Minggu, 07 Juli 2019

Ku Temukan CahayaNya di Tengah Perang Palestina



Dimanakah Cahaya Islam itu? (Merlyn)
Korban terus bertambah. Aku sedikit kewalahan menghadapinya.Tapi tidak dengan para dokter di sini, mereka cekatan. Mungkin aku belum terbiasa.
            Miss Merlyn, there are more victims!”
            Seorang berkebangsaan Eropa menghampiriku, ia mendorong ranjang. Di atasnya seorang pasien sedang meradang.
            Tidak, tidak. Perempuan berkerudung itu tidak sedang meradang. Ku lihat mulutnya berkomat-kamit, entah apa yang dilantunkannya.
            Astaga! Aku hampir melupakan kakinya. Kaki perempuan ini terluka, parah sekali. Sepertinya tertimpa reruntuhan puing-puing.
            Tapi aku heran, kenapa darahnya tidak begitu banyak. Tunggu dulu! Aku bukannya berharap seliter darah segar mengucur deras dari kaki perempuan bermata bulat ini. Sungguh, ini di luar nalarku! Berpuluh-puluh tahun aku menekuni profesi sebagai dokter ortopedi di Indonesia, belum pernah sekalipun aku menemukan hal seperti ini. Biasanya, seseorang yang kakinya hancur akan mengeluarkan darah yang sangat banyak hingga dirinya pingsan. Tapi pasien ini tidak, ia begitu tenang.
            “Apa yang Anda ucapkan?” Aku bertanya kepada perempuan yang sedang ku tangani ini.
            Ku coba menyentuh kakinya. Darah merah di kakinya kontras sekali dengan kulitnya yang putih, kulit khas Palestina.
            Ahad… Ahad… Ahad….” Katanya.
            “Allah itu Esa. Allah penolongku!” Ia terus mencerocos.
            Aku tersentak mendengarnya. Ini bukan kali pertama aku mendengar kata-kata itu, maksudku di dalam ruangan 15 x 25 meter ini, aku sering mendengar kata-kata itu.
            Where are you from?” Tanyanya.
            Aku menjawab dengan isyarat, menujuk badge merah putih yang terpatri di lengan baju kananku. Lalu, senyum mengembang di wajahnya.
Aku tahu apa yang ada di pikiran perempuan cantik ini, dan aku tahu alasan ia tersenyum. Pertama kali aku menginjakan kaki di bumi Palestina ini, semuanya terkaget-kaget.
“Anda jauh-jauh datang dari Indonesia, hanya untuk membantu kami!” Ucap dokter kepala di ruangan ini. Lalu, dibuntuti kata-kata berikutnya.
“Kami senang mempunyai saudara dari Indonesia…. Pasti di negaramu sangat mudah untuk mendirikan sholat… tidak diganggu desingan peluru atau roket….”
Aku sudah lama tahu dari media bahwa, rakyat Palestina benar-benar tulus mencintai Indonesia, saudara seimannya, tapi baru kali ini ku dengar langung dari mulut muslim di sini.
Aku berlanjut mengurusi luka pasien cantik ini. Luka perempuan ini cepat kering, sama dengan luka pasien-pasien lain yang tidak cepat membusuk.
            Sekarang, perempuan itu sudah beristirahat. Ia baru saja ku bius. Aku yakin, masih banyak hal yang ingin disampaikannya, tapi keadannya mencegahnya untuk berbicara terlalu banyak.
            Setelah selesai ku perban kakinya, aku tertunduk di ranjangnya. Aku menyeka keringat. Tiga hari ini banyak hal-hal ganjil yang ku temui.
x
Disinikah Cahaya Islam Itu! (Afifa)
Kami dilarang masuk! Kami harus melakukan negosiasi panjang dengan Hamas. Setelah dijelaskan oleh juru bicara kami, akhirnya mereka mengerti.
            Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk mengorek informasi dari mereka. Siapa sebenarnya pejuang Hamas itu?
            “Kenapa wajah Anda ditutup?” Tanyaku. Said, juru kamera, sudah siap. Ini live! Jadi tidak ada pengulangan.
            “Kami tidak ingin dikenali, kami tidak ingin riya, kami berjuang karena Allah!” Ucap salah seorang dari mereka dengan bahasa Arab yang fasih.
            Kalau aku tak salah hitung, jumlah mereka ada sepuluh orang. Ku kira mereka semua adalah armynya Palestina, ternyata bukan. Mereka terhimpun dari berbagai profesi yang berbeda, ada dokter, dosen, professor, dan profesi lainnya.
