Rabu, 03 Juli 2019

Padang Ilalang dan Dua Bocah Kecil



Di sana dua sejoli berjanji merajut asa. Di bawah pohon tua, di tepi dermaga. Aku intip dengan seksama, dari sini dalam lumpur berwarna coklat tua. Ah, mereka tak pantas disebut dua sejoli, mereka adalah dua kanak-kanak kecil yang berlari. Berlari ke sana, ke mari, sambil bernyanyi. Mereka tampak bahagia sekali, berkejar-kejaran di bawah naungan pohon-pohon menari.

Hamparan rumput bak permadani, mealasi kaki-kaki mungilnya. Ilalang melambai setinggi betisnya, sepoi-sepoi ditiup angin, menerbangkan kapas putih. Amboi, indahnya… kapas-kapas putih itu mendarat di tubuhku. Gadis kecil dan teman lelakinya masih terus berlari, wajah mereka berseri, menangkap kapas-kapas putih.

“Adel… Angga… sini!” Ibu mereka memanggil.

Seketika dua kanak-kanak kecil itu berlari ke arahku, berjalan di sampingku. Ibu mereka sudah menunggu di tengah pematang sawah, menghalau cicit-cicit burung. Burung-burung pipit itu membubung ke angkasa, mereka takut menghadapi dua kanak-kanak kecil yang mulai ‘liar’ itu.

“Angga… Adel… hati-hati, nanti kalian masuk ke lumpur.” Anak-anak itu tertawa cekikikan.

“Ayo… Bang Angga, tangkap burungnya, yah… gak dapat.” Gadis mungil bergaun biru itu menarik baju yang dipanggilnya Abang.

“Iya tunggu Dek, Burungnya banyak banget, Hap.” Kakinya tergelincir, membuat sebelah badannya terbenam lumpur.

“Hahaha….” Si kecil malah ketawa.

“Astaghfirullah, Angga… Ibu bilang juga apa, sini…!” Perempuan tiga puluh tahunan itu menarik bocah laki-laki yang wajahnya berlumpur separoh. Ia nyengir.

“Kalian duduk saja di sana!” Perempuan itu menunjuk ke arah pohon duku yang menancap di pinggir sawah.

“Tapi awas, jangan main ke sumur!” Perempuan itu merasa was-was, tatkala diingatnya kalau di dekat pohon duku ada sumur kecil tapi cukup dalam yang biasa digunankan petani sawah untuk bersih-bersih.

Setelah dua bocah bersantai di bawah pohon duku, perempuan bersarung itu kini ‘bertugas’ dengan tenang. Ia mengelilingiku sambil bersorak.

“Huu… Haaa…! Huu… Haaa…!” Pipit-pipit langsung berhamburan mendengar teriakan itu. Tapi pipit yang lihai malah hinggap di sebelah padi yang lain. Dihalau lagi, pindah lagi.  Begitu seterusnya, hingga perempuan ini mulai berkeringatan, dan senja mulai menguning. Pipit-pipit masih saja belum puas, ia terus mematok-matok padi yang sudah mulai menguning. Untung aku tidak ikut terpatok.

“Ma… udah belum?” Si kecil yang cerewet berteriak.

“Bentar lagi sayang, kita tunggu pipit-pipitnya pulang dulu, baru kita pulang.” Perempuan itu terus mengelilingi sawah seluas lima hektar ini. Sementara teriakan si kecil sudah tak terdengar lagi.

Ufuk merah mulai menyembur, hari semakin gelap. Satu, dua ekor pipit mulai pulang ke sarangnya. Perempuan itu akhirnya menyudahi tugasnya. Ia menuruni lereng ke tepian sungai yang mengalir di dekat sawah. Ia menciduk air dengan tempurung kelapa yang tengkurap di dekatnya.  Segar. Air itu jernih, kelihatan capung-capung centil beraneka warna menepuk-nepuk permukaan air itu.

Setelah menikmati pemandangan sekitarnya sejenak, perempuan itu naik, menghampiri dua bocah kecilnya. Ternyata dua bocah kecil ini sudah tertidur pulas bersandar ke pohon duku, Adel malahan menumpangkan kepalanya di bahu Angga. Angga anak tetangganya ini dekat sekali dengan Adel, kemana Adel pergi, ia selalu merengek minta ikut.

Di kejauhan ku lihat perempuan itu membangunkan anak-anaknya, lalu ia berjalan meninggalkan ku. Punggung mereka semakin mengecil, lalu hilang. Kini tinggalah aku dalam gelap.
***
Ini sudah kali ketiga, perempuan yang disapa Sumarni itu tidak mengunjungiku lagi dengan anak-anaknya. Setelah kepulangannya beberapa hari lalu, ia tak bertugas lagi. Padahal anak-anaknya pernah merengek waktu untuk ke balik ke sini di lain waktu. Tapi mungkin, ia takut anak-anaknya mengganggu dan terbenam lumpur lagi. Jadi hanya suaminya yang sering menengok ku sekarang.

Dan sekarang musim panen sudah usai. Aku tahu, jika musim panen telah usai, maka aku jarang terjamah oleh tangan lembut itu. Butuh waktu enam bulan lagi bagiku untuk bertemu dengan perempuan dan bocah kecil yang paling aku kangeni itu.

20 tahun berlalu….
Ku tunggu dan ku tunggu. Yang ku tunggu tak jua datang. Gadis kecil dan bocah laki-laki itu…. Ah, mungkin sekarang mereka sudah tak mungil lagi, tapi tumbuh menjadi orang gadis cantik dan laki-laki berbadan tegap.

