Di
sana dua sejoli berjanji merajut asa. Di bawah pohon tua, di tepi dermaga. Aku
intip dengan seksama, dari sini dalam lumpur berwarna coklat tua. Ah, mereka
tak pantas disebut dua sejoli, mereka adalah dua kanak-kanak kecil yang
berlari. Berlari ke sana, ke mari, sambil bernyanyi. Mereka tampak bahagia
sekali, berkejar-kejaran di bawah naungan pohon-pohon menari.
Hamparan
rumput bak permadani, mealasi kaki-kaki mungilnya. Ilalang melambai setinggi
betisnya, sepoi-sepoi ditiup angin, menerbangkan kapas putih. Amboi, indahnya…
kapas-kapas putih itu mendarat di tubuhku. Gadis kecil dan teman lelakinya
masih terus berlari, wajah mereka berseri, menangkap kapas-kapas putih.
“Adel…
Angga… sini!” Ibu mereka memanggil.
Seketika
dua kanak-kanak kecil itu berlari ke arahku, berjalan di sampingku. Ibu mereka
sudah menunggu di tengah pematang sawah, menghalau cicit-cicit burung.
Burung-burung pipit itu membubung ke angkasa, mereka takut menghadapi dua
kanak-kanak kecil yang mulai ‘liar’ itu.
“Angga…
Adel… hati-hati, nanti kalian masuk ke lumpur.” Anak-anak itu tertawa
cekikikan.
“Ayo…
Bang Angga, tangkap burungnya, yah… gak dapat.” Gadis mungil bergaun biru itu
menarik baju yang dipanggilnya Abang.
“Iya
tunggu Dek, Burungnya banyak banget, Hap.” Kakinya tergelincir, membuat sebelah
badannya terbenam lumpur.
“Hahaha….”
Si kecil malah ketawa.
“Astaghfirullah,
Angga… Ibu bilang juga apa, sini…!” Perempuan tiga puluh tahunan itu menarik
bocah laki-laki yang wajahnya berlumpur separoh. Ia nyengir.
“Kalian
duduk saja di sana!” Perempuan itu menunjuk ke arah pohon duku yang menancap di
pinggir sawah.
“Tapi
awas, jangan main ke sumur!” Perempuan itu merasa was-was, tatkala diingatnya
kalau di dekat pohon duku ada sumur kecil tapi cukup dalam yang biasa
digunankan petani sawah untuk bersih-bersih.
Setelah
dua bocah bersantai di bawah pohon duku, perempuan bersarung itu kini ‘bertugas’
dengan tenang. Ia mengelilingiku sambil bersorak.
“Huu…
Haaa…! Huu… Haaa…!” Pipit-pipit langsung berhamburan mendengar teriakan itu.
Tapi pipit yang lihai malah hinggap di sebelah padi yang lain. Dihalau lagi,
pindah lagi. Begitu seterusnya, hingga
perempuan ini mulai berkeringatan, dan senja mulai menguning. Pipit-pipit masih
saja belum puas, ia terus mematok-matok padi yang sudah mulai menguning. Untung
aku tidak ikut terpatok.
“Ma…
udah belum?” Si kecil yang cerewet berteriak.
“Bentar
lagi sayang, kita tunggu pipit-pipitnya pulang dulu, baru kita pulang.”
Perempuan itu terus mengelilingi sawah seluas lima hektar ini. Sementara
teriakan si kecil sudah tak terdengar lagi.
Ufuk
merah mulai menyembur, hari semakin gelap. Satu, dua ekor pipit mulai pulang ke
sarangnya. Perempuan itu akhirnya menyudahi tugasnya. Ia menuruni lereng ke
tepian sungai yang mengalir di dekat sawah. Ia menciduk air dengan tempurung
kelapa yang tengkurap di dekatnya.
Segar. Air itu jernih, kelihatan capung-capung centil beraneka warna
menepuk-nepuk permukaan air itu.
Setelah
menikmati pemandangan sekitarnya sejenak, perempuan itu naik, menghampiri dua
bocah kecilnya. Ternyata dua bocah kecil ini sudah tertidur pulas bersandar ke
pohon duku, Adel malahan menumpangkan kepalanya di bahu Angga. Angga anak
tetangganya ini dekat sekali dengan Adel, kemana Adel pergi, ia selalu merengek
minta ikut.
Di
kejauhan ku lihat perempuan itu membangunkan anak-anaknya, lalu ia berjalan
meninggalkan ku. Punggung mereka semakin mengecil, lalu hilang. Kini tinggalah
aku dalam gelap.
***
Ini
sudah kali ketiga, perempuan yang disapa Sumarni itu tidak mengunjungiku lagi
dengan anak-anaknya. Setelah kepulangannya beberapa hari lalu, ia tak bertugas
lagi. Padahal anak-anaknya pernah merengek waktu untuk ke balik ke sini di lain
waktu. Tapi mungkin, ia takut anak-anaknya mengganggu dan terbenam lumpur lagi.
Jadi hanya suaminya yang sering menengok ku sekarang.
Dan
sekarang musim panen sudah usai. Aku tahu, jika musim panen telah usai, maka
aku jarang terjamah oleh tangan lembut itu. Butuh waktu enam bulan lagi bagiku
untuk bertemu dengan perempuan dan bocah kecil yang paling aku kangeni itu.
20 tahun berlalu….
Ku
tunggu dan ku tunggu. Yang ku tunggu tak jua datang. Gadis kecil dan bocah
laki-laki itu…. Ah, mungkin sekarang mereka sudah tak mungil lagi, tapi tumbuh
menjadi orang gadis cantik dan laki-laki berbadan tegap.
