Selasa, 02 Juli 2019

Bagaimana Jika Ku Selingkuh?


Semua berawal dari disetujuinya permintaan mutasi ku. Semenjak itu aku resmi dipindah tugaskan dari kota Serang ke kota Bandung. Hal ini ku lakukan demi menjaga keutuhan rumah tangga ku.

***
“Wah, telat!”
Batinku. Biasanya jam 15.30 WIB aku sudah keluar kelas. Sementara sekarang jam 15.50 WIB aku masih di dalam kelas dan baru siap-siap pulang. Segera ku rapikan file-file yang tergeletak di atas meja, ku masukkan ke dalam tas dan ku langkahkan kaki cepat ke luar. Suara ketukan sepatu ku terdengar nyaring seiring semakin cepatnya langkah ku. Agaknya orang yang mendengar sudah bisa menebak kalau aku sedang terburu-buru atau mulai cemas. Cemas tidak dapat bis pulang.
Kebetulan di ruang yang ku ajar kaliini tidak ada lift. Lengkap sudah. Aku harus menuruni sekian anak tangga dari lantai tiga ke laintai satu, dan ini cukup menguras waktu. Jam pulang ku semakin telat, 15 menit. Waktu 15 menit ini seharusnya bisa ku manfaatkan untuk menunggu bis. Tapi ini tidak! Aku masih ‘terjebak’ dalam gedung raksasa ini dan masih setia menuruni anak tangga satu persatu. Yup, satu lantai lagi. Nafas ku mulai ngos-ngosan, bukan karena aku kurang olahraga tapi lebih ke perasaan khawatiryang mendera ku sedari tadi. Ya, pulang di jam segini memang sangat mengkhawatirkan.

Jarak yang ku tempuh lumayan jauh! Bandung – Cirebon, lintas kota, bahkan lintas provinsi karena dari Cirebon aku harus menyambung bis lagi ke Semarang. Semenjak dipindahkan ke Bandung aku harus menempuh perjalanan dengan berganti bis dua kali, Bandung-Cirebon dan Cirebon-Semarang. Tujuan akhir adalah Brebes, kediamanku, tempat dimana selama ini aku membangun cinta bersama suami ku.

Ke luar dari ruangan, badan ku mulai diterpa hangatnya cuaca sore. Cuaca kota Bandung akhir-akhir ini memang panas, tapi sedikit sejuk di dalam ruangan walaupun tanpa AC. Aku terus berjalan sambil merapikan kerudung ku yang miring, tapi aku tidakbenar-benar fokus pada kerudung yang mulai berantakan ini. Yang ada di pikiran ku cuma satu, bagaimana sampai di rumah tepat waktu─seperti biasanya, jam sembilan malam.

Terbayang wajah Bagas, putra ku satu-satunya yang tidak mau tidur kalau belum bertemu Bundanya, terbayang wajah Mas Haris, suami ku yang selalu setia menunggu ku di pinggir jalan Brebes. Ah, Mas ... aku gak mau menunjukkan sisi manja ku, makanya ku abaikan tawaran dari mu untuk menjemput ku tadi. Tidak ada alasan untuk mengeluh bagiku, kalian berdua adalah penyemangat ku.

Alhamdulillahbis yang ku tumpangi masih ada. Bis Bhinneka jurusan Cirebon. Aku segera naik dan mengambil tempat duduk persis di sisi jendela. Bis melaju, perlahan-lahan meninggalkan kota Bandung, seiring melajunya pikiran ku ke kejadian beberapa waktu lalu.

Aku menatap ke luar jendela, deret pepohonan hijau terpampang di mataku membentuk pagar. Tapi aku tak benar-benar memandangnya. Pohon-pohon itu hanya ibarat pantulan cermin di mata ku. Seketika batin ku berkata, “Akan kah aku bertemu sopir itu lagi?”

Kemaren dia tak segan-segan ‘merayu’ ku di hari pertama bertemu. Ah, ku pikir ini hanya bentuk ungkapan sisi nyamannya berbicara dengan ku.

Tak terasa kantuk mulai mendera, perasaan khawatir yang tadi bersemayam mulai hilang, seiring terlelapnya kelopak mata ku. Hingga aku tak menyadari sudah mendekati tujuan akhir bis ini, Cirebon. Aku sampai di Cirebon pukul 6 sore. Ini adalah jadwal bis Coyo, bis jurusan Cirebon-Semarang lewat.

