
itu tetap aku tinggalkan di busnya. Dan kali ini aku juga bertekad untuk hal
yang sama. Apa pun maksudnya, yang penting maksud ku baik. Aku menanggapi
obrolannya semata-mata sebagai tanda hormat kepada orang yang mengajak ku
bicara. Jadi aku lebih banyak mendengarkan daripada memberikan informasi
pribadi ku, walaupun ia berusaha menguliknya.
“Gini-gini ...
saya pintar lo, Bu! Jadi saya bisalah banyak sedikitnya mengimbangi obrolan seorang
doktor.” Katanya.
Ah, dia bisa
saja. Dia membuat kalimat pembuka yang sangat baik. Aku kalah telak! Aku tidak bisa
underestimate terhadap orang yag sedang berbicara di depan ku ini, yang katanya
dia hanya lulusan SMA tapi cerdas. Aku ikuti alur ceritanya.
Baiklah ....
“Sudah berapa lama, Mas Seno jadi sopir?”
Aku akhirnya
bertanya, dengan sebutan ‘Mas’. Ya, dia membantah ketika ku panggil ‘Pak’ saat
pertama kali, panggil Mas saja katanya. Dan Seno adalah namanya, seorang sopir
yang sudah beristri. Baru itu yang ku tau infonya.
“Cukup lama.
Saya tidak pernah terpikirkan untuk pindah pekerjaan, kalau pun pindah, itu
hanya pindah trayek. Haha .... Saya ingin pindah trayek ke Jakarta. Tapi ...
kalau saya pindah, yang ada saya tidak bisa bertemu Ibu lagi.”
Rayuan yang ke
sekian. Aku sudah hafal caranya merayu, elegan! Terima kasih.
“Istri Mas Seno
kerja apa?”
Aku sengaja
bertanya soal istrinya, membalikkan obrolon, setidaknya membantu dia mengingat
kalau di rumah ada istrinya yang menunggu.
“Istri ketiga
saya Bidan.”
Ketiga?
Pantasan, orang ini lihai merayu.
Seakan membaca
keheranan di wajah ku, ia lantas menjelaskan panjang lebar.
“Istri pertama saya
keturunan tionghoa, saya sempat pindah agama, mengikuti agamanya, Hindu. Saya
nyaman dengan istri pertama ini, ia orang yang mampu merubah saya menjadi lebih
baik.”
Menjadi lebih
baik? Maksudnya.
“Ya, dulu saya
adalah brandalan. Saya bahkan pernah terlibat pembunuhan. Tapi sekarang, In Syaa Allah saya sudah insyaf.”
“Maaf, Mas Seno
tidak punya anak?”
Pertanyaan to the point.
“Dengan istri
pertama tidak. Saya punya anak dengan istri kedua, dan saya tinggalkan begitu
saja saat anak saya masih SD. Dan sekarang saya punya anak tiri. Saya dilarang
bertemu dengan anak saya oleh istri kedua saya.”
Dia mengusap
wajahnya, kebas. Tatapannya masih lurus ke depan, dari samping aku dapat
melihat hidungnya yang bangir, cocoklah hidung ini bersanding dengan kulitnya
yang lumayan terang. Ku pikir pantas banyak perempuan yang terila-gila padanya,
jika melihat dari rupanya saja. Tapi ku pikir tidak sekedar rupa, bisa juga
karena keahliannya merayu tadi. Aku merasa, jika bukan aku perempuan yang
dirayunya, mungkin perempuan itu telah terjerat cintanya.
Tak sadar karena
jengahnya mendengar cerita sopir ini, aku sudah sampai tujuan. Dari kejauhan
sudah tampak mobil suami ku yang menunggu di pinggir jalan. Sopir itu malah
tersenyum getir, bahkan tampak biasa saja saat ku beri tau bahwa itu adalah
mobil suami ku. Ia justru semakin berani.
