Rabu, 03 Juli 2019

Semong



Semong rume rumemu
Linon awak awakmo
Elaik keudang keudangmo
Kilek suluh suluhmo
            Berkulit putih kemerahan, dan bermata sipit, itulah kecantikan khas Asia yang aku miliki. Kecantikan dari penduduk pulau kecil yang berjarak ratusan kilometer dari daratan Aceh, Simeuleu. Ya, aku dilahirkan di Kabupaten Simeuleu, yang penduduknya menjaga ketat adat istiadat secara turun-temurun. Kau tahu, gadis-gadis Simeuleu itu sangat cantik-cantik! Selain cantik, kami juga memiliki budaya yang bisa ditempatkan sejajar dengan masyarakat luar pulau. Kami memiliki bahasa tersendiri, bukan bahasa Aceh. Kami memiliki kekayaan tak ternilai, hamparan laut  luas dan pantai indah. Dan kami memiliki kearifan lokal yang terkenal sampai ke seluruh dunia. Kami membuat penasaran berbagai media, peneliti, hingga wisatawan.
            Kalau boleh bercerita sedikit saja tentang pulau ku, akan ku ceritakan. Pulau ku tidak kalah indah dengan pulau Bali, juga banyak dikunjungi wisatawan mancanegara. Sebut saja penulis Belanda, Martinus Nijhoff yang sampai melakukan riset di pulau ku tentang kearifan lokal yang kami miliki. Kearifan lokal yang kami jaga lebih memikat perhatian dunia daripada wisata selancar, wisata pantai, danau, atau bahari yang kami suguhkan.
            Kalau kamu ingin tahu seperti apa pulau ku, kamu dapat menempuh dua alternatif perjalanan untuk sampai di sini.
            Pertama, lewat jalur laut. Kamu bisa menaiki kapal feri dari dua lokasi di pesisir selatan Aceh, Singkil dan Labuhan Haji dengan harga tiket berkisar Rp 70-80 ribu. Waktu yang kamu habiskan sekitar 8-10 jam.
            Kedua, lewat jalur udara. Kamu harus merogoh kocek lebih banyak untuk melewati jalur ini, Rp 500-650ribu dari Bandara Kuala Namu, Medan ke Bandara Sinabang Lasikin.
            Kalau kamu sudah sampai di pulau ku, kamu akan kami sambut. Kami sangat terbuka dengan masyarakat luar pulau. Jika kamu termasuk tamu nan ramah, maka cerita demi cerita akan meluncur begitu saja dari mulut Chik Oemar. Lagi-lagi cerita itu tidak jauh dari kenangan di masa tragedi 2004 silam.
26 Desember, 2004
            Air laut surut jauh! Aku melihat Chik Oemar berlari dengan sangat kencang ke bukit. Sesaat, syair itu terdengar. Aku dan para penduduk bergegas mengikuti Chik Oemar ke atas bukit―beruntung, pulau ku dipenuhi oleh perbukitan di sekelilingnya.
Semong rume rumemu,
Linon awak awakmo.
Elaik keudang keudangmo,
Kilek suluh suluhmo.
Semong air mandimu,
Gempa ayunanmu.
Petir adalah gendangmu,
Halilintar adalah lampu-lampumu.
            “Zulfikar… mana Zulfikar?” Aku berteriak histeris, ketika tak ku temui adik ku diantara rombongan kami.
            Aku berbalik lagi, tapi Nek Pinah memegang tanganku, erat sekali!
            “Biarkan Bang Sofyan yang mencari Fikar!” Bentak Nek Pinah, ketika melihatku masih bersikeras mencari Fikar.
            Aku terduduk, lantunan Nandong berdenging di telingaku. Jerit, tangis, semua menyeruak menjadi satu. Hilang arah. Aku berputar-putar di kerumunan penduduk, mata ku nanar. Lantunan Nandong, kuasa membawa pikiran pendengarnya melayang-layang. Ombak, pasir, hingga karang, seolah turut berbicara seiring lantunan Nandong yang sesekali lirih dan sesekali melengking tinggi. Di beberapa bagian nadanya seperti meratap, di bagian lain bernada garang seolah siap untuk berperang.
            Dalam nada-nada Nandong yang dilantunkan Chik Oemar, tersimpan kepasrahan dan pengakuan atas kekuatan alam dan laut nan sangar. Dalam lengkingnya seolah mewakili kekuatan bahwa, kami adalah makhluk ciptaan Yang Maha Kuat yang selalu siap menghadapi tantangan.