Sayang sekali hampir seluruh kursi di bis ini penuh, satu-satunya kursi yang tersisa hanya di sebelah sopir. Lagi-lagi aku tak dapat mengelak. Beberapa waktu lalu aku juga terjebak di kursi yang sama, karena tak ada kursi kosong di belakang. Ya, seperti biasa mau tidak mau aku harus duduk daripada tidak ada bis lagi.

“Salam Bu, ketemu lagi.”

Deg. Sopir itu lagi.

“Iya.”

Jawaban singkat tanpa arti, tapi seulas senyum cukup mewakili, senyum kaget. Bagaimana tidak kaget, kalimat rayuannya masih terngiang-ngiang di telinga ku dan aku belum memberitahukannya pada suami ku, bahwa aku mendapat rayuan dari seorang laki-laki, dari seorang sopir yang mungkin ke depannya akan lebih sering ku tumpangi bisnya.

Aku tidak enak untuk tidur, kali ini ku pastikan tidak! Selain rasa kantuk ku sudah hilang karena tertidur di bis Bhineka tadi, aku juga tidak mau tertidur di samping sopir ini.  Kemaren awal dia menyapa ku, karena aku hampir tertidur di bisnya.

“Kalau ngantuk gak apa-apa Bu, tidur aja!”

Katanya sambil tersenyum. Aku menoleh tiba-tiba, kaget. Sepertinya sopir ini tau kalau dari tadi aku berusaha menahan kantuk. Aku hanya menjawab  dengan senyum simpul.

“Darimana, Bu? Eh, maksudnya ... sore-sore ini baru pulang kerja?”

“Iya,saya abis ngajar dari Bandung.”

“Ibu, guru?”

“Bukan ... dosen.”

“Oh ... gurunya guru ternyata. Haha.”

Katanya tertawa terbahak. Dan mengalirlah obrolan kami. Di akhir pembicaraan, dia bilang nyaman berbicara denganku dan dia berharap besok bisa bertemu aku lagi. Dan harapannya terkabul! Benar, hari ini aku bertemu dia lagi. Akan kah ceritanya sama seperti kamaren?

Kemaren sewaktu membayar ongkos, dia tidak mau menerima uangku. Entah apa maksudnya. Namun uang itu tetap aku tinggalkan di busnya. Dan kali ini aku juga bertekad untuk hal yang sama. Apa pun maksudnya, yang penting maksud ku baik. Aku menanggapi obrolannya semata-mata sebagai tanda hormat kepada orang yang mengajak ku bicara. Jadi aku lebih banyak mendengarkan daripada memberikan informasi pribadi ku, walaupun ia berusaha menguliknya.

“Gini-gini ... saya pintar lo, Bu! Jadi saya bisalah banyak sedikitnya mengimbangi obrolan seorang doktor.” Katanya.

Ah, dia bisa saja. Dia membuat kalimat pembuka yang sangat baik. Aku kalah telak! Aku tidak bisa underestimate terhadap orang yag sedang berbicara di depan ku ini, yang katanya dia hanya lulusan SMA tapi cerdas. Aku ikuti alur ceritanya.

Baiklah .... “Sudah berapa lama, Mas Seno jadi sopir?”

Aku akhirnya bertanya, dengan sebutan ‘Mas’. Ya, dia membantah ketika ku panggil ‘Pak’ saat pertama kali, panggil Mas saja katanya. Dan Seno adalah namanya, seorang sopir yang sudah beristri. Baru itu yang ku tau infonya.

“Cukup lama. Saya tidak pernah terpikirkan untuk pindah pekerjaan, kalau pun pindah, itu hanya pindah trayek. Haha .... Saya ingin pindah trayek ke Jakarta. Tapi ... kalau saya pindah, yang ada saya tidak bisa bertemu Ibu lagi.”

Rayuan yang ke sekian. Aku sudah hafal caranya merayu, elegan! Terima kasih.

“Istri Mas Seno kerja apa?”

Aku sengaja bertanya soal istrinya, membalikkan obrolon, setidaknya membantu dia mengingat kalau di rumah ada istrinya yang menunggu.

“Istri ketiga saya Bidan.”

Ketiga? Pantasan, orang ini lihai merayu.

Seakan membaca keheranan di wajah ku, ia lantas menjelaskan panjang lebar.