Kali ini sebelum
turun dari bisnya, ia menanyakan nomor handphone
ku. Ku pikir tak ada salahnya ku tinggalkan juga kartu namaku bersama ongkos di
bisnya ini. Tapi setelah sampai rumah aku betekad akan memberi tau suami ku.
Suami ku adalah
orang yang begitu perhatian kepada istrinya. Mas Haris rela mencurahkan segala
waktu dan tenaganya untuk ku. Setidaknya itulah yang ku rasakan selama delapan
tahun berumah tangga denganya. Melihat perjuangannya yang kadang rela menjemput
ku sampai ke Cirebon dari Brebes karena istrinya telat pulang, bahkan ia harus
putar balik lagi ketika tak di dapatinya aku di Cirebon. Tapi ia tidak pernah
mengeluh sedikit pun. Bahkan aku yang selalu mengomel karena letih, lalu rebah
dalam pelukannya.
Sesaat aku sudah
duduk di dalam mobil kita, di sebelah suami ku. Mas Haris dengan kaos hitam
kesayangannya menyambut ku dengan senyumnya yang mampu menghilangkan lelah ku.
Tangan kokohnya memegang setir mobil. Menarik tuas kemudi dan mobil kami
berbalik arah menuju jalan pulang rumah kita.
Sudah hampir
separoh perjalanan, aku masih saja berjibaku dengan pikiran ku sendiri,
mematut-matut kalimat apa yang akan aku lontarkan pada Mas Haris? Bagaimana aku
mengawalinya? Yang jelas aku ingin membuat pengakuan hari ini padanya, bahwa
dua hari ini ada pria beristri yang berusaha mendekati ku.
***
Awalnya Mas
Haris biasa saja setelah ku sampaikan hal ini ketika kami lagi duduk nyantai
menikmati secangkir kopi bersama.
“Aku percaya
istri ku, kamu tak mungkin akan tergoda olehnya, kan?”
Ucap suami ku
dengan segala bentuk penekanan. Aku menggeleng penuh cinta, enggak Mas! Aku pun
berpikir ini hanya sebatas obrolan di atas bis. Tapi ternyata beberapa waktu
setelah itu, si sopir mengirimkan permintaan pertemanan pada ku di fb. Ku pikir
sopir ini berusaha mencari tau segalanya tentang ku. Tak masalah.
Kali ini rasanya
lebih plong. Aku sudah memberitaukan segalanya pada suami ku, termasuk
permintaan pertemanan di sosial media itu dan Mas Haris mengizinkan untuk
menerima permintaan pertemanan Mas Seno. Semoga ini menjadi jalan hidayah buat
Mas Seno.
Aku jadi semakin
sering memposting kata-kata bijak di wall fb ku, berharap jika Mas Seno membaca,
bisa membuka mata hatinya sedikit demi sedikit.Aku tidak tega dengan istri Mas
Seno. Aku bisa merasakan bagaimana perasaan istrinya.
Hari ke Sekian
Hari ke sekian
aku di dalam bisnya. Hari ke sekian ku tumpangi bis yang sama, bis Coyo,
jurusan yang sama, jam pulang yang sama, dan sopir yang sama. Aku tidak bisa
mengelak! Karena pulang setiap hari di jam mendekati Maghrib, kecil
kemungkinannya bagi ku untuk tidak bertemu dengan sopir itu, kecuali aku
berganti bis, dan itu bukan pilihan yang tepat, sama saja dengan mempersulit
diri sendiri.
Aku masih tetap
pada keyakinan ku bahwa niat ku baik, aku tidak akan memanfaatkan kesempatan
walaupun Mas Seno membuka kesempatan itu lebar-lebar di depan mataku. Kali
kesekian dia bilang akan membahagiakan ku. Membahagiakan orang yang sudah
bersuami? Ku pikir ini ajakan untuk berselingkuh dan menurut Mas Haris pun
demikian. Astaghfirullah!Aku tidak
akan menukar cintamu dengan cintanya, Mas.