            Sungguh, mereka adalah pejuang yang hebat. Di tengah malam yang buta ini mereka rela meninggalkan anak, istri, dan keluarga yang disayangi untuk menjaga keamanan wilayahnya. Menjadi pejuang Hamas, berarti siap mati, katanya.
            Aku tak sengaja melirik granat di kaitan celana laki-laki yang sedang ku wawancarai ini. Said lalu mengerlingkan matanya kepadaku, memberi kode. Aku mengerti.
            “Granat ini, apa kalian buat sendiri?” Todongku.
            “Ya. Kami tak sengaja menemukan granat. Granat itu lalu kami pelajari, kami bongkar, dan kami rangkai sendiri.” Ia mengusap gerigi granat di tangannya.
            Aku takjub dengan kecerdasan mereka. Di tengah blockade seperti ini, tak mungkin rasanya mereka memperoleh bantuan peralatan perang dari luar. Mau tidak mau, mereka harus membuat sendiri.
            Wawancara ditutup. Kami tidak bisa melakukan wawancara terlalu lama. Crew segera mengemasi semua peralatan liputan. Kali ini, kami akan melanjutkan perjalanan menelusuri terowongan di Gaza. Ahmad, bos ku, sudah mewanti-wanti kami ketika di Jakarta untuk membuat liputan yang menarik, jadi kami harus melakukan hal yang extraordinary.
            Aku bersiap untuk pengambilan scane pertama dengan kalimat pembuka yang menarik. Aku berdiri di tengah-tengah terowongan, dan Said berjarak satu hasta di depanku.
            “Lihatlah, betapa panjangnya terowongan ini….” Aku mengetuk-ngetukan tangan pada papan yang membidangi permukaan terowongan ini.
            Aku sedikit takut menelusuri terowongan ini. Tak terbayangkan, jika terowongan ini tiba-tiba runtuh.
            “Terowongan inilah yang digunakan rakyat Palestina untuk mengakses dunia luar.” Aku mengakhiri scane.
            “Sip!” Kata Said.
            “Besok kita lanjut ke rumah sakit.” Katanya.
            Rumah sakit? Ku rasa, sudah tak ada lagi rumah sakit di sekitar sini.  Kalau yang dimaksud Said tempat penampungan orang-orang sakit, benar adanya.
                                                                      x
Inikah Cahaya Islam Untukku (Merlyn)   
Aku sudah mendapat kabar bahwa, akan ada peliputan di tempat penampungan siang ini dari salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Ini kabar bagus, karena aku bisa mengirim kabar untuk Mama di Indonesia yang selalu mencemaskan kedaanku.        Hampir dua bulan aku di Palestina menjadi relawan medis, dan selama itu pula aku belum bisa menghubungi Mama. Aku ingin menyapa Mama dulu, sebelum pulang akhir Februari ini.
            Miss Merlyn, sebentar lagi rombongan reporter dari Indonesia akan datang. Bisakah anda menjadi juru bicaranya dan membantu menerjemahkan?” Pinta dokter kepala.
            Aku menyanggupi.
            Pukul satu siang, seorang perempuan berkerudung hitam, berwajah Asia, memasuki camp, diikuti oleh seorang laki-laki di belakangnya. Inikah reporternya? Aku tak menyangka reporternya seorang perempuan.
            “Afifa.” Katanya memperkenalkan diri.
            “Merlyn.” Aku menjabat tangannya.
            Sedikit basa-basi. Langsung saja ku giring dua orang ini mengelilingi camp. Hal pertama yang mereka sorot adalah anak-anak.
            “Bolehkah saya mewawancarai anak ini?” Pintanya.
            “Boleh. Asalkan tidak terlalu lama.” Aku lalu berdiri di belakangnya.
            Bocah laki-laki yang diwawancarai Afifa kondisinya sudah cukup sehat, beberapa hari lalu tangannya diamputasi. Namanya Faiz, umurnya baru tujuh tahun. Ia adalah anak yang ceria, walaupun kehilangan satu tangan kananya, tapi senyuman tak pernah luntur dari wajah polosnya.
Afifa memperkenalkan diri, lalu sedikit berbasa-basi, dan satu-persatu melontarkan pertanyaan.
            “Faiz bercita-cita menjadi apa?” Pertanyaan standar untuk anak kecil.
            “Ingin menjadi Brigade al-Qassam.” Ungkapnya.
            Aku dan Afifa saling berpandangan. Siapa sangka jawaban Faiz di luar pikiran anak-anak pada umumnya. Di saat anak-anak lain, dibelahan bumi yang lain, bercita-cita menjadi dokter, guru, atau sebagainya, Faiz justru bercita-cita menjadi pejuang Hamas untuk membela negaranya.
