Semong
rume rumemu
Linon
awak awakmo
Elaik
keudang keudangmo
Kilek suluh suluhmo
Berkulit putih kemerahan, dan
bermata sipit, itulah kecantikan khas Asia yang aku miliki. Kecantikan dari
penduduk pulau kecil yang berjarak ratusan kilometer dari daratan Aceh,
Simeuleu. Ya, aku dilahirkan di Kabupaten Simeuleu, yang penduduknya menjaga
ketat adat istiadat secara turun-temurun. Kau tahu, gadis-gadis Simeuleu itu
sangat cantik-cantik! Selain cantik, kami juga memiliki budaya yang bisa
ditempatkan sejajar dengan masyarakat luar pulau. Kami memiliki bahasa
tersendiri, bukan bahasa Aceh. Kami memiliki kekayaan tak ternilai, hamparan
laut luas dan pantai indah. Dan kami memiliki kearifan lokal yang
terkenal sampai ke seluruh dunia. Kami membuat penasaran berbagai media, peneliti,
hingga wisatawan.
Kalau boleh
bercerita sedikit saja tentang pulau ku, akan ku ceritakan. Pulau ku tidak
kalah indah dengan pulau Bali, juga banyak dikunjungi wisatawan mancanegara.
Sebut saja penulis Belanda, Martinus Nijhoff yang sampai melakukan riset di
pulau ku tentang kearifan lokal yang kami miliki. Kearifan lokal yang kami jaga
lebih memikat perhatian dunia daripada wisata selancar, wisata pantai, danau,
atau bahari yang kami suguhkan.
Kalau kamu ingin
tahu seperti apa pulau ku, kamu dapat menempuh dua alternatif perjalanan untuk
sampai di sini.
Pertama, lewat
jalur laut. Kamu bisa menaiki kapal feri dari dua lokasi di pesisir selatan
Aceh, Singkil dan Labuhan Haji dengan harga tiket berkisar Rp 70-80 ribu. Waktu
yang kamu habiskan sekitar 8-10 jam.
Kedua, lewat jalur
udara. Kamu harus merogoh kocek lebih banyak untuk melewati jalur ini, Rp
500-650ribu dari Bandara Kuala Namu, Medan ke Bandara Sinabang Lasikin.
Kalau kamu sudah
sampai di pulau ku, kamu akan kami sambut. Kami sangat terbuka dengan
masyarakat luar pulau. Jika kamu termasuk tamu nan ramah, maka cerita demi
cerita akan meluncur begitu saja dari mulut Chik Oemar. Lagi-lagi cerita itu
tidak jauh dari kenangan di masa tragedi 2004 silam.
26 Desember, 2004
Air laut surut jauh! Aku melihat Chik Oemar berlari dengan sangat
kencang ke bukit. Sesaat, syair itu terdengar. Aku dan para penduduk bergegas
mengikuti Chik Oemar ke atas bukit―beruntung, pulau ku dipenuhi oleh perbukitan
di sekelilingnya.
Semong rume rumemu,
Linon awak awakmo.
Elaik keudang keudangmo,
Kilek suluh suluhmo.
Semong air mandimu,
Gempa ayunanmu.
Petir adalah gendangmu,
Halilintar adalah lampu-lampumu.
“Zulfikar… mana Zulfikar?” Aku
berteriak histeris, ketika tak ku temui adik ku diantara rombongan kami.
Aku berbalik lagi, tapi Nek Pinah
memegang tanganku, erat sekali!
“Biarkan Bang Sofyan yang mencari
Fikar!” Bentak Nek Pinah, ketika melihatku masih bersikeras mencari Fikar.
Aku terduduk, lantunan Nandong
berdenging di telingaku. Jerit, tangis, semua menyeruak menjadi satu. Hilang
arah. Aku berputar-putar di kerumunan penduduk, mata ku nanar. Lantunan
Nandong, kuasa membawa pikiran pendengarnya melayang-layang. Ombak, pasir, hingga
karang, seolah turut berbicara seiring lantunan Nandong yang sesekali lirih dan
sesekali melengking tinggi. Di beberapa bagian nadanya seperti meratap, di
bagian lain bernada garang seolah siap untuk berperang.
Dalam nada-nada Nandong yang
dilantunkan Chik Oemar, tersimpan kepasrahan dan pengakuan atas kekuatan alam
dan laut nan sangar. Dalam lengkingnya seolah mewakili kekuatan bahwa, kami
adalah makhluk ciptaan Yang Maha Kuat yang selalu siap menghadapi tantangan.