Rasanya ini
bukan main-main. Tapi aku sudah menjelaskan di awal padanya bahwa, pertama aku berterima kasih tentang
perasaannya. Kedua, bagiku cinta itu
harga diri. Cinta ku yang sejati hanya untuk suami ku. Aku merasa beruntung
memiliki suami seperti Mas Haris, ku rasa ini adalah bentuk kasih sayang Allah padaku
yang telah memberikan suami seperti Mas Haris, sebab aku bisa ‘menjaga’ masa
muda ku selama ini, sebelum menikah dengan Mas Haris.
“Berarti sebelum
nikah kamu tidak pernah pacaran dengan suami mu? Lantas bagaimana bisa kamu
mencintainya?”
Kata Mas Seno
suatu ketika, mengetahui aku tidak pernah menempuh jalan pacaran dengan Mas
Haris, bahkan aku tak pernah pacaran.
“Sebelum menikah
memang aku belum mencintai suami ku Mas, tapi setelah menikah cinta ku seribu
persen untuknya bahkan lebih!”
Dia tertawa
lebar saat ku sampaikan hal itu. Mungkin baginya ini adalah lelucon yang paling
menggelitik. Buat lelaki seperti dia aku paham, mungkin dalam pikirannya semua
perempuan bisa ditakhlukkan, apalagi dengan wajahnya yang rupawan dan pandai
merayu.
Tapi tidak hanya
dua itu saja modalnya, baru-baru ini dia bilang pada ku bahwa ia memakai
‘susuk’! Susuk itu dulu ditanam oleh seorang ustadz dan ia sempat ingin
mencabut susuk itu, namun sayang sang ustadz sudah meninggal.
Teror di FB
Pagi ini aku
dikejutkan oleh sebuah inbox asing saat aku membuka akun facebook ku. Sebuah
inbox dari perempuan yang tak ku kenal, isinya cukup singkat dan bernada
sedikit ancaman: “JAUHI SUAMI KU!!!” Semua tulisannya ditulis kapital, dan
tidak cukup membubuhkan satu tanda seru di belakangnya.
Aku
geleng-geleng kepala setelah ku ketahui ternyata itu inbox dari istrinya Mas
Seno yang katanya seorang PNS, Bidan. Langsung ku beritaukan hal ini pada Mas
Haris. Mas Haris juga tidak tinggal diam istrinya diperlakukan seperti itu,
akhirnya tanpa basa-basi, Mas Haris meminjam handphone ku dan menelfon Mas
Seno.
“Saya pikir
sesama laki-laki dan sesama suami kita juga perlu saling mengenal, selain istri
kita saja yang ‘bersilaturahmi’. Saya Haris, SUAMInya Resna. Resna sudah cerita
semuanya termasuk perihal sapaan manis dari istrinya bapak Haris di inbox FB
istri saya. Sewaktu-waktu kita agaknya perlu bertatap muka langsung.”
Kata-katanya Mas
Haris penuh majas dan menohok langsung ke intinya. Ku rasakan ada api cemburu
di sana. Setelah menutup telfon Mas Haris bilang padaku bahwa, seandainya Mas
Haris yang pergi duluan meninggalkan ku, Mas Haris tidak ridho aku menikah
dengan sopir itu karena menurut Mas Haris, ia bukanlah laki-laki yang pantas
untuk ku.
“Cemburu itu
berat Resna, jadi biar aku saja yang rasa.”
Ya Allah, Mas
... maafkan istri mu ini, tapi kata-kata Mas Haris barusan menggelitik ku.
Baiklah Mas ... besok akan ku sampaikan pada Mas Seno perihal ini agar tak
terjadi perang dunia ke dua. Itu seandainya jika besok aku menumpangi bis dia
lagi.
Hari ini aku
tidak melihat bis Coyo lewat, ku lirik jam ... ternyata aku pulang tidak di jam
biasanya, agak lebih cepat. Bis itu ... apakah belum melintas, sudah lewat, atau memng tidak menarik menumpang?
Aku tidak tau, yang jelas aku tidak akan menunggunya hanya demi bertemu Mas Seno.