“Istri pertama saya keturunan tionghoa, saya sempat pindah agama, mengikuti agamanya, Hindu. Saya nyaman dengan istri pertama ini, ia orang yang mampu merubah saya menjadi lebih baik.”

Menjadi lebih baik? Maksudnya.

“Ya, dulu saya adalah brandalan. Saya bahkan pernah terlibat pembunuhan. Tapi sekarang, In Syaa Allah saya sudah insyaf.”

“Maaf, Mas Seno tidak punya anak?”

Pertanyaan to the point.

“Dengan istri pertama tidak. Saya punya anak dengan istri kedua, dan saya tinggalkan begitu saja saat anak saya masih SD. Dan sekarang saya punya anak tiri. Saya dilarang bertemu dengan anak saya oleh istri kedua saya.”

Dia mengusap wajahnya, kebas. Tatapannya masih lurus ke depan, dari samping aku dapat melihat hidungnya yang bangir, cocoklah hidung ini bersanding dengan kulitnya yang lumayan terang. Ku pikir pantas banyak perempuan yang terila-gila padanya, jika melihat dari rupanya saja. Tapi ku pikir tidak sekedar rupa, bisa juga karena keahliannya merayu tadi. Aku merasa, jika bukan aku perempuan yang dirayunya, mungkin perempuan itu telah terjerat cintanya.

Tak sadar karena jengahnya mendengar cerita sopir ini, aku sudah sampai tujuan. Dari kejauhan sudah tampak mobil suami ku yang menunggu di pinggir jalan. Sopir itu malah tersenyum getir, bahkan tampak biasa saja saat ku beri tau bahwa itu adalah mobil suami ku. Ia justru semakin berani.
Kali ini sebelum turun dari bisnya, ia menanyakan nomor handphone ku. Ku pikir tak ada salahnya ku tinggalkan juga kartu namaku bersama ongkos di bisnya ini. Tapi setelah sampai rumah aku betekad akan memberi tau suami ku.

Suami ku adalah orang yang begitu perhatian kepada istrinya. Mas Haris rela mencurahkan segala waktu dan tenaganya untuk ku. Setidaknya itulah yang ku rasakan selama delapan tahun berumah tangga denganya. Melihat perjuangannya yang kadang rela menjemput ku sampai ke Cirebon dari Brebes karena istrinya telat pulang, bahkan ia harus putar balik lagi ketika tak di dapatinya aku di Cirebon. Tapi ia tidak pernah mengeluh sedikit pun. Bahkan aku yang selalu mengomel karena letih, lalu rebah dalam pelukannya.

Sesaat aku sudah duduk di dalam mobil kita, di sebelah suami ku. Mas Haris dengan kaos hitam kesayangannya menyambut ku dengan senyumnya yang mampu menghilangkan lelah ku. Tangan kokohnya memegang setir mobil. Menarik tuas kemudi dan mobil kami berbalik arah menuju jalan pulang rumah kita.

Sudah hampir separoh perjalanan, aku masih saja berjibaku dengan pikiran ku sendiri, mematut-matut kalimat apa yang akan aku lontarkan pada Mas Haris? Bagaimana aku mengawalinya? Yang jelas aku ingin membuat pengakuan hari ini padanya, bahwa dua hari ini ada pria beristri yang berusaha mendekati ku.
***
Awalnya Mas Haris biasa saja setelah ku sampaikan hal ini ketika kami lagi duduk nyantai menikmati secangkir kopi bersama.

“Aku percaya istri ku, kamu tak mungkin akan tergoda olehnya, kan?”

Ucap suami ku dengan segala bentuk penekanan. Aku menggeleng penuh cinta, enggak Mas! Aku pun berpikir ini hanya sebatas obrolan di atas bis. Tapi ternyata beberapa waktu setelah itu, si sopir mengirimkan permintaan pertemanan pada ku di fb. Ku pikir sopir ini berusaha mencari tau segalanya tentang ku. Tak masalah.

Kali ini rasanya lebih plong. Aku sudah memberitaukan segalanya pada suami ku, termasuk permintaan pertemanan di sosial media itu dan Mas Haris mengizinkan untuk menerima permintaan pertemanan Mas Seno. Semoga ini menjadi jalan hidayah buat Mas Seno.