Seketika pikiran ku melayang, terngiang-ngiang
ketika Zulfikar melantunkan Nandong saat melemparkan kail ke laut, berharap
mendapatkan tangkapan yang banyak. Ketika Zulfikar menggembala kerbau di pinggir-pinggir
pantai, menundukkan hewan piaraan kami yang bertubuh besar itu dengan syair
nandong yang dilantunkannya. Hingga pertunjukkan Nandong satu malam penuh pada
pesta pernikahan, khitan, syukuran, dan acara-acara khusus lainnya, bagaimana
dua orang memukul dua gendang di antara tiap lirik senandung. Semuanya
berseliweran di pikiranku.
Aku tak yakin Zulfikar tidak
mendengar lantunan Nandong. Nandong erat kaitannya dengan Semong. Ketika
‘alarm’ Semong diteriakkan dari mulut ke mulut, seketika penduduk berlari ke
arah perbukitan. Tak mungkin Zulfikar tidak mendengarnya!
Tujuh menit berlalu, Chik Oemar
tiada henti-hentinya melantunkan Nandong. Dengan mata terpejam Chik Oemar
seakan mengalami semacam ekstase. Di sini efek magisnya akan mengalir kepada
siapa saja yang mendengarnya, termasuk kepadaku. Nandong memiliki efek magis
yang sulit dilukiskan.
“Pastikan semua penduduk sudah naik
ke atas bukit!” perintah Nek Pinah. Istrinya Chik Oemar ini berseru dengan
lantang.
“Ada berapa kepala keluarga di sini?
Coba hitung, apakah ada anggota keluarga yang kurang.” Lanjutnya.
“Adiknya Rheina belum ditemukan.” Ku
dengar salah seorang berseru dari kerumunan.
“Ya, aku sudah tahu!” Nek Pinah
tergopoh-gopoh menghampiriku.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa
setelah dilarang keras oleh Nek Pinah.
“Kau tidak percaya kepada Yang Maha
Kuasa yang telah menitipkan kebudayaan luar biasa pada kita?” Nek Pinah
mendekap bahuku.
“Kau
masih ingat, bagaimana Martinus Nijhof mencatat sejarah? 4 Januari 1907, pada
masa itu masyarakat Simeulue memang belum mengenal istilah tsunami. Laut yang
tiba-tiba surut menjadi daya tarik tersendiri bagi nenek moyangmu kala itu….”
Aku tersentak mendengar Nek Pinah menyebut kata nenek moyang.
“…Mereka
malah berlain ke arah pantai berebut ikan-ikan yang terdampar tersebut, mugkin
mereka pikir akan menemui lobster juga di sana. Tapi lihatlah sekarang, tidak
ada satu orang pendudukpun yang mendekati bibir pantai!”
Aku tak pernah meragukan itu Nek
Pinah, batinku. Aku tak pernah meragukan itu, walaupun infrastruktur telekomunikasi
di Kabupaten Simeulue sangat terbatas. Aku terus terpekur, lututku bertumpu
pada tanah merah.
Martinus
Nijhof, ketika Nek Pinah menyabut nama itu, aku teringat lagi bukunya. Buku Belanda
itu, ‘S-Gravenhage’. Aku pernah membacanya! Penggambaran tsunami yang
menderu-deru dari arah laut lepas, melibas sebagian besar masyarakat pada abad itu.
Masyarakat yang selamat menjadi saksi mata atas kejadian semong dan
menuturkannya untuk generasi mendatang agar berhati-hati terhadap kejadian
serupa.
Hal
itu telah melakat kuat dalam benak kami. Bagaimana tidak? Potongan syair itu
adalah senandung pengantar tidur kami setiap hari. Zulfikar yang berumur
sembilan tahun pun hafal syairnya. Seluruh desa yang terdapat di Simeulue hafal
seluruh lirik di dalam syair Nandong ini.
“Smong… Smong DATANG!” Teriak
penduduk di belakang ku, mereka menunjuk-nunjuk ke arah gelombong tinggi besar
yang menggulung.
Enggel mon sao curito! Inang maso semonan, manoknop sao fano, uwi
lah da sesewan. Unen ne alek linon, fesan bakat ne mali, manoknop sao hampong,
tibo-tibo mawi. Anga linon ne mali, uwek suruik sahuli, maheya mihawali, fano
me singa tenggi. Ede smong kahanne. Turiang da nenekta, miredem teher ere,
pesan dan navi da.
Dengarlah sebuah cerita! Pada zaman dahulu, tenggelam satu desa,
begitulah mereka ceritakan. Diawali oleh gempa, disusul ombak yang besar seluruh
negeri, tiba-tiba saja. Jika gempanya kuat, disusul air yang surut, segerah
cari, tempat kalian yang lebih tinggi! Itulah smong namanya. Sejarah nenek
moyang kita, ingatlah ini betul-betul, pesan dan nasihatnya.
Chik Oemar menyudahi lantunan
Nandongnya. Ia berdiri tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Zulfikar….” Batinku bergejolak
lagi!