Aku pulang saja dengan bis lain.
Besoknya ku
tunggu-tunggu ... akhirnya aku naik bis Mas Seno. Ku lihat wajahnya agak
sedikit pucat, tapi ku urungkan niat untuk bertanya. Langsung saja ku sampaikan
perihal istrinya setelah sedikit berbasa-basi.
Tapi seperti
yang aku duga, Mas Seno tampak biasa saja dan tidak kaget sedikit pun. Malahan
ia tertawa, katanya memang benar istrinya cemburu, sampai setelah dia menginbox
ku ... dia lalu memblokir ku di akun fb Mas Seno.
“Istri saya mau
umroh Bu Resna, sebelum umroh saya ingin istri saya minta maaf sama Bu Resna, agar
dia tak bawa beban ke sana. Tapi agaknya
istri saya tidak mau.” Katanya
tersenyum getir.
“Maafkan saya
ya, Bu Resna. Tapi saya benar-benar mencintai Bu Resna. Kita tidak tau akan berjodoh
dengan siapa, siapa tau ke depan saya berjodoh dengan Bu Resna. Selama ini ...
ongkos dari Bu Resna selalu saya kumpulkan untuk mahar kelak.”
Sambungnya lagi.
Saya berkemalut dengan pikiran saya sendiri ... bagaimana ini akan berakhir.
Mas Haris .... saat ini juga rasanya aku ingin berada di sisi mu dan berharap
esok lebih baik, tidak ada masalah apa-apa.
Hari-hari ku
lalui dengan Mas Haris seperti biasa, tidak ada pertengkaran apa pun dalam
keluarga kecil kami. Mas Haris bisa menyikapi masalah ini dengan bijak, aku jatuh
cinta berkali-kali kepada pria ini. Tugas ku pun sebagai seorang dosen berjalan
lancar. Dua hari dalam seminggu aku mengajar di Bandung dan Sumedang yaitu,
setiap Senin dan Rabu.
Jika tidak
mengajar, aku di rumah saja menghabiskan waktu dengan Bagas menunggu Ayahnya
pulang dari sekolah. Sementara aku menyelesaikan jurnal, nyambi menyelesaikan
tugas rumah tangga. Aku menikmatinya. Aku bersyukur dengan kehidupan yang ku
jalani sekarang walaupun kadang harus pulang larut malam jika telat ke luar
kelas seperti kemaren.
Dan beberapa
hari ini aku tidak pernah bertemu Mas Seno, sudah lama agaknya, hampir sebulan.
Aku tidak tau bagaimana kabarnya. Sempat ku tanya pada penjaga kamar mandi di
terminal, katanya ia juga sudah lama tidak melihat Mas Seno berwuduk di
tempatnya. Apa mungkin ia sakit? Sebab beberapa waktu yang lalu ku lihat
wajahnya pucat. Ah, kenapa aku jadi memikirnnya! Rutuk hati ku sendiri. Ku
doakan saja ia dan istrinya baik-baik saja.
Ku sampaikan
kabar ini pada Mas Haris. Di luar dugaan, Mas Haris malah mengajak ku
bersilaturahmi ke rumah Mas Seno.
“Kita tanyakan
saja alamatnya pada bapak-bapak penjaga kamar mandi di terminal itu, kata mu
juga .. rumahnya di sekitar Brebes kan? Ya ... sekalian kamu silaturahmi sama
istrinya juga.” Lanjut Mas Haris
seakan membaca keraguan ku.
Akhirnya hari
ini kami berputar-putar mengelilingi Brebes mencari alamatnya. Kami bawakan
oleh-oleh dan Bagas tidak kami ajak, kebetulan ia lagi di rumah Neneknya.
Setelah bertanya pada seorang Ibu penjaga warung di pinggir jalan ... kami
menemukan rumah Mas Seno. Rumahnya cukup mewah dan halamannya luas.
Sewaktu kami
memijit bel, kami disambut oleh seorang ibu, mungkin kah ini istri Mas Seno?