Aku jadi semakin sering memposting kata-kata bijak di wall fb ku, berharap jika Mas Seno membaca, bisa membuka mata hatinya sedikit demi sedikit.Aku tidak tega dengan istri Mas Seno. Aku bisa merasakan bagaimana perasaan istrinya.

Hari ke Sekian
Hari ke sekian aku di dalam bisnya. Hari ke sekian ku tumpangi bis yang sama, bis Coyo, jurusan yang sama, jam pulang yang sama, dan sopir yang sama. Aku tidak bisa mengelak! Karena pulang setiap hari di jam mendekati Maghrib, kecil kemungkinannya bagi ku untuk tidak bertemu dengan sopir itu, kecuali aku berganti bis, dan itu bukan pilihan yang tepat, sama saja dengan mempersulit diri sendiri.

Aku masih tetap pada keyakinan ku bahwa niat ku baik, aku tidak akan memanfaatkan kesempatan walaupun Mas Seno membuka kesempatan itu lebar-lebar di depan mataku. Kali kesekian dia bilang akan membahagiakan ku. Membahagiakan orang yang sudah bersuami? Ku pikir ini ajakan untuk berselingkuh dan menurut Mas Haris pun demikian. Astaghfirullah!Aku tidak akan menukar cintamu dengan cintanya, Mas.

Rasanya ini bukan main-main. Tapi aku sudah menjelaskan di awal padanya bahwa, pertama aku berterima kasih tentang perasaannya. Kedua, bagiku cinta itu harga diri. Cinta ku yang sejati hanya untuk suami ku. Aku merasa beruntung memiliki suami seperti Mas Haris, ku rasa ini adalah bentuk kasih sayang Allah padaku yang telah memberikan suami seperti Mas Haris, sebab aku bisa ‘menjaga’ masa muda ku selama ini, sebelum menikah dengan Mas Haris.

“Berarti sebelum nikah kamu tidak pernah pacaran dengan suami mu? Lantas bagaimana bisa kamu mencintainya?”

Kata Mas Seno suatu ketika, mengetahui aku tidak pernah menempuh jalan pacaran dengan Mas Haris, bahkan aku tak pernah pacaran.

“Sebelum menikah memang aku belum mencintai suami ku Mas, tapi setelah menikah cinta ku seribu persen untuknya bahkan lebih!”

Dia tertawa lebar saat ku sampaikan hal itu. Mungkin baginya ini adalah lelucon yang paling menggelitik. Buat lelaki seperti dia aku paham, mungkin dalam pikirannya semua perempuan bisa ditakhlukkan, apalagi dengan wajahnya yang rupawan dan pandai merayu.

Tapi tidak hanya dua itu saja modalnya, baru-baru ini dia bilang pada ku bahwa ia memakai ‘susuk’! Susuk itu dulu ditanam oleh seorang ustadz dan ia sempat ingin mencabut susuk itu, namun sayang sang ustadz sudah meninggal.

Teror di FB
Pagi ini aku dikejutkan oleh sebuah inbox asing saat aku membuka akun facebook ku. Sebuah inbox dari perempuan yang tak ku kenal, isinya cukup singkat dan bernada sedikit ancaman: “JAUHI SUAMI KU!!!” Semua tulisannya ditulis kapital, dan tidak cukup membubuhkan satu tanda seru di belakangnya.

Aku geleng-geleng kepala setelah ku ketahui ternyata itu inbox dari istrinya Mas Seno yang katanya seorang PNS, Bidan. Langsung ku beritaukan hal ini pada Mas Haris. Mas Haris juga tidak tinggal diam istrinya diperlakukan seperti itu, akhirnya tanpa basa-basi, Mas Haris meminjam handphone ku dan menelfon Mas Seno.

“Saya pikir sesama laki-laki dan sesama suami kita juga perlu saling mengenal, selain istri kita saja yang ‘bersilaturahmi’. Saya Haris, SUAMInya Resna. Resna sudah cerita semuanya termasuk perihal sapaan manis dari istrinya bapak Haris di inbox FB istri saya. Sewaktu-waktu kita agaknya perlu bertatap muka langsung.”

Kata-katanya Mas Haris penuh majas dan menohok langsung ke intinya. Ku rasakan ada api cemburu di sana. Setelah menutup telfon Mas Haris bilang padaku bahwa, seandainya Mas Haris yang pergi duluan meninggalkan ku, Mas Haris tidak ridho aku menikah dengan sopir itu karena menurut Mas Haris, ia bukanlah laki-laki yang pantas untuk ku.