Sementara perubahan telah terjadi di sini. Mungkin mereka tidak mengetahui, akankah mereka kaget menyaksikan semuanya? Aku sudah mulai tua. Aku tidak kokoh lagi, akar ku mulai goyah, badan ku mulai keropos, daun-daun ku mulai rontok, dan beberapa dahan ku mulai patah.

Tidak. Aku yakin mereka tidak menyadari perubahan ku. Aku terlalu kecil untuk diperhatikannya dulu, sama kecilnya dengan mereka. Tapi aku yakin, mereka akan menyadari padang ilalang tempat mereka bermain kini berubah menjadi komplek perumahan.

Ah, mjanusia… mengapa begitu saja terlena. Ia rela menukar teman-temanku dengan lembaran rupiah. Tidakah mereka sadar, bahwa anak cucunya nanti membutuhkan kita.

Aku tak dapat lagi menikmati padang ilalang di hadapanku. Padang ilalang yang dulu menghampar luas dan ku pagari dengan teman-teman, kini hanya tinggal kenangan. Tak ada lagi hawa sejuk, tak ada lagi teduh, dan tak ada lagi sepoi angin. Yang ada kini, komplek peerumahan elit yang bersebelahan dengan persawahan.

Aku takut mereka akan kecewa mendapati semuanya. Semenjak perumahan elit itu dibangun, tak ada lagi jalan untuk menuju sawah mereka. Mereka tidak bisa melewati jalan yang dulu, karena ada pagar tembok yang membatasinya.
***
“Bang, sudah banyak berubah ya kampung kita.” Gadis cantik jelita, bermata jeli, dan berambut panjang itu bersandar ke tubuh ku.

“Iya, Dek. Aku masih ingat, gimana dulu kita bermain di sini. Mungkin di kamar rumah orang itu, tempat dulu kamu berlari-lari, atau mungkin juga di dapurnya. Ah, aku tak bisa menebak lagi.” Laki-laki tinggi, putih, dan berjakun itu menimpali.

Aku senang didatangi teman masa kecil ku ini, tapi aku sedih rasanya mendengar celotehannya. Ingin rasanya ku turunkan buah-buahanku yang manis ini, sebagai pertanda aku juga sependapat dengannya. Aku juga merasakan, apa yang dirasakannya.

“Hanya pohon rambutan ini yang tersisa.” Adel menepuk-nepuk badan ku.

Ternayata Adel mengingatku. Aku senang.

“Ya, mungkin mereka merasa iba, menebangi pohon yang rajin memberikan buahnya ini.” Angga mencomot buah ku. Ia baru saja menaiki badan ku dan merenggut beberapa buah ku.

Aku membuang pandangan ke sawah mereka. Ini mungkin, sudah ke empat puluh kalinya Ibu meeka panen, semenjak terakhir kali mereka mengunjungi, semenjak kanak-kanak itu. Aku bersyukur, persawahan ini juga tak ikut diolah menjadi perumahan. Aku bangga pada orang tua mereka, yang bersikokoh tak mau menjual persawahan ini.

Aku tahu, manusia butuh tempat tinggal, mereka butuh rumah. Tapi apakah hanya rumah yang mereka butuhkan? Apalah artinya rumah tanpa kehadiran kami ini, tumbuh-tumbuhan yang selalu menyumbangkan oksigen. Bisakah mereka memproduksi oksigen sendiri? Sehebat apapun teknologi yang mereka miliki, aku yakin mereka tak bisa memenui kebutuhan oksigen seluruh makhluk hidup di bumi ini!

Lalu, apakah yang harus kita lakukan kawan kecil ku? Aku yakin, dua anak manusia ini menjawab Tanya ku.

“Terus, apa usahamu Dek? Kamu kan kuliah arsitektur lanskap di Bogor.”

“Iya, Bang. Aku berencana bikin taman bermain, taman hijau gitu. Kasihan anak-ank di sini kehilangan tempat bermainnya. Mereka gak bebas bermain kayak kita dulu.” Adel menerawang.

Aku tahu apa yang dipikirkan Adel. Bukan dia saja yang merasakan hal itu. Capung-capung di sekitar sini juga. Aku sudah lama tak melihat sekawanan capung lagi, entah ke mana mereka menghilang. Mungkin semenjak air sungai ini kotor dan berbau, mereka tak betah lagi tinggal di sini. Penciuman ku juga terganggu, akibat limbah rumah tangga yang disalurkan ke sungai ini.
***
Aku lihat, Adel memperkenalkan beberapa orang rekan kerjanya pada lurah di desa ini. Hari ini mereka akan memulai aksi. Aku senang akhirnya mimpi Adel terwujud, walaupun aku tahu tak mudah untuk mewujudkan mimpinya. Selalu ada halangan dan rintangan. Mulai dari member pemahaman pada warga setempat, mencari investos, mengurus surat-menyurat, dan sebagainya.

Selalu ada Angga yang membantunya. Anak tetangga Sumarni memang tak pernah berhenti membuntuti Adel. Aku salut, dari kerjasamanya itulah pembangunan taman bermain ini selesai, walaupun agak lama.

Kini, bukan anak tetangga mereka saja yang bisa bermain di sini. Tapi anak mereka juga. Ya, mereka menikah setelah semua mimpi Adel terwujud, setelah pembangunan tama bermain ini selesai beberapa tahun lalu.

Kini mereka berharap, agar warga mengerti betapa pentinganya lingkungan ini, betapa pentingnya alam ini. Karena alam masih dapat hidup tanpa ada satu manusia pun di bumi ini, tapi manusia belum tentu bisa hidup tanpa adanya alam yang mendukung. [*]

Cerpen Oleh: Nelvianti





0 komentar:

 

Pedagogik Template by Ipietoon Cute Blog Design