Katanya. Bukan
istrinya ternyata tapi pembantunya. Aku dan Mas Haris saling tatap sembari
menunggu pembantu itu. Apakah gerangan yang terjadi?
Tiba-tiba keluar
dari dalam bilik seorang perempuan yang sangat keibuan sambil membopong seorang
pria, Mas Seno. Ya Allah ... aku kaget melihat tubuhnya yang sangat kurus,
tidak tampak lagi gurat-gurat rupawan di wajahnya. Dua orang, perempuan dan
pria itu duduk berhadap-hadapan dengan kami.
“Ini pasti Bu
Resna dan suami ya.”
Kata perempuan
itu kepada kami. Kami yang sempat terpaku tergagap mengucapkan salam. Dari kata-katanya
barusan ... ku lihat perempuan ini sangat ramah, tidak ada kesan galak seperti
pesannya di fb. Belum sempat kami menjelaskan maksud kedatangan kami ...
istrinya ini sudah bercerita panjang lebar. Ia meminta maaf dan berterima
kasih. Untuk apa?
Lalu akhirnya
Mas Seno angkat bicara dengan tertatih-tatih.
“Ya, Pak Haris
dan Bu Resna. Saya sakit sudah sebulan ini. Belum ketauan penyakit saya apa,
tapi ya ... beginilah keadaan saya. Tubuh saya kurus dan saya belum kuat
berjalan sendiri. Terakhir saya bertemu dengan Bu Resna sore itu ... malamnya
saya demam. Tubuh saya menggigil hebat. Saya paksakan tidur, saya minta istri
menyelimutkan saya. Dalam tidur saya seakan-akan terbangun, berada pada suatu
ruang gelap, gelap ... dan sangat gelap, hingga membuat saya ketakutan. Saya
kalut, saya bingung, dan saya pun berlari. Tapi tak tau kemana, tak ada setitik
cahaya pun yang saya temui. Lalu, tiba-tiba ada seorang laki-laki berjubah
putih dan itu ternyata ustadz yang pernah memasangkan susuk buat saya. Dia menatap
saya, namun tiba-tiba saya diseret oleh
orang yang tak dikenal ... saya seperti hendak dilemparkan ke dalam api yang
bergejolak. Saya berteriak histeris dan berusaha berontak. Namun tarikan itu
sangat kuat dan tak ada orang yang bisa menolong saya, termasuk ustadz
tersebut. Beliau hanya berpesan bahwa saya msih punya kesempatan. Setelah itu
saya terbangun. Mimpi itu terus berualng hingga berkali-kali Pak.”
Katanya tergugu,
dia mulai menangis. Kami pun terkesima, tak tau berkomentar apa.
“Setelah saya
pikir-pikir ... saya harus bertaubat. Saya banyak dosa selama ini, termasuk
pada Bu Resna dan Pak Haris. Beruntung kalian datang ke sini, saya mau minta
maaf.”
Allahu Akbar,
sepertinya barusan dia mendapatkan hidayah. Tentu saja kami dengan lapang hati
menerima maafnya dan kami mendoakan kesembuhan untuknya.
Beberapa hari
setelah kejadian itu, ku lihat Mas Seno sudah beraktifitas seperti biasa dan
hari ini pulang mengajar, aku menumpangi bisnya lagi. Aku duduk di belakang.
Dan dia seratus persen sudah berubah. Dia agak sungkan kepada ku. Terima kasih
Ya Allah.
Cerpen oleh: Nelvianti
*kalau yang ini bukan cerpen hasil lomba tapi cerpen hasil request my lecturer. Ya ... ini berdasarkan kisah nyata dengan dibumbui sedikit fiksi tapi karena bukan saya yang mengalaminya, saya kurang dapat fillnya, boleh minta kritik dan saran juga dari teman-teman, kira-kira ... saya harus ngerevisi bagian mana? Hatur nuhunnn. :)
0 komentar:
Posting Komentar