“Cemburu itu berat Resna, jadi biar aku saja yang rasa.”

Ya Allah, Mas ... maafkan istri mu ini, tapi kata-kata Mas Haris barusan menggelitik ku. Baiklah Mas ... besok akan ku sampaikan pada Mas Seno perihal ini agar tak terjadi perang dunia ke dua. Itu seandainya jika besok aku menumpangi bis dia lagi.

Hari ini aku tidak melihat bis Coyo lewat, ku lirik jam ... ternyata aku pulang tidak di jam biasanya, agak lebih cepat. Bis itu ... apakah belum melintas, sudah  lewat, atau memng tidak menarik menumpang? Aku tidak tau, yang jelas aku tidak akan menunggunya hanya demi bertemu Mas Seno. Aku pulang saja dengan bis lain.

Besoknya ku tunggu-tunggu ... akhirnya aku naik bis Mas Seno. Ku lihat wajahnya agak sedikit pucat, tapi ku urungkan niat untuk bertanya. Langsung saja ku sampaikan perihal istrinya setelah sedikit berbasa-basi. 

Tapi seperti yang aku duga, Mas Seno tampak biasa saja dan tidak kaget sedikit pun. Malahan ia tertawa, katanya memang benar istrinya cemburu, sampai setelah dia menginbox ku ... dia lalu memblokir ku di akun fb Mas Seno.

“Istri saya mau umroh Bu Resna, sebelum umroh saya ingin istri saya minta maaf sama Bu Resna, agar dia tak bawa  beban ke sana. Tapi agaknya istri saya tidak mau.” Katanya tersenyum getir.

“Maafkan saya ya, Bu Resna. Tapi saya benar-benar mencintai Bu Resna. Kita tidak tau akan berjodoh dengan siapa, siapa tau ke depan saya berjodoh dengan Bu Resna. Selama ini ... ongkos dari Bu Resna selalu saya kumpulkan untuk mahar kelak.”

Sambungnya lagi. Saya berkemalut dengan pikiran saya sendiri ... bagaimana ini akan berakhir. Mas Haris .... saat ini juga rasanya aku ingin berada di sisi mu dan berharap esok lebih baik, tidak ada masalah apa-apa.

Hari-hari ku lalui dengan Mas Haris seperti biasa, tidak ada pertengkaran apa pun dalam keluarga kecil kami. Mas Haris bisa menyikapi masalah ini dengan bijak, aku jatuh cinta berkali-kali kepada pria ini. Tugas ku pun sebagai seorang dosen berjalan lancar. Dua hari dalam seminggu aku mengajar di Bandung dan Sumedang yaitu, setiap Senin dan Rabu.

Jika tidak mengajar, aku di rumah saja menghabiskan waktu dengan Bagas menunggu Ayahnya pulang dari sekolah. Sementara aku menyelesaikan jurnal, nyambi menyelesaikan tugas rumah tangga. Aku menikmatinya. Aku bersyukur dengan kehidupan yang ku jalani sekarang walaupun kadang harus pulang larut malam jika telat ke luar kelas seperti kemaren.

Dan beberapa hari ini aku tidak pernah bertemu Mas Seno, sudah lama agaknya, hampir sebulan. Aku tidak tau bagaimana kabarnya. Sempat ku tanya pada penjaga kamar mandi di terminal, katanya ia juga sudah lama tidak melihat Mas Seno berwuduk di tempatnya. Apa mungkin ia sakit? Sebab beberapa waktu yang lalu ku lihat wajahnya pucat. Ah, kenapa aku jadi memikirnnya! Rutuk hati ku sendiri. Ku doakan saja ia dan istrinya baik-baik saja.

Ku sampaikan kabar ini pada Mas Haris. Di luar dugaan, Mas Haris malah mengajak ku bersilaturahmi ke rumah Mas Seno.

“Kita tanyakan saja alamatnya pada bapak-bapak penjaga kamar mandi di terminal itu, kata mu juga .. rumahnya di sekitar Brebes kan? Ya ... sekalian kamu silaturahmi sama istrinya juga.” Lanjut Mas Haris seakan membaca keraguan ku.