            “Kenapa bercita-cita menjadi Brigade al-Qassam, emang Faiz tidak takut dengan Israel?”Afifa semakin menelontarkan pertanyaan retorik.
            “Tidak. Saya ingin menjadi pemberani. Saya ingin melindungi Ibu, adik-adik, dan mempertahankan wilayah umat Islam.”
            Lagi-lagi aku tersentak. Bagaimanakah anak sekecil ini bisa berbicara seperti itu? Begitu kuatkah imannya? Bagaimana dengan diriku? Perlahan-lahan cahaya itu menyusup dalam sanubariku. Aku mulai mempertanyakan keimananku. Siapakah yang aku imani selama ini?
            Setelah melakukan wawancara, aku menyeret Afifa ke ruangan konsumsi. Aku ingin berbicara panjang lebar padanya. Walaupun Afifa orang yang baru ku temui, tapi aku merasa nyaman bercerita kepadanya.
            “Jadi kamu non muslim?” Afifa tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Tapi aku yakin, ia sudah menduga sebelumnya lantaran melihat kerudungku yang asal-asalan.
            “Rasa kemanusiaanlah yang membawaku ke sini. Dalam memberikan pertolongan, aku tak pernah memandang ras. Bagiku, siapun dia, dibumi manapun ia tinggal, apapun warna kulitnya, kalau ia lagi kesusahan, maka wajib ditolong.” Aku menjelaskan dengan gamblang pertanyaan tersirat Afifa.
            Mata Afifa berkaca-kaca.
            “Afifa, tolong tuntun aku mengenal Islam!” Afifa menghambur dalam pelukanku, air matanya tumpah.
x
Siapapun Bisa Menemukan CahayaNya (Afifa)
Siapapun bisa menemukan CahayaNya. Ia datang dari jalan yang tak disangka-sangka. Beruntunglah orang-orang yang menemukannya.
Ku akhiri ketikan di kalimat penutup ini. Ini bukan ‘artikel wajib’ yang akan dimuat Ahmad, ini hanya artikel tambahan. Artikel tentang seseorang yang menemukan Islam di bumi Palestina. Merlyn. Aku ingin mengukir kisahnya.
Setelah beberapa jam lalu ku antarkan ia kepada salah seorang Imam Masjid, ku yakin, ia sekarang sedang khusyuk menekuni Islam. Semoga ia semakin menemukan cahayaNya.
 “Afifa, sedang apa anti?” Said menyapa dari balik tenda.
Nothing. Aku baru saja menyelesaikan satu artikel.” Jawabku santai.
“Bisakah, anti ke sini sebentar? Ana butuh komentar untuk hasil liputan kita tadi.” Aku memakai kerudung dan menghampiri Said di luar tenda.
Good job!” Puji ku, setelah melihat hasil editan Said.
“Merlyn, apakah ia akan pulang bersama kita lusa?” Tanya Said tiba-tiba, ia tidak menanggapi pujian ku.
“Mungkin beberapa hari lagi, tugasnya belum selesai.”
Kami terdiam. Bergumul dengan pikiran masing-masing. Begitu banyak keajaiban di tanah ini, dan Merlyn adalah salah satunya. Aku masih belum mengerti, kenapa ia mau mengungkapkan kisahnya padaku.
Tiba-tiba… aku mendapat kabar yang mengejutkan. Roket baru saja jatuh beberapa meter dari tempat penampungan orang-orang sakit. Merlyn? Kami berpacu ke sana!
Suasana kacau balau, Said terseok-seok membawa kamera, tak mudah meliput dalam suasana seperti ini. Tidak, bukan liputan lagi yang ada dalam pikiran kami. Tapi saudaraku. Merlyn, apa kabarnya di sana?
Langit berubah cerah, di selatan seonggok cahaya kuning berkoar-koar, bekas letusan roket. Roket menari-nari di udara, tapi kami terus berlari.
Tendaku cukup jauh dari tempat Merlyn. Keadaan sudah cukup tenang ketika kami sampai di sana. Tapi tidak ku temukan Merlyn, sangat susah mencarinya. Aku memaksa masuk camp yang penuh sesak itu. Oh no, jangan sampai! Harus ku cari kemana lagi ia, aku tak dapat menghubungi teman relawannya yang lain. Ia tak meninggalkan jejak.
Ya Allah, dia baru mengenal cahayaMu, akankah Kau ambil ia? [*]

Cerpen Oleh: Nelvianti

0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design