“Kakak… tiba-tiba Zulfikar menyeruak
dari balik kerumunan!” Tangan kecilnya langsung merengkuh badanku.
Ternyata Bang Sofyan telah berhasil
menemukan Zulfikar. Keyakinan ku benar, Fikar mendengar syair itu. Bahkan ia
lebih dulu naik ke atas bukit daripada ku. Aku saja yang kepanikan tak
menemukannya.
Semong rume rumemu
Linon awak awakmo
Elaik keudang keudangmo
Kilek suluh suluhmo
Chik Oemar. Kenapa ia begitu tenang?
Apakah ia sudah yakin semua penduduk selamat? Aku tahu, diam adalah sifatnya.
Ia berbicara lewat mata. Lihatlah, mata hitam jelaganya menantang gulungan
ombak raksasa itu! Tak ada tersirat ketakutan sedikitpun di wajahnya. Aku
yakin, ini bukan karena sombongnya pada Yang Kuasa. Tapi ini karena perasaan
yakin yang mengakar kuat. Seolah-olah Chik Oemar ingin berkata, lihatlah…
walaupun ada satu radio di sini, kami tak sulit melakukan mobilisasi masa dalam
kurun waktu kurang dari sepuluh menit.
Aku selalu diajarkan oleh Chik Oemar
yang tak banyak bicara ini untuk selalu menjaga budaya, memegang teguh adat
istiadat kami! Hari ini semua perintah darinya itu terjawab, kenapa kami harus
menjaga Semong dan Nandong sebagai kesenian tradisional kami!
Lihatlah, bagaimana dari atas
perbukitan ini kami menyaksikan keganasan gelombang tsunami menyapu seluruh
desa, menghancurkan perumahan, sawah, dan ladang. Ada perasaan campur aduk di
sini, di lubuk hati ini.
Bukan masalah kami harus bertahan di
tenda pasca tsunami ini, tapi masalah saudara kami dia Aceh Barat, Nagan Raya,
Aceh Utara, Banda Aceh, dan beberapa kabupaten atau kota lainnya. Bagaimana nasib
mereka?
Hanya sekejap, semuanya berlalu.
Menyisakan hamparan lumpur bersampah, hanya satu dua pohon kelapa yang masih
berdiri tegak. Pias. Wajahku kebas menyaksikan semua ini. mungkinkah ada
saudara kami di antara gelimang lumpur itu.
***
Di balik tangis ini, aku bersyukur kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Meski gempa bumi dan tsunami 2004 berpusat di Simeulue,
tapi jumlah korban di pulau ku paling sedikit dibanding
kawasan Aceh lainnya. Nyaris sulit dipercaya, ketika belahan Aceh lainnya
menelan korban jiwa lebih dari dua ratus ribu jiwa, di Simeulue hanya terdapat
enam orang yang meninggal akibat tsunami pada saat itu. Kecuali dari sisi harta
benda, kami mengalami kerugian berupa hancurnya sekitar 1.700 rumah.
Sebagian
besar penduduk di pulau kami selamat hanya karena kami memiliki ‘alarm
tradisional’ yang kami sebut dengan “Semong” atau “Smong”. Kata Smong
adalah kata sandi yang dipahami bersama oleh seluruh penduduk pulau ini untuk
melukiskan terjadinya gelombang raksasa setelah terjadinya gempa besar. Kami
bukan hanya sekedar memahami kata tersebut, tetapi kami juga memahami tindakan
apa yang harus kami lakukan apabila peristiwa tersebut terjadi. Kami hanya
cukup mendengar satu sandi yang dilantunkan, maka kami akan bergerak dengan
kecepatan tinggi walaupun kami berada pada daerah yang terpisah-pisah.
Semong telah mengalami proses
pengendapan yang lama sehingga lambat laun menjadi memori kolektif dalam bentuk
sistem nilai masyarakat. Nandong sebagai sebuah seni tradisi lisan masyarakat
kami memegang fungsi penting dalam membangun memori kolektif tersebut. Nandong
dalam masyarakat Simeulue tidak hanya menjalankan fungsi klasik pantun atau
syair yaitu sebagai media penyampai isyarat, pendidikan, pencatat sejarah dan
hiburan. Nandong telah sampai pada fungsi tertinggi budaya lisan yaitu
pembangun memori kolektif masyarakat.
Kawasan kami paling kecil mencatat
angka korban. Maka tak heran masyarakat dunia memberikan penghargaan SASAKAWA
AWARD kepada kami. Nandong seolah membawa pesan kepada dunia bahwa, dengan
menjaga budaya, membuat nyawa kami terjaga.
Cerpen Oleh: Nelvianti
0 komentar:
Posting Komentar