            Seketika pikiran ku melayang, terngiang-ngiang ketika Zulfikar melantunkan Nandong saat melemparkan kail ke laut, berharap mendapatkan tangkapan yang banyak. Ketika Zulfikar menggembala kerbau di pinggir-pinggir pantai, menundukkan hewan piaraan kami yang bertubuh besar itu dengan syair nandong yang dilantunkannya. Hingga pertunjukkan Nandong satu malam penuh pada pesta pernikahan, khitan, syukuran, dan acara-acara khusus lainnya, bagaimana dua orang memukul dua gendang di antara tiap lirik senandung. Semuanya berseliweran di pikiranku.
            Aku tak yakin Zulfikar tidak mendengar lantunan Nandong. Nandong erat kaitannya dengan Semong. Ketika ‘alarm’ Semong diteriakkan dari mulut ke mulut, seketika penduduk berlari ke arah perbukitan. Tak mungkin Zulfikar tidak mendengarnya!
            Tujuh menit berlalu, Chik Oemar tiada henti-hentinya melantunkan Nandong. Dengan mata terpejam Chik Oemar seakan mengalami semacam ekstase. Di sini efek magisnya akan mengalir kepada siapa saja yang mendengarnya, termasuk kepadaku. Nandong memiliki efek magis yang sulit dilukiskan.
            “Pastikan semua penduduk sudah naik ke atas bukit!” perintah Nek Pinah. Istrinya Chik Oemar ini berseru dengan lantang.
            “Ada berapa kepala keluarga di sini? Coba hitung, apakah ada anggota keluarga yang kurang.” Lanjutnya.
            “Adiknya Rheina belum ditemukan.” Ku dengar salah seorang berseru dari kerumunan.
            “Ya, aku sudah tahu!” Nek Pinah tergopoh-gopoh menghampiriku.
            Aku tidak bisa berbuat apa-apa setelah dilarang keras oleh Nek Pinah.
            “Kau tidak percaya kepada Yang Maha Kuasa yang telah menitipkan kebudayaan luar biasa pada kita?” Nek Pinah mendekap bahuku.
            “Kau masih ingat, bagaimana Martinus Nijhof mencatat sejarah? 4 Januari 1907, pada masa itu masyarakat Simeulue memang belum mengenal istilah tsunami. Laut yang tiba-tiba surut menjadi daya tarik tersendiri bagi nenek moyangmu kala itu….” Aku tersentak mendengar Nek Pinah menyebut kata nenek moyang.
            “…Mereka malah berlain ke arah pantai berebut ikan-ikan yang terdampar tersebut, mugkin mereka pikir akan menemui lobster juga di sana. Tapi lihatlah sekarang, tidak ada satu orang pendudukpun yang mendekati bibir pantai!”
            Aku tak pernah meragukan itu Nek Pinah, batinku. Aku tak pernah meragukan itu, walaupun infrastruktur telekomunikasi di Kabupaten Simeulue sangat terbatas. Aku terus terpekur, lututku bertumpu pada tanah merah.
            Martinus Nijhof, ketika Nek Pinah menyabut nama itu, aku teringat lagi bukunya. Buku Belanda itu, ‘S-Gravenhage’. Aku pernah membacanya! Penggambaran tsunami yang menderu-deru dari arah laut lepas, melibas sebagian besar masyarakat pada abad itu. Masyarakat yang selamat menjadi saksi mata atas kejadian semong dan menuturkannya untuk generasi mendatang agar berhati-hati terhadap kejadian serupa.
            Hal itu telah melakat kuat dalam benak kami. Bagaimana tidak? Potongan syair itu adalah senandung pengantar tidur kami setiap hari. Zulfikar yang berumur sembilan tahun pun hafal syairnya. Seluruh desa yang terdapat di Simeulue hafal seluruh lirik di dalam syair Nandong ini.
            “Smong… Smong DATANG!” Teriak penduduk di belakang ku, mereka menunjuk-nunjuk ke arah gelombong tinggi besar yang menggulung.
Enggel mon sao curito! Inang maso semonan, manoknop sao fano, uwi lah da sesewan. Unen ne alek linon, fesan bakat ne mali, manoknop sao hampong, tibo-tibo mawi. Anga linon ne mali, uwek suruik sahuli, maheya mihawali, fano me singa tenggi. Ede smong kahanne. Turiang da nenekta, miredem teher ere, pesan dan navi da.
Dengarlah sebuah cerita! Pada zaman dahulu, tenggelam satu desa, begitulah mereka ceritakan. Diawali oleh gempa, disusul ombak yang besar seluruh negeri, tiba-tiba saja. Jika gempanya kuat, disusul air yang surut, segerah cari, tempat kalian yang lebih tinggi! Itulah smong namanya. Sejarah nenek moyang kita, ingatlah ini betul-betul, pesan dan nasihatnya.