Akhirnya hari ini kami berputar-putar mengelilingi Brebes mencari alamatnya. Kami bawakan oleh-oleh dan Bagas tidak kami ajak, kebetulan ia lagi di rumah Neneknya. Setelah bertanya pada seorang Ibu penjaga warung di pinggir jalan ... kami menemukan rumah Mas Seno. Rumahnya cukup mewah dan halamannya luas.

Sewaktu kami memijit bel, kami disambut oleh seorang ibu, mungkin kah ini istri Mas Seno?

“Silahkan masuk Bapak dan Ibu, saya panggilkan Ibuk dulu.”

Katanya. Bukan istrinya ternyata tapi pembantunya. Aku dan Mas Haris saling tatap sembari menunggu pembantu itu. Apakah gerangan yang terjadi?

Tiba-tiba keluar dari dalam bilik seorang perempuan yang sangat keibuan sambil membopong seorang pria, Mas Seno. Ya Allah ... aku kaget melihat tubuhnya yang sangat kurus, tidak tampak lagi gurat-gurat rupawan di wajahnya. Dua orang, perempuan dan pria itu duduk berhadap-hadapan dengan kami.

“Ini pasti Bu Resna dan suami ya.”

Kata perempuan itu kepada kami. Kami yang sempat terpaku tergagap mengucapkan salam. Dari kata-katanya barusan ... ku lihat perempuan ini sangat ramah, tidak ada kesan galak seperti pesannya di fb. Belum sempat kami menjelaskan maksud kedatangan kami ... istrinya ini sudah bercerita panjang lebar. Ia meminta maaf dan berterima kasih. Untuk apa?

Lalu akhirnya Mas Seno angkat bicara dengan tertatih-tatih.

“Ya, Pak Haris dan Bu Resna. Saya sakit sudah sebulan ini. Belum ketauan penyakit saya apa, tapi ya ... beginilah keadaan saya. Tubuh saya kurus dan saya belum kuat berjalan sendiri. Terakhir saya bertemu dengan Bu Resna sore itu ... malamnya saya demam. Tubuh saya menggigil hebat. Saya paksakan tidur, saya minta istri menyelimutkan saya. Dalam tidur saya seakan-akan terbangun, berada pada suatu ruang gelap, gelap ... dan sangat gelap, hingga membuat saya ketakutan. Saya kalut, saya bingung, dan saya pun berlari. Tapi tak tau kemana, tak ada setitik cahaya pun yang saya temui. Lalu, tiba-tiba ada seorang laki-laki berjubah putih dan itu ternyata ustadz yang pernah memasangkan susuk buat saya. Dia menatap saya, namun  tiba-tiba saya diseret oleh orang yang tak dikenal ... saya seperti hendak dilemparkan ke dalam api yang bergejolak. Saya berteriak histeris dan berusaha berontak. Namun tarikan itu sangat kuat dan tak ada orang yang bisa menolong saya, termasuk ustadz tersebut. Beliau hanya berpesan bahwa saya msih punya kesempatan. Setelah itu saya terbangun. Mimpi itu terus berualng hingga berkali-kali Pak.”

Katanya tergugu, dia mulai menangis. Kami pun terkesima, tak tau berkomentar apa.

“Setelah saya pikir-pikir ... saya harus bertaubat. Saya banyak dosa selama ini, termasuk pada Bu Resna dan Pak Haris. Beruntung kalian datang ke sini, saya mau minta maaf.”

Allahu Akbar, sepertinya barusan dia mendapatkan hidayah. Tentu saja kami dengan lapang hati menerima maafnya dan kami mendoakan kesembuhan untuknya.

Beberapa hari setelah kejadian itu, ku lihat Mas Seno sudah beraktifitas seperti biasa dan hari ini pulang mengajar, aku menumpangi bisnya lagi. Aku duduk di belakang. Dan dia seratus persen sudah berubah. Dia agak sungkan kepada ku. Terima kasih Ya Allah.

Cerpen oleh: Nelvianti

*kalau yang ini bukan cerpen hasil lomba tapi cerpen hasil request my lecturer. Ya ... ini berdasarkan kisah nyata dengan dibumbui sedikit fiksi tapi karena bukan saya yang mengalaminya, saya kurang dapat fillnya, boleh minta kritik dan saran juga dari teman-teman, kira-kira ... saya harus ngerevisi bagian mana? Hatur nuhunnn. :)





0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design