Sementara
perubahan telah terjadi di sini. Mungkin mereka tidak mengetahui, akankah
mereka kaget menyaksikan semuanya? Aku sudah mulai tua. Aku tidak kokoh lagi,
akar ku mulai goyah, badan ku mulai keropos, daun-daun ku mulai rontok, dan
beberapa dahan ku mulai patah.
Tidak.
Aku yakin mereka tidak menyadari perubahan ku. Aku terlalu kecil untuk
diperhatikannya dulu, sama kecilnya dengan mereka. Tapi aku yakin, mereka akan
menyadari padang ilalang tempat mereka bermain kini berubah menjadi komplek
perumahan.
Ah,
mjanusia… mengapa begitu saja terlena. Ia rela menukar teman-temanku dengan
lembaran rupiah. Tidakah mereka sadar, bahwa anak cucunya nanti membutuhkan
kita.
Aku
tak dapat lagi menikmati padang ilalang di hadapanku. Padang ilalang yang dulu
menghampar luas dan ku pagari dengan teman-teman, kini hanya tinggal kenangan.
Tak ada lagi hawa sejuk, tak ada lagi teduh, dan tak ada lagi sepoi angin. Yang
ada kini, komplek peerumahan elit yang bersebelahan dengan persawahan.
Aku
takut mereka akan kecewa mendapati semuanya. Semenjak perumahan elit itu
dibangun, tak ada lagi jalan untuk menuju sawah mereka. Mereka tidak bisa
melewati jalan yang dulu, karena ada pagar tembok yang membatasinya.
***
“Bang,
sudah banyak berubah ya kampung kita.” Gadis cantik jelita, bermata jeli, dan
berambut panjang itu bersandar ke tubuh ku.
“Iya,
Dek. Aku masih ingat, gimana dulu kita bermain di sini. Mungkin di kamar rumah
orang itu, tempat dulu kamu berlari-lari, atau mungkin juga di dapurnya. Ah,
aku tak bisa menebak lagi.” Laki-laki tinggi, putih, dan berjakun itu menimpali.
Aku
senang didatangi teman masa kecil ku ini, tapi aku sedih rasanya mendengar
celotehannya. Ingin rasanya ku turunkan buah-buahanku yang manis ini, sebagai
pertanda aku juga sependapat dengannya. Aku juga merasakan, apa yang
dirasakannya.
“Hanya
pohon rambutan ini yang tersisa.” Adel menepuk-nepuk badan ku.
Ternayata
Adel mengingatku. Aku senang.
“Ya,
mungkin mereka merasa iba, menebangi pohon yang rajin memberikan buahnya ini.”
Angga mencomot buah ku. Ia baru saja menaiki badan ku dan merenggut beberapa
buah ku.
Aku
membuang pandangan ke sawah mereka. Ini mungkin, sudah ke empat puluh kalinya
Ibu meeka panen, semenjak terakhir kali mereka mengunjungi, semenjak
kanak-kanak itu. Aku bersyukur, persawahan ini juga tak ikut diolah menjadi
perumahan. Aku bangga pada orang tua mereka, yang bersikokoh tak mau menjual
persawahan ini.
Aku
tahu, manusia butuh tempat tinggal, mereka butuh rumah. Tapi apakah hanya rumah
yang mereka butuhkan? Apalah artinya rumah tanpa kehadiran kami ini,
tumbuh-tumbuhan yang selalu menyumbangkan oksigen. Bisakah mereka memproduksi
oksigen sendiri? Sehebat apapun teknologi yang mereka miliki, aku yakin mereka
tak bisa memenui kebutuhan oksigen seluruh makhluk hidup di bumi ini!
Lalu,
apakah yang harus kita lakukan kawan kecil ku? Aku yakin, dua anak manusia ini
menjawab Tanya ku.
“Terus,
apa usahamu Dek? Kamu kan kuliah arsitektur lanskap di Bogor.”
“Iya,
Bang. Aku berencana bikin taman bermain, taman hijau gitu. Kasihan anak-ank di
sini kehilangan tempat bermainnya. Mereka gak bebas bermain kayak kita dulu.”
Adel menerawang.
Aku
tahu apa yang dipikirkan Adel. Bukan dia saja yang merasakan hal itu.
Capung-capung di sekitar sini juga. Aku sudah lama tak melihat sekawanan capung
lagi, entah ke mana mereka menghilang. Mungkin semenjak air sungai ini kotor
dan berbau, mereka tak betah lagi tinggal di sini. Penciuman ku juga terganggu,
akibat limbah rumah tangga yang disalurkan ke sungai ini.
***
Aku
lihat, Adel memperkenalkan beberapa orang rekan kerjanya pada lurah di desa
ini. Hari ini mereka akan memulai aksi. Aku senang akhirnya mimpi Adel
terwujud, walaupun aku tahu tak mudah untuk mewujudkan mimpinya. Selalu ada
halangan dan rintangan. Mulai dari member pemahaman pada warga setempat,
mencari investos, mengurus surat-menyurat, dan sebagainya.
Selalu
ada Angga yang membantunya. Anak tetangga Sumarni memang tak pernah berhenti
membuntuti Adel. Aku salut, dari kerjasamanya itulah pembangunan taman bermain
ini selesai, walaupun agak lama.
Kini,
bukan anak tetangga mereka saja yang bisa bermain di sini. Tapi anak mereka
juga. Ya, mereka menikah setelah semua mimpi Adel terwujud, setelah pembangunan
tama bermain ini selesai beberapa tahun lalu.
Kini
mereka berharap, agar warga mengerti betapa pentinganya lingkungan ini, betapa
pentingnya alam ini. Karena alam masih dapat hidup tanpa ada satu manusia pun
di bumi ini, tapi manusia belum tentu bisa hidup tanpa adanya alam yang
mendukung. [*]
Cerpen Oleh: Nelvianti
0 komentar:
Posting Komentar