            Chik Oemar menyudahi lantunan Nandongnya. Ia berdiri tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
            “Zulfikar….” Batinku bergejolak lagi!
            “Kakak… tiba-tiba Zulfikar menyeruak dari balik kerumunan!” Tangan kecilnya langsung merengkuh badanku.
            Ternyata Bang Sofyan telah berhasil menemukan Zulfikar. Keyakinan ku benar, Fikar mendengar syair itu. Bahkan ia lebih dulu naik ke atas bukit daripada ku. Aku saja yang kepanikan tak menemukannya.
            Semong rume rumemu
            Linon awak awakmo
            Elaik keudang keudangmo
            Kilek suluh suluhmo
            Chik Oemar. Kenapa ia begitu tenang? Apakah ia sudah yakin semua penduduk selamat? Aku tahu, diam adalah sifatnya. Ia berbicara lewat mata. Lihatlah, mata hitam jelaganya menantang gulungan ombak raksasa itu! Tak ada tersirat ketakutan sedikitpun di wajahnya. Aku yakin, ini bukan karena sombongnya pada Yang Kuasa. Tapi ini karena perasaan yakin yang mengakar kuat. Seolah-olah Chik Oemar ingin berkata, lihatlah… walaupun ada satu radio di sini, kami tak sulit melakukan mobilisasi masa dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit.
            Aku selalu diajarkan oleh Chik Oemar yang tak banyak bicara ini untuk selalu menjaga budaya, memegang teguh adat istiadat kami! Hari ini semua perintah darinya itu terjawab, kenapa kami harus menjaga Semong dan Nandong sebagai kesenian tradisional kami!
            Lihatlah, bagaimana dari atas perbukitan ini kami menyaksikan keganasan gelombang tsunami menyapu seluruh desa, menghancurkan perumahan, sawah, dan ladang. Ada perasaan campur aduk di sini, di lubuk hati ini.
            Bukan masalah kami harus bertahan di tenda pasca tsunami ini, tapi masalah saudara kami dia Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Utara, Banda Aceh, dan beberapa kabupaten atau kota lainnya. Bagaimana nasib mereka?
            Hanya sekejap, semuanya berlalu. Menyisakan hamparan lumpur bersampah, hanya satu dua pohon kelapa yang masih berdiri tegak. Pias. Wajahku kebas menyaksikan semua ini. mungkinkah ada saudara kami di antara gelimang lumpur itu. 
***
            Di balik tangis ini, aku bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Meski gempa bumi dan tsunami 2004 berpusat di Simeulue, tapi jumlah korban di pulau ku paling sedikit dibanding kawasan Aceh lainnya. Nyaris sulit dipercaya, ketika belahan Aceh lainnya menelan korban jiwa lebih dari dua ratus ribu jiwa, di Simeulue hanya terdapat enam orang yang meninggal akibat tsunami pada saat itu. Kecuali dari sisi harta benda, kami mengalami kerugian berupa hancurnya sekitar 1.700 rumah.
            Sebagian besar penduduk di pulau kami selamat hanya karena kami memiliki ‘alarm tradisional’ yang kami sebut dengan “Semong” atau “Smong”. Kata Smong adalah kata sandi yang dipahami bersama oleh seluruh penduduk pulau ini untuk melukiskan terjadinya gelombang raksasa setelah terjadinya gempa besar. Kami bukan hanya sekedar memahami kata tersebut, tetapi kami juga memahami tindakan apa yang harus kami lakukan apabila peristiwa tersebut terjadi. Kami hanya cukup mendengar satu sandi yang dilantunkan, maka kami akan bergerak dengan kecepatan tinggi walaupun kami berada pada daerah yang terpisah-pisah.
            Semong telah mengalami proses pengendapan yang lama sehingga lambat laun menjadi memori kolektif dalam bentuk sistem nilai masyarakat. Nandong sebagai sebuah seni tradisi lisan masyarakat kami memegang fungsi penting dalam membangun memori kolektif tersebut. Nandong dalam masyarakat Simeulue tidak hanya menjalankan fungsi klasik pantun atau syair yaitu sebagai media penyampai isyarat, pendidikan, pencatat sejarah dan hiburan. Nandong telah sampai pada fungsi tertinggi budaya lisan yaitu pembangun memori kolektif masyarakat.
            Kawasan kami paling kecil mencatat angka korban. Maka tak heran masyarakat dunia memberikan penghargaan SASAKAWA AWARD kepada kami. Nandong seolah membawa pesan kepada dunia bahwa, dengan menjaga budaya, membuat nyawa kami terjaga.

Cerpen Oleh: Nelvianti




0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design